[fh · 30] - the scent of jasmine and the frangipani petals
Awal Juli, 2018.
Seperti apa rasanya cinta pada pandangan pertama sekaligus menemukan cinta pertama?
Setiap orang barangkali punya perasaan berbeda. Namun untuk Arya sendiri, ia merasa bisa menghirup aroma melati bersamaan dengan merasakan ujung-ujung jemarinya menyentuh kelopak kamboja merah muda. Serupa dengan pohonnya di sebelah perpustakaan sekolah atau setiap sudut rooftop rumahnya.
Matahari merangkak naik, makin tinggi. Suhu berubah gerah. Angin yang bersemilir malah menambah lebih banyak peluh di sekitar wajah. MPLS sudah berlangsung sejak pagi dan di bawah pohon-pohon ketapang yang menimbun, anak-anak kelas sepuluh diberi waktu untuk beristirahat sebelum nanti melanjutkan kegiatan.
Arya duduk sedikit jauh dari kerumunan, sendirian. Bertumpu pada daun-daun ketapang yang sudah jingga kemerahan dan disusun di atas tanah yang hampir gersang dan retak-retak. Manik gelapnya hilir mudik ke segala arah, memperhatikan tiap-tiap sudut sekolah yang akan menjadi tempatnya menuntut ilmu tiga tahun ke depan. Teman-teman dari sekolah lamanya memang juga ada di sana, tetapi laki-laki itu tidak terlalu suka dengan kebisingan mereka.
Waktu itu, tangannya baru saja selesai melukis sketsa gedung di atas tanah dengan tulang daun ketapang. Ia hanya mencoba melukis ulang gedung utama sekolah. Hingga kala kepalanya menoleh ke pohon yang mungkin hanya berjarak sekitar sepuluh meter saja, matanya menangkap gadis yang tengah duduk sendirian.
Rambutnya panjang, mungkin hampir menyentuh pinggang. Ikat rambutnya berwarna seperti langit cerah hari itu. Anak-anak rambutnya yang dibiarkan bebas sesekali digoyang angin. Baju olahraga berwarna kuning cerah membalut tubuhnya yang bersandar di batang utama pohon. Tadinya ia menunduk seolah tengah menggambar abstrak di atas tanah dengan tulang daun ketapang. Sebelum akhirnya, wajah itu mendongak sembari mengusap peluh dengan punggung tangannya.
Arya Alvaro bahkan tak perlu sepasang manik yang menatapnya balik. Hanya tatapan polos yang melirik kerumunan sesekali dan wajah yang sudah anggun tanpa perlu tersenyum. Untuk pertama kalinya, laki-laki itu bisa menghirup aroma jasmine tanpa perlu mendekatkan hidungnya pada bunga melati, merasakan ujung-ujung jemarinya menyentuh lembut kelopak-kelopak kamboja tanpa susah payah menyentuh. Dan di hari yang terlalu cerah itu, Arya menemukan cinta pandangan pertama sekaligus cinta pertamanya.
Laki-laki itu tidak tahu apakah benar perasaan yang sedang menerpanya sudah bisa disebut sebagai cinta. Tidak tahu juga kalau bukan cinta, perasaan jenis apa yang membuatnya merasa bahagia, risau, dan takut kehilangan di saat yang bersamaan juga. Arya ... hanya ingin menghampiri sekarang, mengatakan sekarang, kalau bisa meneriakkannya sekalian.
Namun, ia tidak melakukan apa pun opsi dari yang tertera di atas. Tubuhnya malah terus bersitahan memaku di tempat dengan netranya yang masih terus menatap gadis itu. Sesekali, ia menangkap basah kalau sedang dilirik sebentar. Mungkin hanya ketidaksengajaan barangkali penasaran sepasang mata terus-menerus menatap. Pada akhirnya, sepasang mata yang Arya tahu sedikit sayu itu lebih memilih menunduk dan menggambar entah apa lagi di atas permukaan tanah yang berdebu.
Ia ingin mengayunkan langkah ke sana, berbincang apa saja, melupakan sejenak debaran aneh yang tengah menghantami dadanya. Akan tetapi, selain tak punya keberanian, Arya juga hanya punya tangan kosong. Di sekelilingnya hanya ada dedaunan yang kemerahan dan buah-buah ketapang yang kekuningan yang berjatuhan. Kalau Arya tidak salah ingat, aroma jasmine-nya ternodai bau seperti pisang. Menguar dari buah ketapang yang beberapa di antaranya hampir membusuk.
Sekelilingnya yang penuh aroma jasmine yang menandakan ketenangan lantas ternoda dering gawai. Arya berdecak sembari merogoh kantong celana olahraganya. Padahal, ia baru saja hendak mengumpulkan keberanian untuk menemui gadis itu lebih dulu.
"Halo---"
"Kamu ke mana, Arya?" Ucapan Arya terpotong oleh sepenggal tanya berselimut amarah. Tertahan, barangkali pria paruh baya di seberang sana itu sedang berada di tempat umum. "Ini udah jam satu. Kamu, kan, harus latihan."
Arya melirik tangan kirinya, menatap jam hitam yang melingkar di sana. Jam satu kurang lima menit lebih tepatnya. Laki-laki itu menelan ludah sebelum membalas ucap. "Tapi aku masih ada kegiatan di sekolah, Pa."
Hela napas di seberang telepon terdengar terlalu panjang. Barangkali ayahnya itu sedang menimbun lebih banyak kesabaran agar tak langsung meledak dari seberang telepon. Mungkin ... mungkin ... Arya akan mendapatkannya nanti kalau sudah sampai di rumah.
"Kegiatan di sekolah itu apa? Kamu belajar? Cuma keliling-keliling lapangan aja, kan?" Jeda pendek tercipta. Kalau tidak salah ingat, Arya suka sekali melihat kebiasaan ayahnya yang memijit pangkal hidung kalau hendak meredakan amarah. "Daripada kamu ngabisin waktu untuk yang nggak penting gitu, lebih baik kamu latihan badminton sekarang. Dateng ke GOR [1] sekarang. Pelatih kamu udah nunggu lama."
Sambungan terputus. Bunyi tut tut tut dari gawainya berdenging panjang di telinga, menggantikan debar-debar aneh di dadanya menjadi sesak yang berkelanjutan. Ia tidak suka hal ini. Dipaksa meninggalkan sesuatu untuk sesuatu yang lain. Padahal sebenarnya, jadwal untuk latihan bulu tangkis tidak ada hari ini.
Laki-laki itu menghirup lebih banyak oksigen untuk memenuhi dadanya, mencoba mencari-cari di mana sekiranya aroma jasmine yang menenangkan itu tadi berada. Namun, ia hanya bisa menghirup aroma pisang sepat yang tentu saja dihasilkan dari buah-buah ketapang berjatuhan di sekitarnya. Arya menoleh lagi pada pohonnya, tidak ada siapa pun di sana, hanya tinggal jejak saja. Gadis itu pasti sudah pergi, atau barangkali merasa takut ditatap terlalu lama seperti tadi.
Arya mengulum bibirnya. Membuat kesimpulan sebelum beranjak memenuhi panggilan ayahnya yang mungkin akan lebih mengamuk kalau tahu laki-laki itu masih memilih bersitahan di sekolah. Ketika menemukan sebuah rasa bahagia, bersiaplah setelahnya menemukan kabar yang tidak enak terasa di mana-mana.
***
Akhir Februari, 2022.
"Ra ... menurut kamu, kenapa Randi makin keren, ya?"
Ujung granit pensil baru saja hendak mencumbui kertas lagi, hampir, ketika sepenggal tanya yang lebih terdengar racauan itu menelisik masuk ke telinga. Fira menaikkan pandangannya dengan dahi berkerut, April memangku wajahnya di tangan yang bertopang di atas meja, menatap sesuatu di belakang Fira.
Belum sampai sepuluh menit mereka duduk di perpustakaan. Tidak sepi, tidak pula terlalu ramai. April yang menarik Fira ke sini, katanya ia harus mengerjakan tugas sambil mencari referensi dari banyak buku. Ketika dua gadis itu baru saja sampai, Randi juga sudah ada di sana. Duduk di meja paling sudut bersama tiga teman lelakinya. Mengobrol tentang game online sembari mengerjakan tugas praktek berkelompok. April dan Fira mengambil tempat sedikit jauh agar tidak perlu terlalu merasa terganggu.
"Makin keren, huh?" Fira berucap dengan nada agak mengejek setelah menatap sebentar apa yang dilihat April, tentu saja mejanya Randi dan teman-temannya. "Kalau kamu tau dia makin keren, kenapa kamu nggak berpikir juga kalau sewaktu-waktu dia bisa diambil orang?"
Gadis dengan wajah oriental berbingkai rambut pendek sedagu itu sepertinya agak tersentak. Ia berhenti menatap Randi, beralih pada sahabatnya. Melempar tatap seolah menyetui. "Terus aku harus gimana?"
Desah napas terdengar frustrasi. Fira menepuk dahinya. "Astaga, aku capek, ya, bilangin itu terus."
"Tapi, Ra. Aku belum berani." April berucap terlalu lirih. Bibir digigiti dan kepalanya ikut tertunduk, tetapi matanya masih berusaha menatap Fira.
"Alasannya karena kamu cewek?"
"Iya, itu juga." April melarikan pandangannya. Kadang pada laptop yang terbuka, tumpukan buku di atas meja, atau rak-rak menjulang di sana. "Tapi overall aku belum berani kalau ngungkapin kayak gitu."
"Berarti memang harus pake campur tangan orang lain." Fira mengangguk beberapa kali. Ujung pensil yang tumpul diketuk-ketuk pada dagunya.
"Hah?"
"Kalau kamu nggak mau bilang sendiri, aku yang bakal bilang sama Randi."
Fira hampir saja bangkit, barangkali benar-benar beranjak dan mengayunkan langkah ke meja Randi. Mengatakan semuanya; teman masa kelas sepuluh yang tidak diingat, bakpao isi ayam, kecemburuan, dan perasaan yang muncul tak terduga. Tidak, April tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi setelahnya. April masih terlalu takut sekarang. Jadi, sebelum itu terjadi, gadis itu lebih dulu menahan Fira. Membuat sahabatnya itu benar-benar duduk kembali seperti semula.
"Eh, jangan. Please." Dengan napas yang agak memburu, ia masih memegang kedua tangan Fira di atas meja. Menahan. Berjaga-jaga kalau ternyata sahabatnya itu bangkit lagi.
"Tapi kamu nggak mau bilang, mana bisa ada kemajuan kalau kayak gini terus."
April tidak menghitung, sudah lupa berapa banyak Fira mengomelinya seperti ini. Ia sadar kalau keras kepalanya memang menyebalkan. Sahabatnya itu barangkali juga kesal kalau perasaan yang terombang-ambing sendirian itu tak juga kunjung mendapatkan apa yang seharusnya didapat beberapa waktu lalu. Namun, sebenarnya April hanya sedang mencari waktu yang tepat. Ia sedang berpikir bagaimana caranya mengawali dengan ucap yang benar dan mendapat hasil yang sesuai.
"Kasih aku waktu lagi, ya, ya ya," bujuk April. Wajahnya sudah memelas, berharap Fira merasa kasihan sedikit saja. Akan tetapi, yang gadis itu khawatirkan adalah Fira kasihan kalau April terus-terusan menelan kenyataan kalau Randi adalah tipe lelaki yang tidak peka.
"Ini udah---"
"Please, Ra. Biar aku aja yang bilang sendiri. Sampai ultah." April menggigit bibirnya lagi. Agak ragu. Entah mengapa ia bisa berucap seperti itu. Namun, untuk meyakinkan Fira, sepertinya ia juga harus menyakinkan dirinya sendiri. "Sampai ultah aku. Kalau nanti sampai ultah aku nggak ngungkapin juga sama dia, kamu boleh lakuin apa pun."
Sepasang mata menghujamnya terlalu tajam, barangkali tengah menelisik apakah ucapannya bisa dipegang atau tidak. April mendesah lega diam-diam ketika Fira bergumam panjang lalu memilih melanjutkan lagi melukis desain baru. "Aku pegang kata-kata kamu."
Sial, janji macam apa itu? Bagaimana kalau nanti April tidak dapat memenuhinya? Sayangnya ia tidak bisa melakukan apa pun lagi. Sudah telanjur terjebak di ucapannya sendiri. Satu-satunya pilihan April adalah memenuhi. Semoga saja rencana dadakan ini berhasil meskipun April tidak berharap banyak.
***
Awal September, 2018.
Dua bulan waktunya hanya untuk sekadar mengumpulkan keberanian untuk menyapa saja. Arya Alvaro tidak tahu harus menyebut dirinya apa. Tak punya benih-benih keberanian lebih banyak dibanding laki-laki pada umumnya. Padahal kalau dipikir-pikir, ia hanya perlu menyapa.
Orang bilang, kesempatan hanya datang satu kali. Namun, Arya mematahkannya sendiri dalam dua bulan terakhir. Peluang bertabur, tetapi laki-laki itu masih juga lebih memilih memaku dari kejauhan. Ia pikir itu adalah yang terakhir, tetapi keesokan dan seterusnya ada begitu banyak kesempatan yang Arya buang percuma.
Seperti di hari itu, ketika langit memilih memangku birunya yang cerah, matahari yang terik membara, dan perpustakaan yang riuh dan berisik di mana-mana, Arya bertekad kalau ia akan mengeluarkan semua keberanian yang selama ini dipupuk terlalu rajin.
Pintu kayu bercat merah maroon itu hampir tak pernah absen tertutup. Hanya kalau sekolah sudah sepi, barulah penjaga perpustakaan akan mengunci rapat-rapat. Namun, hari itu, pintunya sedikit memberikan hawa berbeda. Terutama ketika seorang gadis mengayunkan langkah melewati pintu serta-merta meja pengawas dan menelusup di antara rak buku-buku Fisika dan Biologi. Arya menahan napasnya, agak terlalu lama.
"Aduh, Ibu capek banget, Ya."
Wanita empatpuluh tahunan yang duduk di balik meja pengawas itu mengeluh. Perhatian laki-laki itu buyar. Ia yang berdiri di rak berlapis kaca yang tak jauh dari sana beralih menatap si wanita berkaca mata kotak.
"Mereka ini pada enggak mau diem. Ibu capek teriak mulu nggak didengerin," omelnya. Ia mengipas-ngipas diri sembari melihat jam bertali besi yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Seharusnya jam istirahat, kan, sekarang? Ibu mau makan dulu, ya? Kamu jagain bentar, nggak masalah, kan?"
Wanita itu beranjak sebelum Arya sempat menyahut. Laki-laki itu memandangi punggung itu agak lama sebelum akhirnya hilang. Arya mengembuskan napas panjang. Karena kelasnya yang bersebelahan dengan perpustakaan, Arya jadi sering mengunjungi untuk sekadar mencari buku referensi sesuai materi atau membaca buku-buku fiksi. Namun, hal itu membuatnya menjadi dikenal dan semakin sering disuruh untuk ikut membantu di perpustakaan. Sebenarnya tidak masalah, ia jadi lebih leluasa membaca di sana. Menghabiskan lebih banyak waktu untuk hal-hal bermanfaat.
Biasanya laki-laki itu tidak terlalu suka kalau perpustakaan tiba-tiba menjadi ramai seperti ini. Patut dicurigai semestinya. Akan tetapi, semua itu bukan lagi fokus utamanya. Melainkan gadis yang berdiri mencari-cari sebuah buku di antara susunan rak buku-buku Biologi.
Gadis yang sama ketika udara berubah menjadi aroma jasmine di mana-mana, kelopak kamboja imajinasi yang mengabsen tiap ujung jemarinya, dan satu-satu gadis yang membuatnya tertarik hanya dengan sekali pandang saja.
Arya Alvaro, tubuh tegap berbalut seragam putih abu-abu itu mengembuskan napas panjang untuk mengusir gugupnya di setiap langkah yang diayun menuju si gadis yang kebingungan.
"Perlu bantuan?" Ketika sepenggal ucap itu terlontar, rasanya Arya baru saja mengeluarkan duri yang menyangkut di pangkal tenggorokan. Lega sekali ternyata kalau bisa menguarkan keberanian seperti ini. Mengapa pula ia sampai harus memupuk lama sekali?
Arya sama sekali tidak tahu kalau berdiri saling berhadapan dengan jarak tak sampai empat langkah ini membuat jantungnya ingin segera jatuh menggelinding. Lebih dari itu, ia lebih terkejut ketika mendapati sepasang mata yang ternyata lebih indah kalau dilihat dari dekat. Maniknya kecoklatan, sinar matahari yang menerobos dari sela-sela ventilasi membuat matanya berubah menjadi seperti tumpahan madu. Indah sekali. Membuat napas Arya tercekat.
Awalnya memang berakhir dengan penolakan, tetapi ternyata semesta membiarkan lebih banyak keberanian yang terus ditumpuk-tumpuk itu agar digunakan lebih banyak. Si gadis tidak menemukan bukunya, padahal Arya tahu sendiri kalau buku itu masih bertengger di sana. Namun, memang keadaannya tidak lagi baik. Sampulnya hilang entah ke mana dan banyak lembar-lembar halaman yang lepas juga.
Laki-laki itu menuntun menuju lemari kaca di belakang meja pengawas. Memberikan sejilid buku tebal nan mengilap pada si gadis dengan alasan bukunya sengaja disimpan di dalam sana.
Jemari-jemari yang menari bersama pulpen di atas buku data peminjaman buku, anak-anak rambut yang tidak terikat, dan bibir yang terus digigit tak luput dari pandangannya. Belum lagi, gadis itu tampak lebih gugup dibanding Arya sendiri. Laki-laki itu sampai berpikir keras mengapa gerangan hal itu bisa terjadi. Apakah karena wajahnya yang memilih berusaha bersikap ramah?
"Makasih, ya, Kak."
Dia bilang apa tadi? Kak, katanya? Lucu sekali ketika ia mengatakannya. Apalagi dengan titik-titik gugup yang mewarnai suaranya yang ternyata juga manis. Apakah Arya memang terlihat seperti lebih tua dari usianya?
Lebih dari itu, rasa bahagia tetap saja menelusup masuk ke dadanya. Arya melirik buku yang baru saja diisi. Nama dan kelas gadis itu tertera jelas di sana. Zhafira Freya, kelas X IPA-2. Setidaknya, untuk pertama kali saling melempar ucap, mereka sudah tahu nama masing-masing. Hanya tinggal perasaan masing-masing saja. Laki-laki itu tersenyum geli sendiri kala memikirkannya.
Hmm ... kira-kira panggilannya siapa? Zhafira? Namanya diambil dari batu Safir, ya? Sama indahnya.
Mari menebak siapa yang paling salah tingkah ketika mata mereka saling menatap untuk beberapa detik saja. Arya tidak dapat menampik, ia hampir tak bisa bernapas saat aroma jasmine-nya pekat sekali. Namun, gadis berambut panjang yang tak pernah absen selalu terikat itu ternyata lebih salah tingkah. Senyum yang terbit di wajah dan binar-binar di mata mengatakan segalanya.
Aduh, kalau disuruh menatap lagi, Arya takut lekas-lekas menjadi agar-agar. Sinar-sinar di mata gadis itu kalau bercampur salah tingkah malah menjadi silau sekali. Sialan, malah Arya sudah telanjur jatuh hati. Pilihannya hanya pada membuat binar-binar di mata itu menjadi miliknya saja, pribadi, orang lain harus menepi.
***
[ to be continue ]
--[30/07/21; 23.09]--
--[29/08/21]--
[1] GOR = Gelanggang Olahraga (beberapa orang juga menyebut kepanjangannya sebagai Gedung Olahraga) adalah arena yang menampung kegiatan jasmani berupa permainan, perlombaan, atau kegiatan jasmani lainnya yang meliputi di dalamnya lapangan voli, lapangan bulu tangkis, lapangan futsal, gedung basket, kolam renang, dsb.
...
Aku mengucapkan banyak-banyak terima kasih untuk siapa pun kalian yang sudah menyempatkan diri untuk membaca. Love u to the Neptunus. Stay safe and stay healthy. ♡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top