[fh · 17] - cause i have you & still have these feelings with me

Harta yang sesungguhnya kita punya bukanlah materi, melainkan sebuah rasa sayang dari orang yang dikasihi.

***

Akhir Oktober, 2021.

Sebenarnya April tidak bisa marah berlama-lama seperti ini pada sahabatnya. Ia hanya ingin Fira menyadari kesalahannya saja untuk beberapa hari. Akan tetapi, sudah seminggu dan April baru memulai kalimat pertamanya tadi pagi.

Aprilia Faranisa memang marah, tetapi kasih sayangnya lebih banyak. Ia ingin memulai kata lebih dulu, tetapi tetap saja egonya meminta mengulur waktu lebih lama. Namun, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun bersahabat, baru kali ini ia terlalu mengkhawatirkan Fira.

Sore belum terlalu menua, bahkan garis-garis jingga di sela-sela mega belum juga kelihatan. Gadis berambut pendek itu ingin sekali memperbaiki hubungannya dengan Fira. Ke kafe. Mungkin kesempatan yang diajukan sahabatnya itu bisa menjadi salah satu solusi. Ia akan mengejutkan sahabatnya itu dengan panggilan tiba-tiba.

Namun, ada satu hal janggal. Selama di kampus, April sama sekali tak melihat atau menemukan Fira di mana pun. Padahal ia tahu sendiri jika Fira punya beberapa kelas hari ini. Gedung fakultas mereka juga tidak terlalu jauh. Belum lagi biasanya Fira yang selalu berusaha berbaikan padanya. Tidak mungkin, kan, gadis itu tiba-tiba saja menjadi makhluk tak kasat mata hari ini?

Di ambang pintu kamar asramanya, sebelah tangan April menggenggam gawai, sedangkan tangan yang lain hendak menggapai handle pintu yang tertutup rapat. Jika memang Fira tidak bisa ditemukan di setiap sudut kampus, maka pilihan satu-satunya adalah menghubungi. Biar saja ia kena ledek habis-habisan. Lagi pula tidak ada yang akan merasa dirugikan kalau mereka berbaikan, kembali seperti dulu.

"Nomor yang Anda tuju tidak dapat menerima panggilan-"

Dahinya berkerut. Gawai diturunkan, layarnya yang masih menyala diperhatikan lamat-lamat. Tidak biasanya Fira mengabaikan panggilan April seperti ini. Gadis itu lantas mencoba beberapa kali sembari memasuki kamar, tetapi tetap saja panggilannya berakhir dengan suara operator wanita.

"Apa Fira masih ada kelas?" ucapnya dengan kerutan di sekitar dahinya yang masih belum juga meluntur.

April mendesah lelah, masih terus berusaha menghubungi Fira sebab seketika teringat jika gadis itu tak pernah punya kelas hingga sesore ini. Belum lagi dadanya terus menyeruakkan kekhawatiran yang amat sangat kentara. Namun, begitu menatap ke arah meja belajar, matanya membelalak. Bingung sekaligus terkejut.

Di bawah meja belajar, di sela kaki-kaki meja dan kursi, sesuatu mengeluarkan cahaya; seperti layar gawai. April berjalan mendekat, diam-diam berharap jika penglihatannya tak menafsirkan jika benda tersebut benar-benar ponsel milik Fira.

Sayangnya, hal tersebut memang benar. Begitu April mencoba menghubungi Fira lagi dan benar saja, gawai yang masih tergelatak di sela-sela kaki-kaki kursi dan meja itu menunjukkan namanya. Tidak ada dering panggilan, ponselnya dalam mode diam.

"Kenapa HP-nya ditinggal?"

Dengan pikiran dan dada yang berkecamuk, gadis berambut pendek itu mengambil dan mengamati gawai Fira lamat-lamat. Kekhawatiran yang terus membayangi selama di kampus semakin menjadi-jadi saja.

Sementara di luar jendela yang tertutup rapat dengan tirai yang tersingkap, angin mencoba menggedor-gedor kaca jendela melalui ranggasan ranting pohon yang daunnya hampir seluruhnya berjatuhan. Menghantarkan lebih banyak kegelisahan ke dalam kamar yang hening itu.

Aprilia Faranisa menaikkan wajahnya, menatap jendela dengan air muka berkerut risau yang kentara. Kamu ke mana, Ra?

***

"Halo, Na. Tadi Fira ada masuk kelas, nggak?" Ada jeda pendek yang menyebabkan gadis itu menghela napas lelah. "Nggak ada, ya? Soalnya dia ninggalin HP-nya di rumah. Terus juga jam segini belum pulang. Kalau kamu denger kabar soal Fira langsung kabarin, ya."

April tersenyum kecut. "Makasih." Lantas setelahnya ia menatap layar gawainya yang masih menyala lalu sekejap kemudian mati.

Malam semakin larut, gelap terus menggerayangi. Lampu utama sudah dimatikan, tertinggal lampu tidur yang berdiri kokoh di atas nakas yang bersinar remang-remang. Gadis terduduk lemas di ranjang milik Fira, dengan kepala menengadah. Fira belum juga kembali.

Sudah banyak teman satu jurusan sahabatnya yang dihubungi, tetapi tak ada satu pun yang melihat Fira hari ini di kampus. Bahkan gadis itu melewatkan tiga kelasnya hari ini. Sesuatu yang sangat langka bila akan dilakukan oleh seorang Zhafira Freya.

Kalau harus dikaitkan dengan pertengkaran mereka, cukup tak masuk akal juga. Jika memang begitu, mengapa Fira tak melakukannya dari kemarin? Mengapa baru hari ini? Lagi pula pagi tadi tanpa ucapan April juga telah menganggap mereka berbaikan, meskipun dengan cara yang tidak terlalu baik.

Gadis itu mendesah frustrasi dengan tangan mengacak rambut hingga wajah. "Kamu di mana, sih, Ra?" Semoga kamu baik-baik aja.

***

Mentari memang tidak terlalu bersinar cerah pagi itu, entah sebab masih terlalu dini atau memang awan tebal selalu berusaha menyembunyikan matahari akhir-akhir ini. Namun, di sebuah kamar asrama sudah grasak-grusuk sebab satu-satunya penghuni di sana tengah terburu-buru.

April terlambat bangun.

Padahal kelasnya akan dimulai setengah jam lagi, tetapi ia bahkan baru bangkit dari tidurnya beberapa menit yang lalu. Tentu saja disebabkan terus-terusan mengkhawatirkan sahabatnya sepanjang malam yang belum juga kembali entah dari mana.

Belum lagi ia baru saja menemukan jika kunci kamar yang biasa dibawa Fira juga tergeletak tak berdaya di atas nakas dengan tas selempang putih miliknya. Mungkin gadis itu hanya membawa uang saja. Bahkan roti yang kemarin pagi April berikan juga masih di sana.

"Aduh!" pekik April dengan nada frustrasi.

Lebih dari mengkhawatirkan Fira, sebaiknya April mengkhawatirkan dirinya sendiri. Ia berulang kali menjatuhkan barang-barang dari tempatnya akibat tak bisa tenang. Ditambah hari ini adalah jadwal dosen menakutkan yang akan mengajar. Mana bisa April melewatkannya begitu saja. Bisa-bisa nilainya langsung diturunkan.

Gadis itu hampir siap. Hoodie kebesaran berwarna merah muda dan bawahan denim. Biarkan saja ia berpenampilan sangat-sangat sederhana hingga harus diolok teman-temannya. Daripada mendapat nilai rendah. Itu lebih mengerikan.

Jika saja Fira di sana, mungkin April tidak akan kalang kabut seperti ini. Sahabatnya itu akan membangunkannya lebih awal atau paling tidak mengomeli April sebab terus-terusan terjaga sepanjang malam untuk menonton series kesukaannya. Namun, baru sehari saja April sudah merasa sangat kehilangan.

Tiba-tiba kerinduan menyergapnya. Ia mulai merasa bersalah sebab terlalu lama mendiamkan Fira. April hanya takut Fira benar-benar pergi dan tak kembali.

Ia menepuk kepalanya sendiri. "Bodoh banget! Jangan pikir macem-macem, lah!"

Lantas kemudian, dering ponsel membuat kamar itu tak lagi terasa sunyi setelah habis April hilir mudik kalang kabut. Satu-satunya insan di sana menoleh ke asal suara, dari atas meja belajar, sebab itu bukan dering yang sama dengan ponselnya.

Buru-buru gadis itu menghampiri. Ponsel Fira berdering, ia hanya bisa berharap mendapat kabar baik sekarang. Setidaknya sedikit merasa lega sebab ada orang lain juga yang ikut mengkhawatirkan dan mencarinya.

Bu Sisi.

Dahi April berkerut heran begitu melihat nama kontaknya. Akan tetapi, siapa peduli. Ia hanya ingin tahu apa yang akan dikatakan si Bu Sisi ini. Siapa tahu ia punya informasi seputar Fira yang sampai saat itu tak kunjung juga menjejakkan kaki di kamar asrama mereka.

"Halo, Fira? Kamu di mana, Nak? Kamu di rumah, kan, sekarang. Buka pintunya, ya. Ibu bawain kamu makanan ini. Baru dimasak, mumpung masih hangat." Suara di seberang sana langsung berucap cepat sebelum April sempat menyapa lebih dulu. Meskipun terdengar ramah, tetapi terselip juga nada kekhawatiran yang cukup kental

April mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya menyahut. "Maaf, Bu. Ini temennya Fira. HP-nya ketinggalan di asrama. Kalau boleh tau, rumah yang Ibu maksud itu yang mana, ya?"

"Loh?" Nadanya berubah cepat menjadi agak tersentak. Kemungkinan ia juga sama terkejut dengan April. "Ya, rumahnya di Jalan Arjuna. Emang kamu belum tau kalau kemarin bundanya Fira meninggal karena kecelakaan?"

Gemuruh di luar jendela mungkin tak ada atau bahkan mega juga tak berwarna keabu-abuan, tetapi April merasa jika kepala dan dadanya terkena sambaran petir. Ia tak dapat menapaki lantai dengan benar, kekuatannya seketika menghilang, lemas. Gadis itu terpaksa terduduk dengan agak kasar ke bangku.

"Bundanya Fira meninggal?" lirihnya. April merasakan matanya memanas, bibir pun ikut bergetar bersamaan dengan ucapnya yang terasa tercekat di ujung tenggorokan.

Telinganya terasa berdenging, bahkan suara wanita di seberang sana yang memanggilnya juga tak lagi terdengar. April seolah bisa merasakan sakit yang sama dengan yang Fira alami saat ini. Gadis itu menunduk dengan pandangan kosong, mata memerah hampir menjatuhkan tangisnya. Ponsel diturunkan dari telinga, tak lagi tergenggam dengan benar.

Hingga waktu yang sangat lama itu membuatnya kembali dari alam bawah sadar kala ketukan di pintu mengetuk gendang telinganya juga. Pikirannya lantas tertuju dengan cepat pada Fira. Ia ingin memeluk sahabatnya saat itu juga. Ia ingin menjadi tempat sahabatnya bersandar ketika begitu banyak orang lain yang hendak pergi dari kehidupannya.

Daun pintu terbuka perlahan, bayangan seseorang jatuh menyentuh ujung-ujung kakinya yang berdiri hampir lemas. Di depan pintu, Fira berdiri kaku. Matanya memerah, wajah berantakan bekas tangis yang sepertinya siap turun lagi, ikatan rambut yang tak lagi benar, dan pakaian yang masih sama seperti kemarin.

"April, maaf aku nggak pulang semalem ...," ucapnya terlalu lirih. Ada senyum menyakitkan yang muncul dari dua sudut bibirnya, tetapi matanya malah menjatuhkan tetes demi tetes air mata.

Zhafira Freya benar-benar terlihat menyedihkan. April sampai harus merasa sangat-sangat bersalah telah meninggalkan Fira di titik terendahnya seperti. Beberapa lama saling berdiam di depan pintu, Fira akhirnya memilih juga untuk menapaki kamarnya lebih dulu. Mungkin merasa bersalah juga tak pulang semalaman.

"Ra ...." Yang dipanggil bergumam rendah begitu melewati April yang masih memaku di depan pintu. "Maaf nggak nemenin kamu di titik ini."

Kedua gadis itu sama-sama berbalik. Lantas dengan cepat, genangan di sudut mata Fira jatuh juga, deras dan terasa hampir tak akan berhenti. April juga ikut menangis, tidak bisa juga menahan lama-lama matanya yang terus memanas.

Gadis berambut pendek itu membawa sahabatnya ke dalam dekap yang penuh perasaan aman, membantu meredakan sedikit rasa sakitnya yang hampir datang beruntun. Meskipun ia tahu tak ada rasa sakit yang dapat disembuhkan tanpa obat yang sama dengan penyebab sakit itu sendiri.

"Bunda udah pergi, April," katanya agak terbata sebab isakan tiba-tiba terlontar dari bibirnya. "Bunda pergi ...."

April merasakan jika dekapnya dibalas, terlalu erat. Menjelaskan jika Fira terlalu menahan rasa sedihnya semalaman, sendirian, tanpa siapapun yang menghiburnya. Bersamaan, kedua gadis itu jatuh terduduk ke ubin kayu.

"Aku di sini, Ra. Aku di sini." April mengusap punggung sahabatnya. Dekap dipererat, memberi lebih banyak hangat dan semangat. "Jangan khawatir."

Fira menangis kian tak terkendali dan meraung-raung, memeluk April makin erat seolah juga takut jika sewaktu-waktu April meninggalkannya. Sedangkan sahabatnya itu mengusap rambut dan punggungnya bergantian, berharap semoga beban kesedihan Fira bisa dengan cepat menguap.

Di bawah naungan atap asrama, di bawah langit yang cukup cerah meskipun tak ada langit kebiruan yang tampak, ada kesedihan yang dipangku teramat dalam. Nabastala memang tidak ikut berduka, tetapi angin yang bersiul lirih dari balik jendela, menggoyangkan dedaunan dan ranting-ranting agar mengetuki jendela seolah ingin menghibur.

Oktober tidak berakhir dengan baik. Kabar buruk datang bergantian, menyakiti jiwa-jiwa yang sebelumnya memang sudah lemah. Ada harap yang membubung dari bawah atap itu. Berharap jika awal bulan yang baru nanti bersambut langit yang cerah. Tak perlu mentari yang bersinar terlalu terik, hanya hari-hari yang datang tanpa badai yang menyakiti lebih dalam.

***

Sebab hari-hari yang lalu berakhir terlalu menyakitkan, bukan berarti tidak melanjutkan hidup adalah pilihan. Meskipun kadang air mata masih jatuh sesekali, semesta tetap akan terus bergerak, begitu malam akan bersambut siang, begitu hujan akan datang ketenangan.

Hubungannya dengan Fira telah kembali seperti semula. Kadang-kadang April merasa harus membenturkan kepalanya ke besi ranjang, dinding kamar mereka, meja belajar, atau bahkan ubin kayu alas di bawah mereka sekalian. Alasan untuk bertengkar dengan Fira terlalu jelek, masalah lelaki seharusnya tidak menjadi sebesar itu.

"Mau ke kafe, nggak?"

Fira menoleh pada sahabatnya sebentar sesaat setelah melihat kembali isi tasnya, memeriksa apakah ia akan meninggalkan sesuatu atau tidak. Seperti biasa hari-hari sebelum kabar buruk dan pertengkaran datang, April menorehkan gurat-gurat bersemangat di sudut-sudut bibir dan sekitaran matanya.

Ia benar-benar sangat bersyukur punya April. Memang tak ada yang bisa menggantikan tempat bundanya, tetapi April sudah benar-benar ia anggap seperti keluarganya di saat dirinya tak punya siapa-siapa.

Kedua gadis itu serempak berjalan keluar dari pelataran kampus. Fira bergumam sebentar. "Emang kamu mau ketemu Randi?"

Fira benar-benar tidak mengerti. Sudah jelas-jelas waktu itu mereka bertengkar mengenai Randi yang menyatakan perasaannya, tetapi hari ini April malah menantang untuk mendatangi kafe yang biasa mereka datangi, yang seratus persen pasti ada Randi di sana. Sebenarnya April kenapa?

Beberapa langkah ke depan hanya terdengar alas kaki yang beradu dengan bebatuan kecil. "Tapi aku pengen ke kafe. Nggak pa-pa ada Randi-nya. Toh, aku ke sana mau makan sama minum, bukan mau liat dia."

Meskipun kepalanya tak ingin, tetapi tetap juga April menyeretnya berjalan menuju kafe itu. Mau tak mau, Fira mengikuti saja agar keseimbangannya tak terus-terusan menjadi tak terkendali. Kalau ini April sendiri yang mau, mana bisa Fira mencegahnya.

"Tapi kamu yakin? Aku nggak mau ini jadi masalah di antara kita lagi, ya," peringat Fira begitu mereka sudah berjalan di atas trotoar keabu-abuan yang memanjang di sepanjang bahu jalan. Sesekali dedaunan bintaro yang sudah berwarna jingga kekuningan jatuh di atas kepala, seolah menyambut kedatangan kedua gadis itu setelah sekian lama.

"Yakin, lah!" Sayangnya hanya bibir yang berucap yakin, tetapi nada bicara April malah terdengar sedikit tak percaya diri.

Fira menghela napas agak panjang. Kedua gadis itu sudah sampai, tetapi memilih untuk berhenti di bawah pohon bintaro yang tak jauh dari pintu kaca kafe. "Kamu pengen aku bilang sama Randi kalau aku udah punya Arya, kan?"

Ada kedipan yang hadir bersama tiupan angin lembut. Bayu tiba-tiba saja mengarak awan setengah abu-abu, entah apa maksudnya. Langit yang tadinya tampak cerah, tak lagi begitu terang. April menunduk sebentar, lalu mengangguk perlahan.

Senyum diulas lembut, Fira menyentuh sebelah tangan April yang bebas. Meskipun ia tidak tahu bagaimana rasanya menyukai seseorang yang menyukai orang lain-apalagi sahabat sendiri-setidaknya ia tahu harus bagaimana menyikapi. Ia tidak ingin kehilangan lagi, ia tak mau kehilangan April. "Ayo kita, bilang."

Bel kecil di atas pintu kaca kafe berdenting sekali, pertanda pelanggan baru saja masuk. Sekilas, gadis itu melihat Randi yang sibuk menyiapkan pesanan di meja pantri. Namun ia tak butuh berlama-lama melihat itu, Fira dan April lebih dulu mengambil tempat duduk di dekat jendela. Menatap dedaunan bintaro jingga kekuningan yang berguguran akibat tertiup angin berlatar belakang bangunan menjulang modern.

"Dia ke sini," gumam April sangat-sangat pelan. Fira sampai harus menyipit untuk bereaksi.

Lantas tepat setelah itu, bayangan seseorang jatuh di meja. Randi berdiri di sisi mereka dengan celemek hitam khas seorang barista kafe serta buku catatan kecil di tangannya.

"Mau pesen apa?" Senyumnya terulas terlalu lebar. Menggambarkan semangatnya yang menggebu. Mungkin juga akibat tak bertemu Fira beberapa hari terakhir. Padahal Randi dan Fira berada di gedung fakultas yang sama. Lagi pula, Fira yang sengaja menjauhi diri.

"Dua vanilla latte sama dua pancake madu, ya."

Fira pikir, setelah ia mengatakan pesanannya, Randi akan langsung menulis dan pergi untuk membuatkan pesanan. Namun ternyata, lelaki itu malah menarik sebuah kursi yang menganggur di sisi lain meja. Randi duduk di sana, bergerak agak gelisah.

Dua pasang mata saling melirik. April mendesah pelan dengan bola mata memutar bola mata sekali seolah sudah tahu apa yang akan dilakukan lelaki itu. Beruntungnya pengunjung di kafe itu tidak terlalu ramai hingga Randi harus menjadi tontonan akibat bukannya melayani, tetapi malah memilih mengobrol.

"Waktu itu aku memang bilang nggak berharap lebih kalau kamu nggak bales rasa suka aku. Tapi tetep aja, aku pengen kamu suka sama aku balik." Lelaki itu menunduk, napasnya dihela terlalu berat. Jeda yang tak begitu panjang itu mulai terasa tidak begitu mengenakkan. "Aku bakal nunggu sampai kamu punya rasa yang sama."

Sesungguhnya, hal ini tidak ada dalam list yang diharapkannya. Mendengar seseorang yang bukan Arya menyatakan perasaannya di depan sahabat sendiri yang menyukai orang itu. Bukan. Tidak. Fira perlahan mulai merasakan sesak yang dirasakan April.

Zhafira Freya mulai bergerak agak tak nyaman. Ia melirik Randi sebentar. Lelaki itu menatapnya dalam, berharap ucapannya dapat segera diterima. Namun, Fira memilih memutus kontak lebih dulu, beralih menatap April di seberang meja. Seolah meminta bantuan mengenai apa yang harus ia balas. Sahabatnya hanya berkedip sekali dan menunjuk dengan dagu.

"Aku salah nggak bilang ini dari awal ke kamu, Randi." Fira memulai ucapnya sembari memerhatikan reaksi Randi yang tampak terkejut dan bahagia. Sepertinya lelaki itu mulai berpikir jika sebenarnya Fira punya perasaan yang sama.

Gadis itu memperbaiki posisi duduknya agar lebih nyaman. "Bukan, bukan kayak yang kamu pikirkan." Fira menatap lagi April sebentar, sebelum akhirnya memaku tatap pada Randi yang menunggu ucapannya. "Maaf, tapi aku udah punya pacar. Dan sekarang, aku lagi nunggu dia."

Air muka Randi seketika berubah, tak ada emosi yang bisa ditangkap dari wajahnya yang tampak tegas ini. Namun, ia bisa melihat jika gurat di alis dan matanya menurun, mengisyaratkan kekecewaan.

Inilah yang paling Fira hindari, membuat orang lain kecewa padanya. Sayang sekali, kali ini ia harus melakukannya sebab tak ingin terus-terusan membuat April sakit hati dan tentu saja sebagai bentuk janjinya untuk tetap menunggu Arya.

"Daripada kamu nunggu aku, lebih baik kamu perhatikan orang yang bener-bener punya perasaan sama kamu."

Lantas kemudian langit mulai bergemuruh. Angin terlalu banyak membawa mega keabu-abuan untuk menjatuhkan hujan di sana. Semesta seperti tahu bagaimana menyamankan perasaan para insannya. Ia ikut berduka ketika tahu salah seorang merasakan patah di dadanya. Untuk Randi.

***
[ to be continue ]

-[25/06/21; 14.46]-
--[24/07/21]--

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top