[fh · 35] - don't lose hope, it comes when you believe they will come

Awal Maret, 2022.

Nugroho, umurnya empatpuluh tiga ketika ia baru saja diberhentikan menjadi karyawan sebuah pabrik pembuatan mesin fotokopi. Alasannya karena penjualan sedang menurun dan mereka harus mengeluarkan beberapa pekerja, pria itu salah satunya.

Ia sempat frustrasi untuk beberapa waktu. Hampir dua bulan pria itu duduk di rumah dan membiarkan sang istri yang bekerja di sebuah ekspedisi pengiriman barang. Rasanya, ada bagian dari dirinya yang merasa direndahkan. Kodratnya adalah laki-laki yang mencari nafkah, dan perempuan yang mengurus rumah. Bukan sebaliknya seperti ini.

Jadi ketika temannya dari luar kota menelepon kalau ada perusahaan yang sedang mencari pekerja, Nugroho tanpa pikir panjang mengayunkan langkah dengan ringan begitu saja. Dengan bangga, dengan bahagia, dengan harap pula ketika nanti sekembalinya, ada kabar baik yang bisa diterima keluarga kecilnya. Fira, anak dan putri semata wayangnya, ia akan mencari banyak pundi-pundi uang agar gadis itu bisa sekolah sangat tinggi.

Ketika langkah seseorang mengayun, pergi, menjauh dari rumah, ia tidak akan tahu apa yang akan dihadapi ketika jejak-jejak di atas tanah selesai ditapaki. Kemalangan menimpanya terlalu cepat. Nugroho sedang mengendarai motornya di malam itu, jalanannya memang licin karena hujan mengguyur sepanjang sore. Ia paham sekali bagaimana seharusnya berkendara dengan baik dan benar, tidak melebihi batas kecepatan 40 Km/jam, tetapi entah mengapa saat itu ada sepeda motor lain yang jalannya seperti tak tentu arah. Nugroho mengetahui dari lampu sorotnya yang bergerak sana-sini. Melewati jalur lawan arah pula.

Matanya silau ketika lampu itu tepat menyorot wajahnya, lantas kemudian kedua sepeda motor saling beradu dan membelokkan diri. Nugroho berbelok ke arah kiri dan menabrak batu besar di tepi jalan, sedangkan pengendara yang sepertinya mabuk itu beralih ke jalur lawan arah dan beradu dengan truk pembawa kayu gelondongan. Sebelum semuanya tampak gelap ketika kepalanya dihantam rasa sakit akibat membentur batu sebab tidak mengenakan helm, matanya menangkap darah yang mengalir tak seberapa jauh dari truk pembawa kayu.

Ketika bangun, hidungnya mencium bau obat-obatan, bunyi mesin pendeteksi detak jantung, dan ruangan yang serba putih. Kepalanya pening, denyut di mana-mana. Di saat itu, Nugroho baru sadar kalau ia tidak ingat apa pun bahkan namanya sendiri.

Seorang wanita, mungkin berusia sekitar empatpuluh tahunan, mengayunkan langkah pelan ke arahnya. Menatap dengan mata sembab dan wajah memerah padam dengan menggandeng seorang laki-laki muda, seumuran putrinya.

Wanita itu menangis tersedu-sedu, meminta maaf sebab suami telah menyebabkan kecelakaan dan hilangnya ingatan Nugroho. Padahal sebenarnya yang paling parah adalah suami dari wanita itu. Dia tewas di tempat karena kakinya terlindas ban truk.

Ia bilang, wanita itu yang akan menanggung semua biaya pengobatan hingga Nugroho sembuh. Itu adalah kali pertama ia bertemu dengan Dewi, wanita yang dinikahinya setahun kemudian, juga serta-merta membawa anak itu, Randi, menjadi putra tiri.

Pernikahan pada dasarnya sebagai perlindungan semata. Nugroho tinggal di rumah Dewi dan bekerja karena dicarikan oleh wanita itu juga. Belum lagi, Randi tampak membutuhkan seorang ayah yang menyayanginya. Mereka lantas merekatkan ikatan dengan pernikahan, membungkam mulut semua orang karena terlalu merendahkan Dewi.

Setahun lalu, Nugroho mendapatkan ingatannya. Ia tidak memberitahu siapa pun termasuk sang istri dan anak. Tidak ingin menambah pikiran mereka, pikirnya. Sejak pertama kali bangun dari ranjang rumah sakit, yang pria itu cari adalah anaknya, Fira tentu saja. Namun, karena ia hanya mengingat nama panggilan saja---Rara---Dewi dan Randi kesulitan untuk ikut membantu. Soal namanya saja, ia tahu dari tanda pengenal yang terselip di dompet. Foto putrinya ada, tetapi itu adalah potret ketika Fira berusia lima tahun.

Lantas ketika ingatannya telah kembali, pria itu menyinggahi banyak tempat. Mencari keberadaan putri dan istrinya ke tempat dulu mereka tinggal. Namun, nihil. Kedua perempuan itu tidak lagi tinggal di sana, orang-orang bilang sudah pindah sejak lama. Itu hanya pencarian awal. Setelahnya, Nugroho mulai mengelilingi kota dan bertanya pada banyak orang di sela-sela waktu seusai bekerja di kantor.

Namun kemudian, semesta telah menyiapkan pertemuan di waktu yang tepat. Nugroho mencari jauh sekali, ke seluruh penjuru tempat antah-berantah, tetapi ternyata putrinya dekat sekali. Bekerja di tempat Dewi sebagai karyawan baru, teman dekat dengan Randi pula. Begitu sempit dunia dan pria itu tidak menyadari. Terkadang manusia mencari terlalu jauh, menggali terlampau dalam, hingga tak sadar jika sesuatu ada di dekatnya, tengah menunggu digapai secepatnya.

Ada apa sebenarnya dengan semesta? Mengapa selalu menyediakan suasana yang tepat untuk para insan menyaru bersama? Ketika suka menaungi, langit memangku cerah mentari dengan senang hati. Lantas ketika duka menyelimuti, nabastala juga ikut menurunkan air mata untuk menghapus perih.

Ada begitu banyak ucap yang ingin diutarakan, ada berjibun amarah yang hendak menghanguskan, tetapi Zhafira Freya pada akhirnya hanya bisa menangis sesenggukan. Selama empat tahun berlalu, gadis itu nyaris tak pernah menangis kala mengetahui ayahnya pergi begitu saja. Alih-alih menenangkan bundanya yang sedang meratapi, ia hanya duduk di sudut ruangan saja; memeluk lutut dengan bibir bertahan membisu, bertanya pada semesta kira-kira apa lagi yang sedang mereka siapkan.

Terkadang, sempat terbesit di kepala; Fira sebenarnya sedang berlatih untuk menjadi seorang tanpa emosi atau memang terlalu lemah untuk menangis? Sekarang ia menemukan jawaban. Orang-orang menangis bukan karena mereka lemah, tetapi sedang meluruhkan macam-macam hal yang membuatnya lemah untuk menemukan kekuatan keesokan hari. Fira baru menyadari, dulu sekali ia sangat lemah, terlebih tidak ada sosok ayah di sisinya. Bahkan untuk mengeluarkan setitik air mata untuk ayahnya saja ia tidak bisa.

Namun sekarang, di hari keempat Maret, ketika hujan tiba-tiba mengguyur kota dengan intensitas sedang, Fira memilih menangis sejadi-jadinya. Menumpahruahkan seluruh kerinduan dan kelemahannya. Selain bundanya, sang ayah adalah kekuatan lain dari Fira. Hari ini ia menemukannya, jadi gadis itu akan meluruhkan macam-macam lemahnya untuk menjemput kekuatannya yang lama hilang.

"Kamu baik-baik aja, kan, Sayang?" Suara parau Nugroho berusaha menghapus bunyi isak yang sedari tadi terus mengudara bersama derasnya hujan di luar jendela. Pria itu baru saja melepas peluknya, mengusap pipi sang putri yang terus-menerus menganak sungai. "Maafin, Ayah. Maafin Ayah karena udah pergi. Maafin Ayah karena nggak pernah nyari kamu sama bunda. Maafin Ayah karena---"

Lisannya terpotong akibat dekap yang datang terlalu tergesa. Ia menangis ketika mendengar raungan Fira di dadanya. "Makasih udah balik, Yah. Makasih karena masih inget sama Rara."

Dekap hangat ini, cinta yang terlalu banyak yang tercurah bersama hujan di sini, Fira berharap tidak ada hari buruk lagi yang harus dilalui. Sudah cukup, gadis itu lelah. Seharusnya Fira memang berterima kasih pada semesta. Ketika ia sedang merelakan kepergian bundanya, sang ayah kembali hadir dengan membawa banyak cinta yang hilang terlalu lama.

Kedua insani itu saling melepas peluk. Meski aliran air mata yang memanjang di wajah masih menghiasi, keduanya sama-sama melempar senyum. Sarat akan maaf dan terima kasih bersamaan, cinta yang lama tenggelam, dan harap untuk tetap bertahan.

Kedua tangan Fira digenggam erat. Gadis itu bahkan tidak ingat kapan terakhir kali mereka saling bertatap, menggenggam erat seolah tak ingin kehilangan, dan sesenggukan bersama seperti ini. Fira rasa ... tidak pernah sama sekali. "Ayah janji nggak akan pergi lagi. Kita mulai dari awal lagi, ya. Nggak ada yang harus pergi setelahnya. Oke, Sayang?"

Air mata jatuh lagi di pipinya, dengan cepat Nugroho mengusap pipi Fira. Gadis itu mengangguk, tersenyum bahagia, tetapi air mata yang turun malah semakin deras. Tangan Nugroho yang menyentuh pipinya digenggam erat, seolah sedang mengisyaratkan sedang memegang janji yang baru saja terucap. Bersemoga bersama hujan dan guntur di luar jendela agar tak ada janji yang harus menjadi ingkar lagi.

"Ayah juga rindu sama bunda, Ra." Pria itu beralih menghapus air matanya sendiri, tetapi menggenggam tangan putrinya lagi. "Dia bakal dateng juga ke sini? Atau kamu mau kita langsung samperin bunda ke rumah? Ayah laper, pengen makan masakan bunda lagi."

Nugroho terkekeh kecil, kepalanya menoleh pada meja kaca yang di atasnya teronggok dua cangkir teh. Asapnya tak lagi terlihat mengepul, sepertinya sudah dingin karena tidak ada satu pun dari mereka yang menyentuh.

Hari ini seharusnya adalah hari yang baik sebab Fira kembali mendapat cinta seorang ayah. Namun, langit masih bersitahan memangku mendung dan hujan berkepanjangan. Bersamaan dengan itu, semesta seolah berisyarat jika ada celah lain yang tengah membuka luka.

Fira sama sekali tak ingin menghilangkan senyum di wajah itu. Sudah lama sekali sejak terakhir kali dan ia hanya ingin mendengar tawa ayahnya lagi tanpa perlu menangis lebih banyak. Namun, membuat senyum dengan kebohongan tidak akan membuat bahagia bisa bertahan lama. Suatu hari, akan ada satu hal yang mematahkan riang, mengganti dengan luka-luka lebih dalam yang tak terhindarkan.

"Yah ...," panggil Fira, lirih, suaranya sengau. Nugroho menatapnya lagi, senyumnya luntur ketika melihat tidak ada senyum yang dipangku sang anak. Manik berkilat penuh luka dan bendungan di sudut mata kembali berjatuhan. "Bunda udah pergi. Dia udah tenang di sana."

Pria paruh baya itu membuka dan mengatupkan mulutnya beberapa kali. Ia bingung, tetapi matanya yang membendung menjatuhkan beberapa bulir air mata lagi. Putrinya ditatap lama, lantas dengan cepat didekap erat lagi. Nugroho bahkan menangis lebih kencang dibanding Fira.

"Makasih udah bertahan sampai di sini, Sayang. Makasih banyak," ucap laki-laki itu di sela isak yang kembali membaur bersama hujan yang kian menderas. Tangannya mengusap lagi kepala Fira, memberi hangat dan kasih sayang yang barangkali hampir menyerupai milik sang bunda. "Kamu kuat, Rara. Kalau bunda kamu bisa jadi ayah, ayah juga bakal coba jadi bunda buat kamu."

Zhafira membenamkan wajahnya di dada sang ayah, memeluk erat-erat pinggangnya, mencium aroma khas itu dalam-dalam agar ia ingat, kalau nanti ia pergi lagi, ada yang masih gadis itu ingat selain kenangan yang indah. "Jangan pergi, Yah. Jangan pergi lagi."

Kepala diusap lembut, turun ke punggungnya, hendak memberi banyak kenyamanan dan ketenangan di waktu yang bersamaan. "Enggak, Sayang. Ayah nggak akan pergi sebelum waktunya datang. Ayah di sini, jaga kamu kayak bunda waktu itu."

Zhafira merasakan jika dadanya hangat, musim semi dengan cepat meranggas ke seluruh penjuru bilik hati yang barangkali telah kering kerontang. Ada yang patut disyukuri dari hujan yang turun dari matanya, macam-macam tumbuhan dengan bunga yang indah yang semerbak wangi yang menguar ke mana-mana sedang berlomba-lomba memenuhi hatinya.

Sementara dari sela-sela tirai berwarna serupa dengan sofa; pembatas antara ruangan khusus bersantai untuk pemilik toko dan jejeran pakaian di luar, dua insani mengintip. Memang tidak ikut menangis, tetapi keduanya sama-sama merasakan hangat yang sama dengan apa yang dirasakan Nugroho dan Fira.

Tirai disibak lembut ketika Fira dan Nugroho saling melepas peluk. Kedua insani yang duduk di sofa itu menertawai wajah masing-masing yang terlalu banjir dengan air mata. Berbagai emosi negatif luruh, cepat-cepat berganti dengan kelegaan luar biasa.

"Mulai sekarang kamu bisa tinggal sama kami, Ra." Lisan mengudara bersama langkah-langkah yang dijejaki mendekat. Kedua insani yang duduk segera bangkit, balas tersenyum hangat pada dua insan lainnya yang saat ini sudah saling berhadapan. "Tante memang nggak bisa jamin kalau kamu bakal ngerasain kasih sayang yang sama kayak yang dulu bunda kamu kasih, tapi Tante bakal berusaha untuk jadi ibu yang baik buat kamu."

Fira menghirup napas dalam-dalam, lantas mengembangkan senyum dengan mata yang sebab bekas menangis hebat. "Makasih sebelumnya, Tante. Tapi Fira rasa, Fira lebih baik tinggal di asrama aja."

"Loh, kenapa?" Bukan hanya Dewi terkejut, Nugroho dan Randi juga sama. Pria paruh baya itu bahkan menyentuh pundak putrinya agar ia mau menerima. Namun, Fira tersenyum sambil menggeleng pelan.

"Rumah itu rumah kamu juga. Tante bangunnya nggak sendiri, itu juga hasil kerja keras ayah kamu. Kamu juga berhak tinggal di sana. Jangan sungkan, ya," lanjut Dewi, hendak membujuk lagi.

"Bukan masalah itu, Tante." Ia menggeleng pelan lagi, berjalan mendekat, dan menggenggam tangan Dewi. "Fira udah nempatin asrama di kampus. April juga di sana. Kalau Fira pindah, nanti dia nggak ada temennya." Raut kecewa tergambar, Fira buru-buru menambahkan agar wajah sumringah itu tak lekas tenggelam. "Mungkin, nanti aja kalau Fira udah lulus kuliah. Atau kalau nanti liburan, Fira bakal tinggal di sana."

Benar saja, senyum di wajah Dewi makin mengembang. Ia menatap tiap-tiap manusia di dalam ruangan itu agar ikut memasang raut riang. "Janji?" Fira mengangguk meyakinkan. "Jadi mulai sekarang, kamu jangan panggil Tante lagi, ya. Kamu bisa panggil Mama kayak Randi karena sekarang Mama udah punya anak cewek!"

Zhafira mengangguk, hampir tertawa. Namun, ia berakhir dengan tersenyum saja.

Haru biru dengan sisa-sisa tangis terlalu cepat habis, hujan lekas-lekas mengganti dengan macam-macam semerbak bebungaan yang baru mekar dan petrichor yang menguar di mana-mana. Senyum-senyum mengembang, meranggas, lantas menyelimuti ruang.

"So ..., kita sekarang udah berubah status jadi adik kakak, ya?" Alih-alih menatap Fira dengan senyum jenaka, laki-laki muda itu malah memandangi langit-langit ruangan pandangan menerawang jauh. Singkat saja, sebelum akhirnya Randi membalas tatapan Fira yang sama masih tidak percaya. "Aku nggak pernah membayangkan kalau kita bakal jadi kayak gini."

Dunia sempit sekali, itu yang terlintas pertama di benak Fira. Ia tertawa singkat, lirih, dan sengau. "Semesta punya banyak kejutan, ya. Ajarin aku buat jadi kakak yang baik."

Kepala Fira diusap perlahan, Randi tersenyum. Jelas sekali tengah mencoba untuk menjadi saudara yang baik. Gadis itu tertawa beriring bersama Nugroho dan Dewi. "Oke, Kak. Ajarin aku juga jadi adek, ya."

Fira berlega hati karena telah mendengarkan Randi yang April kemarin untuk memikirkan kembali pertemuan dengan ayahnya. Mengambil keputusan dengan cepat pula untuk jumpa setelah sekian lama. Tidak ada yang nihil. Selain menemukan jawab, Fira juga menemukan keluarga baru. Memang tak akan sama seperti keluarga lamanya, tetapi gadis itu sedang menemukan rumah baru tanpa melupakan rumah lama.

"Tugas kamu banyak, nggak, Ra? Gimana kalau nanti malem kita makan bareng di rumah? Nyambut anggota baru dalam keluarga." Randi berceletuk ketika langkah-langkah diayun keluar dari ruangan melewati tirai. Keempat orang itu saling bergandengan, seolah takut kehilangan lagi.

Nugroho bergumam panjang. "Gimana, Sayang? Udah lama juga kita nggak makan bareng."

Pria itu merangkul putrinya, menoleh. Fira melongok pada ayahnya yang lebih tinggi, mengangguk antusias dengan senyum mengembang.

Makasih, Tuhan. Senyum itu hampir tak urung luntur. Tiap-tiap langkah yang dijejakkan, Fira merasakan hangat yang menyapa. Patah tumbuh, hilang berganti. Harap-harapnya terkabul terlalu banyak, semesta baik sekali. Namun, gadis itu masih tak puas juga. Singkat saja ia menutup mata, berharap lagi semoga bahagia ini akan menjadi selamanya.

***

[ to be continue ]

--[11/08/21; 21.45]--
--[07/09/21]--

...

Halo! Bagaimana kabar kalian? Semoga bab ini tidak mengecewakan:)))
Jangan lupa terus jaga kesehatan, ya. Luv ya! ♡

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top