[fh · 32] - another hope await to be come true
Awal Maret, 2022.
"Aku cemburu, Ra."
Zhafira bahkan sampai lupa sudah berapa lama sejak terakhir kali sepenggal ucap yang terdengar sedikit memelas itu mengambang di udara. Sinar di manik serupa dasar danau itu sedikit meredup, seolah sedang merepresentasikan kalau dirinya tidak rela harus melepaskan.
Salah Arya juga, siapa yang suruh meninggalkan Fira? Sekarang kalau Fira lebih sering menghabiskan waktu dengan Randi dibanding dengannya, Arya juga tidak berhak untuk melarang. Toh, mereka juga sudah saling menyandang status mantan kekasih.
Mobil terus melaju, membelah jalanan di sore yang tidak terlalu padat. Randi mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang, membuat gadis itu bisa melihat keadaan di sepanjang perjalanan menuju butik Mozzafiato milik ibunya Randi yang akan menjadi tempat bekerjanya mulai dari sekarang. Langit bertahan cerah sepanjang hari, sedangkan awan berserakan tipis-tipis seperti kapas yang beterbangan tak tentu arah.
Kalau Fira tidak salah menghitung, selama mobil bergerak dari kampus hingga saat ini, belum juga ada percakapan yang sekiranya hadir sebagai bentuk basa-basi untuk mengusir hening di antara kedua orang itu. Telinga gadis itu terus-menerus mengiangkan sepenggal kalimat yang diucapkan Arya tepat sebelum ia memasuki mobil bersama Randi. Katanya cemburu, tetapi memang Arya sepertinya tidak punya pilihan selain melepaskan Fira pergi. Laki-laki itu sadar diri, ia bukan siapa-siapa Fira lagi.
"Ra, kamu gugup, nggak?"
"Hmm ... hah?"
Sepertinya hening yang terlampau mengejutkan dipecah itu membuat Fira sedikit linglung. Ia menoleh pada Randi yang berfokus pada jalanan di depan, laki-laki itu menderaikan tawa jenaka.
"Kamu banyak pikiran? Soal nanti di butik atau tugas-tugas kamu?" Laki-laki ber-hoodie putih itu menoleh singkat. Barangkali penasaran juga mengapa Fira terus diam sepanjang perjalanan, tetapi tidak menanyakannya secara gamblang.
Fira menderaikan tawa canggung, mulai menyadari kalau orang lain sedang memperhatikannya yang melamun sepanjang perjalanan.
"Ya, aku mikirin soal nanti di butik. Jujur, aku beneran nggak tau kerja di butik itu gimana. Bahkan masuk ke dalam butik aja aku nggak pernah." Setengah berbohong, Fira bahkan tidak terlintas apa pun soal apa yang akan ia lakukan kalau sudah sampai di butik nanti.
Gumam pendek yang agak menyentak sebagai sahutan. Laki-laki itu agak terkejut. Pedal gas dipijak lebih dalam, mobil bergerak lebih cepat untuk menyalip sebuah Sedan merah. "Beneran? Aku pikir, karena kamu pilih tata busana, kamu pasti udah tau prospek kerjanya gimana atau mungkin pernah masuk ke butik beberapa kali."
Gadis berkucir itu menggeleng beberapa kali, senyum jenaka juga menghiasi. "Lucu banget, kan?"
Randi hanya membalas dengan tawa. Lebih terdengar serupa dengan ketidakpercayaan dibanding dengan mengejek. Syukurlah, hening mencair dengan cepat. Namun sepertinya, mulai membeku lagi. Mereka kehilangan bahan basa-basi sebelum mobil Randi sampai di butik milik ibunya.
"Ngomong-ngomong, aku boleh nanya soal Arya?"
Fira baru saja melihat barisan pepohonan ketika laki-laki di sebelahnya membubungkan sepenggal tanya yang terdengar agak sangsi. Gadis itu bergerak di tempatnya, agak tak nyaman. Ia menatap Randi sebentar sebelum akhirnya bergumam menyetujui.
"Menurut kamu, kenapa Arya berani deketin kamu padahal sebenarnya dia udah punya pacar?" Deru berbagai macam kendaraan mengotori jeda di antara kalimat itu. Randi melirik singkat, menghela napas pendek sebelum melanjutkan. "Jangan salah paham. Sebenarnya aku nggak mau ikut campur, aku cuma penasaran aja. Dan aku pikir ... kamu mungkin juga lagi nanyain hal yang sama."
Pertanyaan itu sepertinya tidak pernah terbesit. Zhafira Freya mengalihkan pandangan ke jendela, setelah pernyataan cemburu, sekarang giliran fakta kalau sebenarnya Arya juga sudah punya orang lain. Kalau dipikir-pikir, Arya sebetulnya sudah bisa dianggap bajingan. Memutuskan hubungan begitu saja, lalu mengejar lagi dengan dalih tidak rela dengan masih menggenggam jemari lain di tangannya yang lain.
Dulu sekali, ia pernah punya pandangan kalau ia tak pernah bisa membaca, menebak apa yang ada di dalam kepala laki-laki itu, atau bagaimana cara kerja jalan pikirannya. Tidak akan pernah bisa, bahkan sekarang pun sama saja.
"Aku pikir, sebagai sesama cowok, kamu yang lebih tau alasannya," sahut Fira dengan nada yang hampir tanpa emosi, tanpa menoleh pula.
Randi tertawa singkat. "Bener, seratus buat kamu. Tapi lebih dari itu, sebenarnya aku pengen buka pikiran kamu aja soal Arya."
Kepala tertarik memutar, kerut-kerut di sekitaran mata dan ruang di antara dahi tercetak jelas. Meskipun hanya melirik sedikit, Randi tahu kalau kalimatnya akan sedikit membuat udara di dalam mobil menjadi sedikit gerah. "Maksud kamu, kalau kamu nggak nanya dan ingetin aku kalau Arya sebenarnya udah punya pacar, aku bakal mau kalau diajak balikan?"
Sudut-sudut bibir ditarik sedikit baik, Randi melirik Fira sedikit lama. Laki-laki itu menggedikkan bahu. "I never said that."
"Tapi kamu ngomong kayak gitu seolah ...." Sepenggal kalimat sengaja diputus dengan embusan napas panjang yang terdengar frustrasi.
Fira merotasikan bola matanya, memilih menatap lagi tepi jalanan yang ramai akibat pedestrian dan pedagang kaki lima. Ada apa sebenarnya dengan para lelaki ini? Sudah jalan pikirannya pelik dikira, ditambah cara mereka berbicara menyebalkan tak terkira. Gadis itu meraup wajahnya sebentar, ia pening.
"Maksudnya bukan gitu, Ra." Kegerahan di mobil itu barangkali mulai menguap, tetapi tetap saja masih ada titik-titik dongkol yang tersisa. "Aku cuma pengen kamu gunakan kepala sama hati secara sinkron. Aku nggak bilang kamu harusnya jangan balikan sama Arya atau sebaliknya, tapi jalan apa pun yang nanti bakal kamu pilih, kamu harusnya udah tau berpikir matang-matang soal itu---"
"Aku udah putusin dari awal, Ran." Fira menoleh sekilas, lantas memilih berpaku tatap pada jalanan di depan yang tak lurus; berkelok di beberapa bagian. "Aku mungkin nggak akan balik lagi untuk dia. Aku lebih milih gapai harap-harap lama yang belum jadi nyata."
"Bukannya salah satu harapan kamu adalah pengen kalian bisa sama-sama kayak dulu?"
Dua pasang mata yang sedari tadi terus-menerus melakukan kejar-kejaran akhirnya bersua juga. Entah mengapa, binar di mata laki-laki itu seolah sedang berkata kalau Fira seharusnya berpikir untuk menerima Arya kembali. Namun, pada kenyataannya, selain Fira sudah bertekad, ada orang lain yang seharusnya tidak akan berakhir seperti dirinya.
"Itu dulu, Ra. Sebelum ada hati yang patah." Fira menjeda dengan embusan napas pelan.
Kecepatan mobil yang Randi kendarai berkurang ketika mereka berbelok ke sebuah jejeran rumah ruko yang kesemua dindingnya bercat sangat terang dan mencolok. Pada akhirnya, mobil itu berhenti di depan salah satu toko yang hampir seluruh sisinya terbuat dari kaca. Di setiap kaca itu terdapat tulisan Mozzafiato: Find Your Experience With Us yang mana adalah nama toko sekaligus tagline-nya.
"Aku rasa, lebih baik menyerah saja pada rasa daripada terus-menerus menggali luka yang tiada habisnya," lanjut Fira sebelum membuka pintu mobil, meninggalkan Randi yang masih duduk di tempatnya dengan senyum segaris tipis.
***
"Tante kira kamu nggak dateng hari ini, Sayang."
Seorang wanita menyambutnya begitu baru saja membuka pintu kaca toko. Senyumnya merekah meski kerutan di sekitar matanya tampak jelas. Kedua perempuan itu berbagi peluk singkat.
"Maaf aku bikin Tante nunggu. Tadi ada kelas mendadak." Fira mengakhiri ucapnya dengan tambahan tawa ringan yang canggung.
Pintu kaca terbuka lagi, Randi menampakkan diri. Ia ikut tersenyum sumringah begitu melihat kedua perempuan itu. Sore dari balik pintu dan jendela kaca toko tampak sedikit suram. Angin yang mengarak awan-awan tebal berlomba menutup birunya langit yang beberapa waktu lalu masih menunjukkan eksistensinya. Semesta memang penuh teka-teki.
Butik itu luas, maksudnya sangat-sangat luas. Mungkin tiga atau empat kali luas kelas tata busananya. Ketika menatap ke sekeliling, padanan warna merah dan emas mendominasi. Sebagian besar dari lampu-lampu string lights yang tergantung cantik di langit-langit. Sedangkan bagian lainnya berasal dari gaun-gaun dengan taburan manik-manik mencolok di sudut ruangan. Fira sampai lelah menghitung, ada berapa banyak manekin yang terpajang atau berapa gantungan yang ada di sana.
"Sini, sini." Dewi menarik lengan gadis muda itu menuju salah satu dari banyak manekin yang terpanjang di depan jendela kaca butik. Gaun merah muda sepanjang lutut. Tentu saja Fira kenal, ia mendesainnya. "Tante pajang baju kamu tepat di depan kaca. Biar banyak orang yang liat pas lewat dari depan situ."
Dewi menunjuk kaca di depannya sembari menampilkan senyum percaya diri. Lantas, dua orang wanita yang kebetulan lewat, menatap dengan binar-binar mata yang terlalu berkilau ketika melihat gaun rancangan Fira. Kaki-kaki bergerak agak tergesa, pintu kaca dibuka, dan wanita-wanita tadi sudah ada di depan mereka.
"Gaunnya cantik banget," puji salah seorang wanita dengan banyak tas-tas belanja di tangannya. Kalau Fira perkirakan, usianya pasti di antara dua puluh tiga sampai dua puluh lima. "Pasti bakal keren banget kalau dipake pas ulang tahun aku nanti."
Dewi mengangguk beberapa kali. Senyum yang bersitahan di wajahnya menunjukkan keanggunan yang barangkali tidak semua wanita seusianya punya. Wanita paruh baya itu menyentuh sleeve gaun itu. "Walaupun sebenarnya gaun ini dirancang untuk acara pertunangan, tapi kamu bener. Ini juga bisa dipakai pas acara ulang tahun yang super duper mewah."
Tangan Dewi beralih merangkul Fira. Mau tak mau gadis itu tersenyum meski agak kaku. "Dan kebetulan sekali, desainernya ada di sini. Desainer muda yang berbakat."
Kedua perempuan itu terlihat makin kegirangan. Tangannya hampir menyentuh gaun yang terpasang cantik di tubuh manekin sebelum si pemilik butik menghentikan aksinya. "Tapi maaf sekali, kami belum menentukan harga untuk gaunnya. Jadi, dengan sangat menyesal saya mengatakan kalau gaunnya tidak dijual."
Raut-raut sumringah lekas berganti dengan desah-desah kecewa. Binar-binar di mata salah seorang gadis itu hilang. Ia berucap seolah baik-baik saja lalu melangkah menuju sudut yang lain. Akan tetapi, air mukanya lantas berubah kembali secepat kilat. Macam-macam gantungan ditelisik, ia mulai kegirangan lagi memilih-milih pakaian yang lain bersama temannya.
Fira mengernyit singkat, perhatiannya kembali lagi pada si pemilik butik yang menyentuh bagian dada gaun merah muda itu. "Tapi, Tante. Kenapa bajunya dipajang kalau nggak dijual?"
"Mama pernah bilang, sebuah gaun itu punya pemiliknya masing-masing. Jadi, kayaknya Mama pengen nyari pembeli yang tepat untuk gaun buatan kamu," sahut Randi yang datangnya entah dari mana. Padahal, saat pelanggan tadi datang, gadis itu sama sekali tidak melihatnya mengikuti. "Aku pikir Mama bener nggak ngasih baju itu sama dia. Kurang cocok. Bajunya lebih cocok sama orang yang punya wibawa dan anggun yang nggak dibuat-buat."
"Itu benar juga, tapi ada hal lain." Dewi tertawa ringan. Berhenti mengusap gaunnya yang menjadi favoritnya di pameran saban hari. Ia beralih menatap dua wanita yang sibuk memilih macam-macam pakaian lain di tengah ruangan dengan didampingi karyawan lama. "Kamu liat dua orang tadi yang baru aja nawar untuk baju kamu di sana? Sebenarnya baju ini Tante pasang cuma untuk narik perhatian orang-orang aja. Ketika tau bajunya nggak dijual, mereka akan cari pakaian lain di sini."
Zhafira menekuk bibirnya. Setelah acara pameran selesai, Dewi meminta izin membawa gaunnya ke butik dengan dalih memajang produk baru di butiknya. Fira menyetujui saja meskipun rasanya sedikit sayang mengingat kalau itu adalah produk pertama yang ia hasilkan. Matanya melirik gaun itu sebentar. Ia pikir, rancangan itu akan langsung berpindah tangan sesaat setelah dipajang. Namun, ternyata si pemilik toko juga menyayangkan kalau gaun itu benar-benar harus secepat itu untuk diberikan kepada orang.
"Jadi, maksud Tante, gaunnya cuma teknik marketing?"
"Exactly!" Sahutannya terlalu bersemangat. Senyum di wajah itu naik lagi hingga kerutan di sekitar matanya tampak sangat jelas. Namun, tetap saja wanita itu tetap terlihat manis dengan kulit kuning langsat.
"Oh, Ma. Kenapa udah cantik, terus pinter lagi?" Randi menghilang lagi dari sisi Fira. Ternyata laki-laki itu tengah berdiri di samping sebuah manekin pria yang berjarak sekitar lima meter saja. Manekin yang mengenakan jaket denim berwarna legam, benang-benang menjuntai di bagian bawahnya, dan kantong yang tersedia di mana-mana. Randi tersenyum, agak memelas. "Btw, jaket ini keren, Ma. Buat Randi, gratis, ya?"
"Oh, Sayang." Dewi tersenyum seperti tengah menghibur anak kecil. "Boleh, dong, anak ganteng. Tapi buatin Mama rumah bergaya Eropa dulu, ya?"
Fira ingin menyemburkan tawa sekarang. Namun, untungnya ia hanya berakhir dengan senyum yang dikulum dengan susah payah.
"Mama, kok pelit sama anak sendiri?"
"Kamu juga kok perhitungan sama Mama sendiri?"
Melihat pemandangan yang seperti ini, Fira jadi merindukan bundanya. Mungkin setelah ini ia akan bertamu lagi ke peristirahatan terakhir itu. Sudah lama sekali. Fira seperti menjadi anak durhaka yang melupakan orang tuanya setelah menggapai satu mimpi.
Pintu kaca butiknya terbuka lagi. Kaki-kaki diayun masuk agak lambat. Si pemilik butik menatap sebentar, lalu beralih menatap Fira lagi.
"Fira, untuk hari ini kamu liat-liat butiknya dulu aja. Mulai besok, kita baru mulai, ya." Wanita itu mengubah senyumnya menjadi ulasan hangat, persis seperti milik bundanya dulu. Bahu Fira disentuh lembut kemudian. "Tante permisi dulu, itu pasti temen-temen kamu yang baru dateng. Randi yang mau jadi pemandu tur butik Mama buat Fira, kan?"
"Ya, nggak gratis, lah, Ma. Tapi karena Mama sendiri, aku kasih diskon." Randi Gunadhya menaik-turunkan kedua alisnya bergantian. Tersenyum lebar lagi, mencoba membuat negosiasi dengan ibu sendiri.
"Mulai, ya, kamu." Dewi menggelengkan beberapa kali. Barangkali tak habis pikir juga mengapa tiba-tiba anaknya seperti ini. Uang jajannya seperti tidak cukup saja. "Iya, deh. Mama kasih baju itu, tapi kamu harus perlakukan anak baru Mama dengan baik. Nanti, jangan lupa juga anterin dia pulang."
"Baik, Nyonya!" Satu-satunya lelaki di sana menyahut lantang. Tak lupa ia memberi gestur hormat singkat sebelum si pemilik butik beranjak sembari berdecak, tetapi tertawa juga.
"Oke, Nona, kita mau tur ke mana dulu? Mau ke bagian gaun-gaun premium kayak punya kamu atau ... oh tuxedo kayak yang pernah dipakai Jackie Chan?" Langkah tegap itu melangkah cepat ke sebuah sudut yang penuh dengan pakaian untuk acara formal. Fira mengikuti, penasaran juga bagaimana rasanya berkeliling butik untuk pertama kali.
"Oh iya, Ma!" Secepat langkahnya, secepat itu pula Randi memutar tumit. Ketika laki-laki itu memekik, Fira sedikit tersentak. "Papa jadi mau dateng ke sini, kan?"
"Belum tau, Sayang." Di seberang sana, Dewi ikut memekik. "Kalau dia nggak sibuk, pasti dia dateng."
Randi mengangguk paham beberapa kali. Tumit diputar lagi, langkah-langkah dijejaki kembali. Alih-alih menjadi pemandu tur seperti yang ada di pameran, laki-laki itu malah terlihat seperti SPB [1] yang ada di mall. Dibanding menjelaskan tentang bahan apa yang digunakan dalam pakaian, ia lebih banyak menjelaskan tentang harga-harga. Namun dari sana Fira akhirnya menyadari kalau butik milik bundanya Randi bukan sekadar punya jenana ternama dan semuanya hampir punya harga fantastis, tetapi memang punya selera fashion yang sangat bagus.
Riuh angin di luar toko itu barangkali tidak terdengar, tetapi Fira merasa jika pendingin ruangan di sana terasa lebih menggigilkan dibanding pertama kali ia menginjakkan kaki di sana. Perasaannya tiba-tiba dirundung keresahan, manik itu entah mengapa malah terus-menerus melirik pintu utama toko yang terbuat seluruhnya dari kaca. Padahal, tidak terlihat tanda-tanda seorang pun yang akan mendorong pintunya dan mengayunkan langkah untuk masuk ke sana.
"Ini, Ra. Sebenarnya salah satu favorit aku." Randi mendekati sebuah gaun berwarna abu-abu. Kalau dari jauh, Fira pikir warnanya putih serupa gaun pernikahan. "Soalnya, gaun ini, tuh, hampir mirip sama gaun yang pernah dipakai Hailey Baldwin pas ke Met Gala sama Shawn Mendes." Nada-nada yang terlontar dari bibirnya terdengar penuh semangat. "Biar aku inget dulu, kalau nggak salah tahun 2018. Wow, banget, kan?" Tangan-tangan itu menyentuh lembut permukaan gaun dari atas hingga pinggang.
Akan tetapi, air muka yang bersemangat tadi dengan cepat berubah sedikit murung. "Padahal sebenarnya kalau Justin Bieber nggak ngelamar Hailey duluan, aku yang bakal nikahin Hailey terus bikinin rumah untuk kita berdua."
Fira berdecak sembari merotasikan bola mata. "Halu kamu tolong banget, Randi." Meskipun begitu, ia juga ikut menyentuh gaunnya yang punya skirt menjutai hingga menyentuh lantai dan model neckline tipe off shoulder yang menawan.
Tawa yang deraikan Randi nyatanya tidak bisa membuat Fira sedikit tenang. Dadanya tiba-tiba berkecamuk. Ia tidak tahu mengapa, tetapi hanya punya firasat kalau semesta sedang mengancang kejutan untuknya.
Gadis itu tidak tau saja, ada harap-harap yang sedang mengantre untuk menjadi nyata.
"Halo, kamu desainer baru di butik ini, kan?"
Tidak ada yang aneh dari suara berat itu. Barangkali seorang pria paruh baya yang berusaha untuk datang ke sana meskipun punya pekerjaan yang sangat padat hanya untuk menemui dan menyapa Fira sebagai pegawai baru di butik ternama. Terdengar dari sisa-sisa suaranya yang tampak lelah dan sedikit terengah-engah masih melayang-layang di udara.
Namun, bukan bagian itu yang seharusnya menjadi perhatian. Fira menelan salivanya susah payah ketika Randi memekik begitu nyaring hingga gemanya bahkan masih terdengar terngiang di telinga beberapa detik. Tumitnya memutar menuju asal suara, dua laki-laki saling berbagi peluk hangat.
Zhafira Freya tidak tahu kalau gemuruh di langit bisa terdengar sampai di tempatnya berdiri ketika lagu-lagu Melly Goeslaw diputar. Sepasang mata akhirnya bersua, tetapi manik Fira hampir tenggelam ketika anak sungai mulai membanjir. Ia sesak napas, lalu tiap-tiap bulir mata jatuh dan luruh bebas tanpa aba.
Apakah begini kejutan yang semesta siapkan? Sebuah guncangan yang benar-benar tidak terduga. Sukses membuat dadanya berkecamuk tak henti, membuat matanya menganak sungai lagi dan lagi.
Satu-satunya yang ingin dilakukan Fira adalah pergi, pergi jauh sekali. Dan barangkali, tidak pernah kembali.
***
[ to be continue ]
--[03/08/21; 22.29]--
--[04/09/21]--
[1] SPB = Sales Promotion Boy
...
"Jangan lupa bahagia," kata Kak Wai. 💚
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top