[fh · 20] - you have to be more courageous and determined
Pertengahan November, 2021.
"Done!" ucap salah seorang gadis setelah menekan tombol enter di laptopnya. Wajahnya berseri-seri, bersemangat, menatap satu-persatu di antara empat gadis lain yang duduk di sekelilingnya. "Salinannya juga udah aku kirim ke grup chat. Kalau ada yang mau ditambah atau revisi lagi, bilang aja."
Sementara April sibuk kembali dengan laptopnya-mengerjakan tugas lain-teman-teman sekelompoknya saling berterimakasih lantas meninggalkannya sendirian. Gadis itu sengaja memilih tempat yang paling sudut, tidak terlalu berisik, dan lumayan jauh dari pandangan orang-orang. Tetapi seperti biasa, ia masih tetap bisa menatap air mancur di dekat taman walau tidak terlalu dekat.
Jam makan siang hampir berlalu, langit bertahan mendung dan gerimis. Seharian ini sepertinya ia akan memilih bertahan di kafetaria saja, mengerjakan tugas-tugas lainnya yang mungkin menyusul tak lama lagi. Sekalian juga menunggu Fira yang masih punya beberapa kelas, entah juga kalau sampai sore. Lagi pula, gerimis yang seolah berkepanjangan ini juga membuatnya tak ingin lama-lama tanpa bernaung di sebuah tempat.
Ah, soal fotonya yang dicoret-coret itu. Dua hari setelah kejadian di papan mading, laci mejanya hampir dipenuhi fotonya yang dicorat-coret sana-sini. Hari ini juga sama, tetapi ia memilih mengabaikan alih-alih mencari tahu siapa pelakunya. April sebenarnya malas mempermasalahkan. Biar saja. Nanti orang itu juga lelah sendiri. Kerjaan April juga bukan hanya mengurusi soal foto-foto itu saja.
April juga lelah terus-terusan berprasangka buruk pada orang-orang. Apalagi Fira. Sahabatnya itu sendiri malah berniat ingin mencari tahu sampai ke akarnya. Padahal April juga sudah bilang tidak perlu. Tidak penting.
"Sendirian, April? Aku boleh duduk di sini?"
Suara dari papan ketik berhenti, kepalanya mendongak. Gurat di sekitar dahi April muncul bersamaan dengan senyum yang muncul dari bibir lelaki itu. Ia masih bertahan berdiri di depan bangku kosong tepat di seberang April. Gadis itu mengangguk sekali, lalu kembali fokus pada layar laptop dan sebuah buku referensi yang terbuka di atas meja.
"Fira mana?" Randi terdengar penasaran. Kemudian, lelaki yang mengenakan hoodie sama warna dengan langit hari ini itu memperdengarkan denting yang biasanya berbunyi ketika membuka laptop.
April bergumam panjang. Kalau untuk nyari Fira, kenapa juga yang ditemui malah aku? Matanya mengintip sebentar dari balik laptop yang terbuka. "Masih ada kelas."
Randi tertawa, terlalu renyah. Kedua matanya bahkan sampai tenggelam bersama kerutan dalam di sekitaran dahi dan pinggir matanya. Sedangkan April kembali berhenti menekan tombol-tombol keyboard dengan mata agak menyipit. Kapan April membuat lelucon?
"Kamu jangan jadi kayak hari ini, lah!" kelakarnya setelah habis tertawa.
Kedua alis April berkerut, makin dalam. "Hah?" Beberapa mahasiswa yang kebetulan di sana mungkin akan menganggap Randi agak tidak waras. Alasan tertawanya benar-benar tak jelas.
"Dingin." Randi menjela sebentar. "Mendung. Asal jangan gerimis juga."
April menaikkan sebelah alisnya. Apa ini? Terkadang ia juga bingung sendiri mengapa tiba-tiba dihantam rasa suka pada lelaki yang masih bertahan memasang senyum cerah di depannya ini. Hanya sebatas sebait puisi, mata yang berbinar dan menggelap ketika terlalu mengudarakan tiap bait Neruda, serta sepasang mata itu yang menatapnya dalam meski sesaat saja.
Alasan yang cukup arbitrer untuk menyukai seseorang dalam sepersekian menit. Sama seperti ucapan lelaki itu baru saja.
"Mending kamu bikin atau bacain Fira puisi lagi."
April lelah ambil pusing. Ia tak mau menyalahkan orang lain lagi. Gadis itu memang menyukai Randi, kesal juga karena seolah dijadikan alat untuk mendekati sahabatnya. Tetapi kembali lagi, Randi tidak tahu apa pun, jadi dia tidak bersalah.
Alih-alih mendekati April seperti ini, bukannya lebih baik Randi langsung saja menghampiri Fira? Apa sulitnya? Mereka satu gedung fakultas, kecil kemungkinan mereka tidak bertemu jika salah satu di antaranya ada yang punya tekad kuat untuk menjadikannya temu yang sungguh-sungguh.
"Kamu nggak suka aku di sini?" Pertanyaan retoris. Begitu menarik tatap dari laptopnya, April kira ia akan dihujam tatap menyesal, tetapi ia malah mendapatkan senyum jenaka. Lelaki ini sedang kenapa, sih?
Aprilia Faranisa terdengar menghela napas terlalu berat dan panjang. "Kamu punya tugas harus dikerjain, kan? Mending langsung aja. Kalau kamu cuma mau basa-basi atau untuk hal yang nggak penting lainnya, maaf, lebih baik aku ngerjain laporan aja. Soalnya deadline udah deket."
Meskipun hanya melihat sedikit dari balik laptopnya yang terbuka, April tak perlu menebak lagi kalau Randi tersenyum sembari mengulum bibir. Seperti hendak menyemburkan tawa lagi. Gadis itu tak mengerti apa dan bagaimana bisa Randi bertingkah seaneh ini. Mungkin hujan yang turun seharian ini membuatnya menjadi sedikit tak waras. April seharusnya mempertanyakan diri sendiri lagi karena masih saja kukuh menyimpan rasa yang sama.
"Kalau Fira udah punya pacar, kamu berarti udah punya pacar juga?" Ucapannya meluncur bersama rintik hujan yang menjatuhi atap kafetaria kampus. Lebih deras dari beberapa menit yang lalu. Langit memang benar-benar akan berniat menangis sampai malam sepertinya.
April melirik hujannya sebentar, beralih pada Randi yang sekarang sudah fokus pada laptopnya juga. "Memangnya kenapa?" Lalu ia membalik-balik buku lain yang ditumpuk di atas meja.
Memang April kesal kalau harus ditanyai mengenai Fira, tetapi seharusnya hal itu adalah hal yang normal mengingat Randi menyukai Fira. Tapi kalau sekarang yang topik mereka malah menjadi April, seharusnya menjadi aneh, kan? Untuk apa juga gunanya Randi ingin tahu.
"Ya ...." Randi bergumam terlalu panjang, seperti mencari-cari kata yang tepat. "Biasanya kalau sahabatan itu apa-apa selalu sama. Bahkan pacar. Maksudnya bukan pacarnya yang sama, tapi sama-sama punya pacar." Ia buru-buru menambahkan ketika April menatapnya tetap dengan air muka yang terlalu datar.
"Baru denger kalau ada aturan gitu dalam pertemanan," sahut April sembari menekan tombol-tombol di papan ketiknya dengan kecepatan sedang.
"Jadi kamu nggak punya pacar?" Lelaki itu mendesah panjang, memilih menyandarkan tubuhnya dengan nyaman di bangku dengan ukiran rumit itu.
April menatap sebentar, tak membalas. Tidak penting juga. Mengapa pula Randi harus repot-repot tahu semuanya. Meskipun Fira pernah bilang kalau April harus mencoba mendekati Randi lebih dulu, tetapi-walau sudah sangat sedekat ini dan seharusnya April mengatakan segalanya-ia tak bisa. Seperti ada sesuatu yang membuatnya lebih memilih menelan lagi kalimatnya dan mengabaikan.
"Waktu itu katanya Fira udah punya pacar, kan? Pacarnya mana? Kenapa aku nggak pernah liat ada cowok yang deket sama diaa?"
Ini dia. Lelaki itu kembali pada tujuan awalnya duduk di meja yang sama dengan April.
"Kuliah di luar negeri."
"Pas banget!"
April melirik sebentar ketika Randi berucap agak memekik. Sepertinya memang lebih baik jika April tak terlalu banyak meladeni Randi. Ia meminjat pangkal hidungnya, entah kapan makalah yang sedang dikerjakannya ini akan selesai.
"Jadi kamu ngedukung aku sama Fira, kan?"
April terlalu lelah, kepalanya mulai pusing sekarang. "Siapa yang bilang gitu?"
"Buktinya kamu nggak pernah ngelarang aku buat deketin Fira." Cangkir kopi digenggam, Randi meneguk sebentar. Lalu terdengar lagi suara dari papan ketik.
Lagi dan lagi, April harus terpaksa meninggalkan tugasnya. Kedua tangan saling bertautan. Matanya menatap lurus. "Emang kalau aku ngelarang, kamu bakal langsung ngejauh dari dia? Enggak, kan? Terus, buat apa aku repot-repot sama orang yang keras kepala?"
Tidak tahu mengapa tiba-tiba sekitar mereka mendadak terlalu senyap. Tak ada langkah kaki, orang-orang yang berbicara, siulan angin, rintik hujan di atap, atau bahkan hela napas. Sedetik yang terasa janggal itu kian berubah mendebarkan. April merinding begitu melihat air muka Randi yang berubah terlalu cepat. Dari seperti lelaki songong yang terlalu percaya diri, tanpa riak seperti saban hari di dekat kolam, lalu berubah menyeringai puas.
"Sama kayak, lebih milih diam pas tau kalau akhir-akhir ini kamu selalu dapet teror foto yang dicoret-coret?"
April agak membelalak, lantas setelahnya ia memicing. "Dari mana kamu tau?" Randi memang tak menunjukkan perilaku mencurigakan, tetapi kali ini, bagaimana ia bisa tahu?
Apa jangan-jangan-
"Ups." Lelaki itu bertingkah seolah pura-pura terkejut. Ia melihat sekeliling kafetaria sebelum akhirnya menyeringai lagi. "Ya sudah, kalau gitu aku ngaku. Sebenarnya yang corat-coret foto kamu, tempelin di mading, menyisipkan di kolong meja, itu aku. Aku yang ngelakuin semuanya."
Randi tersenyum lebar, penuh kepuasan, dan dengan percaya diri menaik-turunkan alisnya di depan April yang sedikit-sedikit menunjukkan riak keterkejutannya. Lelaki itu tidak tahu saja, tepat di atas papan ketik laptop, tangan April mengambang dan mengepal kuat. Segitu saja? Benar-benar pengakuan yang buruk.
"Mau tau alasannya?" Randi berucap lagi, tanpa dosa. "Pasti mau tau, lah!" Ia terkekeh. "Jadi alasannya just for fun. Aku butuh hiburan aja. Kayaknya seru ngerjain orang."
Bolehkah ... boleh membatalkan jatuhnya yang terjadi kemarin dulu? Randi sudah cukup memberinya banyak rasa sakit bahkan ketika sebelum sempat sebuah rasa diutarakan. Tidak menyukai balik, menyukai sahabatnya, dijadikan alat untuk mengungkapkan perasaan, dan sekarang dijadikan bahan lelucon seisi kampus. Tidak, cukup. April akan berhenti sekarang. Jika jatuh cinta itu sakit, lebih baik tidak perlu jatuh cinta sama sekali.
April menatap Randi terlalu dalam. Jika saja ia bisa menyakiti seseorang hanya dengan sekali tatap, maka ia tak perlu menelan tiap katanya yang terasa hanya sampai di tenggorokan. Pada akhirnya, gadis itu hanya berakhir dengan rahang mengerat dan mata yang menyorot tajam nan nyalang.
"Semudah itu ngakunya?"
Bukan April, orang yang tengah berdiri berbalut murka di belakang Randi pelakunya. April memilih hening, tak ada satu kata pun yang terbesit di dalam pikirannya untuk melawan maksud dan tujuan Randi melakukan hal rendahan seperti kemarin itu. Namun, begitu Fira sudah ada di sana, ia seperti menemukan oase di padang pasir.
Randi berbalik, menatap ke mana Fira berjalan hingga akhirnya gadis itu berdiri tepat di sisi kiri April. Air mukanya mungkin tampak terkejut dan takut, tetapi April pikir ia tidak punya malu. Jika benar, lelaki itu akan langsung memilih pergi dari sana. Sayangnya, Randi seolah menatap Fira dengan pandangan menantang.
"Seneng-seneng, kan?" Fira menaikkan sebelah sudut bibirnya. Menyeringai tajam pada Randi yang masih belum juga melepas pandang.
Kemudian tanpa instruksi siapa pun, satu-satunya gelas kopi di sana diambil, isinya disiram ke wajah Randi. Kafetaria lantas mendadak riuh. Noda kopi mengotori wajahnya, meleleh hingga mengenai hoodie abu-abu yang ia kenakan.
April membelalak. Dengan sekali sentakan, derit-derit kursi yang bergeser terdengar bersahutan diikuti dengan ucapan orang-orang yang seperti dengungan lebah. Gadis berambut pendek itu berdiri berdampingan dengan Fira yang napasnya sudah tak beraturan. Kalau saja kopi itu juga masih panas, April akan sangat bersyukur. Tapi dipermalukan di muka umum seperti ini saja, ia sudah cukup puas. Mereka impas.
"Kamu nggak ada bedanya sama noda kopi itu." Fira mendecih. Ia membantu April membereskan barang-barang yang berserakan di atas meja. "Ayo, April. Kamu nggak perlu ngeladenin orang kayak gini."
Kedua gadis itu berlalu bersama langit yang tiba-tiba bergemuruh dan semakin gelap. Meninggalkan Randi yang sibuk menyeka wajahnya dengan tangan dan dikelilingi pandangan orang-orang yang menatap aneh. Dia tentu saja merasakan hal yang sama seperti apa yang dialami April saban hari. Balas dendam yang cantik.
***
"Itu serius dia yang ngelakuin?"
Napas dihela terlalu panjang, berat dan lelah. Kamar mereka terlalu hening, April lelah berpikir. "Nggak tau, Ra. Awalnya cuma nanya soal pacar kamu terus tiba-tiba dia ngaku." April mendesah lagi, lalu dengan gerakan lemah merebahkan diri di ranjang bagian bawah.
Fira tak lagi mengutakan macam-macam tanya. Selain bingung, ia juga masih terkejut dengan apa yang baru saja ia dengar. Terlebih lagi, ternyata Randi bukan lelaki yang terlalu baik seperti selama ini yang ia pikirkan. Apa katanya tadi? Untuk bersenang-senang? Sekarang ia juga sudah tahu rasanya bersenang-senang, kan? Dilihat berbagai pasang mata dengan noda tumpahan kopi di mana-mana.
Kamar yang lengang dan senyap seketika berhamburkan bunyi dari nada dering sebuah ponsel. Fira yang hendak membuka lemari menoleh. April yang sudah nyaman dengan posisinya harus susah payah mencari-cari ponselnya di dalam tas.
"Halo?" Tanpa melihat siapa yang meneleponnya, April langsung saja mendekatkan gawai ke telinga.
Di seberang telepon terdengar hening yang panjang sebelum akhirnya terdengar suara. Bariton, yang ia kenal. "April, ini Randi. Kita bisa bicara bentar, nggak?"
Air muka April berubah cepat menjadi jengah. Ia buru-buru melihat nomor yang memanggilnya. Nomor tak dikenal. Nomor yang sama pula dengan nomor yang saban hari mengiriminya pesan mengenai kejutan. Ternyata ini kejutannya.
April menutup sambungan, sebelum akhirnya melempar ponselnya sembarangan ke ranjang. Ia merebahkan diri lagi dengan posisi telungkup di atas ranjang. Berani sekali dia masih menghubungi? Kopinya kurang banyak atau kurang panas?
"Siapa?" Fira berjalan ke kasur, duduk di sebelah kaki-kaki April yang masih menjuntai ke lantai. Sebentar matanya melirik ponsel April yang kembali berdering di atas kasur.
Gadis berambut pendek itu mendongak sebentar ke arah gawainya. Begitu melihat siapa yang menelepon, April kembali menelungkupkan wajahnya di antara lipatan tangan. "Orang gila. Biarin aja."
"Nomor nggak dikenal. Siapa, April?" Sahabatnya bertanya lagi, agak memaksa.
"Randi. Nggak usah dijawab." Ucapannya terdengar tak begitu jelas, sebab wajah April sebenuhnya menghadap kasur. Akan tetapi, setelahnya Fira mengangguk dan bangkit dari ranjang.
April kesal, ingin marah, mengamuk sejadi-jadinya seperti angin yang ada di luar saat ini, atau seperti hujan yang guyurannya makin deras saja, atau bisa juga seperti marahnya April pada Fira beberapa waktu lalu. Namun, ia tak bisa. Semua amarahnya hanya sampai di pangkal lidah, tertahan oleh napas yang tercekat. Pada akhirnya ia terdiam sendiri seperti orang bodoh.
Tindakan Randi sama sekali tak bisa ditolerir. Seharusnya ia bisa marah di sana tadi, mengomel tak jelas atau menamparnya saja kalau bisa. Namun, April tetap terpaku di tempatnya. Hanya bisa berpaku dengan tatapan nyalang, menggenggam tangannya sendiri tanpa bisa mengepalkan tangan tanpa bisa mencapai.
Ia iri pada Fira-jangan salah sangka dulu-maksudnya ia iri karena sahabatnya itu lebih dulu meluapkan amarahnya. Sayang sekali segelas kopi itu dihamburkan oleh Fira. Kalau April yang melakukannya, mungkin ia takkan jadi seperti ini; menyembunyikan wajah sembari menyembunyikan diri sendiri, ia harusnya memuji.
Huh, ternyata cinta membuatnya lemah sekali. April menyesal kadang-kadang mengatai sabahatnya bodoh karena menunggu seseorang yang pulangnya entah kapan. Dia sendiri bahkan masih punya rasa yang sama walau orang itu menyukai orang lain dan menyakitinya.
Baru saja hendak mengeluarkan baju ganti dari dalam lemari, suara lain membuat kedua gadis itu saling beradu pandang. Pintu diketuk lembut beberapa kali. Dari bawah daun pintu yang tidak menyentuh ubin lantai, mereka melihat sebuah bayangan yang memilih berdiri di luar pintu. Menunggu salah seorang membukakannya.
April bangkit, beranjak, sudah memegang hendel pintu, tinggal ditarik saja. Tetapi suara di sisi lain pintu membuatnya mengurungkan niat. "Aku tau kamu yang ada di depan pintu ini, April. Aku bangsat banget, ya. Bodoh. Sama sekali nggak mencerminkan seseorang yang punya attitude."
Bahunya disentuh lembut. April menatap Fira sebentar yang ada di sebelahnya, ikut mendengarkan juga. Namun, tak ada salah satu dari mereka yang punya niat membuka pintu.
"Kalau kamu marah, itu wajar. Kalaupun tadi yang nyiram kopinya adalah kamu, aku bakal ngerasa lebih baik." Mereka memang hanya berjarak sebuah pintu kayu, tetapi suara Randi benar-benar jauh. Lelaki itu seperti hampir tak punya daya. April menggigit bibir dalamnya, menunggu dengan dada berdebar-debar. "Tapi kalau Fira yang ngelakuin, aku ngerasa harga diri ini udah nggak ada gunanya." Ia tertawa, hambar, tergores luka. "Di saat kayak gini pun aku masih mentingin harga diri. Padahal aku udah permaluin kamu."
"Maaf, April." Terlalu lirih, April hampir tak mendengar. Namun, mata gadis itu hampir memanas. "Maaf, ya."
Lantas, dari kolong pintu yang tidak menyentuh lantai itu, secarik kertas berwarna merah muda menyentuh kakinya. April menatapnya lamat-lamat, tetapi genangan membuat matanya mengabur. Bayangan di bawah pintu tak lagi terlihat, hanya terang benderang. Ada gesekan sepatu yang terdengar menyentuh ubin kayu, berlalu, menjauh.
Setelah menyeka air matanya, April mengambil secarik kertas yang teronggoh di depan jari-jari kakinya. Matanya bergulir, membaca tiap kata yang tertulis di secarik kertas dengan gambar kupu-kupu kecil di sekitarnya. Familier. Namun bedanya hari ini kertas itu untuknya, bukan Fira.
...-------...
Ketika paku memilih menenggelamkan diri pada kayu,
ketika paku lantas kemudian memilih berlalu,
lantas itu pula jejaknya masih berlaku.
Adapun aku,
sekiranya sangat bodoh kala berlaku,
terlanjur membut patah di hatimu.
Maaf, tolong aku.
Maaf.
Bahkan aku tak cocok menerima maaf darimu.
Maaf, April.
Tapi bukan berarti aku tak akan terus meminta maaf.
Jangan maafkan.
Aku memang keterlaluan.
...-------...
April menaikkan wajahnya, air mata meleleh lagi, menjejaki wajah orientalnya. Ia jatuh, meluruh, ke ubin kayu, tak tahu hendak apa lebih dulu.
***
[ to be continue ]
-[30/06/21; 16.05]-
--[07/08/21]--
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top