[fh · 23] - you can never keep the promises
Awal Februari, 2022.
Terlalu panjang jarak yang diulur, terlalu sedikit kepekaan terhadap rasa yang sudah berumur, dan terlampau hangus kelopak kamboja yang telah berjamur. Terkadang manusia lupa atau bahkan sengaja tak ingat jika janji dahulu yang diutarakan dalam suka yang terlampau gembira, malah akan mendatangkan ingkar dengan sakit tak terkira.
Zhafira Freya semestinya sadar, kepergian tanpa hubungan yang tetap terus dijalin melalui komunikasi jarak jauh sebenarnya sudah berakhir saat itu juga. Fira juga seharusnya sadar, jika Arya tidak pernah berusaha menghubunginya maka artinya lelaki itu sudah punya tempat pulang yang lain. Dan ketika pesan dari nomor tak dikenal itu diterima, Fira seharusnya tidak buru-buru memacu langkah ke bandara.
Arya hanya ingin memamerkan kekasih barunya. Menjelaskan jika tidak ada hubungan lagi di antara mereka secara resmi.
Dengan wajah yang masih banjir itu, tumitnya memutar. Meninggalkan tempatnya dengan dilihat beberapa orang. Mereka sepertinya kasihan pada Fira sebab untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di sana, ia malah membanjirkan banyak sekali air mata. Sepasang insan di belakangnya itu mungkin masih menatap punggungnya yang perlahan menjauh, ada kalanya tersemat iba juga. Namun, bukankah Fira telah menganggu waktu pasangan itu bermesraan?
Fira pikir, pemandangan itu hanya cukup untuk dirinya sendiri saja. Faktanya, sepasang manusia lain berdiri tak jauh darinya. Memang tak lebih buruk dari wajahnya, tetapi April dan Randi seolah ikut memilih mendekap pilu bersama.
Gadis itu menatap kedua sahabatnya, tersenyum penuh kepahitan. Meskipun tangannya berulang kali menghapus jejak-jejak memanjang di wajah, matanya tak berhenti terus-menerus menurunkan hujan. Fira dirangkul sebentar, dibawa menghilang dari sana. Tempatnya menjatuhkan hujan terlalu banyak di pijakannya yang pertama.
Alih-alih menyalahkan diri sendiri sebab terlalu dini datang, Fira lebih ingin meraung saja. Menangis sekencang-kencangnya, meneriakkan tiap kepingan patah yang tak berani dipunguti di sudut hatinya. Daripada begini, menatap kosong ke depan, tanpa harap lagi, tak ada yang tersemat lagi, pun tak ada isak-isak kecil yang lolos di bibirnya yang kering. Hanya mata yang terus menggenang, banjir terus-menerus, seperti langit yang terlalu lama menahan kemarau panjang lantas kemudian berakhir dengan hujan yang redanya entah kapan.
Tidak ada yang tahu, kan? Bahkan seorang peramal saja bisa meleset memprediksi masa depan. Tidak ada yang semestinya disalahkan. Tidak Fira yang memilih mengabaikan perkataan April waktu itu, tidak Arya yang memilih memutus kontak, atau pula semesta yang memilih mempertemukan di tiga tahun lalu.
Tidak ada. Sebab semuanya sudah disisipkan semesta terlalu lama. Tidak ada celah untuk membantah. Bahkan ketika langit tiba-tiba memilih memangku awan kelabu lalu mendebamkan air mata ketika perjalanan pulang itu bergerak terlalu lambat dan biru. Hendak menyamai hujan di wajahnya yang memerah dan bengkak.
"Sebenarnya kenapa? Aku nggak ngerti. Kalian juga nggak cerita apa-apa." Desakan terdengar di nadanya, tetapi ia tetap menjaga agar suaranya tidak terlalu besar meskipun hujan di luar menggedor-gedor atap.
Mereka tidak kembali ke asrama, melainkan rumah Fira. Gadis itu sendiri yang meminta. April pikir juga rumah itu akan terasa lebih menenangkan jika di asrama. Namun, baru saja sampai. Fira memilih bertahan membisu dan mengunci dirinya di kamar. Tanpa isak, tanpa suara apa pun, hanya air mata yang terus mengalir.
April ikut duduk bersama Randi di karpet dengan motif absrak. Menghela napas panjang sebelum menjawab. "Menurut kamu kenapa kamu nggak pernah sekali pun denger Fira teleponan sama pacarnya?"
"Karena pacarnya itu sebenarnya udah punya cewek lain?" tebak Randi dengan bahu terangkat. Mengingat lagi saat pacarnya Fira ternyata merengkuh orang lain di pertemuan yang pertama.
Gadis yang duduk di sebelahnya itu berdecak sembari merotasikan mata. "Nomornya Arya memang nggak pernah aktif lagi sejak terakhir kali mereka ketemu."
Saat itu, Randi bukan hanya mengetahui kalau ternyata selama ini Fira terlalu banyak memangku kerinduan, tetapi hubungan tanpa komunikasi yang baik tidak akan pernah berjalan baik pula. Jika harus melihat dari sisi lelaki, Arya seharusnya tak menyimpan terlalu banyak rahasianya sendirian.
"Kamu percaya kalau cewek tadi itu memang pacar barunya?" Randi melontarkan tanya bersama debam-debam yang kian merajalela menapaki tanah yang memang sudah agak kering. Ada gemuruh dan kilatan-kilatan yang sekali tampak dari balik jendela bertirai merah muda itu. Sepertinya tengah membantu Fira mengubur kesedihan yang sama.
April mengerjab beberapa kali, urung menyesap secangkir teh hangat yang hampir menyentuh bibirnya. Ia menoleh dengan pandangan yang sama bingung dengan Randi. "Kalau dia bilang itu pacarnya, menurut kamu dia bohong?"
Namun, tiada ucap yang juga terlontar dari bibir lelaki itu. Hanya helaan-helaan napas berat yang membubung tinggi bersama kekhawatiran yang hawanya makin memekat. Kedua insan itu membiarkan pertanyaannya terus melayang-layang tanpa diterka-teka apa jawabnya. Menunggu seseorang di balik pintu kayu itu memilih keluar dari pilunya dan bersedia membagi dengan orang-orang yang duduk menatapi kapan daunnya bergerak.
***
Duduknya sama sekali tak terlihat nyaman. Sebelah kakinya terjulur ke depan, sedangkan sebelah kaki dibiarkan menekuk ke bagian bawah ranjang. Sisi kanan tubuhnya bersandar ke tempat tidur dengan kepala menjejak miring berusaha mencari kenyamanan. Wajahnya buruk, merah padam, bengkak di mana-mana, masih banjir juga, tak berniat reda barang sebentar seperti badai di luar rumahnya.
Apakah Fira bilang ia tak mau kembali ke asrama karena terlalu banyak benda di sana yang mengingatkannya pada Arya? Desain-desain di kertas, jam dindingnya, buku-bukunya, kamboja yang mengering. Ia tidak bisa membayangkan bahkan setiap sudut kamar asrama mengingatkan Fira tentang janji yang lenyap itu. Sepuluh ribu jam yang tak sampai, tetapi terlalu dalam menorehkan luka.
Tidak di sini. Kamarnya hening dan senyap, terlalu. Telinganya bahkan tidak bisa mendengar jika di luar sana hujan dan angin sedang mengamuk, gemuruh bersahut-sahutan, akar-akar kilat berulang kali berusaha menyentuh tanah. Tidak ada juga orang-orang yang berbicara tanpa jeda seperti dengungan lebah di bandara. Atau suara bariton yang tak lama ia dengar akhirnya berucap, "Iya, Dia pacar aku." tetapi bukan menyebut dirinya.
Lantas, kalau sekarang ia takut kembali ke asrama, bagaimana? Fira takut disesaki fakta jika ada harapnya yang tak terwujud. Ia takut kepalanya penuh lagi dengan Arya yang bukan lagi satu-satunya alasan untuk terus setia, sabar, mengitungi tiap jam yang terlewat dengan sudah payah. Ia takut ... janji-janji yang luntur bersama tangisnya di bandara menjejaki kepalanya lagi sampai ia benar-benar jadi orang gila.
Janji, huh?
Fira sudah menepati semua janjinya. Menunggu Arya pulang. Hari ini lelaki itu pulang, belum sampai ketika Fira selesai menghitung sampai sepuluh ribu, tetapi sayang sekali tidak pulang padanya. Lelaki itu menemukan pulangnya yang lain, di saat sambungannya terputus.
Mata bengkak dan berairnya perlahan bergulir naik ke atas nakas. Sebuah bingkai foto masuk dalam penglihatannya. Potret Fira dan bundanya. Sengaja dipindahkan ke sana saat gadis itu memutuskan menghabiskan liburan di rumah saja.
Kerinduan tiba-tiba menelusup masuk dari mata, meluncur menuju dadanya. Menggantikan perasaan kecewa dan kekalutan dalam sekali luruhan air mata lagi. Fira merindukan bundanya. Fira ingin memeluk bundanya. Fira membutuhkan bundanya saat ini juga.
Tepat setelah isak pedih yang akhirnya keluar juga, Fira merasakan hangat yang menyelimuti punggungnya. Tidak cukup hangat kalau bundanya benar-benar memeluknya dulu, tetapi cukup membuatnya nyaman di hujan yang dinginnya masuk melalui celah-celah jendela yang tertutup rapat.
Peluk yang perlahan mulai sama hangat dengan milik bundanya. Sayang sekali Fira berakhir hanya melihat kegelapan. Apakah malam datang secepat ini?
***
Februari masih permulaan, jika harus dihadapkan lagi dengan peristiwa tak menyenangkan, ia tak yakin akan tetap terus bertahan. Namun, lagi-lagi, semesta selalu punya kejutan.
Jam makan siang sudah berakhir, tetapi meja kafetaria kampus dengan tiga kursi di dekat air mancur itu baru saja terisi. Ketiga insan itu sibuk dengan makan siangnya seraya mengerjakan tugas dan mengisi diktat kuliah mereka. Seharusnya yang seperti ini adalah pemandangan biasa. Namun, baru sebentar, dua gadis yang sama sekali tidak mereka kenal menghampiri dengan malu-malu.
Awalnya April pikir, gadis-gadis itu berniat mendekati Randi. Tidak perlu heran seharusnya, sebab lelaki itu-orang yang ia sukai yang sayang sekali malah berakhir menjadi sahabatnya-punya paras yang tidak buruk. Kulitnya memang tidak terlalu terang, tetapi rahang tegas dan alis yang membingkai matanya itu pasti akan cepat memikat gadis-gadis. Untungnya lelaki itu sampai saat ini lebih memilih sendiri, jadi April tak perlu bersaing dengan orang lain.
Tetapi, spekulasinya salah.
"Kamu dari Fakultas Ekonomi, kan?" Gadis berambut yang bergelombang dan sedikit pirang itu yang bertanya. Sedangkan temannya yang memakai jaket denim dan dengan gaya rambut hampir sama seperti April tersenyum malu-malu entah untuk apa.
April memerhatikan mereka detail sekali. Ia sempat harus melempar tatapan bingung pada Fira dan Randi yang juga sama herannya. "Iya, kenapa?"
"Kamu tau soal anak baru dari gedung fakultas yang sama kayak kamu, nggak?" tanyanya lagi.
Kebingungannya makin menjadi-jadi, menular juga kepada Fira dan Randi. Ketiga insani itu saling menatapi lagi seolah sedang mencari tahu melalui tatapan mata. Sayang sekali mereka hanya menemui kenihilan.
"Aku ... aku nggak tau kalau ada anak baru di Fakultas Ekonomi," jawab April jujur dengan sedikit percik heran di suaranya. Detik itu juga ia menyadari raut heran yang lebih kentara ditunjukkan dua gadis yang masih berdiri di sisi meja itu.
Tangan gadis yang berambut pirang diturunkan bersama gawainya. Mungkin saja jika April memang tahu, mereka akan meminta nomor ponsel atau ID Line sekalian. Padahal juga kalau April tahu, ia tidak mungkin sampai punya informasi sepribadi itu. Mau satu gedung atau tidak, memangnya itu urusan April? Siapa memangnya anak baru itu hingga harus membuat dua gadis ini berharap April mengetahui tentangnya?
"Masa kamu nggak tau, sih?" Nada bicara gadis itu terdengar kesal. Bukankah seharusnya April yang merasa kesal karena jam makan siang sekaligus membuat tugasnya ini menjadi terhambat? Ada apa, sih, dengan mereka? "Tadi aku liat ada cowok-si anak baru itu-masuk gedung fakultas kamu. Kalian, kan, satu gedung. Mustahil nggak ketemu."
Sudah cukup. Kedua gadis ini benar-benar mengganggu sekarang. April bangkit dari duduknya menatap tak suka pada gadis berambut pendek itu. "Denger, ya. Yang bisa masuk gedung fakultas itu bukan anak ekonomi. Kamu udah bisa pastiin kalau dia anak ekonomi? Kalau dia ternyata anak farmasi, gimana?"
Gadis yang berambut pendek hendak memulai ucap lagi, tetapi April lebih dulu memotong. "Lagi pula kalau misalnya dia beneran anak ekonomi, bukan urusan aku, kan? Masuk ke sana juga nggak harus isi buku tamu."
Dada April naik turun, emosinya belum keluar semua. Namun, Fira lebih dulu menarik tangannya untuk kembali duduk. Mengusap-usap punggungnya agar ia tak jadi meluapkan kekesalan lebih banyak.
Yang berambut pirang kini hendak berucap, tetapi Fira lebih dulu menyela. "Udah, ya. Intinya kami di sini nggak ada yang tau." Terlalu lembut, April pikir seharusnya kedua gadis pemaksa dan kecentilan karena seorang lelaki anak baru tidak perlu diperlakukan dengan baik.
"Tapi-"
April gemas, sudah dibilang tetap juga keras kepala. Beruntungnya Randi lebih dulu angkat bicara. Yang paling baik adalah nadanya yang terdengar tegas. "Kalian denger, kan? Nggak ada yang tau. Emang apa yang spesial dari anak baru itu sampai kalian harus keliling nanyain setiap orang yang ada di sini?"
Kedua gadis asing itu membisu. Mungkin akhirnya sadar juga kalau yang mereka lakukan sama sekali tak cocok untuk gadis-gadis seumurannya. Mau mengejar lelaki, huh? Jangan pikirkan sebelum nanti memilih untuk jadi mahasiswa abadi saja.
"Kalau minta ID Line kamu aja, nggak pa-pa, kan?"
Kursi berdenging mengganggu telinga. Jika Fira tak menahan, mungkin April akan bangkit lagi meluapkan semua kekesalannya. "How dare you?"
Beruntungnya, setelah mendengar kekesalan yang masih hanya seujung kuku itu, mereka berdua beranjak dari sana-kalang kabut. Berjaga-jaga saja kalau nanti aura singa betina milik April menghancurkan seisi kafetaria. Fira menghela napas panjang-mencoba mengalihkan perhatian April-sahabatnya itu mengikutinya juga.
Tawa berderai panjang dan menjengkelkan membubung di meja mereka. Begitu April menatapnya tajam, seperti hendak menerkam, Randi langsung tutup mulut. Menggerakkan tangannya seperti tengah mengunci. Tetapi tetap saja ada sisa-sisa tawa yang hendak dimuntahkan.
"Maaf, maaf. Aku cuma nggak habis pikir aja kalau cewek-cewek zaman sekarang kalau udah bertekad, nanyain mulu sampai bikin orang kesel," ucapnya setelah berdeham beberapa kali.
April melirik satu-satunya lelaki di lingkaran mereka. Randi tidak tahu saja April terlalu bertekad menyembunyikan perasaannya sampai-sampai Fira kesal sendiri. Padahal tinggal bilang saja. Tidak perlu tatap matanya juga tak apa, begitu kata Fira. Namun, April tetap belum bisa mengumpulkan keberanian yang lebih, entah kapan banyaknya.
"Cewek-cewek zaman sekarang," ulang Fira sembari merotasikan bola mata jengahnya. Menolak.
Randi tertawa lagi, tetapi tidak lebih panjang dari yang pertama. "Aku, kan, nggak bilang semua."
Gadis berambut terkucir itu menyesap vanilla latte dinginnya yang dibiarkan teronggok terlalu lama. Ia bergumam panjang sebelum membalas. "Terserah kamu aja."
Fira ditemani orang yang tepat. Kampus dan teman-temannya adalah perpaduan yang tepat untuk menghilangkan semua memori-memori buruk yang terjadi akhir-akhir ini. Meskipun kejadian baru saja sedikit membuat jengkel, tetapi agak menghiburnya juga karena kemarahan April hampir saja membongkar perasaannya terhadap Randi. Sayang sekali lelaki itu tidak peka.
"Tapi, emang kalian nggak penasaran siapa si anak baru itu?" Randi bersuara lagi. Menatap bergantian dua gadis di depannya yang kembali sibuk dengan makanan dan tugas. Lelaki itu beralih menatap laptopnya yang menyala. Tersentil sedikit untuk mengerjakan juga.
April dan Fira menaikkan wajah, menatap Randi dengan wajah tanpa riak. Mereka serempak menggeleng bersamaan.
Alis tebal lelaki itu menyatu. "Lah, kenapa? Aku denger tadi temen-temen satu jurusan aku juga ngomongin si anak baru itu."
"Kamu cowok, tapi demen ngegosip. Aku curiga." Fira yang berbicara. Kalau Randi terlalu banyak berbicara, sepertinya memang malah tidak seperti lelaki pada umumnya.
"Eh!" Benar saja, lelaki itu agak tersentak. Mungkin tersentil juga harga dirinya. "Astaga, Ra. Nggak itu. Aku cuma penasaran aja kenapa kalian kayak nggak berminat sama si anak baru itu."
"Liat aja belum," sahut April tanpa mengalihkan wajah dari layar laptopnya. Gadis itu sedang fokus pada tugasnya, tetapi masih sempat juga menyahuti Randi. Dasar!
Randi menghela napas pendek. Ia menyandarkan tubuhnya dengan nyaman di kursi. Menatap lagi tugasnya yang diketik di layar laptop. Baru selesai setengah, tetapi sepertinya tangan tidak berniat melanjutkan. "Kalau kata mereka, kayaknya dia ganteng."
"Gantengan kamu pasti." Kalau yang ini pasti April mengatakannya saat tak sadar. Matanya terlalu fokus sampai kepalanya membiarkan bibirnya mengatakan kata hati. Ck ck ck.
"Ow! Makasih! Tapi aku nggak punya duit receh." Lelaki itu menegakkan tubuhnya lagi. Ada riak-riak kepongahan di matanya.
Lihatlah, betapa tidak pekanya Randi. Tidak heran April terus-menerus beralasan ingin memupuk lebih banyak keberanian untuk mengatakan perasaannya. Fira takut, kalau nanti itu terjadi, Randi malah mengira kalau April sedang berlatih untuk pentas drama.
Gadis itu mengeleng beberapa kali sebelum akhirnya kembali memaku diri untuk mengerjakan desainnya. Sudah cukup tangisnya. Ada mimpi yang harus ia kejar. Ia harus jadi salah satu dari tiga orang yang mendapat pekerjaan itu.
Namun, sepertinya desain itu juga tak akan selesai hari ini sebab Fira memilih menjauhkan pensilnya dari kertas yang sudah berisi garis-garis abstrak. Anginnya bertiup agak gelisah dan matahari tak bersinar lagi karena mega berarak terlalu tergesa menutupi. Lantas kemudian bersambut hening yang terlalu kentara. Kafetaria kampus tak pernah sehening ini sebelumnya.
Pasti ada yang salah. Pintu masuk kafetaria mungkin adalah asal semuanya. Sayang sekali mereka tak bisa berkesempatan melihat. Atau mungkin bisa. Tapi entahlah.
***
[ to be continue ]
-[03/07/21; 16.28]-
--[14/08/21]--
...
Terima kasih sudah berkenan membaca. Semoga harimu selalu menyenangkan! ♡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top