[fh · 25] - a way to let you fly without me
I wish I could tie
this heart not to flutter
not to feel for you
when you are closer.
[1]
***
Pertengahan Februari, 2022.
Zhafira Freya sama sekali tidak tahu apa yang membuat kakinya memilih bersitahan di atas teras keramik cokelat terang Fakultas Teknik. Bukan sebab langit yang berawan, tidak juga derasnya hujan. Pun hari itu, sudah jelas langitnya cerah, mega bahkan berserak tipis-tipis seperti permen kapas yang biasa dijual di pasar malam.
Seharusnya ia menyelesaikan dress-nya, tenggat tidak sampai tiga hari lagi. Meskipun ia sudah yakin sudah menyelesaikan dengan baik, tetap aja patut mengevaluasi tentang apa yang tidak cocok ditambahkan atau yang seharusnya dilebihkan.
Ia tidak juga melakukannya. Hanya mematung dengan pandangan lurus ke depan; para mahasiswa yang hilir mudik di atas paving block atau meneduhkan diri di bawah naungan koridor ketika matahari mencoba meloloskan diri dari kungkungan serakan awan.
Namun, kiranya semesta selalu menjadi jawaban tanpa perlu berucap. Ketukan sepatu hak tinggi yang mencumbui paving block menyentuh telinganya. Terus mendekat hingga kemudian menaiki undakan-undakan rendah dan berhenti beberapa langkah darinya. Blouse pinggala polos dengan rok lebih rendah dari lutut berwarna turangga itu benar-benar cocok membalut tubuhnya
Gadis itu tersenyum. Buku-buku di tangan kirinya dirapikan sebentar. Rambut bergelombang kecoklatan yang ujung-ujungnya dicat pirang itu bergoyang sedikit dibelai semilir angin. Ia mengulurkan tangan. "Laura. Nama kamu Fira, kan?"
Bibirnya masih bersitahan mengatup, bingung mengapa pacar baru mantan kekasihnya ini tiba-tiba menghampiri dan memperkenalkan diri. Fira menatap wajah sumringah itu sebentar sebelum bergulir pada tangannya yang masih mengambang.
Ia membalas uluran itu. "Iya. Salam kenal." Ada senyum yang terulas tipis di wajahnya, bagian dari basa-basi kesopanan meskipun tampak sedikit kerut heran yang menyertainya.
Laura---begitu tadi ia memperkenalkan diri---melangkah ke sisi kanan Fira. Dengan senyum yang hampir sama cerah seperti hari itu, ia menghadap ke mana Fira juga memandang.
"Kamu nggak keliatan terkejut kalau aku tau nama kamu." Gadis itu menyelipkan sedikit rambutnya ke belakang telinga.
Fira menoleh sekilas, agak mendongak karena Laura lebih tinggi darinya. Entah memang ia tinggi, atau sebab sepatu hak tinggi hitam yang membungkus kakinya itu. Fira menghela napas pelan, ia tidak perlu bingung mengenai hal tersebut. Siapa lagi yang harus repot-repot memberitahu, hanya satu orang pelaku.
Dia tertawa ringan; sama sekali tak terdengar canggung atau palsu. "Ah, kamu pasti udah tau jawabannya." Laura melirik sebentar. "Tenang aja. Aku di sini enggak disuruh dia, kok."
Hela napasnya terlalu lirih, ada harap yang diam-diam menguar bersama deru napas pelan. Semoga saja ucapannya tak palsu, seperti senyum yang tulus yang masih bersitahan di wajah itu.
"Kemarin ...." Gadis itu menggeser tubuhnya sedikit pada Fira, mungkin berharap kalau mereka bisa bersemuka. Namun, Fira tak mengindahkan. Ia lebih memilih mendengar saja dengan pandangan lurus pada pohon-pohon menjulang di atas rumput hijau terang akibat mentari yang bersinar terlalu terik. "Aku liat sedikit gambaran kamu di perpus waktu itu. Aku nggak yakin, itu desain baju, kan?"
Ada perasaan gundah yang tiba-tiba meranggas dari dalam dadanya. Ada amarah dan keirian yang hampir menggelora ketika tiap-tiap ucap yang terlontar dari bibir Laura mengetuki gendang telinga. Meskipun saban hari ia sudah memutuskan untuk menggarisbawahi diri sebagai mantan kekasih Arya, hari ini ia malah tak ikhlas menerima gadis di sisinya ini sebagai kekasih baru Arya. Tidak, entah sampai kapan. Ia hanya tak rela jika tempatnya terganti secepat arakan mega yang mencoba menutup teriknya surya. Terlalu cepat juga bersama jarak yang terulur tak terhingga.
Zhafira Freya menoleh sebentar, mengulas senyum yang tidak sampai ke mata apa lagi telinga. Gumam pendek mengudara bersama sebuah anggukan.
Senyum mungkin bisa dipalsukan, tetapi apakah sinar-sinar di mata juga sama? Fira mau tak mau mengarahkan wajah pada gadis di sebelahnya. Garis-garis di wajah Laura menggambarkan kalau dia bersemangat. Binar-binar di matanya berkilau terlalu cerah.
"Aku memang nggak liat terlalu jelas, sih." Senyum di wajahnya luntur sebentar. Singkat saja, terlampau cepat berganti riang lagi. Rambut-rambutnya di dekat dahi bergoyang sedikit dibelai semilir angin. "Tapi aku yakin pasti kalau bajunya udah jadi, itu bakal bagus banget. Aku nggak sabar nanti pengen pesen baju dari kamu."
Gurat kejujuran di nada dan wajah itu membuat Fira mengulas senyum yang hampir menyamai. Ranggas-ranggas gundah, amarah, dan keirian hampir hangus. Asapnya ditiup angin menjauh, berganti aroma bunga-bunga musim semi yang menenangkan dan menghangatkan.
Tidak, seharusnya memang Fira tidak perlu iri apalagi marah. Laura benar-benar gadis yang tulus lagi terhormat. Lebih pantas menggantikan---ah, tidak bukan menggantikan, lebih cocok bersanding dengan Arya daripada dirinya. Hanya satu yang masih menjadi tanya di kepala, alasan gadis ini tiba-tiba datang dan memujinya pasti bukan alasan utama.
"Aku masih pemula," sahut Fira setelah menghirup napas agak dalam. "Itu karya pertama." Senyumnya berubah tipis kemudian. "Tapi makasih sebelumnya."
Bibir Laura menekuk, binar di matanya berubah menjadi sinar tidak percaya. "Beneran? Tapi aku rasa itu bagus, loh."
Meskipun menerima, tetapi mencari celah-celah kesalahan orang yang tidak disukai sudah menjadi kelaziman yang akan dilakukan manusia. Fira menaikkan sudut bibir kanannya. "Darimana kamu tau kalau kamu baru aja bilang kalau kamu nggak ngeliat terlalu jelas?"
Tidak perlu ucap untuk mengutarakan bahwa pernyataan Fira memang tepat sasaran. Binar di matanya hilang, senyumnya tertiup angin, dan garis-garis semangat di wajahnya terhapus. Laura menggigit bibir bawah dalamnya dengan mata berlarian.
"Maaf, Fira." Suaranya tak lebih keras dari sebuah bisik. Lirih, penuh dengan penyesalan atas rasa bersalah yang tidak Fira tahu apa maksudnya. Rambut kecoklatan dan di beberapa bagian dicat pirang itu bergerak mengombak ditiup angin. Mengantarkan kegelisahan yang sama ketika matanya mencoba menatap Fira balik.
Fira mengerutkan dahi. "Maaf?" ulangnya tak mengerti.
"Soal Arya---" Padahal tidak ada yang memotong ucapnya, tetapi Laura seperti tercekat napasnya. Kalimatnya tersangkut di tenggorokan, sulit dikeluarkan. Namun, gadis itu susah payah berusaha melanjutkan. "Kamu pasti berpikir kalau aku ngerebut dia dari kamu. Atau mungkin Arya nganggap hubungan kalian permainan."
Gadis dengan rambut hitam dikucir itu masih tak mengerti. Jadi sebenarnya Laura datang karena hal ini, bukan sebab benar-benar ingin melempar pujian-pujian?
"Tapi---"
"Kak Laura?"
Kali ini ucapnya benar-benar terpotong akibat suara lain yang menginterupsi. Langkah-langkah ringan menggesek permukaan keramik coklat terang, terus hingga mereka bertiga saling bersemuka. Menatap sama bingung. Atmosfer dengan cepat berubah canggung.
Tidak lebih empat hari yang lalu. Wajah dengan rahang tegas itu, manik mata segelap danau itu, kembali menghujamnya dengan aura misterius. Laki-laki itu menjadi kembali seperti tiga tahun lalu; terlalu penuh tanda tanya dan tak terbaca.
Sayang sekali dentum-dentum dalam dada Fira malah berpesta pora. Padahal ia hanya ditatap singkat saja, tak sampai menghitung sampai tiga. Arya terburu memutus kontak mata dan menatap lamat-lamat gadis dengan surai kecoklatan tak terikat yang jatuh di bawah bahu. Bersorot tak percaya.
Namun, ada hal janggal lainnya. Fira tidak salah dengar, kan? Arya baru saja memanggil Laura seakan gadis itu lebih tua darinya. Fira berhenti menatap Arya, ikut juga menoleh pada Laura yang sudah melarikan matanya. Benarkah?
"Kalian ngomongin apa?" Ucapnya hampir tak terdengar seperti tanya yang penuh keingintahuan, malah seolah mendesak dengan sorot yang membingungkan. Arya menekankan kalimatnya bersama tatap yang tak putus ikut mendesak Laura. Lantas, melirik Fira lagi, singkat saja.
Tawa berderai, canggung, kaku, dan palsu. Meluruh bersama tiupan angin yang agak gaduh. Namun, tawanya lenyap secepat datangnya yang terburu-buru. "Masalah perempuan." Laura tertawa lagi, tetapi lebih berusaha agar tak sama kaku seperti sebelumnya. "Apa semuanya harus banget dikasih tau ke kamu?"
Arya menghirup napas dalam-dalam. Tali-tali yang menjuntai dari tas backpack-nya bergoyang-goyang. Ia gelisah, tetapi mencoba menutup rapat-rapat dengan menjauhi kontak mata dari Fira. Rahangnya tiba-tiba berubah agak ketat.
"Tapi kenapa harus sama dia?" Nadanya rendah, sedikit tajam.
Fira mengerjap beberapa kali. Dadanya agak ngilu. Apa salahnya hingga Arya seolah menganggap gadis itu harus dijauhi? Jika bukan karena Laura yang mendekatinya lebih dulu, Fira mana mau memulai ucap pertama.
Mungkin menanggapi dari awal memang salahnya. Mencoba berbaikan dengan masa lalu, terutama menjadi teman dari kekasihnya mantan kekasih bukanlah hal yang terlalu baik. Fira merasa direndahkan. Bahkan seolah tak pantas melabeli diri sebagai mantan kekasih Arya.
"Oh!" Laura terdengar tak percaya. "Memangnya itu urusan kamu, kalau aku mau berteman sama siapa aja?"
"Enggak---"
"Terus?"
Fira menghela napas sedikit kasar. Apakah ia dibayar untuk pertengkaran sepasang kekasih ini? Tidak sama sekali. Sulur-sulur keirian dalam dadanya kembali meranggas, terlalu subur. Kedua orang ini memupuk dengan sangat teratur. Mungkin sebab itulah hening di antara mereka tercipta. Baru sadar jika berada di tempat umum dan ada orang ketika yang mendengarkan pembicaraan terlalu dekat.
Laura memegang lembut lengan Fira yang bebas. Raut tak sukanya berubah lembut seiring senyum yang terulas perlahan. "Maaf, Ra." Ia tertawa canggung. "Kapan-kapan kita ngobrol lagi, ya. Kalau butuh bantuan aku, jangan sungkan. Temuin aja di Fakultas Ekonomi. Aku pikir, kamu juga punya temen di sana, kan?"
Sepasang mata bermanik gelap menatapnya lagi, terlalu intens, entah apa maksudnya. Fira mengabaikan dengan lebih dulu membalas tatapan Laura. Tersenyum ringan, lalu mengangguk.
Sentuhan di tangannya terlepas, berganti tangan lain yang ditarik menjauh. Langkah-langkah berderap meninggalkannya berdiri seorang diri di depan pintu. Sulur-sulur keiriannya memangkas diri, bergilir dengan ketukan-ketukan sendu.
Janjinya hilang, jaraknya tertelan, kamboja tak lagi bergoyang. Seharusnya cinta yang terlalu lama lapuk itu juga ikut terbenam. Sayangnya, perasaan untuk melepaskan itu masih terlalu goyah. Pondasinya tak cukup kokoh. Fira harus menelan sendiri fakta pahitnya. Bahwa, melupakan kalau pernah jatuh cinta tak semudah menutup lembaran buku yang di antaranya ada kelopak kamboja.
Jatuh cinta sendirian, sakitnya pun seorangan.
***
I try not to love you,
but it seems impossible
I try to hold back my feelings,
but it's unstoppable.
[1]
***
"Tumben kamu belum pergi jam segini."
Suara sepatu yang mengetuki lantai keramik mencumbui pendengarannya. Makin dekat, lantas kemudian derit kursi di sebelahnya membuat Randi menoleh. Ia hampir saja menyuapkan nasi dan lauk sebelum helaan napas panjang dari pria paruh baya di sebelahnya terdengar.
Dengan mulut penuh dan sibuk mengunyah, Randi tersenyum susah payah. Ia menenggak setengah gelas air di depannya, lalu berucap penuh semangat dan riang. "Wow, wow, aku merasa sangat terhormat bisa duduk di samping manajer eksekutif ini." Laki-laki itu mengatupkan kedua tangannya di depan wajah, lalu menunduk sebentar; memberi hormat.
Nugroho, si pria paruh baya yang masih mengenakan jas formal hitam itu tertawa-tawa. Ia menepuk-nepuk bahu putranya beberapa kali. "Gimana kuliah kamu? Udah siap jadi arsitek terkenal, huh?"
Mentari merangkak makin tinggi, terik, angin yang bertiup malah mengantarkan gerah. Namun, senyum yang terulas di bibir laki-laki muda itu membuat meja makan tak terasa seperti di luar rumah. Randi menggeleng beberapa kali sembari memotong-motong lauk di atas piringnya.
"Tetep aja nggak bisa ngalahin hebatnya Papa nanti." Randi tertawa kecil, menyuapkan sesendok lagi ke mulutnya. Ia melirik ayahnya, tersenyum jahil.
Pria paruh baya itu membalas dengan tawa yang tidak semenggema tadi. Ia membalik piring di atas meja, menambahkan dua tiga sendok nasi dan lauk pauk. Ikut makan bersama putranya. "Kamu berbakat. Papa liat itu di kamar kamu banyak stik es krim sama lidi-lidi yang disusun gitu. Siapa tau besok kamu mau jualan es potong atau es krim."
"Paa!" peringat sebuah suara bersama hentakan sepatu yang mendekati meja makan. Bukan Randi, seorang wanita yang sekarang duduk di depan mereka yang berucap.
Dewi namanya. Sangat cocok karena bidadari di rumah hanya dirinya seorang. Tiap garis di wajahnya adalah penyemangat dan cinta. Menyelimuti rumah yang hanya diisi mereka bertiga. Wanita itu mendelik sebentar pada Nugroho lalu menggeleng sambil tersenyum sedikit.
"Ya, boleh aja," sahut Randi enteng dengan bahu bergerak naik sebentar. "Tapi Papa juga harus bantuin Randi, ya."
Tawa mengudara lagi, hangat. Menyelimuti ruangan yang hampir seluruhnya berwarna putih dan abu-abu itu. Dua laki-laki yang duduk berdampingan itu menampilkan air muka bahagia penuh lelucon. Wanita yang sedang menyendokkan sesuap nasi dan lauk ke mulut itu menggeleng tak habis pikir dengan senyum yang sama hangatnya.
Sudah lama sekali sejak mereka seperti ini; saling berbagi tawa, tersenyum sama hangat seperti mentari pagi. Kalau Randi ingat, mungkin sekitar sebulan lalu terakhir kali mereka makan bersama.
Ketiganya selalu sibuk. Nugroho selalu berangkat pagi buta, kadang tidak pulang karena baru saja diangkat menjadi manager eksekutif di sebuah perusahaan berita dan majalah. Dewi sibuk dengan toko butiknya yang semakin hari semakin ramai, terkadang juga tidur di toko karena banyaknya pesanan yang harus diselesaikan dan diantar dengan karyawan yang belum memadai. Randi sendiri dipusingkan dengan jurusan yang ia ambil, arsitektur memang menyenangkan, tetapi mampu juga membuat kepalanya hampir pecah.
Apa pun keadaannya, seharusnya Randi mensyukuri. Meskipun berkumpul seperti ini jarang dilakukan, mereka tetap saling melihat satu sama lain ketika akan beranjak beraktivitas.
Empat tahun lalu, Randi menemukan kebahagiaannya yang sempat hilang. Nugroho mungkin bukan ayah biologisnya. Namun dari pria itu, Randi menemukan hangatnya peluk seorang ayah yang tidak pernah ia terima sejak kecil.
Ayah kandungnya menjadi pemabuk berat setelah dipecat dari sebuah perusahaan. Dewi yang bekerja keras untuk menafkahi mereka. Pria itu selalu kasar pada Randi dan Dewi. Ketika sepeninggalnya lima tahun lalu, Randi tidak tahu mesti bersyukur atau bersedih. Dia dan ibunya tak lagi harus menerima tekanan dan pukulan lebih banyak. Tidak ada lagi aroma alkohol yang menyeruak.
Kedatangan Nugroho dalam kehidupan mereka seharusnya memang sebuah anugrah dari kesabaran itu. Memang hanya seorang ayah tiri, tetapi Randi seperti punya ayah kandung.
"Aku denger, Mama buka lowongan pekerjaan buat desainer baru, ya?"
Denting-denting sendok garpu yang menyentuh piring ternoda suara bariton. Dengan mulut yang belum berhenti mengunyah, matanya menatap penuh minat pada sang ibu yang memotong-motong lauk pauk di seberang meja makan kaca.
Dewi mengangguk. Dia bergumam pendek tanpa melepas tatap dari piringnya. "Mama mau cari desainer muda yang berbakat. Jadi Mama minta temen Mama buat nyari kriteria yang sesuai."
"Dari kampus Galang Udayana?"
"Iya." Wanita itu mengangguk lagi. Ia balas menatap putranya yang berbinar penuh kebingungan dan garis-garis terkejut di sekitar mata. "Kampus kamu anak-anak tata busananya berbakat, kan? Mama pikir nggak ada salahnya ngasih satu dua peluang buat mereka."
Air muka terkejut itu dengan cepat berubah berbinar. Ada aroma musim semi yang tiba-tiba menyentuh pucuk hidung. Randi seperti mendapat peluang besar. "Aku punya satu temen anak tata busana. Mama nggak bisa gitu jadiin dia desainer di butik?" Laki-laki itu menoleh sebentar pada Nugroho; meminta meyakinkan. "Aku jamin seratus persen dia berbakat, Ma. Disiplin sama sopan juga. Pasti Mama nggak bakal kecewa kalau jadiin dia karyawan Mama."
Denting-denting sendok garpu yang menyentuh piring porselen tak lagi terdengar. Dewi menatap suaminya singkat saja, tetapi ada tanda tanya yang tiba-tiba berjatuhan di sekitar mereka.
"Dia ikutin prosedur dosennya untuk bikin produk dulu, kan?" Wanita paruh baya itu meletakkan sendok garpunya di piring, tangan berganti bertaut di atas meja, balas menatap putra semata wayangnya.
Randi berpikir sebentar, mengangguk penuh semangat setelahnya. "Ikut. Aku liat dia beberapa kali bikin desain di kertas, tapi belum liat produknya. Cuma itu bagus banget, Ma."
Dewi menghela napas pendek. Tangannya terulur meraih segelas air. "Ikutin dulu aja prosedurnya, Randi. Kalau dia nggak lolos kriteria dari dosennya, nanti Mama sendiri yang review lagi produknya."
"Bakal langsung jadi karyawan Mama, kan?" Matanya berbinar penuh harap pada sosok wanita di seberang meja. Randi menoleh lagi pada Nugroho, berharap pria itu mau membantunya membujuk. Namun, pria itu tak jua kunjung membuka mulut. Mungkin beranggapan jika hal tersebut bukan urusannya.
"Kalau bagus, ya, diterima." Satu-satunya wanita di meja makan menyahut tanpa menoleh. Ia lanjut menyuapkan nasi dan lauk pauk.
"Kalau enggak bagus, enggak jadi?"
Wanita paruh baya itu mengangguk.
"Kok enggak?" Ada kecewa yang meluncur jatuh dari suara Randi yang sedikit serak. Bahunya ikut merosot. "Aku yakin dia itu berbakat, loh, Ma. Desainnya bagus-bagus semua. Masa---"
"Randi," potong Dewi cepat. "Kalau kamu percaya semua karya dia itu bagus, seharusnya kamu juga percaya kalau dia bakal lolos seleksi itu. Kamu bujuk-bujuk Mama kayak gini buat jadiin dia karyawan, sama aja kayak kamu nggak percaya sama bakatnya."
"Tapi aku cuma pengen bantu dia, Ma. Dia butuh banget pekerjaan itu." Randi menjeda dengan helaan napas yang terlalu panjang. Sedikit ragu melanjutkan kalimatnya, tetapi berakhir meluncur juga kendatipun dengan ucap yang tak lebih dari sekadar bisik. "Bundanya baru meninggal beberapa waktu lalu."
Hening menyeruak, denting tak terdengar, pun angin juga tak bertiup gaduh di luar rumah. Sebuah senyap yang janggal. Ketiga manusia itu menatap satu sama lain dengan detik-detik yang berlalu begitu lambat.
"Mama sendiri yang bilang mau ngasih kesempatan, kan?" Nugroho yang memecah heningnya. Ia menepuk-nepuk pelan bahu putranya beberapa kali, memberi dukungan. "Nggak ada salahnya dipertimbangkan dulu."
Dewi, meskipun usianya sudah paruh baya, muka teduh dan anggunnya masih tetap melekat di sana. Ia menghela napas agak panjang, menatap suaminya sebentar lalu beralih pada Randi. "Kayak yang Mama bilang di awal, Mama harus review ulang produknya kalau dia bener-bener mau jadi karyawan di butik." Ia berkutat lagi dengan sendok garpunya. "Kebetulan Mama sendiri yang bakal nilai langsung nantinya."
***
[ to be continue ]
--[18/07/21; 19.39]--
--[18/08/21]--
[1] Terjemahan bebas untuk penggalan lirik milik SIZZY - ห้ามใจ (Unstoppable).
...
Halo! Apa kabar? Semoga sehat selalu, ya.
Aku nggak akan pernah bosan bilang makasih untuk siapa aja yang udah nyempatin waktunya untuk membaca cerita aneh ini. Kalau menemukan kejanggalan, jangan lupa beritau!
Luv. ♡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top