[fh · 26] - almost drowned in the tense situation

Pertengahan Februari, 2022.

[Semua produk yang telah siap, akan dipamerkan. Kalian semua harus punya seorang model yang benar-benar cocok. Tiga produk terbaik dengan model yang sesuai akan mendapat nilai plus sekaligus berkesempatan mendapat pekerjaan di butik ternama di Semarang. Pameran akan dimulai setelah makan siang di Fakultas Teknik. Good luck!]

"April!"

Pekikannya terlalu melengking, menjalar cepat seperti kilat yang datang bersama gemuruh ketika awan hampir melahirkan hujan. Menggema cukup lama di kamar asrama yang tak terlalu lebar itu. Padahal, di balik jendela, langitnya bahkan biru terang, sedikit dikotori ceceran-ceceran awan tipis.

Gadis yang tadinya masih terlelap di ranjang bagian atas, berjengit kaget. Ia terduduk dengan rambut kusut, matanya membelalak, tetapi pikirannya linglung. April menoleh kanan-kiri sebentar lalu menggaruk pipinya.

Kamar asrama berlantai kayu itu mendadak kalang kabut. Mentari baru saja muncul melahirkan pagi yang riuh, debam-debam langkah diayun agak gaduh. Akibat sebuah pesan, kedua gadis yang bahkan belum sempat beberes itu disuguhkan dengan berita yang membuat dada bergedebukan.

April dan Fira sibuk dengan gawai masing-masing. Banyak panggilan dilakukan, belasan pesan dikirimkan, ucap demi ucap dilontarkan, langkah-langkah yang hilir mudik seolah berharap menemukan sebuah titik terang. Namun, banyak di antaranya berakhir dengan desah kecewa yang terlalu kentara.

"Nggak ada yang bisa. Gimana, dong?" April terdengar putus asa. Bahunya sudah merosot, seolah ikut merasakan kecewa yang mungkin akan ditelan sahabatnya hari ini.

Zhafira Freya melirik sahabatnya sebentar. Tanpa tenaga, tubuhnya terduduk begitu saja di ranjang bawah yang belum dibereskan; selimutnya belum dilipat, bantal-bantalnya bertebaran, dan seprainya kusut sana-sini.

Dentum-dentum dalam dadanya belum berhenti bertalu. Napasnya memburu seperti baru saja berlari sangat jauh, padahal ia hanya diburu waktu. Maniknya menjatuhkan pandang pada sebuah manekin setengah badan tanpa kepala di samping lemari pakaian mereka.

Gaunnya sudah selesai, cantik. Warnanya dusty, seperti kelopak kamboja-kamboja yang baru saja mekar. Silhouette-nya [1] punya model ballgown, tetapi Fira mengambil referensi juga dari model bouffant. Waistline-nya [2] dibuat agar mengikuti bentuk pinggang, diberi ikat pinggang dari satin dengan warna nude. Untuk sleeve [3], Fira tak ambil pusing dengan banyak desain, hanya model yang membentuk lekuk lengan dengan panjang hampir menyentuh siku. Skirt [4] gaunnya selutut dan neckline [5] yang digunakan adalah sweetheart. Untuk menutupi bagian bahu, Fira menambahkan lagi kain chiffon agar bagian atas tak terlalu terbuka, tetapi juga tak memberatkan si pemakai gaun. Ada bunga besar di dada kiri dan bunga-bunga kecil di pinggang.

Fira mengerahkan semua kemampuannya untuk membuat pakaian terbaiknya. Dibuat dalam empat hari berturut dengan menggunakan mesin jahit peninggalan bundanya. Ia takut, hanya karena tak mendapat seorang model, meskipun pakaiannya sebagus apa pun, ia tak berakhir mencapai mimpi pertamanya untuk mendapat pekerjaan itu.

April memang pernah bilang, tidak ada salahnya mencoba dulu, soal kalah menang, urusan belakangan. Namun hari ini, kalimat itu tak lagi bisa menenangkan. Ia sudah sangat keras mencoba, setidaknya ada hasil yang lebih baik untuk Fira dapatkan.

Gadis yang masih mengenakan piama tidur itu menghirup napas dalam-dalam. Gigi-giginya tak henti menjepit bibir bawah. Begitu matanya menjatuhkan tatap pada April yang bersandar di meja belajar, cahaya matahari yang menelusup dari tirai putih yang belum dibuka seolah memberi ilusi lampu sorot padanya. Fira tiba-tiba dihantam sebuah ide.

"April ...," panggilnya. Ia menelan saliva sebelum melanjutkan. "Kalau kamu yang jadi modelnya, gimana?"

***

Pintu aluminium di toilet pertama berderit terbuka. Gadis berambut pendek yang menyentuh dagu menampakkan diri dari baliknya. Mengenakan dress yang panjangnya hampir menyentuh betis dan bagian pinggang dan dadanya yang agak longgar. Dan April sama sekali tidak menunjukkan air muka yang terlihat nyaman dengan pakaian buatan sahabatnya. Gadis itu tampak seperti ... eum ... badut, tetapi dengan setelan yang lebih berkelas.

"Aku pikir bajunya ...." Randi tak melanjutkan, seolah sengaja menggantungkan ucapannya sembari terus memerhatikan gadis itu dari atas ke bawah.

"Bajunya nggak cocok di aku," sambung April sembari berdecak. Wajahnya menekuk. "Kebesaran."

Toilet khusus perempuan itu bukannya tak sepi. Para mahasiswi banyak yang hilir mudik bergantian memakai bilik-bilik toilet. Menatapi Randi yang bersandar di depan kaca besar dengan tiga westafel di depannya. Sepertinya bingung sekaligus tak suka juga jika salah satu ruangan privasi wanita dimasuki oleh seorang laki-laki.

Fira yang berdiri di samping Randi pun ikut menatapi pakaian rancangannya yang dikenakan April. Air mukanya sarat akan kekhawatiran yang kentara. Kerut-kerutan di sekitar dahi dan pinggiran matanya sangat jelas terlihat.

Ia mendesah frustrasi sembari mengusap wajahnya kasar. Harapnya terasa pupus di detik-detik terakhir ketika semuanya sudah sedekat ini. Tak sampai tiga jam seleksinya akan dimulai, dan Fira masih menutupi wajahnya dengan hela napas yang terdengar putus asa. Seolah sudah pasrah saja jika memang semesta belum mengizinkannya menerima kabulan harap yang digantung terlalu tinggi itu.

Namun, mengapa harus di detik terakhir seperti ini? Ia sudah mengerahkan semua tenaganya; membuat rancangan terbaik dan menghubungi setiap orang yang dirasa bisa menjadi modelnya. Sayang, semuanya mungkin akan berakhir lenyap dalam beberapa jam ke depan. Fira sungguh tidak tahu hendak apa setelah ini. Mungkin menjadi butiran manik-manik sisa pembuatan bajunya saja di laci meja.

"Kamu nggak bisa gitu bujuk mama kamu buat jadiin Fira karyawan di sana?" Sisi kosong di antara alisnya berkerut menatap satu-satunya lelaki di sana. Dengan sebelah tangan, April memperbaiki letak atas gaunnya yang hampir merosot menuruni bahu. "Kan, kemaren kamu bilang butik itu punya mama kamu."

Randi berdecak, merotasikan bola matanya sembari bersedekap. "Sebelum kamu suruh aku juga udah ngambil langkah duluan." Manik coklat gelap itu melirik Fira sebentar saja, menghela napas yang menguarkan asa-asa yang memudar. "Tapi dia bilang, Fira tetep harus jalanin prosedur sesuai yang dikasih dosennya."

Dua pasang mata menatap Fira dengan sorot yang tampak hampir hampir putus asa, sama sepertinya yang sudah memilih untuk berendam di kolam kecewa. Erangan frustrasi yang disertai hentakan kaki dari April membuat dua orang gadis yang hendak mendekati westafel mengurungkan niat. Mereka lantas mengayunkan langkah keluar dari toilet agak tergesa. Entah siapa yang sebenarnya salah; ketiga remaja itu yang salah tempat, atau dua gadis tadi yang salah waktu.

"Kamu nggak ...." April menggantungkan ucapnya. Memilih menggigiti bibir bawah sembari menatap Randi dan Fira berganti. Seolah memberi isyarat jika laki-laki itu harus berusaha lebih keras. Mengingat, kondisi Fira saat itu seperti telah hilang semua harapnya bersama pegangan untuk tetap hidup.

Kerut-kerut risau di wajah Randi tergambar jelas. Meskipun berulang kali mendesah panjang yang berarti tak punya harapan, ia menggariskan senyum yang malah terlihat masam. Dari saku celananya, ia mengeluarkan gawai. "Aku bakal coba telepon temen yang lain. Siapa tau bisa."

Aprilia Faranisa mengangguk, ikut menorehkan senyum sebelas duabelas. Setelah Randi bergerak keluar toilet, gadis itu menyentuh pundak sahabatnya. Menyalurkan rasa percaya dan semangat, meskipun tahu jika hal itu tidak akan berhasil.

"Kamu udah berusaha sebaik yang kamu bisa, Ra," katanya lembut sembari memiringkan kepala. Mencoba mencari di mana sekiranya Fira menyembunyikan mata yang terlalu banyak menguarkan keputusasaan yang terlalu pekat itu. "Aku udah pernah bilang, kan, kalaupun menang atau kalah, setidaknya kamu udah nyoba? Coba, deh, untuk kali ini kamu tambahin rasa percaya."

Tidak ada hiruk pikuk di sana, derap-derap langkah yang keluar masuk toilet pun juga tak terdengar. Hanya ada kedua gadis itu, berdiri tepat di depan benda yang merefleksikan segala sesuatu di depannya. Fira berhenti menunduk, balas menatap sepasang mata yang bersinar dengan sorot-sorot harap seperti cahaya mentari yang mencoba menelusup masuk dari sela-sela tirai yang tertutup.

"Kamu harus percaya kalau kamu bisa bikin harap kamu itu jadi nyata." Titik senyum muncul di wajah orientalnya, makin naik, makin lebar, seolah tengah menebar aroma bunga-bunga yang membangkitkan semangat lebih banyak. Sepasang matanya menyipit, tinggal garis lengkung saja. "Wajar kalau kamu kecewa. Tapi, nggak wajar kalau kecewa sebelum sesuatu itu dimulai. Jangan kecewa dulu untuk sesuatu yang hasilnya belum jelas gini."

Kadang-kadang Fira lupa, ia tidak sendiri. April masih di sini, menopangnya agar tak menjatuhkan diri. Memberinya tiap-tiap peluk dan senyum ketika rasa-rasanya keadaan hati mulai menyepi. Seperti saat ini, Fira merasakan jika jiwa bundanya yang pergi datang kembali, menelusup masuk pada jiwa April yang membuat semangat yang hilang itu perlahan bangkit lagi.

Zhafira Freya menaikkan kedua sudut bibirnya ketika setitik air matanya jatuh meluruh. Ia mengangguk beberapa kali ketika April menggenggam kedua tangannya erat.

Sahabatnya itu benar. Seharusnya Fira tak menyerah secepat ini, tidak berputus asa dalam kedipan sekali. Kalau memang rancangannya tidak bagus bagi mereka, Fira masih punya kesempatan lain kali. Semesta barangkali belum merestui kali ini. Namun yang Fira paham, ia sudah mencobanya sebelum benar-benar berhenti.

"Apa pun nanti hasilnya, inget aja kalau kamu masih punya rasa percaya sama bakat kamu. Kalau enggak sekarang, mungkin lain kali," lanjut April dengan senyum yang masih bersitahan di wajahnya. Hangat, seperti sinar-sinar mentari di luar gedung ini. Fira tiba-tiba merindukan bundanya lagi.

Jeda cukup lama tercipta. Fira harus lebih banyak bersyukur dalam hidupnya, berkesempatan memiliki April untuk memberinya cipratan-cipratan semangat membara. "Makasih, April." Senyum harunya berubah cepat menjadi senyum jahil. "Tapi kamu mau, kan, tetep pake baju ini kalau kita nggak dapet model lain?"

Air mukanya berubah masam, April memberenggut lagi dengan geraman pertanda tak suka. "Nanti aku diejekin badut, Ra," rengeknya.

Derai tawa ringan mengisi ruang kosong di antara mereka. Hampanya hilang, heningnya terbuang. Hanya April yang bisa mengubah suasana hatinya berubah dengan cepat. Untuk kali ini, gadis itu berharap jika semesta tak membawa April pergi darinya, setidaknya dalam waktu yang terlalu singkat.

"Nggak pa-pa. Nanti aku tambahin rambut keriting warna-warni buat kamu."

"Firaaa!"

Rengekannya menggema, disertai bibir yang bersitahan mengerut. Singkat saja. Setelahnya mereka tertawa bersama. Hingga ketukan sepatu hak tinggi yang mencumbui keramik toilet menyapa gendang telinga. Derai tawa memudar, kedua gadis itu menoleh bersamaan ke arah pintu masuk toilet. Sepasang manusia melangkah mendekat.

"Kayaknya baju itu kebesaran sama April." Suaranya lembut, tetapi sama sekali tak terdengar tengah memberi ejekan. Ia menatap April sebentar sebelum akhirnya menjatuhkan tatap pada Fira, menaikkan sedikit sudut-sudut bibirnya. "Kalau aku aja yang pake, nggak masalah, kan, Nona Perancang?"

***

Laura Cecillia, mahasiswi tahun kedua jurusan manajemen bisnis. Punya darah Inggris dari ibunya dan darah Semarang dari sang ayah. Aksen wajah Eropa di wajah itu dan rambutnya yang kecoklatan mungkin di dapat dari sang ibu, kalau mata yang bersinar teduh itu pasti dari ayahnya. Tidak heran saban hari di depan fakultasnya waktu itu Fira mendengar jika Arya memanggilnya seolah gadis itu lebih tua.

Fira baru mengetahui itu semua ketika gadis itu sibuk berdandan di depan westafel setelah memakai gaun rancangannya. Benar-benar cocok, klop di mana-mana. Ia tak menemukan hal yang ganjil ketika melihat gadis setengah blasteran yang bernotabene sebagai kekasih dari mantan kekasihnya saat mengenakannya. Fira merasa, seperti tengah membuat gaun untuk Laura.

Kejadiannya cepat sekali. Harapnya yang diulur terlalu panjang agar jatuh, ternyata cepat sekali ditarik kembali. Seperti layangan, semoga saja tidak berakhir melayang-layang tanpa tahu di mana hendak menjatuhkan labuhan.

Randi tiba-tiba datang membawa Laura. Katanya, saat tengah menghubungi seseorang yang bisa dijadikan model, gadis itu menanyainya. Lalu, pengajuan diri pun dimulai. Laki-laki itu pikir, memang tidak ada salahnya. Lagi pula, Laura punya postur tubuh yang kira-kira cocok untuk gaun rancangan Fira. Yang membuatnya menjadi agak mengganjal adalah bagian di mana status Laura sebagai kekasih Arya.

Namun, dengan menakjubkannya gadis itu berucap, "Dia siapa? Arya nggak ada urusannya sama ini. Bantu orang lain seharusnya nggak perlu pakai embel-embel nama seseorang, kan? Untuk saat ini, anggap aja dia nggak ada." Hingga akhirnya Randi setuju membawa Laura langsung pada Fira, meskipun ada setitik ragu yang masih tersisa. Takut-takut jika ternyata ada niat buruk yang terselubung di antara ucapnya yang terdengar tulus dan meyakinkan. Semoga saja spekulasinya tidak benar.

"Kalau kamu butuh model, kenapa nggak cari aku?" Hening ternoda derit pintu ketika Laura hendak memecahnya lebih dulu. Gadis itu menyusun peralatan kecantikannya di dalam sebuah tas khusus berwarna hitam. "Kan, waktu itu aku udah bilang, kalau butuh bantuan, kamu langsung bilang aja."

Ada empat gadis yang berdiri di depan westafel. Seorang lagi gadis asing yang tengah merapikan rambutnya sebentar, lalu berderap pergi setelah menatapi gaun yang dipakai Laura. Randi tak di sana, selain tak enak dengan gadis-gadis yang keluar masuk toilet, katanya ia juga harus menemui ibunya yang akan jadi penilai untuk pameran pakaian anak-anak tata busana tahun pertama. Jadi, hanya April yang menemani Fira berbincang dengan Laura. Kebetulan tidak ada kelas apa pun hari itu dan juga berjaga-jaga kalau sesuatu yang tidak diinginkan terjadi.

Zhafira Freya melirik sahabatnya sebentar, April yang bersandar di dinding sembari memainkan gawai mengangkat dagunya sekilas. "Aku nggak kepikiran, Kak. Lagi pula, aku juga nggak punya nomor Kakak untuk ngehubungin."

Rambut kecoklatan dengan gradasi pirang di beberapa bagian digerai. Seperempat bagian kanan diletakkan ke depan bahu, bergelombang, menjuntai menyentuh neckline berbentuk sweetheart itu. Menurut Fira, memang tidak ada yang lebih cocok untuk mengenakan gaun itu selain Laura. Aneh sekali jika Fira bisa membuat ukuran yang benar-benar pas untuk gadis itu.

Laura berdecak sembari memutar tumit memunggungi kaca di depan westafel, tangannya bersedekap. "Kenapa semua orang suka manggil aku kakak? Aku berasa tua banget."

Senyum-senyum kecil perlahan menampakkan diri setelah adegan demi adegan yang dilalui begitu tegang dan canggung. Mereka saling melempar senyum, canggung perlahan terhapus.

"Iya, bener. Karena buru-buru waktu itu, aku jadi lupa kalau belum ngasih kontak." Si gadis berambut kecoklatan itu menyodorkan gawainya pada Fira. "Ketik nomor kamu, ya. Nanti aku hubungin."

Ponsel dikembalikan, senyum canggung merangkak naik lagi. Mengisi hawa-hawa di sekitar mereka yang mulai sedikit tak nyaman.

"Makasih sebelumnya, Kak, udah mau jadi model untuk gaun rancangan aku," ucap Fira setengah lirih. Sarat dengan nada tulus dan benar-benar bersyukur mendapatkan keajaiban di detik-detik terakhir seperti ini.

"Chill! [6]" Laura tertawa ringan, langkahnya mengayun mendekati Fira. "Bukannya kita udah temenan? Nggak ada yang ngelarang buat bantu temen sendiri, kan?" Ia menatap April sebentar, seolah menanyakan apakah pernyataan benar atau tidak. April mengangguk sekali meskipun agak ragu.

Gaun disentuh, dijumput sedikit lalu si pemakainya berputar sekali hingga bagian bawahnya mengembang. Fira baru menyadari, jika gaunnya memang seindah itu juga dipakai orang yang tepat. "Aku mau pakai gaun ini juga karena bagus banget. Beneran, deh. Ini nyaman. Sesuai sama yang aku bilang waktu itu."

"Aku nggak tau mau bilang apa, Kak." Senyum di wajah Fira meluntur sebentar, tetapi dengan cepat naik lagi. Ada binar-binar penuh haru yang terpancar dari matanya. "Makasih udah mau bantuin."

Laura tersenyum, menyentuh pundak Fira lembut. "Aku juga makasih, loh. Udah dipercayakan untuk dijadiin model dan pakai gaun rancangan kamu yang aku idamin dari waktu itu."

"Maaf nyela." Hening yang lebih terasa haru itu dipecah oleh suara April dan kakinya yang mengayun mendekat. "Jam makan siang hampir habis, Ra. Aku rasa kayaknya kita harus ke lokasi sekarang."

Laura dan Fira serempak mengangguk bersama. Diikuti April, ketiga gadis itu keluar dari toilet, hendak menyambangi tempat dilaksanakannya pameran busana karya pertama anak-anak tata busana.

Ketukan demi ketukan dari sepatu hak tinggi berwarna deepblush itu begitu serasi dengan langkahnya yang mengayun anggun menuju ruang terbuka yang menghubungkan banyak kelas-kelas jurusan, anak-anak tangga, dan pintu keluar masuk fakultas. Hanya dari ketukan itu saja, orang-orang menoleh dan memberi jalan agar mereka bisa memasuki area pameran sudah dipenuhi orang-orang. Dengan cepat Laura menjadi pusat perhatian baru di samping model-model dengan lain yang sudah lebih dulu berdiri di sana. Sepertinya acara akan dimulai, mungkin Fira dan modelnya itu terlalu lama bersiap-siap.

Senyum Laura merangkak naik, rona di wajahnya samar-samar mulai tampak. Fira tidak tahu apakah seseorang bisa punya niat buruk di balik wajah anggun nan penuh kehormatan yang tinggi itu. Namun yang gadis itu pahami pasti, Laura punya niat baik untuk membantu tanpa harus menyangkutpautkan dengan kekasihnya, Arya. Semoga saja pemikiran semua orang salah. Tidak akan ada harap yang harus diulur dan ditarik talinya lagi.

Di bagian dadanya, Laura ditempelkan angka. Katanya, nomor peserta. Nomor 17. Orang bilang angka itu adalah angka keberuntungan. Semoga saja benar adanya.

Setelah pidato panjang lebar yang disampaikan dosen tata busana serta pemilik butik yang sebenarnya adalah ibunya Randi, peragaan busana mulai dilakukan. Satu-persatu model berjalan di atas karpet merah yang memang disiapkan untuk jalur para peraga busana.

Semuanya anggun, bermacam model pakaian yang diperagakan juga apik. Tanpa cela, estetik. Semua mahasiswa jurusan tata busana memang benar-benar menyiapkan karya terbaik mereka. Hingga tiba giliran Laura yang bergerak, Fira mulai menahan napasnya. Menelan saliva dengan sedikit susah payah.

Namun, hal itu tak berlangsung cukup lama. Kedua tangan yang ujung-ujungnya sudah dingin itu digenggam erat oleh April, bahunya juga ditepuk-tepuk oleh Randi. Belum lagi tepuk tangan meriah yang panjang begitu Laura selesai dengan peragaannya.

"Harus percaya, gaun kamu cantik. Mama pasti milih gaun kamu sebagai salah satu gaun terbaik," bisik Randi di tengah riuh para mahasiswa ketika model lain menginjak karpet merah. "Jangan tegang, oke? Tarik napas, tahan sejam."

"Mati, dong," sahut Fira yang tanpa sadar menghela napas terlalu panjang. Ia tertawa ringan setelahnya.

"Kamu bujuk mama kamu lagi, Ran?" Nada April terdengar terlalu penasaran, matanya menyorotkan harap yang sama besar seperti Fira.

Air muka Randi berubah sedikit muram. Sudah pasti jawaban yang akan Fira terima tidak akan berakhir memuaskan. "Itu, sih, udah pasti. Tapi nyonya rumah itu tetep kukuh. Dia bilang apa pun yang terjadi, jalurnya tetep harus pake jalur utama dulu. Ibaratnya, nggak boleh main curang gitu."

Ada desah kecewa yang menguar di antara riuh sorakan dan tepuk tangan. Benar adanya, untuk membuat sesuatu tercapai dengan baik, harus menggunakan cara yang baik pula. Setidaknya, saat ini Fira masih menggenggam rasa percayanya bersama harap serupa. Semoga saja terkabul segera, dengan cara yang baik pula.

Riuh sorakan yang bersambut tepukan tangan yang terlampau meriah belum juga luntur. Fakultas Teknik mendadak menjadi lautan manusia yang mengelilingi karpet merah yang di atasnya telah berbaris rapi para peraga dan peragawati bersama perancang pakaiannya.

"Wow, keliatannya banyak banget desainer berbakat di kampus kita, ya," ucap dosen tata busana itu dengan pelantang suara di tangannya yang sesekali berdenging agak mengganggu. Riuh kembali menggetarkan seisi gedung, tepuk tangan dan sorakan bersambut-sambut. "Gimana menurut Anda, Nyonya Dewi, pemilik butik ternama di kota ini? Bingung mau pilih pakaiannya?" Wanita itu tertawa-tawa, berusaha melunturkan titik-titik gusar yang tumbuh membesar di tiap-tiap mahasiswa tata busana.

Pelantang suara diangsurkan, tetapi hanya riuh suara penonton yang didengarkan. Nyonya butik Mozzafiato melempar senyum ke segala penjuru mata angin. Matanya berbinar-binar ketika menubrukkan pandangan pada barisan para model dengan desain indah yang mereka kenakan.

"Saya rasa, saya sudah punya kandidat pertama." Ia melirik si dosen tata busana, sorakan menggema makin riuh. Mengetuk-ngetuk dada setiap mahasiswa tata busana yang berdiri makin tak nyaman; gugup, gusar, takut, dingin.

"Hohoho! Siapa, ya, dia?" Teriakan menggema tanpa pelantang suara. Si dosen tata busana itu sepertinya lebih bersemangat mendengar rancangan siapa yang terpilih.

Hela napas panjang dan kentara akan gugup yang dingin berulang kali menguar. Fira menggigit bibir bawahnya gusar dengan dentum-dentum dalam dadanya yang seakan menyaingi riuh sorakan dan tepuk tangan yang membubung tinggi di sekitarnya. Lantas kemudian, tangannya digenggam erat. Punggung tangannya usap lembut dan hangat beberapa kali. Menyalurkan sebuah ketenangan yang memang perlu Fira dapatkan. Begitu menoleh, senyum hangat dan anggukan percaya menyapanya. Laura memberinya sebuah kedipan sebelah mata.

"Boleh saya katakan, kalau saya suka angka 17?"

Tidak tahu mengapa tiba-tiba gedung Fakultas Teknik mendadak sehening ini setelah ungkapan dari Dewi membubung bersama denging pendek pelantang suara yang digenggamnya. Penonton, peserta, dan para model tiba-tiba menjadi bisu dan linglung untuk beberapa detik yang bergerak begitu lambat.

Tak terlalu terlambat, tetapi seorang laki-laki dan perempuan menyorakkan nama Fira dan Laura hingga gedung mendadak riuh lagi. Itu Randi dan April. Kedua insani itu bergerak tergesa dari lautan manusia menuju pinggiran karpet merah. Memandangi lengkungan di bibir Fira yang hampir naik sebab ekspektasi telah berada di ujung tatapnya tengah menjadi realitas.

"Tunggu, tunggu. Maksudnya Anda hanya suka angkanya atau suka pada desainnya?"

Kebingungan yang diutarakan di dosen tata busana membuat seisi gedung menyamarkan riuh sorakannya. Senyum-senyum tak percaya dan terlalu bersemangat tadi meluntur, ada harap yang tiba-tiba jatuh meluncur.

Derai tawa menggelikan berderai. "Ya, rancangannya. Untuk apa saya bilang suka 17 kalau bukan untuk nyebut bajunya?"

Tepuk tangan, riuh sorakan, senyum-senyum yang mencerahkan, ucap selamat yang membubung melegakan, membawa kembali senyum yang sempat hilang. Fira sesak napas, mungkin sebab terlalu bahagia juga. Bulir-bulir dari matanya berjatuhan, masih terlalu tak percaya dengan takdir semesta yang terlalu menyenangkan.

"Wow, Fira? Zhafira Freya? Itu kamu, kan?" Si dosen tata busana berucap bersemangat, hampir memekik. Kepalanya celingukan, berusaha melihat deretan nomor tujuhbelas dari tempatnya berdiri. "Ayo, kemari. Kita akan cari dua teman kamu yang lainnya."

Banyak ucap terima kasih yang tak bisa dilontarkan dengan bibir. Semesta memang terlalu baik untuk mengabulkan tiap-tiap harapnya yang membubung lampau lalu. Dia tahu mana yang mestinya menjadi realita, mana yang harusnya tetap menjadi mimpi semata.

Memang benar, selain harus memegang harap, seseorang juga harus menggenggam percaya di tangannya yang lain. Jadi ketika merasa harap hampir meluncur jatuh, ada sebuah rasa percaya di tangan lain yang mendorong untuk tak membiarkannya untuk luruh.

Fira berhasil kabulin harapnya bunda. Andai bunda di sini, Fira yakin bunda yang bakal lebih dulu peluk Fira erat-erat. Senyum yang lebar bunda, di sana.

Senyum di wajahnya mengembang, penuh, terlalu bercahaya. Binar-binar di matanya berkilauan dengan genangan yang siap luruh kapan saja akibat bahagia yang terlampau tak tertampung. Kakinya menjejak langkah berdampingan dengan Laura untuk berdiri di samping pemilik butik dan dosennya.

Lain kali, ingatkan Fira untuk tak berhenti menggantung macam-macam asa. Tentunya bersama pula dengan sebuah rasa percaya.

***

[ to be continue ]

--[21/07/21; 23.30]--
--[21/08/21]--

[1] Silhoutte -- keseluruhan dari model gaun.
[2] Waistline -- model garis pinggang.
[3] Sleeve -- model lengan.
[4] Skirt -- panjang dari bagian bawah gaun.
[5] Neckline -- bentuk kerah pada gaun.
[6] Chill -- bahasa slang Amerika yang berarti 'santai atau tenang aja'.

...

Jika ada yang keliru dalam pendeskripsian tiap-tiap bagian gaunnya, bagi anak yang memang pernah belajar soal tata busana, mohon koreksinya, ya. Soalnya aku bukan anak tata busana, tidak punya keinginan juga:"

Sampai jumpa di lain hari. Jangan lupa bahagia dan tetap jaga kesehatan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top