[fh · 22] - frangipani blooms, but wilts earlier
Awal Februari, 2022.
Sepertinya waktu terlalu cepat berlalu ketika kita sibuk dengan masa kini, menata masa depan, dan sejenak melupakan sesuatu yang mungkin menghambat mimpi menjadi terwujud. Fira kembali mengingat, akhir tahun lalu sangat-sangat sibuk. Bahkan sama sekali tak sempat lagi duduk di kafetaria atau di depan kolam. Dia hanya bolak-balik perpustakaan untuk mempersiapkan ujian akhir semester.
April juga sama. Kadang sahabatnya itu tidur ketika pagi hampir menjelang untuk membuat laporan-laporan mendadak. Mereka juga sempat beberapa kali begadang bersama hanya untuk mengerjakan tugas sampai pagi. Itu juga tidak langsung tidur karena ketika pagi harinya mereka melakukan ujian lagi. Menjadi kelelawar atau terjaga sampai tiga hari sepertinya memang akan jadi kebiasaan mereka kalau sudah menjelang penilaian akhir semester.
Semuanya terbayar memuaskan di akhir Januari kemarin. Nilai mereka memuaskan. Hampir menyentuh angka sempurna.
Ah, mengenai liburan mereka. Tidak, tidak ada yang spesial. Fira hanya punya ide untuk menempati kembali rumah lamanya. Hanya sebulan, April menemani juga di sana. Katanya lebih menyenangkan daripada di rumah sendiri. Namun, sesekali juga gadis itu menemui keluarganya.
Randi juga sesekali datang membawa kue-kue buatan ibunya. Lelaki itu kadang juga membawa mereka keliling kota Semarang. Kalau bertemu tempat yang bagus, mereka lebih banyak singgah untuk nongkrong sambil makan saja daripada berpose ria.
Fira dan April tak lagi berdua, ada Randi juga sekarang. Lelaki itu seolah menjelma jadi sahabat baru mereka. Meskipun sebenarnya tidak ada persahabatan antara lelaki dan perempuan. April menyukai Randi, tetapi ia masih tidak peka. Tidak salahnya juga, karena kalau Fira menyuruhnya untuk bilang, April selalu menolak dan bilang, "Cewek nggak mulai duluan, seharusnya dia peka kalau udah kamu bilang harus cari orang yang nunggu dia."
Dia tidak tahu saja, sangat kecil kemungkinan menunggu seseorang sadar jika tidak langsung dibilang. Kecuali dia memberi kode khusus.
Ruangan dengan dinding bercat putih itu ramai, tetapi setiap orang memilih hening kecuali seorang wanita yang usianya mungkin sekitar tigapuluhan itu. Di samping layar proyektor yang mendapat sinar dari LCD, bibirnya tak henti berceloteh soal bagaimana caranya agar terampil membuat desain.
Fira membayangkan, sepertinya ia tak lagi terlalu membutuhkan pensil dan kertas. Tetapi macam-macam jenis kain dan mesin jahit.
LCD dimatikan, layarnya berubah menjadi putih saja. Hampi setengah mahasiswa bergerak agak tak nyaman. Fira pikir, kelas ini akan berakhir, tetapi tentu saja mereka akan diberi tugas lagi, seperti biasa.
Wanita berambut sebahu itu menatap sekeliling sebentar lalu berdeham singkat. Senyum di wajahnya terlalu lebar. Fira punya firasat tak enak jika tugas kali ini memang tidak akan seperti tugas-tugas semester lalu. "Sepertinya kalian sudah bisa menebak tugas apa yang sudah saya berikan."
Hening berubah agak menegangkan. Dengung bisik-bisik mahasiswa terdengar sahut-sahutan, tak jelas, sebab mereka berucap bersama. Kiranya ikut menerka juga jika tugas kali ini akan sangat menantang.
"Ini mudah, tapi susah juga." Dosen wanita itu kembali melanjutkan. "Kalian hanya perlu menggabungkan desain kalian semester lalu menjadi desain sempurna. Kalau sudah utuh, kalian harus menjahitnya. Simple, kan?"
Di depan sana, ia berucap agak girang dengan kedua tangan sudah berada di udara. Sayangnya, banyak pasang mata di sana hanya berkedip bingung. Namun, detik berikutnya malah menjadi riuh. Wanita itu harus menepuk tangan beberapa kali agar kelasnya menjadi kembali kondusif.
"Mau protes apa? Kalian kan anak tata busana, jadi harus menghasilkan baju. Kalau mau melukis saja, lebih baik kalian jadi pelukis, jangan masuk kelas saya." Nada bicaranya memang terdengar bercanda, tetapi lebih seperti sarkasme. "Lagi pula ... tiga orang dengan desain terbaik nanti akan langsung saya pekerjakan di butik milik teman saya."
Senyumnya muncul lagi, riang. Alih-alih dosen, ia malah terlihat seperti remaja yang baru saja pubertas. Air mukanya bisa berubah-ubah dalam sekali kedipan mata. "Kalian tau Mozzafiato? Toko butik terkenal di pusat kota ini? Mereka sedang mencari desainer muda dan berbakat. Nanti kalau sudah waktunya magang, nggak perlu susah payah cari tempat lagi, kan?"
Wanita itu bergumam panjang. "Ya masa penawaran menarik begini, kalian nggak ada yang tertarik." Ia mengulum bibirnya sebentar, pura-pura sedih. Tetapi dengan cepat bertepuk tangan sekali untuk memecah hening lagi. "Saya tunggu desain kasar kalian bersama produknya dalam waktu dua minggu. Singkat, tidak? Ah, itu lama banget, tau. Nanti kalau kalian bekerja di sana, kalian harus menyiapkan desain dan produknya dalam tiga hari."
***
hey, this is a story I hate
and telling it might make me break
but I'll tell it anyway
this chapter's about
how you said
there was nobody else.
[1]
...---...
"Kenapa, sih, Ra? Dari tadi hela napas, hela napas mulu," omel April. Ia mengarahkan matanya jengah pada Fira yang masih berdiri di depan kaca dengan wajah kusut.
"Namanya aku punya mulut sama hidung. Wajarin aja, lah." Fira menyahut, tanpa menoleh. Tetapi sekarang ia sudah membelakangi kaca besar dan bersandar di dinding westafel.
Kedua gadis itu berada di toilet, lebih tepatnya toilet fakultas teknik. Fira yang menyuruh April untuk datang ke sana kalau kelasnya sudah selesai, katanya ingin buang hajat dulu. Akan tetapi, begitu sampai di sana, sahabatnya malah menyambut dengan wajah masam dan kusut.
Belum lagi, ia terus terusan menghela napas panjang yang berat dan terdengar lelah. Padahal April yakin sekali Fira tidak punya riwayat penyakit asma. Pun, gadis itu juga tidur nyenyak tadi malam, sama sekali tidak terjaga untuk mengerjakan tugas atau hal lainnya.
"Terus kenapa?" April terdengar tak sabaran.
"Disuruh bikin baju," jawabnya lemas.
April menoleh, terlalu cepat. Ada kerutan di sekitar dahinya sebentar. "Namanya kamu masuk jurusan tata busana, ya disuruh bikin baju, lah. Kalau kamu disuruh bikin rendang baru lemes. Nggak sesuai soalnya."
Sahabatnya menoleh sebentar. Perhatian mereka teralih sebentar karena dari bilik toilet paling ujung, seorang gadis keluar dari sana. "Katanya yang punya desain paling bagus bakal langsung dipekerjakan di toko butik ... Maa ... Masomething gitu, lah." Fira menghela napas lelah lagi. "Aku takut entar hasilnya nggak memuaskan. Padahal pengen banget bisa dapet kerjaan."
"Emang kamu udah nyoba?"
Fira menoleh lagi. Ia menggeleng.
April berdecak. "Belum dicoba udah takut. Gimana kamu bisa maju, Ra?" Gadis itu menyentil dahi sahabatnya geram. Fira mengaduh sembari mengusap bekas sentilan itu dengan wajah tak suka. "Dicoba dulu, baru lemes. Eh, tapi nggak boleh lemes kayak gini juga. Contohnya aja waktu ada lomba karya terbaik pas awal-awal kita masuk SMA dulu. Kamu nggak mau juga, kan? Sama lemesnya kayak gini juga. Tapi kamu salah satu yang terpilih. Lagi pula desain kamu juga bagus-bagus, kok. Aku yang liat setiap hari sampe bosen liatnya bagus mulu."
Fira tersenyum geli, tetapi mengangguk beberapa kali juga mendengar celotehan sahabatnya yang panjang lebar. Benar juga katanya. Seharusnya ia percaya diri dengan kemampuannya, mencoba lebih juga. Bukan langsung menyerah di depan seperti ini. Kebiasaan buruk yang ini memang benar-benar tidak bisa lepas.
Denting ponsel yang berbunyi sekali menginterupsi. Ada yang janggal, tetapi Fira bahkan tidak tahu apa. Dadanya bergemuruh, sakit, nyeri, namun ingin tahu apa yang sedang terjadi. Udara di sekitarnya terasa hampa, Fira hampir tak bisa bernapas.
Fira dapat pesan, dari nomor tak dikenal. Nomor yang sama dengan nomor yang digunakan Arya untuk menghubunginya, tetapi tak pernah sempat saling berbagi ucap. Nomor yang sama dengan nomor yang digunakan Arya untuk mengirim pesan menunggu dan ungkapan cinta, tetapi tak sanggup dibalas dengan pesan serupa. Nomor yang sama pula ketika di awal November memperingatkannya mengenai kejutan.
Sekarang ia mengerti apa maksud dari kejutan itu.
[Which surprise do you want?]
Pesannya terkirim bersama sebuah foto. Ia menahan napasnya cukup lama, menunggu dengan darah yang berdesir hebat di sekujur tubuh sebelum akhirnya gambar itu selesai diunduh sepenuhnya.
Gadis dengan rambut terkucir itu menghela napas terlalu tergesa-gesa. Nadanya sesak, tetapi masih terus berusaha meraup oksigen sebanyak mungkin. April sampai harus menahan tubuhnya agar gadis itu tak ambruk di sana. Fira menatap sahabatnya sebentar, April mengerjap dan mengangguk sekali-meyakinkan.
Fotonya jernih. Menggambarkan hiruk pikuk orang-orang di bandara. Plat kuning kedatangan, koper-koper besar dan kecil, troli besi. Bahkan sebuah pesawat yang terparkir di sana sangat jelas terlihat karena dinding gedungnya berlapis kaca.
Namun, ada yang janggal. Sebab seharusnya semua itu bukanlah hal utama yang harus diperhatikan. Dia. Lelaki itu. Dia yang jadi pusatnya. Mengenakan jaket denim kebiruan, memegang sebuah koper tak terlalu besar dengan manik memancarkan sebuah harapan. Di sekelilingnya juga ada koper-kopes dan tas lainnya.
Arya. Itu Arya.
[Dia pulang. Ke Semarang.]
Fira ingin menangis, berteriak sejadi-jadinya. Membiarkan orang-orang tahu jika kekasihnya telah kembali. Ia tidak akan menunggu lagi. Tidak, tidak akan ada lagi jam yang harus dihitung. Tidak ada lagi peluk yang berakhir perpisahan. Tidak ada lagi kelopak kamboja yang dibiarkan bergoyang sendiri, melayu, lalu berakhir menjadi kekuningan. Penantiannya telah berakhir.
***
Sebuah mobil melaju di tengah jalanan kota yang ramai lancar. Sesekali mencoba mendahului kendaraan lain yang mungkin juga harus buru-buru memangkas jarak ke suatu tempat. Kekhawatiran yang menyelimuti Fira tidak hanya disimpan untuk dirinya sendiri. Perasaan itu terlalu cepat menyebar pada dua orang sahabatnya.
Randi menekan gas di bawah kakinya agak tergesa. Sesekali April yang duduk di jok tengah mengomel sebab lelaki itu melewati batas kecepatan normal. Fira memang hanya diam saja, tetapi kekalutan di wajahnya tak dapat disembunyikan bagaimana pun juga. Hal itu yang membuat Randi makin terdorong untuk melajukan mobilnya.
Selepas keluar dari toilet, Fira dan April berlarian tergesa keluar dari gedung fakultas. Kedua gadis itu melihat Randi dan menanyakan apakah lelaki itu bisa mengantar mereka ke bandara sekarang juga. Randi yang juga baru saja keluar dari kelasnya tentu kebingungan, tetapi mengangguk menuruti juga. Kebetulan juga pagi ini ia membawa mobil karena membawa terlalu banyak peralatan untuk praktik di kelas.
Langkah dipacu terlalu tergesa dan kalang kabut menuju tempat parkir. Pertanyaan mengapa juga sempat terlontar dari bibirnya. Namun, baru terjawab begitu mesin mobil hidup dan mereka mulai bergerak meninggalkan pelataran kampus. Alih-alih mendapat jawaban yang diharapkan-misalnya mengapa tiba-tiba sekali, atau apa yang mereka takutkan-Randi hanya mendapat sepotong jawaban, "Jemput pacarnya Fira di bandara."
Mobil sudah berhenti tepat di depan pintu masuk utama bandara. Tempat biasanya orang-orang yang baru lepas landas keluar untuk mengambil jemputan dari keluarganya atau taksi. Tiap detik berjalan begitu menegangkan, napasnya tercekat.
Untuk sesaat, ia hanya memandangi saja pintu masuk dengan orang yang tak terlalu ramai keluar atau masuk. Sama sekali tak berniat membuka pintu mobil untuk meredakan kegelisahannya sepanjang perjalanan.
"Kamu mau masuk duluan, Ra? Biar aku sama April cari tempat parkir." Randi yang lebih dulu bersuara di antara mereka bertiga. Ia tidak mengerti juga mengapa kekalutan tak henti tercetak di wajahnya.
Padahal bukankah seharusnya ia ceria dan bersemangat menemui kekasihnya yang pergi jauh itu? Tidak ada yang menjelaskan. Randi juga membiarkan tanyanya tetap menjadi tanya, bahkan Fira juga tak mengerti mengapa malah perasaan itu yang mendonasi dadanya.
Pintu dibuka. Fira menjejakkan kakinya dengan gemetar di atas beton. Sebelum pintunya kembali tertutup, ia melirik ke dalam mobil lagi, Randi dan April memberinya sebuah torehan senyum sebagai penyemangat. Sebelum akhirnnya, mobil berwarna abu-abu itu berlalu dari hadapan. Meninggalkannya menampung terlalu banyak kekhawatiran sendirian.
Kaki mulai berayun memasuki gedung yang hampir seluruh dindingnya terbuat dari kaca itu. Tempat asing dan dipenuhi orang-orang yang asing juga. Sejujurnya, Fira tak pernah menginjakkan kaki di sini atau tempat manapun yang dinamakan bandara. Sewaktu Arya memilih melanjutkan pendidikannya pun ia juga tak sini, setidaknya saling menatap sebelum akhirnya berpisah sangat lama. Ia hanya takut tak bisa melepas kekasihnya pergi jauh.
Di setiap langkah yang ia jejaki, gadis itu mencoba menorehkan senyum. Setidaknya berusaha lebih baik jika nanti mata mereka saling bertemu. Ia seharusnya bahagia, bersemangat, melompat riang, kan? Bukan memeluk khawatir dan hendak menumpahkan tangis seperti itu.
Bukankah rindunya akan segera berakhir sekarang? Fira seharusnya melangkah lebih cepat, mencari dengan gesit. Bagaimana jika ternyata Arya sudah pulang lebih dulu tanpa tahu dirinya akan menyusul?
[Aku pasti balik, aku janji. Tolong tunggu aku.]
Langkahnya memacu lebih cepat begitu telinganya mengiangkan suara milik Arya melalui pesan-pesan yang dikirim sekali selama kepergiannya. Fira tak sempat mendengar bagaimana suara itu lagi. Mungkin ia memang masih ingat, tetapi pasti selalu ada perubahan, kan?
Kepalanya menoleh sana-sini, mencari-cari tempat yang sekiranya menunjukkan tempat yang sama seperti yang foto yang ia dapatkan. Fira menemukannya. Plat besi yang dicat kuning bertuliskan kedatangan. Dinding kaca yang menunjukkan pemandangan sebuah pesawat yang tengah parkir, dan di sana.
Sekeliling seharusnya mengabur saat ini. Kamera mata. Terfokus pada satu objek.
Fira memelankan langkahnya, berjalan perlahan mendekati Arya yang memang masih jauh dari jangkauan tetapi terjangkau matanya. Ia seperti bisa merasakan kembali lembutnya kelopak-kelopak kamboja merah muda yang menyentuh telapak tangannya bersama tiupan semilir angin di bawah pohon cemara laut.
Senyumnya mengembang. Kebahagiaan tiba-tiba mengusup ke dalam dadanya. Ia dapat menghirup aroma petrichor sehabis hujan di lapangan dekat rumahnya ketika malam itu mereka membicarakan tentang konsekuensi cinta.
Arya berdiri di tengah orang-orang yang sibuk dengan urusannya masing-masing. Menatap sana-sini seolah tengah mencari seseorang. Ia terlihat baik. Rambutnya masih sama, warna kulitnya juga, tetapi bertambah tinggi. Wajahnya juga tampak lebih dewasa dari terakhir kali mereka bertemu di lapangan dekat rumahnya.
"Arya ...." Terlalu lirih. Bahkan orang yang berada di sampingnya pun tidak dapat mendengar suaranya. Fira hanya tak bisa mengeluarkan suaranya lebih dari itu. Tercekat di pangkal tenggorokan.
Sayangnya, senyum yang terlalu riang itu terlalu cepat luntur. Kerlap-kerlip yang memantul bahagia di matanya hilang dalam sekali kedip. Terlalu cepat udara di sekitarnya berubah habis, berganti memanas. Fira rasa, ia akan meluruh sekarang. Sendirian. Tanpa sempat mendekap untuk menghapus kerinduannya yang hampir sama seperti kelopak kamboja di sela-sela halaman buku Jakarta Sebelum Pagi.
Apakah Fira salah membaca? Bagaimana pesannya kemarin? Kejutannya tidak jamak, kan?
[Are you waiting for another surprises?]
Surprises katanya. Jamak. Pantas saja.
Sepertinya Arya tidak sadar atau sebenarnya tidak peduli ada sepasang mata yang menatapnya penuh kekalutan saat ia mendekap gadis lain. Sepasang mata milik seseorang yang memilih menatap layar ponselnya untuk membuat panggilan dan dihubungi kembali hanya bisa menatap dari kejauhan ketika seseorang yang ia tunggu memilih melempar senyum terlampau bahagia dengan peluk yang semakin mengerat itu. Peluk dan dekap yang Fira harap ia dapatkan ketika nanti mereka sudah berhadapan kembali.
Kakinya melemas, ia hampir tak sanggup lagi terus mengayunkankan langkah pada dua orang yang belum juga saling melepas peluk itu. Seolah dunia hanya milik mereka berdua saja, orang lain hanya menumpang. Matanya sudah banjir, wajahnya akan menurunkan hujan dalam sekali kedip meskipun langit di luar bandara benar-benar cerah.
Pelukan sepasang insan itu terlepas begitu sepasang mata bersua. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Arya dan Fira kembali saling bertatapan. Harapnya terkabul untuk yang itu. Pertemuannya juga. Namun, yang ini sama sekali bukan harapannya. Melihat kekasihnya menemukan orang lain. Dan Fira ... dan Fira menelan harap tak terkabul lainnya sendirian. Patah, berantakan.
Wajahnya memerah, mata banjir sana-sini, tak tertampung lagi. Sepasang mata menatapnya heran, sedangkan sepasang mata menatapnya sedikit terkejut. Di saat seperti itu, Fira masih sempat mengariskan senyum di wajahnya. Sama sekali tak bahagia, perih, pedih, pahit, getir. Terlalu banyak menelan ekspektasi yang tak pernah menjadi realita.
"Pacar kamu?"
Fira menatap Arya sebentar sebelum akhirnya beralih menatap gadis di sebelahnya. Dress merah muda itu membuatnya anggun. Rambut panjang bergelombang yang jatuh di bawah bahu sedikit. Dari wajahnya saja, Fira tahu jika gadis itu punya kehormatan yang cukup tinggi. Alih-alih harus membandingkan, Fira bahkan tak cocok bersanding dengan sepatu hak tinggi berwarna hitam itu.
Arya dan gadis itu saling bertatap sebentar, entah untuk apa. Jauh di dalam lubuk hatinya, Fira berharap kalau gadis itu bukan seperti pertanyaannya. Sepupunya, temannya, atau siapa pun yang sekiranya tidak membuat dirinya harus berbanjir lagi.
Sayangnya, harap itu terlalu terlambat untuk mengambang sekarang. Jawaban telanjur dilontarkan dan setelah lelah menyusun kepingan hatinya dalam waktu cepat, palu kembali menghancurkannya. "Iya. Dia pacar aku, Ra." Meskipun ia tahu suara Arya tidak terdengar bahagia.
Gadis itu mengangguk, bulir-bulir yang menggenang di matanya kembali berjatuhan. Makin banyak, makin deras. Dadanya juga ikut nyeri dan sesak. Ia menatap gadis di sebelah Arya sebentar. "Cantik."
Mungkin, mungkin seharusnya Fira tidak memaksakan diri untuk langsung menemui Arya di bandara begitu ia mendarat. Mungkin ia harusnya tak tergesa-gesa untuk kembali melihat wajah Arya setelah sekian lama. Sayangnya, Fira bahkan tak tahu apa yang akan ia lihat. Ia tidak tahu di belahan bumi yang lain, lelaki itu bukan lagi Arya. Sia-sia menghitungi jamnya. Sia-sia ... ia menyimpan kambojanya terlalu lama.
Ia pikir Arya akan pulang padanya. Namun, ternyata lelaki itu sudah punya rumahnya sendiri di sana.
"Ngomong-ngomong, selamat datang kembali ke rumah ... ke Semarang."
...---...
hey, this is a story I hate
but I told it to cope the pain
I'm so sorry if you can relate
[1]
***
[ to be continue ]
-[02/07/21; 17.30]-
--[11/08/21]--
[1] Penggalan lirik milik Madison Beer - Reckless.
...
Untuk siapa pun kalian yang sudah membaca sampai di sini, aku mengucapkan banyak terima kasih. Jangan bosan untuk tetap jaga kesehatan ya. Seseorang menunggumu untuk mencintainya balik. ♡
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top