[fh · 33] - all you need is a reason to keep on standing tall
Agustus 2021 - Februari 2022.
"Tuan Anthony itu investor terbesar di perusahaan kita. Tapi, dia juga punya perusahaan besar di London. Jaga attittude kamu depan dia dan anaknya. Sebentar aja kamu sabar dan jadi anak baik, kamu bakal dapet bagian besar di perusahaan mereka. Dan setelahnya, Papa bakal janji bakal ngebiarin kamu ngelakukan apa pun."
Bait-bait itu dibiarkan diputar terus-menerus di dalam kepala, serupa dengan denging pelantang suara yang menyakiti telinga. Kala itu, Arya tidak mengeluarkan sepatah kata. Membiarkan dirinya larut perlahan dalam perintah yang nyatanya memang tidak bisa dibantah sedikit saja.
Apa yang bisa laki-laki muda itu lakukan? Ia hanya belajar menjadi anak yang baik. Menaati semua perintah ayahnya meskipun ia sendiri tidak terima, begitu, kan? Begitu macam-macam ucap sudah tersusun di kepala, bersiap dikeluarkan ketika berada di pangkal tenggorokan, ayahnya pasti buru-buru membungkam dengan beragam bait-bait ancaman. Ucap yang telah disusun sedemikian rupa sayang sekali lantas harus kembali tertelan.
Ide untuk membuat Fira datang ke bandara sebenarnya gagasan yang sangat-sangat buruk. Meskipun sebenarnya ia ingin memeluk---atau setidaknya saling berbagai tatap saja---untuk yang terakhir kalinya barangkali, tetapi kekhawatiran lebih banyak mengisi dadanya. Arya takut, kalau nanti ayahnya bertemu Fira, pria paruh baya itu akan menyakitinya.
Jadi sebenarnya, berbicara singkat melalui gawai itu seharusnya lebih dari cukup. Sayangnya, Arya masih belum tahu kalau panggilan yang dilakukan sebelum lepas landas mungkin akan menjadi panggilan terakhir untuk waktu yang lama. Hingga hari itu, ketika Arya baru menyadarinya.
"Nggak ada ponsel buat kamu."
Gawai dari saku celananya baru saja dikeluarkan. Selepas sampai di apartemen yang jauh hari sudah dipesan ayahnya, Arya tentu ingin menghubungi kekasihnya. Mengabari kalau setidaknya ia baik-baik saja. Namun, bahkan belum sempat layarnya dihidupkan, Andra lebih dulu merampas.
"Tapi, Pa---"
"Nggak ada panggilan apa pun yang bakal kamu lakuin atau terima," sergah si pria paruh baya. Tegas, dingin, dan akan selalu terdengar tak terbantahkan.
Gawai rampasannya disembunyikan di balik tubuh bersama tangan yang lain. Matanya nyalang, menatap pada sang putra yang napasnya tak beraturan dengan binar-binar yang hampir memudar. Ada macam-macam harap yang hilang ketika mata Arya tak lagi bisa melihat benda pipih miliknya itu.
"Kalau ... kalau aku pengen ngehubungin Mama?" Tiap kata yang lolos dari bibirnya tak lebih keras dari sekadar bisik. Arya menatap ayahnya dengan mata yang terlalu gelap, serupa dengan hilangnya berbagai harap. Ia terbata-bata, tetapi berusaha agar tidak begitu. Sedemikian itu, ia ingin sang ayah mengembalikan apa yang seharusnya menjadi hak Arya.
Tatapan dingin di wajah yang hampir menua itu menghujaminya terlalu lamat. Arya pikir, ia sudah terlihat seperti tikus sehabis ketahuan mencuri potongan-potongan keju. Laki-laki muda itu kecil, bukan bahaya yang perlu ditakuti, seharusnya bukan hal yang sulit untuk memusnahkannya begitu saja.
Namun, Andra tentu tidak akan melakukannya. Ia punya cara tersendiri. Bukan memusnahkan raga, tetapi memusnahkan jiwa. Tidak akan ada angan-angan yang digantung terlalu tinggi itu, Andra hanya akan membuat ambisinya menjadi nyata lewat Arya.
Pria paruh baya itu merogoh saku celana, mengeluarkan gawai lain yang tipenya hampir sama. Setelah menekan-nekan layar dengan ujung jarinya, ia menyodorkan kepada Arya. "Kamu tetap bisa ngehubungin Mama kamu. Maksimal sepuluh menit sehari."
"Kamu nggak akan ngehubungin siapa pun tanpa pengetahuan Papa. Nggak ada panggilan atau pesan nggak penting yang akan kamu buat atau terima."
Lagi, kalimat tak terbantahkan itu terlisankan dengan tegas. Barangkali jika Arya lupa, dinding atau perabotan apartemen mereka akan menggemakannya kembali. Kalau bisa, barangkali akan membuka penutup telinga dan menahan laki-laki itu di sana kalau suatu hari nanti ia memilih menjadi tuli dan mulai memberontak.
"Satu lagi."
Ketika ia baru saja selesai melakukan panggilan dengan ibunya, langkah-langkah berderap datang kembali. Andra masih memangku air muka yang sama, sebelah tangannya menenteng tas backpack milik Arya yang terbuka setengah.
Tas dibalik, seluruh isinya berhamburan di atas lantai keramik putih. Pensil gambar, penggaris, sketsa-sketsa bangunan, sketsa lukisan, dan cat-catnya berantakan. Napas Arya berubah tak beraturan lagi, matanya membulat, menatap tak percaya pada barang-barang tak bersalahnya.
"Buang semua sampah ini!" sentak Andra. Tas hitam dilempar sembarangan, barang-barang di atas lantai dipijak tanpa rasa berdosa. Arya sesak napas, ia hampir menangis ketika seluruh mimpi yang sengaja dibawa jauh-jauh dari rumahnya dulu harus berakhir menjadi santapan injakan ayahnya. Namun, yang bisa laki-laki itu lakukan hanya menatap dengan manik berkilat-kilat nyalang. "Kamu nggak akan ngerjain ini lagi. Nggak akan ada yang jadi pelukis di rumah kita. Kamu akan jadi pebisnis."
Suara kertas-kertas yang dipijak, pensil yang menggeretak, seperti jarum yang berusaha menyakiti telinganya. Arya bersitahan membeku, masih belum punya keberanian yang cukup. Ia hanya anak anjing yang harusnya patuh pada sang tuan.
"Papa udah daftarin kamu ke prodi manajemen. Jangan buat kegaduhan. Makin baik kamu bersikap, makin cepat semuanya selesai."
Arya tidak tahu dengan pasti mengapa, tetapi ia hanya diam dan menuruti saja. Seolah takut sesuatu yang buruk akan terjadi jika ada ucap yang sedikit saja dilanggar, ia takut seseorang akan terluka karenanya. Meski pada kenyataannya, Arya sendiri sudah terluka karena membiarkan mimpi-mimpi yang telah disusun terlalu matang itu harus berakhir gosong dan akhirnya dibuang tanpa sempat dicicip.
Arya pikir, kekangan Andra terhadapnya hanya akan berakhir sampai di sana. Namun ternyata, ayahnya itu lebih licik dari yang Arya kira. Andra menyiapkan penjaga untuk mendampingi kemana pun anaknya pergi, terutama ketika laki-laki itu tengah memegang sebuah gawai atau mencuri kesempatan untuk mencari box telepon di kota. Andra benar-benar memastikan kalau Arya tidak akan menghubungi siapa pun terutama Fira tanpa seizinnya.
Pernah suatu hari, Arya yang sudah di ambang batas kesabaran, ia berusaha mencuri gawai sendiri di laci kerja ayahnya. Sayang, laki-laki itu berakhir ditampar. Arya bertanya mengapa ia tidak dibolehkan menghubungi kekasihnya sendiri, tetapi laki-laki itu berakhir ditampar untuk yang kedua dan ketiga kalinya dalam selang waktu yang tak sampai empat detik.
"Percaya diri sekali kamu nyebut dia sebagai pacar." Andra tertawa sarkas, memilih menyamankan diri di kursi kerjanya. "Nggak ada yang salah dari gadis itu sebenarnya sampai dia datang ke hidup kamu. Dia ngeracunin otak kamu, ia bakal jadi pengaruh buruk buat kamu."
Andra tidak tahu saja, Arya telah menganggap pengaruh buruk paling besar dalam hidupnya adalah ayahnya sendiri.
Pria paruh baya itu seolah tampak baru saja pulang dari kantor, spesifiknya kantor milik perusahaan milik seorang investor terbesar di perusahaan mereka di Semarang. Ia dipercayakan untuk menjadi manajer sementara di sana. Terkadang Arya berpikir, apakah itu masih belum cukup juga? Andra sampai harus memaksa anaknya mengubur harap untuk memenuhi hasrat kepalanya yang hanya segala tentang uang dan uang. Padahal kalau dipikir lagi, semua uang yang dicarinya selama ini tidak akan juga dinikmati ketika tubuh telah menyentuh liang lahat. Namun, ketika lagi-lagi Arya mengucapkan keluhnya tentang hal itu, ia ditampar untuk yang keempat kalinya.
Lantas ketika, di hari yang mendung dan langit sedang menjatuhkan gerimis lembut, Arya merasa semesta lagi-lagi tengah memainkan perannya. Kaca jendela dari ruangan yang hampir seluruhnya biru muda itu punya ukuran yang terlalu luas, tetapi Arya merasa kalau sesuatu memang sedang sengaja menjebaknya di sana.
"Gimana kuliah kamu? Seru, nggak, di King's Collenge?" tanya gadis itu. Ia baru saja duduk di salah satu sofa yang memang sengaja disiapkan untuk para tamu di ruangannya. Ia menyilangkan kaki, menyesap pelan teh dari cangkir porselen putih yang uapnya masih mengepul-epul.
Arya tersenyum sedikit, kaku. Matanya melirik singkat pada gelas porselen lain yang teronggok di atas meja kaca yang memisahkan sofa mereka. Ia dan Laura tidak pernah duduk saling berhadapan seperti ini sejak pertama kali bertemu, tepatnya dua hari setelah kedatangan dari London. Namun, ketika perjodohan mereka ditetapkan, kedua ayah dari pihak masing-masing ingin Arya dan Laura lebih sering berbincang empat mata.
"Enggak?" Gadis dengan surai hazelnut itu agak membelalak, barangkali terkejut. "Kamu nggak nyaman di sana karena budaya yang nggak sama atau karena ... previlege [1]?"
Gadis itu tertawa singkat, sama sekali tidak terdengar menyakiti, benar-benar seolah berniat ingin memecah canggung di antara mereka. "Maaf, maaf."
Melihat reaksi anggukan dari Arya, gadis itu membelalak lagi. Cangkir porselen diletakkan kembali di atas meja kaca. "Eh? Maksud kamu dua-duanya? Kenapa?"
Gantian Arya yang sekarang menderaikan tawa. Meskipun masih terdengar sedikit canggung, laki-laki itu berusaha sekeras mungkin membuat suasana di sekitar mereka mencair. Bukan karena gadis di depannya ini adalah ... ya ... secara spesifik adalah calon tunangannya, tetapi karena Arya menghormati Laura sebagai seorang kakak.
"Ya, sebenarnya nggak ada yang suka dipaksa." Laki-laki itu berakhir mengulum bibirnya. Manik-manik serupa danau lantas mengalihkan tatap pada jendela kaca yang basah dengan titik-titik air.
"Secara keseluruhan, kamu nggak suka kalau harus pindah ke sini. Spesifik yang lain, kamu juga nggak suka sama perjodohannya."
Punggung disandarkan dan tangan dibiarkan saling bertaut di atas lutut. Ucapannya yang sama sekali tidak menyudutkan membuat Arya menundukkan pandangannya.
"Aku pikir semua orang nggak suka dijodohin, Kak." Arya mengembuskan napas agak panjang. "Semua orang punya hidupnya, punya cintanya, tapi ...."
"Kamu punya pacar? Masih berhubungan baik, nggak?"
Jawaban dari Arya hanya sekadar helaan napas yang terlalu panjang dan lelah. Keputusasaannya dalam menghubungi kekasih sendiri mungkin akan terlihat sangat pekat, membubung tinggi dan ikut menyelimuti juga ruangannya.
Gadis berdarah campuran itu bergerak sedikit rusuh hingga kakinya menyentuh ujung meja kaca. Cangkir porselen berderit bergeser, tetapi isinya tidak tumpah. Laura merogoh isi tas hitamnya dan mengeluarkan sebuah benda pipih dan berusaha mengangsurkannya pada Arya.
"Aku tau apa yang terjadi sama kamu, Arya." Gadis itu menjeda singkat dengan mata yang bergulir ke satu-satunya pintu di ruangan itu. "Kamu nggak dibolehin ngehubungin dia. Aku mau bantu kamu."
Arya Alvaro linglung. Ia tidak mengerti harus menggapai ponsel itu dengan cepat atau menolak dengan alasan ayahnya akan mengamuk besar. Yang Arya tahu, ini hanya sedikit salah. Laura, gadis ini punya hati seperti apa? Bagaimana bisa ia dengan mudahnya membiarkan Arya menghubungi kekasihnya?
Laki-laki itu menggeleng samar, melirik sebentar gawai yang melayang itu. "Ini nggak bener, Kak. Kalau pun aku emang mau ngehubungin dia, seharusnya bukan Kak Laura yang jadi perantaranya."
Arya hanya takut menyakiti lagi. Meskipun Laura tidak terlihat merasa begitu, tetap saja membuat calonnya menghubungi kekasihnya bukanlah sesuatu hal yang patut dibenarkan.
"Kenapa? Kamu pikir aku suka sama perjodohan kita?" Gadis itu tertawa singkat. Hujan di luar jendela mulai menderas, sepertinya akan bertahan seharian. "Ayolah, Arya. Kamu nggak perlu ngerasa kayak orang paling bersalah gitu. Kamu nggak salah, ini nggak salah. Aku cuma ingin membalikkan situasi menjadi yang seharusnya. Kalau ada kesempatan, seharusnya kamu langsung ambil tanpa pikir panjang, bukan nolak dengan membuat alasan yang seolah-olah terlihat logis."
"Aku yakin kamu nggak sabar juga buat dengar suaranya lagi."
Gawai dengan tipe layar sentuh itu berusaha diangsurkan lagi, tetapi Arya masih juga bersitahan memaku. Seluruh tubuhnya terasa kaku, satu hal yang ia inginkan saat ini adalah meraung sejadi-jadinya. Namun, barangkali bibirnya pun sama terkuncinya.
Laura tersenyum tipis. Melihat benda pipih di tangannya dibiarkan terabaikan, ia memilih meletakkan di atas meja kaca. "Aku akan ngebiarin kamu sendiri."
Lantas, ketukan sepatu hak tinggi membelai telinga. Pintu kaca ruangannya terbuka sebentar. Tersisa Arya sendiri, masih menatap dengan perasaan gamang pada gawai yang tergeletak begitu saja.
Deru napas menyaru agak kasar, Arya mengusap wajahnya sendiri. Ia rindu, sangat. Rasanya hampir mau mati. Ponsel di atas meja ditatap lagi. Laura benar, ia seharusnya tidak menyia-nyiakan kesempatan. Kapan lagi untuk yang seperti ini?
Tangan meraih gawai dengan gesit, jemarinya mengetik nomor-nomor yang memang sengaja ia hapal kalau suatu hari hilang dari ponselnya atau ponselnya yang hilang. Sekarang ia akhirnya mendapatkan kesempatan dari banyaknya digit angka yang dihapal terlampau lama tanpa dipraktekkan itu.
Nada sambung terdengar memuaskan, tetapi bukannya mendengar suara Fira, ia berakhir mendengar suara wanita operator. Berkali-kali mencobanya, Arya juga tetap mendapatkan hasil yang sama. Laki-laki itu lantas memilih mengirimkan pesan singkat yang sebenarnya tidak bisa juga dibilang singkat.
Tolong cepat dibalas, Ra. Tolong.
Sayang sekali, belum sempat laki-laki itu membuat panggilan yang lain, pintu kaca ruangan mendadak terbuka agak grasak-grusuk. Ketukan sepatu hak tinggi mendekat dengan irama gaduh. Air muka Laura yang sudah berdiri di sampingnya berubah cepat menjadi panik.
"Papa sama Tuan Andra mau jalan ke sini."
Gawai terlampau buru-buru berpindah tangan, bahkan hampir terjatuh. Arya meneguk salivanya susah payah ketika pintu kaca ruangan kembali terbuka dan Laura juga tergesa menyembunyikan ponsel itu ke dalam tas yang teronggok di atas sofa.
Satu yang tidak Arya sukai dari semesta hari itu adalah ia yang belum sempat mendengar suara Fira lagi sejak sekian lama. Ia berharap, suatu waktu Laura memberikan gawai itu kembali padanya dan mengatakan kalau Fira kembali menelepon. Akan tetapi, waktu yang berlalu sungguh begitu lambat. Bukan karena kondisi psikologisnya yang memang menunggu, tetapi juga karena semesta barangkali menyiapkan setiap peristiwa dengan waktu yang tepat.
"Dia menelepon kemarin."
Arya Alvaro masih tidak mengerti ada apa dengan semesta hari ini, ada dua kejutan di depan matanya menunggu untuk dipegangi. Ia merasa bahagia, tetapi sesak juga. Binar-binar di manik serupa danau itu berkilau terlalu terang, ia mencoba menelisik apakah ada kebohongan di mata Laura. Gadis itu tersenyum tulus, sedang memberi isyarat kalau ia berkata yang sebenarnya.
Waktu sebulan lebih sebenarnya bukan waktu yang cukup lama. Namun hanya untuk mendapat balasan panggilan, Arya rasa itu adalah waktu yang terlampau lama. Mengapa bisa jaraknya bisa sejauh itu?
"Dia beneran baru ngehubungin balik sekarang?" Arya berusaha memastikan. Ragu jika memang Fira baru mengambil langkah sekarang, tetapi ragu juga kalau Laura sengaja mengulur waktu selama itu untuk memberitahunya.
Gadis berambut hazelnut itu mengangguk. Ia mengangsurkan juga telepon genggamnya dan menunjukkan nomor dan waktu yang tertera. Waktu kemarin. Arya mematahkan ragunya terhadap Laura begitu cepat.
"Aku pikir bakal lebih bagus kalau kalian langsung ketemu." Gadis itu tersenyum, hangat dan lembut, seperti ibunya. "Makanya, aku mau kita pindah langsung ke sana. Kamu bakal balik lagi ke sana, Ya. Kamu bisa ketemu dia lagi. Kamu pasti seneng banget, kan?"
Kebahagiaan yang tergambar dari garis-garis di wajahnya itu sama sekali tak terlihat palsu. Sejak pertama kali mengenal pun, Arya tidak pernah melihat barang setitik kepalsuan yang ada di Laura. Terlalu tulus. Apakah Arya memang pantas mendapatkan ini semua? Lagi-lagi, ragu memanjat naik lagi membatasi dadanya.
"Kemarin dia ngehubungin, Kak Laura langsung putusin buat pindah gitu aja? Demi apa, Kak? Kalau cuma buat aku, ini udah berlebihan banget."
"Nggak ada yang terlalu berlebihan, Arya. Memangnya kamu pengen terkekang terus sama perjodohan ini? Kita sama-sama tahu kalau di antara kita nggak ada yang pengen bertahan. Kalau ada cara lain yang lebih baik, kita seharusnya ngambil cara yang itu walaupun harus hadapin risikonya, kan?"
Laki-laki itu membisu, diam-diam ikut membenarkan. Semangatnya memggelora lagi, percik-percik api kembali, dan Arya merasa sedang berusaha menggantung lebih banyak mimpi-mimpi.
Namun, ketika hari itu hampir tiba, perasaannya mendadak dirundung kegamangan. Arya mulai meragukan dirinya sendiri kalau ia benar-benar tidak layak; baik mendampingi, menerima cinta, atau menyiram lebih banyak air dan pupuk untuk tanaman kamboja mereka.
Arya merasa tidak pantas untuk kembali pada Fira setelah kepergian singkat yang terlalu banyak melahirkan luka itu.
Terutama ketika di mana ayahnya tiba-tiba duduk bersamanya di depan tungku perapian. Di penghujung Januari yang masih membekukan, Andra mendadak berceloteh panjang lebar. Membuat Arya semakin merasa kalau yang dilakukannya saat ini memang salah.
"Kamu bisa lari sejauh apa pun, sekuat apa pun, Arya. Pada akhirnya, kamu akan kembali lagi dan akan menyadari kalau kamu sebenarnya nggak bisa berlari." Pria paruh baya itu membubuhkan tawa yang serupa dengan nyanyian kebahagiaan, tetapi malah terdengar menyakiti telinga Arya. "Masa depan yang Papa rancang buat kamu akan terjadi. Sekuat apa pun kamu mengelak, kamu akan berakhir terjatuh di tempat yang sama. Kamu nggak bisa ke mana-mana, Arya."
Laki-laki muda itu menghela napas terlalu panjang. Selimut yang membalut tubuh dieratkan, Arya mendadak ingin menyerah pada mimpi-mimpinya yang telanjur digantungkan terlampau bersemangat.
Bait-bait itu mengiang terus-menerus di telinga, seolah sengaja membeku di sana. Agar nanti ketika sewaktu-waktu salju benar-benar berlalu, masih ada sisa-sisa yang mencair dari ucap yang membuatnya sadar kalau ia tidak bisa berlari.
Lantas kemudian, kepalanya berubah haluan. Arya dan Fira barangkali tidak punya masa depan. Laki-laki itu terlalu banyak memberikan rasa sakit selama kepergian. Hal yang paling memungkinkan agar tak lebih banyak luka yang ditimbulkan adalah sama-sama berusaha melepaskan.
Jadi, ketika ucap-ucap serupa hujan badai yang menyerang tanamannya. Satu pot kamboja mendadak layu; akarnya busuk, batangnya melemah, daunnya menguning terlampau cepat, dan bebungannya rontok. Mati. Selepas langkah-langkah yang berderap menjauh itu akhirnya hilang, Arya baru sadar satu hal. Laki-laki itu barangkali memang tak pantas menanam tanaman apa pun. Ia takut semuanya akan berakhir mati.
"Kamu nggak bisa kayak gini, Ya. Sama aja kayak kamu membunuh diri kamu sendiri."
Arya meluruh, jatuh berdebam ke lantai ketika gemuruh tiba-tiba datang bersahut. Ia merasakan jika Laura ikut berlutut dan mengusap-usap pundaknya. Seolah tengah memberi suntikan semangat atau barangkali juga tengah mendorong laki-laki itu untuk menarik ucapannya dan mendekap Fira yang langkahnya belum jauh menghilang.
Namun, Laura lagi-lagi benar. Tidak akan ada yang diuntungkan dari keputusan untuk saling merusak tanaman yang sekian lama telah ditumbuhkan, dirawat, dan dibesarkan itu. Arya tidak hanya membunuh kambojanya, ia membunuh dirinya sendiri juga.
***
[ to be continue ]
--[06/08/21; 23.07]--
--[05/09/21]--
[1] Previlege = hak istimewa, yang dimiliki seseorang berdasarkan kekayaan, kepopuleran, good attitude, good looking, dan segala hal yang yang membuat seseorang dapat memiliki hak istimewa untuk menikmati fasilitas di suatu kawasan.
...
Stay safe and stay heathy, guys. Tetap bertahan meski untuk alasan sekecil apa pun. Luv u! ♡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top