[fh · 27] - an effort to forget if you ever fall in love

Pertengahan Februari, 2022.

Apakah Arya pernah bilang kalau ia akan berhenti mencintai Fira?

Tidak.

Rasa-rasanya, ia seperti seorang pecundang yang memilih menatap dari kejauhan kala wajah itu---setelah sekian waktu terlewat, sekian ribu jam yang masih terus dihitungi---akhirnya tersenyum bahagia, haru, kuning, penuh semangat. Senyum yang dulu sekali membuatnya jatuh. Dan sayangnya, selalu bisa membuat laki-laki itu jatuh berkali-kali, bahkan juga untuk hari ini.

Sebenarnya kata pecundang tak terlalu cocok untuknya, ia bajingan. Setiap langkahnya adalah kebodohan, tiap tatapnya malah menghancurkan. Satu-satunya yang paling Arya inginkan adalah mendekap erat kekasihnya hingga tak ada jalan lain termasuk melepaskan. Namun, jalan pikirannya malah melakukan hal sebaliknya, lelaki itu mematahkan hati yang lama ditinggal sendirian.

Bukan keramaian, apalagi keriuhan yang membawa langkahnya mengayun ringan ke gedung Fakultas Teknik. Kalau boleh jujur, meski orang-orang juga tahu barangkali Arya ke sana pasti hendak melihat Laura yang berdiri anggun di karpet merah, maka persepsi mereka juga akan disalahkan. Arya datang untuk perancang pakaian Laura, gadis dengan senyum merekah yang wajahnya hampir menyamai kelopak kamboja di halaman rumahnya. Zhafira Freya, kekasihnya.

Atau mungkin tidak lagi. Sebab di awal Februari yang terlalu cerah lalu tiba-tiba berubah badai itu, Arya telah mematahkan hatinya. Membiarkan jam berselimut sarang laba-laba karena lelah berputar hanya untuknya yang bajingan. Mereka telanjur menjadi sepasang mantan kekasih akibat egonya sendiri.

Mungkin Arya memang terlalu bodoh, menganggap semua masalah bisa selesai hanya dengan mendekap Laura di bandara waktu itu. Berharap rasanya juga ikut luntur bersama badai yang datang terlalu tiba-tiba di siang yang seharusnya sangat cerah. Sayangnya, hari ini Arya baru sadar, rasanya bertumbuh makin besar, sulurnya menjalar, dan tentu saja sakitnya juga tak keruan membakar.

"Arya?"

Laki-laki itu tidak tahu kapan tepatnya kaki-kaki jenjang berbalut sneakers hitam dan celana denim senada membawa tubuhnya pada empat orang insani yang tengah berbincang ria. Ruangan terbuka tak lagi padat, para mahasiswa membubarkan diri dengan cepat. Sepertinya Arya terlalu lama tercenung menatap wajah mantan kekasihnya itu. Ah, kelu sekali jika harus mengucapkannya meski hanya dalam hati.

"Kamu---"

"Ayo, pergi." Suara baritonnya lebih dulu memotong ucap yang terdengar ragu dari Laura. Tanpa perlu menatap, ia hanya terpaku pada sepasang mata yang seolah sedang mendekap.

Ada empat pasang mata yang menghujamnya dengan ekspresi berbeda. Bingung untuk Laura, bara-bara amarah untuk April dan Randi, serta di mata yang terakhir, milik Fira. Arya tidak tahu apa maksud dari tatapan itu. Setelah sekian ribu jam berlalu, sepertinya laki-laki itu telah kehilangan kemampuannya membaca emosi yang terpancar dari mata Fira. Sayang sekali, sepertinya memang tak ada cinta untuknya lagi.

"Sekarang, Ya?" Lontaran tanya Laura sarat akan kebingungan, tetapi ada juga titik-titik penolakan.

Tanpa perlu melihat matanya pun, Arya juga tahu jika gadis yang lebih tua setahun darinya itu tak akan ikut berjalan berdampingan dengannya saat itu juga. Namun, untuk sepasang manik kecoklatan yang masih ditatapnya itu, Arya hanya melihat kehampaan. Tak ada cinta yang seperti dulu. Persetan dengan geraman tak suka dari laki-laki lain yang berdiri tepat di sisi Fira. Siapa dia bisa-bisanya marah hanya karena menatap mantan kekasihnya terlalu lama.

Tak butuh beberapa detik, Arya sudah lebih dulu memutus kontak mata. Menghujam dengan kilat-kilat tak suka pada si laki-laki bernama Randi itu. Apa lagi yang perlu Arya cari? Ini konsekuensinya, bukan? Arya sendiri yang membuat situasinya menjadi seperti ini.

Mengapa? Satu-satunya alasan Arya memilih mematahkan hati Fira di bandara waktu itu adalah karena tak ingin gadis itu terus-menerus meletakkan rasa pada dirinya yang bajingan dan pencundang. Tak ingin gadis itu membuang-buang tiap jamnya yang berharga untuk menunggunya yang bahkan tak mungkin kembali berakhir ia dekap. Namun, segalanya tidak diperhitungkan matang-matang oleh si lelaki beriris gelap. Hatinya juga ikut patah, barangkali lebih parah. Berakhir ditinggal sendirian, dengan semak belukar berduri yang terlalu menyakitkan. Patah, berantakan, berserakan.

"Terserah kalau nggak mau," ucapnya terlalu dingin. Entah sebab tak menemukan setitik cinta itu lagi di mata Fira, merutuki kebodohan di pengujung senja yang menyakitkan, atau terbakar cemburu sebab orang lain hampir merebut tempatnya yang nyaman. Arya kebingungan. "Aku pulang sendiri kalau gitu."

Sebelum tumitnya diputar sempurna, mata yang orang bilang segelap dasar danau itu bersirobok lagi dengan mata yang bercahaya di wajah kelopak kamboja itu. Berharap menemukan harap-harap yang pernah membelukar di hari terakhir mereka beradu tatap Agustus lalu. Namun, ia hanya menemukan ragam kecewa yang membungkus iris mata. Fira seperti ... tengah membuat keputusan untuk merelakan.

Kontak mata diputus, langkah diayun menjauh dengan menyisakan bayangan bertabur pupus. Orang-orang di belakangnya itu mungkin bingung mengapa Arya hanya datang untuk pergi yang sia-sia. Namun, tidak ada yang tahu jika laki-laki itu hanya ingin menatap wajah gadis kambojanya dari dekat. Memangkas sekat yang pernah ia bangun sendiri. Arya berupaya untuk menghancurkannya lagi.

Tolong ... tolong jangan ingatkan Arya dengan yang satu ini. Usahanya untuk melupakan kalau pernah jatuh cinta akan sia-sia. Ia tetap akan berakhir pada rasa yang makin terpupuk subur tak terkira.

***

"Ada yang salah sama kamu, Ya."

Suara lembut itu membelai telinganya bersama angin yang bertiup gelisah. Nadanya sarat akan macam-macam bentuk protes yang selalu gadis itu coba untuk lontarkan di ujung lidah. Namun, sebelum sempat mengambang, Arya pasti selalu lebih dulu membiarkan kalimatnya tak diperdengarkan.

"Aku memang salah dari awal, Kak," balasnya pelan, mengambang bersama angin yang bertiup hilir mudik menggoyang rambut dan mencumbui tiap inci tubuhnya yang hampir gemetaran.

Denging ayunan kayu menodai siulan angin, bergoyang-goyang menghanyutkan. Lembayung hampir lahir menggantikan garis-garis jingga yang hampir menenggelamkan diri. Sayang sekali, lembayung hanya muncul sekilas sebelum akhirnya digantikan gelap malam.

Apakah perasaannya selama ini juga seperti itu? Terlalu cepat datang, terlalu cepat pergi, kemudian bertamu lagi esoknya dengan perih yang tak habis-habis. Arya hanya menginginkan adalah sesuatu yang tidak sekadar bertamu, tetapi benar-benar menetap, bertahan, selamanya tanpa perlu pergi dengan pamit yang katanya sebentar saja.

"Selalu ada cara yang baik untuk memperbaiki apa yang kamu hancurkan." Ada kepala yang bersandar di bahunya. Rambut-rambut yang sengaja dibiarkan tak diikat, sedikit beterbangan ke pipinya. Arya seperti dilempar kembali ke masa lalu, Agustus waktu itu. "Tapi dengan cara ini, kamu juga ikut ngehancurin diri kamu sendiri."

"Bodohnya, aku juga ngebawa Fira untuk ikut hancur." Suaranya hampir parau. Kalau Arya menangis sekarang, apalah ia akan disebut sebagai laki-laki paling pecundang? "Aku juga ngebawa Kak Laura dalam hal ini."

Kalau boleh jujur, Arya tidak suka apa pun yang ada di rooftop rumahnya. Apalagi angin yang bersemilir ini, juga lembayungnya yang sudah lahir tetapi hanya sekejap saja. Ia jadi ingat pertemuan terakhir yang melahirkan janji yang berakhir diingkari itu. Salahnya juga, sudah tahu tidak bisa menepati, malah mengumbar terlalu banyak janji. Pada akhirnya, ia tidak hanya melukai Fira, tetapi juga dirinya sendiri. Membunuh dirinya sendiri perlahan dengan bayang-bayang janjinya yang memang sengaja untuk tak pernah ditepati, terkubur sendiri dengan perasaannya yang mungkin tetap berakhir tanpa dibalas lagi.

"Masih ada kesempatan untuk memperbaiki." Sepasang mata teduh itu mungkin menatapnya. Tanpa perlu melihat, Arya juga tahu. Lebih pengertian dari sepasang manik mata ibunya yang hanya sibuk berkumpul dengan para teman-teman sosialitanya. Kadang laki-laki itu berpikir, apakah ia benar-benar anak tunggal keluarga ini? Mengapa ia tidak pernah mendapat kasih sayang yang seharusnya? Ia terus didorong-dorong, untuk memenuhi setiap ekspektasi semua orang.

"Dia masih cinta sama kamu, Ya," lanjut Laura. Lembut, tetapi penuh penekanan. Berputar-putar di gendang telinganya sebentar lalu menelusup masuk begitu cepat dari sudut-sudut dadanya yang memang sudah berlubang sana-sini. Menebarkan aroma musim semi sebentar saja, lantas dengan cepat menyiksanya seperti musim dingin yang membekukan.

Kapan terakhir kali Arya mendengar kata cinta? Ah, keesokan di hari setelah Arya berjanji untuk kembali dengan rasa yang sama. Meminta orang lain untuk berjanji, tetapi dia sendiri yang mengingkari. Lucu sekali, setelahnya laki-laki itu sengaja menghilangkan diri agar Fira tak perlu lagi bertahan untuk cintanya.

Derai tawa hambar mengudara, semakin terdengar menyakiti telinga. Ia ingin menderaikan tangis saja sebenarnya. Namun, malam dengan gemerlap bintang dan bulan yang bersinar separuh itu sepertinya tidak mengizinkan. "Coba ingat, Kak. Apa aku pernah bilang apa alasan aku pengen Fira ngelupain cinta yang pernah kami rajut dulu?"

Semesta jahat sekali. Padahal duduk di ayunan itu sebenarnya bertujuan untuk melupakan luka-luka yang ia buat sendiri. Melupakan cinta yang timbul akibat senyum yang tiba-tiba muncul dan membayangi tiap sudut kepalanya. Setelah senja dan anginnya, sekarang gemerlap bintang ini juga mengingatkan Arya dengan percakapan mengenai konsekuensi jatuh cinta di lapangan sehabis hujan waktu itu. Ia baru sadar sekarang, cinta memang takkan lengkap tanpa sebuah kata jatuh.

"Biar suatu hari nanti nggak ada yang tersakiti, kan?" Kepalanya diangkat, bahunya terasa hampa lagi. Namun, gerakan ayunan sedikit bergoyang agak tak konstan. Laura mengubah posisi duduknya untuk menghadap Arya sepenuhnya. Namun, lelaki itu tetap bersitahan menatap lurus saja. "Tapi apa kenyataannya, Ya? Matanya udah jelas nunjukin kalau dia patah. Kamu pikir aku nggak tau, kamu juga nunjukin mata yang sama. Kamu sakit, Ya." Gadis itu menunjuk dada Arya.

Tetapi, seharusnya Arya juga harus berterimakasih pada semesta malam ini. Keremangan tidak akan sampai menerangi wajahnya, apalagi cahaya bulan yang tak sampai bisa membuat bayang. Lampu-lampu di rooftop rumahnya sengaja tak dinyalakan. Jadi, tidak akan ada yang tahu jika matanya sudah memanas dan memerah. Hanya tinggal menunggu untuk menggenang saja.

Senyum di wajahnya perlahan merangkak naik. Sama sekali tak tulus, terkesan perih dan menggambarkan rasa sakit yang ditahan dadanya. "Iya, Kak. Aku sakit jiwa." Tawa berderai setelahnya, menyakiti telinga. Terlalu banyak tebaran kacanya.

Ada satu bagian lagi di rooftop ini yang menjadi favoritnya selain ayunan, suguhan pemandangan alam yang dinodai atap-atap rumah, dan angin bertiup tak henti. Pohon kamboja setinggi seratus senti di setiap sudut-sudutnya. Potnya terbuat dari tanah liat, dilapisi keramik yang sengaja dipecah-pecah di setiap sisi-sisinya, lebih banyak pecahan yang berwarna hitam dan beberapa lainnya putih. Mungkin sekiranya memang seperti itu warna hidup sesungguhnya.

Bagian paling indah tentu saja kambojanya. Merah muda, kadang tangkai sarinya yang menjulur keluar menyentuh kelopak itu menyuguhkan jingga yang sama seperti mentari terbenam. Indah dan penuh warna. Salah satu alasan Arya selalu menghadiahi Fira banyak sekali bunga itu. Cukup banyak merefleksikan senyum gadis itu kalau tiba-tiba mengembang.

Kalau bunganya dipetik ketika baru saja mekar, getahnya pasti akan berserakan di mana-mana. Namun, kadang kamboja terlalu cepat layu. Terlalu cepat menguning dan berubah hangus. Seperti tiap ucapnya yang melontarkan janji yang tak pernah tertepati. Hanya indah di awal, manis yang terlalu cepat disesapi, tetapi pada akhirnya juga berakhir dengan diingkari, tak sempat menemukan tempatnya untuk ditepati.

Ayunan digerakkan lebih cepat, semilir angin lembut terasa terus-menerus menabraki wajah. Ada risau yang perlahan-lahan meluruh, terjatuh di bawah kaki. "Kamu seharusnya nggak ngelakuin ini, Ya. Caranya nggak baik. Setidaknya kamu coba dulu untuk nepatin janjinya."

Laki-laki itu akhirnya menoleh juga. Laura tak lagi menatapnya, memilih menyirobokkan mata pada hamparan angkasa gelap yang bertabur bintang-bintang yang bergemerlap, bersama separuh bulan yang tertutupi sedikit oleh awan. Di saat angin menerbangkan rambut panjang bergelombang kecoklatan itu, Arya Alvaro baru sadar. Mengingkari janji lama itu bukan hanya menjebak dua orang, tetapi juga gadis di sampingnya yang tidak tahu apa-apa ini.

"Maaf, Kak Laura." Lirih, ucapannya tak lebih keras dari sebuah bisik. Meskipun tak menyamai semilir angin, ucapannya pasti juga sama melayang-layang saja di atas sana. Tidak berguna. "Maaf, aku pikir, aku udah ngejebak Kakak terlalu dalam di masalah aku."

Desah napasnya terlalu berat. Manik mata segelap dasar danau itu berpaling, kepalanya menunduk. Mencoba meluruhkan tiap-tiap rutukan kebodohan yang terus-menerus menjejaki kepalanya. "Mulai besok, Kakak nggak perlu lagi masuk di antara masalah kami berdua. Aku terlalu banyak nyusahin." Sayang sekali, ia tetap saja berakhir dengan rutukan yang tak habis-habis.

Tawa ringan mengisi ruang hampa yang penuh dengan macam-macam emosi negatif; kecewa, duka, luka, amarah, putus cinta, sakit tak terkira. Mencoba meluruhkan setitik demi setitik yang ia bisa. "Aku udah telanjur terjebak, Arya. Kalau aku keluar sendirian, aku nggak yakin bakal bisa hidup tenang setelah bikin orang lain nggak selamat."

Gadis di sebelahnya ini terlalu baik, tidak seharusnya Arya mengikutsertakan kehadirannya di sana waktu itu. Tidak pantas dijadikan alat untuk memutus rasa yang dijalin bertahun lamanya. Tidak cocok dijadikan alasan mengapa sebuah uluran tali harus tiba-tiba diputus. Laura terlalu baik untuk itu semua, Arya yang bajingan karena telah membawanya.

Namun, kalau memang Laura yang keras kepala tetap ingin berada di antara mereka, apakah itu salahnya juga?

"Apa yang kamu pikirin pas kamu bikin rencana kalau hubungan kalian harus putus dengan cara kayak gitu?" Sepasang mata menatapnya lagi. Berkilat sedikit kecewa, tetapi lebih banyak menuntut. "Ada banyak cara untuk mengakhiri, Ya. Cara itu bukannya bikin situasi membaik, tapi malah bikin lubang besar yang bikin kalian terjebak."

Benar, mengapa bisa-bisa ia memikirkan putus yang seperti itu? Arya juga masih mencari jawaban yang sama.

"Restu?"

Hanya sepenggal tanya, tidak sampai sepersekian detik dalam ucapnya, tetapi dengan cepat sulur-sulur perih menjalar dan menggelora di dalam sana. Arya sesak napas, tetapi sakit di dadanya lebih menyiksa.

"Aku ... aku cuma mau yang terbaik buat Fira." Laki-laki itu menghirup napas terlalu dalam. Mencoba meraup semua udara untuk mengisi dadanya yang sesak dan perih. Sayangnya, tiada berguna karena udara bukanlah obatnya. "Dia berhak dapet seseorang yang lebih baik."

"Kamu bisa jamin?"

Dua pasang mata akhirnya bersua setelah saling berpaling tak menemukan. Senyum mengambang sendirian, seolah memberi harap yang selalu Arya gantung tinggi tanpa sempat diberi jeda untuk jadi nyata.

"Atau kamu bilang gitu karena kamu udah dapet seseorang yang lebih baik?"

Pertanyaan retoris. Laura tahu sendiri jika Arya masih terjebak dengan perasaannya yang campur aduk; mencintai luka yang ditebar sendiri, janji tak tertepati, mati cemburu ketika tempatnya disinggahi.

"Cowok itu ... Randi, kan, namanya?" Arya memalingkan wajah. Masih tak terima jika ada laki-laki lain yang menggantikan tempat itu untuk membuat Fira tersenyum. Padahal, ia sendiri yang membuat situasi menjadi menyakiti. "Dia kayaknya cowok baik. Mungkin dia bisa ngobatin lukanya Fira."

"Mungkin." Laura membeo, tertawa mengejek setelahnya. "Nggak semua luka punya obat yang berbeda. Terkadang, obat terbaik adalah sesuatu yang menyebabkan luka itu sendiri."

Arya Alvaro tertegun, tetapi sepertinya masih belum juga tersadar apa maksud sesungguhnya dari ucap yang beterbangan bersama semilir angin yang bertiup agak ricuh malam itu. Ayunan bergoyang tak konstan lagi, berdenging sekali.

Insan di sebelahnya sudah berdiri. Bahunya ditepuk beberapa kali. "Terima kenyataan kalau kamu masih cinta sama dia. Kamu sendiri yang tau gimana perjuangan menemukan cinta itu. Sekarang, dengan mudahnya kamu lepaskan gitu aja?"

Decak mengejek yang menodai siulan angin sebagai penyanyi malam itu. Penyanyi yang membawakan lagu untuk Arya yang masih terombang-ambing dengan perasaan campur aduk. "Memang lebih mudah menulis di lembar baru. Tapi kalau lembar sebelumnya masih punya ruang banyak tersisa, kamu pasti ngerasa sayang untuk ngelewatin gitu aja."

Senyum diulas tulus, bahunya tak lagi disentuh. "Pikirin lagi, Ya."

Setelahnya, langkah diayun menjauh, makin jauh, hilang di balik pintu kayu bercat putih gading. Arya ditinggal lagi, sendiri. Dengan gema-gema ucap yang membuatnya gamang.

Laki-laki itu menengadah, menutup mata, merasakan sentuhan angin yang tak henti mencumbui wajahnya. Apakah ... apakah masih bisa? Apakah harap yang telah meluncur jatuh masih boleh digantung lagi? Apakah ... apakah ceceran hati yang pecah berkeping bisa disatukan kembali?

***

[ to be continue ]

--[23/07/21; 22.48]--
--[22/08/21]--

...

Arya itu sebenarnya bucin banget sama Fira. Cuma ya gitu, dia plin-plan. Takut ngambil langkah, suka ragu-ragu. Tapi tetep aja alasannya buceenn. Duh.

Apakah bab ini membuat kalian kembali ke Tim AryaFira?

To be honest, Arya adalah bajingan yang tidak bisa aku benci. He's my favorite bastard. T-T

Terima kasih sudah membaca. Jangan lupa jangan kesehatan. Luv yaa! ♡

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top