[fh · 18] - how slowly day & night change

Ketika kita menunggu-baik agar harap segera terwujud atau hari yang buruk segera terlewat-waktu tak ubahnya bergerak kian melambat. Sedangkan untuk bahagia tersendiri, waktu seolah berlalu terlalu cepat.

***

Awal November, 2021.

Semuanya terasa begitu hampa, sunyi, dan senyap ketika orang yang paling dekat dengan hati kita benar-benar pergi, mustahil berharap untuk dapat kembali. Hanya tinggal berharap memori yang terus melekat itu tidak mengganggu untuk menjalani hari-hari selanjutnya.

Mentari baru saja terbit beberapa jam lalu. Tidak terlalu terik, tidak pula tertutup mega keabu-abuan, setia pada kehangatan. Rumah itu, setiap ruangan yang dilewati angin terasa begitu sunyi meskipun sesekali terdengar suara barang-barang yang digeser atau langkah kaki.

Zhafira Freya bersama dengan April, di hari libur itu memilih bersama-sama membersihkan rumah tempat dulu ia dan bundanya tinggal bersama. Di setiap sudut rumah, di setiap benda yang tersentuh, ada rasa dalam dadanya yang membludak. Sesak, perih, tetapi rindu lebih banyak.

Begitu banyak kenangan di sana, bahkan ia masih bisa merasakan kehadiran bundanya. Tersenyum, tertawa, mengomeli, atau bahkan memeluknya ketika petir dan hujan datang di malam hari.

Sementara April memasukkan beberapa barang ke dalam kardus agar tak berdebu, Fira menatap lamat-lamat potret di atas nakas dua insani yang tersenyum lebar. Rasa rindu itu kian membuncah. Matanya memanas, hampir menggenang, tetapi ia memilih untuk menaikkan lengkung di kedua sudut bibir.

"Semuanya bener-bener di luar perkiraan, ya, April." Fira berkedip beberapa kali, masih dengan senyum di wajahnya. Sahabatnya yang sibuk dengan kardus-kardus di sudut ruangan akhirnya menoleh. "Ayah pergi, Arya pergi, dan sekarang bunda juga pergi."

Samar, terdengar langkah mendekatinya. Kemudian, tergantikan dengan dekap erat menenangkan sekaligus menghangatkan. "Aku masih di sini, Ra. Sahabat kamu masih di sini. April masih di sini."

Tubuhnya diputar, April menangkup wajah sahabatnya. Senyum di wajah Fira luntur perlahan. "Aku emang nggak janji kalau kita selamanya kayak gini terus. Tapi aku bakal berusaha supaya selalu ada buat kamu. Hmm?" Sebelah tangan yang terkepal diacungkan ke udara, gadis berambut pendek itu memberi senyum yang bahkan bisa mengusir awan kelabu yang akan datang.

Tanpa diminta, senyum di wajah itu naik kembali meski tak secerah milik April. Benar, saat ini ia punya April. Sahabatnya yang punya posisi hampir sama seperti seorang ibu. Fira butuh apa lagi? Mungkin agak terdengar egois jika gadis itu menjadikan April menjadi penopangnya saja. Namun kali ini ia akan mengubahnya, ia akan membuat April menjadi alasannya untuk menjadi seseorang yang lebih baik.

April bergumam panjang. "Udah, udah. Entar ini nggak siap-siap. Pulangnya entar juga makin lama," gerutunya. Gadis itu melangkah kembali ke sudut ruangan.

Rumahnya mungkin tidak akan ditinggali dalam waktu dekat sebab Fira harus tinggal di asrama. Ia akan sangat merindukannya. Barangkali bisa sesekali mampir seperti ini jika sedang libur. Namun, angin yang menerbangkan tirai-tirai putih di sana seperti membawa sesuatu yang lain.

"April," panggilnya yang lantas bersahut gumam. "Kamu mau bantuin aku berubah, nggak?" Sepasang mata lantas berkilat heran menatapnya.

Di awal bulan yang baru ini, hampir di penghujung tahun, Fira mungkin tak punya terlalu banyak kenangan yang terlalu baik. Akan tetapi, tahun belumlah berakhir, hari ini bahkan juga belum selesai. Ia ingin melakukan sesuatu yang lebih baik dari sekadar menunggu seseorang yang tak pasti kembalinya.

Ia ingin-

"Kamu mau ngomong apa? Jangan lama banget, dong, mikirnya!" sentak April yang suaranya meranggas hampir ke seluruh sudut ruangan.

Fira mau tak mau kembali dari alam bawah sadarnya. Di sana, senyum terulas jenaka ketika April menatapnya jengah dengan tangan di pinggang. "Kamu baik, deh, April. Mau, ya, jadi pacarku?"

Air muka April seketika berubah, sedikit terkejut tetapi lebih banyak geli dan jijik. "Sehat, Ra?"

"Mau, ya?" pinta Fira lagi dengan nada main-main. Gadis itu bahkan hampir tertawa ketika mengayunkan langkah mendekati sahabatnya, tetapi April malah mundur menjauhi dengan kedua tangan ke udara.

"Enggak!" pekik gadis berambut pendek itu. "Aku masih normal, Fira. Nggak mau!"

"Ayo, dong, April. Aku tau kamu juga suka sama aku," ucap Fira di sela-sela tawa yang mengudara.

Ia tak sendiri, sebab tak seberapa setelahnya April juga ikut menderai tawa sama jenaka. Lebih bahagia. Kedua sahabat itu saling menggelitiki. Sudah dewasa, tetapi sama sekali tak mengingat usia. Biarlah hari itu, rumah yang selama beberapa waktu terus berselimut hening, sepi, biru, dan dingin terasa sedikit berwarna cerah dan hangat.

Biarlah besok kemudian Fira mewujudkan setiap harapan bundanya yang sempat tertunda karena anaknya yang tidak tahu diri ini terlalu egois saban hari.

***

Kepergian memang selalu membawa duka yang mengakar, tetapi tidak seharusnya menjadi alasan untuk mengabaikan waktu yang tak lelah bergerak memutar. Katakan saja Fira masih bersedih mengenai bundanya, tetapi ia menjadikan tersebut menjadi penyemangat lainnya di samping April yang selalu di sisinya.

Ada begitu banyak suka yang Tuhan tebarkan di jagad raya ini, mengapa tidak semuanya disyukuri? Fira seharusnya tidak meminta sesuatu yang terlalu di luar ekspektasi, karena sebenarnya bahagia itu ada di sini. Bisa tersenyum setiap hari, mengerjakan tugas-tugasnya dengan lancar, dan tentu saja April masih sama.

"Kamu masih ngitungin jamnya?" Decakan sebal mengakhiri kalimat itu. Malam memang masih belum terlalu larut, tetapi sepertinya sticky note yang tertempel di dinding depan meja belajar cukup mengganggu April.

Fira memang tidak bilang ia akan berhenti menunggu, ia hanya akan mengurangi porsi saja. Sebab, jauh sebelum hari ini, ada janji yang pernah terucap. Gadis itu ingin tahu seberapa lama ia bisa bertahan.

Gadis dengan rambut panjang terkucir itu mengangguk, menatapi April yang terus memaku tatap pada dinding. "Salah, nggak?"

Jeda singkat memperdengarkan riuh kendaraan yang berlalu lalang di luar. Agak mengganggu. Kemudian, barulah April bergumam panjang. "Enggak, sih. Cuma terlalu berlebihan aja."

"Berlebihan?"

April bergumam lagi, mengangguk beberapa kali. Kakinya melangkah ke ranjang lalu duduk di sana dengan kaki menjuntai. Fira sampai harus memutar tubuh bersama kursi di meja belajar. "Di saat orang lain ngitung hari, bulan, atau tahun, kamu malah ngitung jamnya." Gadis itu menatap langit-langit, matanya menerawang jauh. "Kenapa nggak ngitung menit atau detiknya aja sekalian?"

Jangankan April, Fira juga sama bingungnya. Sayangnya, gadis itu hanya mengikuti alur saja. Arya yang mengajarkannya lebih dulu mengenai menghitung dengan semua jamnya. Kekasihnya itu begitu sukanya dengan lagu 10,000 Hours. Ah, kekasih. Fira sampai lupa kalau sebenarnya ia tunggu adalah kekasihnya sendiri.

Dan sebentar lagi seharusnya mereka sudah menginjak tahun ketiga bersama. Seharusnya ....

Sahabatnya menaiki tangga besi ranjang, mungkin bersiap-siap beristirahat. Fira memandangi sebentar sebelum akhirnya memperbaiki posisi duduk menjadi menghadap meja belajar. "Ngomong-ngomong, Arya ada ngehubungin kamu lagi? Atau kamu ngehubungin dia terus dijawab?"

Fira menghela napas pelan, sangat lirih. "Enggak."

"Aku penasaran dia sesibuk apa sampai dia nggak bisa ngehubungin kamu."

Aku juga sama. Ia ingin mengatakannya, meneriakkan kalau saja dari kejauhan seperti ini Arya bisa mendengarnya juga. Mengeluhkan kekasihnya yang seolah abai jika masih ada yang menunggunya di belahan bumi yang lain. Masih memendam rasa yang sama, menunggu rindu lekas-lekas diusir pergi. Namun, gadis itu memilih untuk menelannya sendiri, membiarkan tenggorokannya mengering dengan napas tercekat.

Tidak ada yang menyukai suasana yang terlalu hening seperti ini, seolah membiarkan Fira berspekulasi buruk sendirian. April tak lagi melontarkan kata, barangkali sudah memasuki alam bawah sadar. Kendaraan di luar tak lagi berderu berisik, bahkan angin tak pula bersiul atau riuh hendak menamparkan ranting-ranting ke jendela.

Hanya ada Fira yang memaku tatap pada sebuah buku yang terbuka di atas meja.

Bukunya menyembulkan beberapa kelopak bunga yang sudah kering dan menguning. Ada perasaan aneh yang menjalar di seluruh sudut relung dadanya. Seperti tengah memberitahu jika sesuatu akan kembali, tetapi bukan dengan cara yang terlalu baik.

Fira menutup bukunya dengan grasak-grusuk, sebab tiba-tiba ada perasaan lain yang menyengatnya. Ia harus berhenti memikirkan atau terpaku pada sesuatu yang bahkan belum terjadi. Seperti tekadnya beberapa waktu lalu, ia akan mewujudkan harapan bundanya yang menunggu terkabul.

Sayangnya, tekad hanya sekadar tekad jika kepala dan hati sama sekali tak bekerja saling bersimultan. Kepalanya mungkin berpikir tentang tugas desain yang harus diselesaikan, tetapi hatinya memandu tangan agar melukiskan angan yang dulu sempat ia gantungkan di penghujung senja.

Sepasang manusia berpakaian rapi, saling menatap, melempar bahagia, di bawah gurat senja yang hampir habis.

***

"Kamu masih inget, nggak, kalau aku pernah nanya soal cowok yang ngasih aku bakpao isi ayam waktu kelas sepuluh?"

Pensil diangkat sedikit hinggak tak lagi menyentuh kertas yang sudah berisi sketsa kasar. Setelah semalaman frustrasi sebab tangannya malah menggambar hal lain, hari ini Fira memilih membuat yang baru. Berharap kolam ikan yang ditumbuhi ganggang di depannya membuat konsentrasi lebih baik.

Zhafira Freya mengangguk sekali. Saban hari itu April bertanya dalam keadaan yang benar-benar aneh. Gadis itu biasanya jarang sekali membicarakan orang dari masa lalu mereka jika tak begitu penting. "Memangnya kenapa? Waktu itu pas ditanyain, kamunya malah aneh."

April tertawa lirih serempak dengan suara mesin tik dari laptopnya. "Tapi kamu masih inget, nggak, mukanya? Soalnya dia, kan, emang nggak terlalu lama di kelas kita."

Goresan hampir saja kembali ditorehkan, tetapi memilih untuk diangkat kembali. Fira mengerutkan dahinya, menoleh pada sahabatnya yang hanya menatapi layar laptop yang menunjukkan tugas makalahnya yang harus diselesaikan. "Kenapa, sih? Kamu mau CLBK sama dia."

Sahabatnya itu berdecak, lalu meringis sendiri. Suara mesin tik dari laptop yang dia gunakan suaranya terlalu kasar. Pasti gadis itu sangat kesal. Fira tertawa lirih lantas memilih melanjutkan mengerjakan tugasnya. Memang dikumpul masih beberapa hari lagi, tetapi lebih cepat lebih baik. Ia ingin melakukan banyak hal di sela waktunya yang senggang.

"Kamu nggak merasa cowok itu mirip sama Randi?"

Padahal baru sebentar ujung pensilnya bersua dengan permukaan kertas, lagi-lagi Fira terpaksa berhenti. Dengan alis yang masih bertaut dan berkerut, ia menghujami April yang menggigiti bibir bawahnya dengan tatapan heran.

"Jangan bilang kalau cowok itu ... Randi." Fira menyelipkan anak-anak rambutnya yang tak terikat. Matanya berkilat bersemangat sekaligus memancarkan ketidakpercayaan. "Kok kamu bisa ingat sama mukanya? Kan udah jelas-jelas kamu bilang kalau dia cuma sebentar di sekolah kita."

"Kamu udah pastiin kalau itu Randi? Cowok yang sama dengan yang waktu itu suka sama kamu?"

Di matanya, Fira melihat jika April berhenti menyentuh permukaan keyboard. Tangannya mengambang di udara sebentar, lantas kemudian kembali mengetik sesuatu. Pandangannya turun, gurat-gurat kecewa tergambar samar di wajah berbingkai rambut pendek itu. Fira kira, mungkin ia akan mendengar kabar yang tidak terlalu baik, lagi.

"Dia emang pernah bilang kalau pernah belajar di SMA Perwira cuma sebentar, tapi ...." April menjeda terlalu lama, bahkan angin yang mendahului ucapannya hingga menjatuhnya dedaunan dari pohon tempat mereka bernaung. "Kayaknya dia nggak inget sama aku ... atau mungkin kita."

Fira berpikir keras, apakah semudah itu melupakan seseorang? Jika saja lelaki itu benar lelaki yang sama, mana mungkin ia bisa melupakan April yang dulu pernah disukai. Ingatan itu akan terus melekat, setidaknya sedikit saja meski kita tak punya lagi rasa yang sama.

"Kamu yakin itu orang yang sama?" Fira mencoba meyakinkan diri lagi. Ada kejanggalan.

Napas dihela terlalu panjang dan berat. Sepasang mata menatapnya pasrah sebentar, lalu memilih melempar pandang pada kolam ikan di depan mereka. "Aku yakin aja itu dia. Tapi soal dia inget atau enggak, aku nggak tau. Aku juga bingung kenapa dia nggak inget padahal aku sendiri masih inget."

Fira menatap langit yang menaungi mereka hari ini. Lebih cerah dari beberapa hari terakhir. Warnanya biru cerah dengan serakan-serakan kapas putih yang tidak terlalu banyak. Tidak terlalu panas, sebab angin juga sesekali bertiup agak riuh di sekeliling mereka.

Lantas kemudian, ada senyum lembut yang terulas dari sepotong bibir itu. "Kamu mau aku bantuin, nggak?"

Kepala menoleh terlalu cepat, sepasang mata menatapnya dengan kerutan di sekitar dahi. Fira mengulas senyum yang sama pada sahabatnya yang kelihatan tak mengerti. "Aku bantuin kalian CLBK."

April berdecak lantas menggeleng beberapa kali. Apakah idenya terdengar sangat buruk hingga gadis berambut pendek itu harus terus-terusan meringis sembari mengerjakan tugasnya? "Mana bisa, Ra. Kan dia sukanya sama kamu. Lagi pula itu juga udah lama banget."

Gadis yang dengan rambut berkucir tinggi itu mengangkat bahu sebentar, ia sendiri bahkan tak yakin ini akan berhasil. Akan tetapi, ia juga belum mencoba. Mana tahu jikalau nanti berhasil atau tidak. Lagi pula ia ingin lepas dari Randi juga, demi seseorang di sana.

"Ya, pasti bisa. Kalau kamu suka sama dia, jadinya kan nggak terlalu susah."

"Gimana?" April mendesah berat lagi. "Aku ngejer dia, dia kejer kamu, kamu maksa aku buat ngejer dia. Nggak ketemu ujungnya, Ra." Gadis itu menahan pekiknya agar tak terlalu banyak mengundang perhatian orang-orang. Kemudian dengan cepat mengusap dan menutupi wajahnya dengan kedua tangan. Ia bertingkah seakan-akan sangat frustrasi.

Bersama tiupan angin lembut yang menerbangkan rambut-rambut mereka, Fira tersenyum sekilas. Ia tetap akan membantu, membuat setiap keadaan menjadi kesempatan. Sedikit sulit karena tidak punya rencana apa pun, tetapi nanti pasti ada ide aneh yang terlaksana. Lagi pula, ini juga untuk April.

Randi ternyata cinta pertama sahabatnya. Cinta pertama itu terlalu rapuh dan yang paling berkesan. April termasuk salah satu yang beruntung sebab bisa dipertemukan kembali. Sayangnya, kedua insan itu sedang dalam situasi yang tidak mendukung.

"Emang kamu nggak mau nyoba dulu?" tawar Fira sebab April masih belum juga mengangkat wajahnya. Entah malu berkepanjangan atau frustrasi terus-terusan, tidak mengerti juga.

Jeda agak lama berbuah desah lelah. Tangannya disingkirkan, bergantian merapikan rambutnya yang berantakan. "Ya, pengen, sih."

"Tapi ada syaratnya." Fira mengacungkang jemari telunjuknya, percaya diri. Sebelum April melontarkan tanya, gadis itu lebih dulu memperingatkan untuk jangan dipotong. "Jangan berhenti dari apa yang dimulai sebelum akhir yang diingini tercapai."

Tepat setelah itu, angin di sekitar pelataran kampus bertiup terlalu riuh. Berlembar-lembar kertas yang ditumpuk juga hampir dibawa angin jika tak buru-buru ditahan. Dedaunan gugur terlalu banyak, dan riuh orang-orang yang memekik terkejut lantas memenuhi telinga.

Di keriuhan yang terlalu tiba-tiba itu, ada sepasang mata yang menatap ke arah mereka, lebih tepatnya pada April. Air muka tanpa emosi, tanpa kilat apa pun di maniknya yang hitam legam, hanya tatap tanpa warna. Entah apa maksudnya, tetapi April lebih memilih memalingkan wajah.

Gadis itu hanya belum tahu saja, harap yang tiba-tiba tersemat di dadanya, tiba-tiba saja membubung. Terbawa angin yang riuhnya hampir menggetarkan semua orang. Sahabatnya mungkin mencoba membantunya juga, ia sangat yakin. Namun, sesuatu yang lain, semesta contohnya sedang memilih bagian mana yang harus segera menjadi nyata atau mesti diundur terlebih dahulu.

Seperti kata orang-orang, waktu terlalu bergerak lambat ketika kita menunggu.

Kepala tertarik kembali untuk menoleh, hanya penasaran apakah perasaannya benar atau tidak. Tubuh tegap itu masih di sana, berdiri tegak bersama sekumpulan orang di jalan utama pelataran kampus, masih pula dengan tatap tanpa emosi itu. April mulai merinding.

***
[ to be continue ]

-[27/06/21; 15.00]-
-

[31/07/21]-


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top