[fh · 37] - where could i move on to?

but forgetting someone
may not be as simple as you'd imagine.
to get you off my mind
is not the same as just hitting delete.
i need some time
for the wound to heal a bit.
[1]

***

Maret - April 2022.

"Fira!" pekik seseorang dari kejauhan. Lantas kemudian, dengan cepat derap-derap langkah yang mencumbui paving block terdengar mendekat. "Fira ..., tunggu." Itu katanya ketika setelah berhenti berlari, memegangi pinggang, dan berusaha mengatur napas yang berantakan.

Zhafira Freya mengembuskan napas terlalu panjang dan berat. Ia pusing sebab semalam mengerjakan tugas-tugas dengan tenggat mendadak dan belum cukup tidur. Ia pening dan laki-laki di depannya ini pasti akan berusaha mengacaukan hatinya lagi. Sial sekali tidak ada April atau pun Randi bersamanya. Fira akan sulit melewati laki-laki keras kepala ini.

"Aku panggilin kamu dari tadi, tapi kamu nggak nyaut juga," gerutu Arya.

Laki-laki dengan jaket denim kebiruan, pun celana denim berwarna senada itu berusaha mengatur napasnya lagi meski tidak seberantakan beberapa waktu lalu. Ransel hitamnya disampirkan ke depan. Setelah merogoh-rogoh, ia mengeluarkan sebuah botol kaca bening dengan beberapa kuntum kamboja merah muda di dalamnya.

Arya tersenyum simpul, menyodorkan botol itu pada Fira. Namun, tangannya hanya dibiarkan mengambang lama tanpa diberi aksi apa pun kecuali tatap yang terlalu lama.

Hari beranjak siang. Meski mentari betah bersembunyi di balik kungkungan mega sesekali, tetap saja hari masih bisa dikatakan cerah. Koridor kampus memang tidak ramai, tetapi perlakukan Arya jelas mengundang perhatian para mahasiswa yang lewat di sana.

"Kenapa, Arya?"

Sejujurnya, Fira bukan hanya sekadar ingin mendapat sepenggal jawaban terlampau singkat. Ia ingin penjelasan panjang lebar mengapa bisa-bisanya laki-laki itu masih melakukan hal yang sama serupa ketika mereka masih sekolah menengah.

"Kenapa kamu masih ngelakuin hal kayak gini?" tanya Fira lagi. Maniknya berkilat penuh penuntutan, membuat senyum di wajah Arya perlahan meluntur.

Lebih dari itu, Fira juga ingin tahu mengapa. Apa yang membuat laki-laki itu tidak dapat ditebak pemikirannya? Bukankah di awal Februari lalu Arya baru saja mematahkan harinya dengan mendekap kekasih baru? Lantas mengapa sekarang ia malah diperlakukan seolah ingin dibawa kembali menjadi pemeran utama?

Fira tahu jika sepersekian detik sebelum senyum lembut itu terulas di wajah Arya, ada binar kebingungan yang berkabut di matanya. Terlampau bangat binar di manik jelaga itu berubah hangat dan sarat akan permohonan, terutama ketika sebotol penuh berisi kamboja merah muda kembali diangsurkan.

"Aku udah bilang, kan? Aku masih sa---"

"Arya," potong Fira. Gadis itu mendesah panjang, bentuk lain dari protes ketika laki-laki di depannya ini datang tanpa harap. Lebih dari itu, sebenarnya Fira hanya masih takut. "Kamu nggak bisa ngelakuin hal ini, Ya. Jangan pernah lagi."

Zhafira Freya menatap singkat saja kala wajah yang dipahat riang itu sekonyong-konyong beralih menjadi agak kecewa. Dua tiga mahasiswa yang melewati mereka berganti menjadi tak terkira, menatap dengan pandangan yang gadis itu takutkan sejak lama. Langkah hampir diayun menjauh, tetapi sepenggal ucap membuat Fira kembali memaku. Ia gemetaran; takut dan risau di saat bersamaan.

"Kenapa?" Nadanya terlalu tinggi, bentuk keluhan yang seharusnya lebih baik dilontarkan untuk dirinya sendiri. Botol kaca tak lagi berusaha diangsurkan, dibiarkan digenggam sebelah tangan di samping tubuh. Barangkali Arya hampir menyerah karena Fira tak juga kunjung menerima. "Seharusnya masih ada kesempatan buat memperbaiki semuanya, kan, Ra? Aku seharusnya masih punya kesempatan itu. Aku yakin kamu mau ngasih, tapi kamu cuma ragu."

Salah satu dari banyak hal ketika di suatu hari mata mereka bertemu lagi, saling menatap seperti dulu kembali, adalah hal ini. Selain takut jatuh cinta lagi, Fira juga takut kala dimintai kesempatan untuk memperbaiki apa rusak dulu sekali. Bukannya ia tak mau, tetapi gadis itu hanya tak ingin disakiti dan menyakiti.

"Kamu mungkin lupa, Arya. Jadi, biar aku ingetin." Kalimatnya hanya serupa bisik. Diharapkan tetap mengambang di antara mereka saja. Namun, begitu angin datang membawa terlalu banyak gelisah di setiap tiup yang membawa gerah, ucapnya barangkali akan melayang lama. "Kamu punya Kak Laura. Kamu punya seseorang yang lebih berhak kamu beri sebotol kamboja."

Saliva makin sulit ditelan, belum lagi kalimat yang terasa menyangkut di pangkal tenggorokan. Fira makin sesak napas ketika sepasang mata berwarna jelaga itu tidak punya rasa untuk dicerminkan, ruang kosong yang penuh dengan kehampaan.

"Kalau kamu ngerasa bersalah untuk hubungan kita yang berakhir, seharusnya kamu berpikir untuk melakukan sesuatu sebelum di bandara waktu itu." Jedanya ternoda desah terlalu panjang, derap-derap langkah di sekitaran, dan angin yang tak henti menguarkan kegelisahan. Detik itu juga, Fira merasakan hampir menangis, ia akan hancur lebur tanpa sempat mengais. "Atau mungkin kamu seharusnya berpikir di waktu panggilan terakhir kita Agustus lalu."

Matanya dengan cepat berpaling, langkah diayun cepat menjauhi lokasi. Sesaknya makin menjadi. Fira harus segera pergi sebelum macam-macam ucap bujukan lain menghentikan kembali. Ia berlega hati ketika tahu ternyata Arya masih mematung di tempat seorang diri. Namun satu penyesalan datang mencekik, Fira menyakiti hati padahal baru saja bersepakat tak akan mengulangi.

Kalau dikatakan ia tidak punya rasa lagi, maka Fira hanya berdalih. Jika ia bilang tak punya rasa yang sama, maka Fira pasti sedang berdusta. Namun, yang ingin gadis itu lakukan adalah tak ingin menempa sakit lebih banyak lagi. Waktunya terlampau berjibun habis hanya untuk menuai rindu yang tak pernah berakhir untuk diobati. Malah menggentas sia-sia seperti kayu yang menjadi abu akibat dilalap api.

Fira hanya sempat mematri janji tanpa berkelapangan mencicip rasa dari tertepati.

Rasanya begitu perih ketika gadis itu terus mencoba memacu langkah meninggalkan Arya dengan kegamangannya seorang diri. Seperti ada bagian lain darinya yang meminta kembali, menautkan jemari di tangan hampa itu lagi, dan mengucapkan macam-macam kalimat yang menenangi. Namun, Fira tak bisa. Ada perih lain di sudut hatinya yang meminta untuk pergi meninggalkan. Ia tahu luka itu tak kecil, tetapi setidaknya tak ada luka lain yang harus dihasilkan dari hubungan Arya dan Fira. Tidak juga untuk Laura.

***

Ada yang sedikit berbeda dari ruangan bercat putih itu. Bukan proyektor LCD-nya yang terus menunjukkan slide powerpoint yang sama, bukan pula dosen wanita berkaca mata yang duduk tenang di meja dengan buku yang ditatap terlampau lamat, tetapi pada seisi kelas yang mendadak terdengar seperti dengungan lebah yang berkerumun.

"Kamu tau berita apa yang lagi hot di fakultas kita? Eh, enggak. Di kampus kita. Fakultas kita terlalu sempit."

Fira sama sekali tidak berniat menguping. Adalah hal yang normal mendengar orang lain berbicara terutama ketika kita masih punya telinga dan jarak pembicara tidak begitu jauh. Kalau tidak salah, mungkin hanya terpaut dua bangku dari tempat gadis itu berkutat dengan diktatnya. Barangkali dari seorang gadis yang katanya suka menggosip dan selalu tahu hal apa saja yang terjadi di setiap sudut Universitas Galang Udayana.

"Apa? Apa?" Ada nada penasaran yang amat kentara di suaranya. Dari derit kursi, Fira bisa tahu kalau suara gadis lain itu tengah berusaha berhadapan langsung dengan si gadis pembawa berita.

Jeda panjang ternoda suara dehaman. Meskipun sekadar bisik agar tak terdengar sampai ke meja depan, Fira ikut juga menunggu dengan rasa penasaran sambil terus menyalin materi dari proyektor. "Akan ada judul berita baru buat mading di Fakultas Teknik. Seorang Perancang Busana Tahun Pertama sedang Mengencani Lelaki dari Pacar Model Pakaiannya. Menurut kamu itu judul berita yang bagus, nggak?"

"Tunggu, tunggu, maksud kamu ...."

Tuturannya tidak berlanjut, disengaja. Fira menelan saliva sedikit kesulitan kala merasa banyak pasang mata yang memaku tatap padanya. Ia tak ingin mendongak, tak ingin menatap ke mana-mana. Gadis itu menahan diri agar sesak dalam dadanya tidak meletup-letup dengan menggenggam pensil di tangan terlampau erat.

Sebagian besar penghuni ruangan pasti sedang memandangi dengan kilat-kilat yang merendahkan, seolah Fira adalah satu-satunya orang yang patut dipersalahkan. Ia seharusnya tidak terlalu memikirkan sebab ucapan mereka bukanlah fakta yang sesungguhnya. Belum lagi gosip yang membuat telinganya berdengung panjang itu tiba-tiba menyebar cepat seperti nyala api yang menghanguskan. Lagi, kelas mendadak serupa dengung lebah yang berkerumun.

Dehaman keras dari sisi depan kelas membuat ruangan kembali hening, jenis hening yang janggal dan mengkhawatirkan. "Apa yang kalian gosipkan? Mungkin bisa dibagikan di depan kelas ini biar saya memutuskan untuk nambah atau kurangin nilai kalian."

Zhafira tahu konsekuensi lain dari kembali menggapai tangan Arya yang sedang menggenggam jemari lain adalah hal ini. Memang seharusnya bukan hal yang patut menjadi pikiran, tetapi Fira tidak tahu sampai mana ia akan bertahan.

Jatuh macam apa yang disiapkan semesta untuk balasan cinta terdahulu? Ia lelah, ingin menyerah, tetapi sulur cinta sedang menjeratnya untuk kembali seperti semula.

Bagaimana caranya? Fira bahkan skeptis pada dirinya sendiri jika ia mampu bergerak menjauh dari cinta lamanya. Ketika kepala baru saja bertekad untuk menjauh, hatinya malah bersiap kembali menerima jatuh.

***

"Ra? Fira? Kamu nggak pa-pa, kan?"

Bahu ditepuk ringan, angin gerah tiba-tiba meniup ujung anak rambut yang tak terikat, sedang menghantarkan kegelisahan. Gadis itu tersentak, menatap insan di sebelahnya dengan pandangan linglung. "Hah? Kenapa?"

April mendesah panjang. Mi goreng diraup agak kesal menggunakan sumpit dari kotak stirofoam yang terbuka. "Kamu kebanyakan bengong, Ra." Ia menunjuk dengan dagu kotak stirofoam lain yang teronggok bersama tiga cangkir coklat frappé di atas rerumputan. "Makanan kamu juga belum disentuh. Mikirin apa, sih?"

"Enggak. Nggak pa-pa, kok."

Bibir dikatup rapat lagi, berlembar-lembar kertas desain setengah jadi diambil dari atas tas. Fira menghela napas, pura-pura sibuk menorehkan granit pensilnya ke atas kertas. Padahal, ia hanya berusaha mengalihkan perasaan dari pembicaraan teman satu jurusannya mengenai Arya.

"Fira, kamu pikir kamu lagi bicara sama siapa? Kamu tau sendiri kalau di antara kita nggak bakal ada yang ngehakimin kamu." Kali ini Randi yang angkat bicara.

Duduknya digeser lebih dekat, sumpit di tangan hampir saja meraup sekotak mi milik April, tetapi gadis itu dengan cepat menepis. Merasa tidak terima makanannya dibagi-bagi meski orang itu adalah seseorang yang sudah berubah status menjadi pacar kurang dari seminggu lalu. Hubungan mereka berjalan baik, meskipun sesekali harus melalui adu argumen panjang hanya untuk masalah pesan minuman misalnya. Namun hanya sebentar, setelahnya mereka pasti akan saling melempar lelucon lagi.

"Punya kamu, kan, ada, Ran. Jangan ganggu orang, deh." Itu katanya dengan mulut yang masih sibuk mengunyah. Netra April berkilat-kilat tak suka.

Salah satu atau mungkin satu-satunya bagian dari kampus yang paling Fira suka adalah padang rumput yang menghampar terlampau lebar di samping perpustakaan. Ada pohon pinus yang umurnya sudah lumayan tua, batang utamanya juga mengelupas, cocok untuk tempat bersandar dan berteduh ketika teriknya panas sedang merajalela. Kolam ikan yang permukaannya tak pernah absen dihiasi ganggang berada tak jauh, mungkin sekitar lima meter saja.

Dari banyak tempat ramai, tempat ini adalah yang paling nyaman. Orang-orang barangkali masih ada yang berlalu lalang melalui paving block yang disusun setapak saja. Namun di sini, Fira merasa penuh kedamaian. Ketika buah pinus berjatuhan, gelisahnya seolah ikut meluruh bersamaan.

"Menurut kalian, kalau Arya ngajak balikan, itu hal yang bagus atau justru buruk?" Kertas desain kembali dianggurkan ketika Fira membuka ucap yang terdengar sedang menahan putus asa. Tangannya berusaha menggapai satu-satunya cangkir yang belum disesap, tetapi manik kecoklatan itu menatap lurus pada kolam.

"Dia ngajak kamu balikan?" Tanpa menoleh, Fira juga tahu kalau April pasti sedang membelalak. Bahkan Randi saja tersedak. "Emang udah putus dari Kak Laura?"

Secangkir coklat frappé akhirnya disesap juga. Hangat, meleleh dari lidah menuju tenggorokan. Cuacanya memang tidak sedang dingin, tetapi menyesap dengan es malah membuat dadanya sakit. Tidak tahu mengapa, tetapi itu pasti saat kepalanya sedang memikirkan kejadian akhir-akhir ini yang kalau menyangkut Arya pasti selalu berakhir pedih.

"Emang nggak secara gamblang, sih. Cuma kalau bilang masih sayang, bukannya itu sama aja?" Fira mengangkat bahu singkat. Matanya tak lagi menatap kolam, sudah beralih menunduk melihati buah pinus yang jatuh tak jauh dari tempatnya duduk. "Soal hubungan dia sama Kak Laura, aku nggak tau."

"Sejak kapan?"

"Oh, itu makanya aku selalu ngeliat Arya kemana pun kita pergi di sekitaran kampus ini?"

"Kamu masih sayang sama Arya?"

Fira pusing, kedua pasangan di depannya malah bertanya dan berspekulasi bergantian. Mahasiswi jurusan tata busana itu mendesah panjang, menyesap lagi coklat dari cangkirnya. Meletakkan agak grasak-grusuk di samping kotak stirofoam berisi mi goreng yang belum disentuh.

"God, aku nggak mau ngerusakin hubungan orang lain." Ada nada frustrasi yang terselip di kalimatnya. "Udah cukup aku aja yang sakit. Kak Laura itu orang baik."

"Emang kamu pikir kejadian di bandara waktu itu sama sekali nggak ngejelasin kalau kejadiannya ternyata cuma rekayasa?" Deru angin menjatuhkan lebih banyak buah pinus, beberapa berjatuhan di atas tas mereka yang teronggok saja di atas rerumputan. Randi melanjutkan setelah meletakkan kotak stirofoam berisi mi yang tinggal tersisa setengah. "Kenapa juga mereka harus pelukan di bandara sementara mereka juga datangnya sama-sama? Gimana kalau sebenarnya, Kak Laura yang bikin hubungan kalian kayak gini?"

Zhafira tercenung, cukup lama. Skenario seperti itu tidak ada dalam pemikirannya sama sekali. Namun begitu adik tirinya mengutarakan, ia jadi memikirkan. Kalau memang benar pelukan itu hanya untuk menghancurkan hubungan tanpa sepenggal ucap, lantas mengapa sekarang Arya mengejarnya seperti orang gila yang akan mati esok hari?

"Aku pikir, kalian tau sendiri Kak Laura orangnya gimana. Selama kita temenan, nggak ada satu hal buruk yang terjadi. Malah dia ngebantuin."

Jauh di dalam hatinya, Fira skeptis. Ia tahu sendiri kalau di dunia ini tidak ada orang yang benar-benar baik. Apa pun tindakannya, pasti ada motif terselubung yang barangkali bisa menjatuhkan orang lain juga.

"Oke, jadi intinya kamu masih sayang, nggak, sama Arya?" April mendesak tanya setelah kotak stirofoamnya kosong, beralih menyesap cangkir coklatnya singkat. "Aku nggak peduli soal kamu mau balikan sama dia atau enggak."

Aku masih sayang sama Arya, batinnya. Tapi dia udah jadi milik orang lain, April. Meski ia tahu sebenarnya tak masalah jika kalimat itu terlontar, Fira berakhir menelan kembali. Mengganti dengan kalimat lain. "Aku ... aku nggak tau. Aku pusing."

Gadis itu menyusun lembar yang berjatuhan atas rumput, memasukkan dengan cepat ke dalam ransel putihnya. Kepalanya kalang kabut, belum lagi jalan setapak yang tak jauh dari sana semakin ramai dijejaki. Ia tak pernah setakut ini pada keramaian sebelum dengung pembicaraan soal dirinya, Arya, dan Laura menyebar cepat. Entahlah jika April dan Randi juga mengetahuinya.

"Kalau kalian masih ada kelas, bagusnya kalian langsung masuk. Aku mau cari udara segar atau bakal langsung ke butik aja."

"Tunggu, Ra!"

Kaki yang bersila hampir ditekuk bangkit ketika tiga macam suara menghentikannya. Tunggu, tiga? Dari jalan setapak paving block, sepasang kaki berderap mendekat, menginjaki rerumputan lalu berakhir duduk di samping Fira dan dihadapan dua insani lain yang sedikit terbengong.

"Bisa, nggak kamu di sini dulu? Banyak yang perlu aku bicarain sama kamu." Arya berucap rendah, singkat, tetapi tepat membuatnya membeku dengan tatap yang terlalu lama. Dengan tangannya yang ditahan, Fira seolah sedang dipaksa untuk menyelami iris segelap danau itu.

Namun, ketika kaki-kaki diayun agak gaduh, Fira tersentak. Paving block semakin ramai. Para mahasiswa seolah sedang sengaja berhenti di tikungan itu untuk melihat drama apa yang sedang dilakonkan Arya dan Fira. Gadis berkucir itu melepas paksa cengkeraman tangan Arya. Pergelangannya tangannya merah jambu.

"Seharusnya nggak ada lagi, Arya. Aku nggak punya waktu." Fira menjeda dengan hela napas panjang. Menatap bergantian pada Randi dan April yang masih memilih jadi pajangan saja. "Kalau kamu mau, kamu bisa bicara sama mereka aja. Maaf."

"Fira, tolong. Sebentar aja."

Zhafira hampir bangkit lagi, ranselnya juga telah disandang. Namun, cengkeraman tangan Arya kembali menahannya. Dengan sudut mata dan rongga dada yang terus berdebar, gadis itu memilih mendengarkan dulu apa lagi yang akan dikatakan Arya. Ia juga tak mau melewati orang-orang yang menganggap dirinya sebagai perusak hubungan orang lain.

Ke mana juga perginya Laura? Kalau Fira tidak salah, ia hampir tidak pernah berjumpa tatap dengan gadis itu beberapa waktu terakhir. Sepertinya sejak insiden Arya dan Randi saling memukul.

"Kamu seharusnya bawa Kak Laura juga ke sini," katanya dingin. "Orang-orang mulai ngolok aku karena kamu yang berubah jadi keras kepala." Ketika Fira memberi tanda dengan lirikan matanya, ketiga insani itu menoleh pada jalan setapak tak jauh dari sana. Para mahasiswa yang tadinya berkerumun lantas memilih membubarkan diri dengan cepat dan berjalan tergesa.

"Maaf soal itu." Arya menunduk, air mukanya tengah memaku rasa bersalah. Cengkeraman tangan melonggar, laki-laki itu berakhir mengusap pergelangan tangan Fira yang semakin memerah. "Tapi aku bakal beresin semuanya, Zhafira. Dan Kak Laura ... dia nggak ada sangkut pautnya sama kita."

Zhafira Freya tidak tahu mengapa nada bicara yang terdengar putus asa, usapan lembut di tangannya, dan air muka yang terlampau banyak menampung resah itu membuat gadis itu hampir luluh. Tidak ada perandaian apa pun, Fira memang sudah telanjur jatuh terlalu jauh.

"Nggak ada maksud kamu gimana?" Meskipun tidak sengaja, Fira memang sudah frustrasi sejak awal Arya kembali dengan kekasih baru. Namun, laki-laki ini sepertinya tidak punya perasaan. Membuat banyak hati terombang-ambing tanpa labuhan. "Kamu masih ada hubungan sama dia, Arya. Seisi kampus juga tau kalau mau pacaran sama Kak Laura. Ini salah, Ya. Nggak ada dari semua tindakan kamu yang bisa dibenarkan kalaupun alasannya kamu masih sayang."

"Kamu bener." Napas dihela terlalu panjang. Arya mendongak, balas menatap manik Fira yang memerah, hampir tergenang. Laki-laki itu menoleh singkat pada Randi dan April yang seolah memilih bungkam dan membiarkan Arya dan Fira menyelesaikan masalah tanpa membawa orang lain. Mereka memutuskan bercakap dengan bisik, menyesap coklat frappé, atau lanjut memakan mi dari kotak stirofoam milik Randi.

"Aku minta maaf. Ini memang udah salah dari awal." Tangan yang mengusap tadi beralih menggenggam jemari. Ada hangat lama yang mencoba bernostalgia. Fira tiba-tiba disesaki rindu yang nyatanya tak lagi pernah terjamah. Dan di saat itu, ia ingin menjatuhkan banyak air mata ketika sepasang manik menatap dengan kilat-kilat yang memancarkan cinta. "Aku pengen kita mulai lagi, Zhafira. Kita bisa tanam lagi kambojanya, masih banyak jam yang bisa mulai dihitung, atau kalau kamu mau, kita bisa cari cemara laut. Kita---"

"Arya, aku nggak bisa," potong Fira cepat. Ia tak ingin, tak mau jatuh pada lubang dengan gelap yang terlampau pekat. Genggaman dilepas, dingin kembali meranggas. Jauh di sudut hatinya, Fira hanya takut pada janji. Cemas jika ucap pada akhirnya tak pernah berakhir tertepati.

"Kenapa kamu nggak ngasih aku kesempatan?"

Kerut di antara dahi Arya semakin kentara. Binar harap-harap di mata juga ikut musnah. Perginya pasti bersama angin yang tak henti membawa resah. Arya seolah sedang bertarung dengan perasaan sakit yang tak sudah-sudah.

"Karena ada Kak Laura, Arya." Kalau memang Arya masih berperasaan, ia pasti tahu kalau ada raung keputusasaan yang tersirat dari suara Fira yang gemetaran. Mata Fira sudah memerah, tetapi ia terlalu kuat untuk menjatuhkan tangis hanya untuk jatuh yang sia-sia. "Berapa kali harus aku ingetin kalau kamu udah punya pacar. Kenapa kamu suka banget mainin perasaan orang lain? Aku nggak masalah kalau tempat aku udah digantiin orang lain. Tapi kamu nggak bisa menyamaratakan tempat untuk untuk dua orang berbeda."

Untuk beberapa saat, hening menyelimuti suasana yang kian pekat dengan warna biru. Terlampau gelap, terlalu pekat, dua insan tengah tenggelam tanpa bisa selamat. Berharap, ada pegangan yang bisa menarik keduanya keluar tanpa cacat. Namun, tidak ada perasaan jatuh yang indah bahkan untuk perasaan bernama cinta sekali pun.

"Ada banyak cara untuk membuat seseorang kembali tanpa paksaan. Kamu seharusnya jelasin kenapa Fira harus nerima kamu lagi. Ada konsekuensi, Ya. Di satu sisi ada Fira, di satu sisi ada Kak Laura. Mau nggak mau, kamu harus milih." Randi yang menengahi. Meskipun memang terkesan membela kakak tirinya, tetapi perlakuan Arya memang tak dapat dibenarkan. Berdiam diri saja menatap adu mulut kedua insan itu membuat Randi jenuh juga.

Arya harus tahu hal itu, ia tidak boleh egois. Sayangnya yang selama ini Fira tahu adalah kalau laki-laki itu tidak ingin melepaskan genggamannya pada tangan mana pun. Zhafira pikir selama ini Arya adalah orang yang paling bijaksana dari tiap insani yang pernah ia temui. Ternyata laki-laki itu masih membawa sifat kekanak-kanakannya dari London sana.

Belum lagi, Zhafira malah menyayangkan diri sendiri. Di saat seperti ini pun ia masih juga terus jatuh untuk orang yang sama. Seolah tidak ada jalan kembali ketika manik mata serupa jelaga membawanya tenggelam terlalu lama.

***

where could i move on to,
my heart is set on you.
how many times i try to move forward,
i end up going backward.
i've tried to move on
but no matter how hard i try
i move in circles
because my heart can't be moved even a little.
[1]

***

[ to be continue ]

--[24/08/21; 22.03]--
--[09/09/21]--

[1] Terjemahan bebas untuk penggalan lirik milik Bright Vachirawit - ไปไหน (Unmovable)

...

Halo? Bagaimana kabarnya?
Menunggu Arya-Fira baikan? Haha, jangan harap. Ups-!

Sampai jumpa di bab selanjutnya. Jangan lupa bahagia dan tetap jaga kesehatan! ♡

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top