[fh · 16] - the broken wings, one of them has gone
Ada terlalu banyak harap yang disematkan pada sesuatu yang terlalu mustahil digapai.
Berlimpah asa yang digantung untuk membuat sesuatu menjadi tercapai.
Akan tetapi, manusia sampai lalai.
Bahwa ada sesuatu lain yang patut diinginkan agar jumpanya tak harus sampai menjadi sebuah perpisahan.
***
- ditulis sembari mendengarkan komposisi milik Antonio Vivaldi - Summer (L'Estate), the 3rd Movement -
Akhir Oktober, 2021.
Memang terang, tetapi langit tak memunculkan warna birunya. Kilatan-kilatan mungkin belum berniat muncul, tetapi ada gemuruh lain yang seperti tengah memangku kegelisahan tanpa mau berbagi. Ada awan keabu-abuan imajinatif yang mengelilinginya, seolah sesegera mungkin menurunkan badai.
Zhafira Freya tak mengetahui masalah apa yang tengah dihadapi sahabatnya. Sehabis dari toilet, April tak mengeluarkan sepatah kata pun. Biasanya ia selalu berbicara banyak; tentang teman satu jurusannya, dosen, atau apa pun yang menyangkut seluruh harinya di kampus.
Namun hari itu, Aprilia Faranisa terus-terusan memangku kebisuan dengan diktat-diktat kuliahnya dan laptop. Bahkan gadis itu sama sekali tak bertanya mengenai apa yang dibicarakan Randi sehabis ia pergi ke toilet. April seolah memilih buta dan bungkam akan apa yang terjadi.
"April ...," lirih Fira. Sahabatnya yang membuka pintu kamar asrama mereka, gadis itu mengikuti di belakangnya lalu mendudukkan diri di ranjang bawah.
Fira menghela napas panjang kala mendapati tak ada sahutan bahkan sebuah gumaman sekalipun. April masih terus menyibukkan diri: merapikan sepatunya, membereskan seluruh alat tulis, mengobrak-abrik lemari pakaian; seolah tak berniat sama sekali untuk membalas atau menatap Fira balik yang air mukanya sudah membendung kekhawatiran.
"Kamu kenapa, sih?" Fira meninggikan nada bicaranya.
Tepat setelah itu, April berhenti menyibukkan diri. Hanya sebentar. Detik berikutnya ia kembali lagi mencari-cari entah apa di dalam lemari. Namun tetap saja, tak ada sahutan yang jua terlontar dari bibirnya.
Fira bangkit, berjalan beberapa langkah, menghadapi April yang membelakanginya. "Kenapa diem aja? Kamu kalau ada masalah, cerita, dong!"
Napas dihela terlalu berat, April tak lagi mengobrak-abrik lemari. "Aku capek, Ra!" sahutnya agak memekik dan terdengar menahan emosi yang hampir meletup-letup. "Untuk kali ini jangan ganggu aku, please. Aku sakit kepala. Aku butuh istirahat."
Fira terhenyak. April mungkin memang hanya meluapkan emosinya, tetapi sesungguhnya gadis itu tak pernah mendengar keluhan yang seperti ini. Rapuh, marah, putus asa. Tergambar agak samar di punggungnya yang masih berbalut kemeja bermotif garis-garis. Sahabatnya itu terlalu pandai menyembunyikan perasaan negatif.
"April ...."
Gadis itu hendak menyentuh pundak sahabatnya, berniat memberi ketenangan yang sekiranya bisa membuat emosi April tak terus ditahan seperti ini. Akan tetapi, belum sempat, April sudah lebih dulu menampik dan berbalik. Wajahnya merah padam; tidak mengerti akibat amarah yang membuncah atau sebab tak tahan menampung lebih lama genangan di matanya yang siap luruh.
Senja hampir habis, langit kian menggelap. Fira melihat kilatan-kilatan tak tentu arah, bukan dari luar jendela, melainkan dari mata April yang semakin memerah dan penuh air mata yang entah mengapa tak jatuh juga.
"Kamu tau, kamu bisa ceritanya semuanya, sama aku, kan?" Fira hampir saja menyentuh pundak April. Namun, lagi-lagi tangannya ditepis sebelum sampai.
April berkedip, lantas seluruh air matanya pun luruh. Gadis itu dengan cepat menghapusnya dengan kasar. Napasnya dihela terlalu putus asa, lalu ia menggeleng kuat beberapa kali. "Nggak semua. Kamu nggak bakal ngerti."
"Kamu kenapa, April? Kalau kamu nggak cerita, gimana aku bisa ngerti?"
Fira mencoba terus memupuk kesabarannya, berharap dengan ini April mau berbagi. Lagipula, mereka juga sudah saling bersahabat sejak kelas sepuluh. Bagian mana yang Fira tidak harus bisa mengerti?
"Aku iri sama kamu, Ra." Air matanya terus berjatuhan, membentuk garis memanjang di pipi. Fira tidak dapat menampik jika hari ini adalah kali pertamanya melihat April dengan emosi campur aduk, menangis sesenggukan dengan alasan yang bahkan belum Fira temukan. "Padahal sebenarnya nggak ada hal yang terlalu spesial dari kamu."
Hanya keheningan yang menyahut. Mungkin angin di luar sana agak mengamuk, ranting-ranting yang meranggas mengetuki jendela beberapa kali. Entah mengapa setiap emosi yang dikeluarkan, semesta seolah turun mengambil peran yang sama, membuat suasana semakin emosional.
"Apa maksud kamu?"
Tawa hambar mengudara. Lagi, April mengusap lelehan air mata yang terus membanjiri wajahnya. Ia benar-benar berantakan, sinar kebahagiaan di matanya hilang begitu saja ditelan genangan air yang tak henti meluruh. "Kamu naif banget. Apa kamu terlalu sibuk ngitung jam, teleponin nomor Arya, dan nunggu dia yang baliknya entah kapan sampai kamu nggak peka sama apa yang baru aja terjadi?"
Fira ingin menangis, bahkan matanya juga ikut memerah bersamaan dengan gemuruh di langit yang mungkin hendak mengundang awan kegelapan di penghujung senja yang agak emosional ini. Ia ingin memeluk April, tetapi bahkan gadis itu tak mau disentuh barang seujung kuku. Sahabatnya terus menepis dan menepis seolah Fira begitu kotornya hingga harus dijauhi.
"Aku nggak ngerti, April. Kamu-"
Gadis di depannya itu memotong dengan desisan tajam, lantas setelahnya ia tertawa lagi. Agak menganggu, sebab tawanya berselimut dingin dan penuh amarah. "Mana bisa kamu ngerti. Kamu cuma peduli sama diri kamu sendiri."
"Coba kamu tanya sama diri kamu sendiri, apa sebelumnya kamu pernah nanya 'ada apa' atau 'apa kamu baik-baik aja' sama aku?" Senyum di wajah April terulas terlalu lebar, ada gurat menyakitkan di pinggir matanya yang berkerut. "Enggak, kan?"
Fira dibungkam. Ia menunduk, memilih menatap ujung-ujung jemari kakinya yang menapaki ubin kayu. Tak dapat menampik, itu memang benar adanya. Apakah Fira seburuk itu di mata orang-orang? Mengapa April baru mengatakannya sekarang?
Meski gelap hampir menerpa, lampu di kamar itu belum juga dihidupkan. Tak ada juga yang mengingat bagaimana seharusnya kamar itu diperlakukan. Dua manusia yang saling berhadapan itu terlalu sibuk dengan pemikiran di sudut kepalanya, berputar tak henti, tak berkesudahan.
Secepat datangnya, secepat itu pula senyum menyakitkan itu hilang. Berganti dengan tetesan-tetesan dari matanya yang entah kapan akan berhenti mengalir. Dengan grasak-grusuk, April mengusap lagi air mata yang menjejaki wajahnya.
"Itu karena kamu nggak peduli sama sekitar, kamu cuma peduli sama diri kamu sendiri. Kamu cuma peduli sama perasaan kamu. Kamu cuma peduli kapan Arya balik lagi. Kamu bahkan nggak peduli sama seseorang yang kamu anggap sahabat ini."
Gadis yang menunduk itu meremas cardigan-nya yang bahkan belum sempat dilepas. Dengan mata memerah, Fira menaikkan wajahnya. Ia sesenggukan kala balas menatap April yang tak urung memalingkan wajah penuh amarah itu. "Maaf, April."
Bendungannya makin menjadi, air mata Fira luruh saat itu juga. Ia menangis bukan karena sakit sebab ucapan April, tetapi baru menyadari bahwa dirinya terlalu egois. Gadis itu seolah bisa merasakan bagaimana April yang selama ini selalu menjadi bahan ketidakpekaannya.
"Tapi, Ap-"
"Apa? Kamu nggak tau, kan, kalau aku sebenarnya suka sama Randi?"
Sepasang mata menghujamnya terlalu tajam. Fira terhenyak lagi, masih tak percaya. Ia mencoba mencari-cari kebohongan yang sekiranya akan muncul di sepasang manik yang sudah banjir dan merah itu. Namun, Fira hanya menemukan amarah dan kekecewaan.
"Kamu nggak tau juga, kan?" Amarah di matanya luntur bersama genangan air mata yang meluruh ke tulang pipi. April terisak kecil, menatap dengan mata berkilat kecewa. "Saat pertama kali ketemu kamu, aku pikir kita bakal saling ngerti apa yang masing-masing kita hadapi. Kenyataannya malah bertolak belakang."
"Aku pikir kamu bakal langsung bilang kalau kamu masih punya Arya ketika Randi ngungkapin perasaannya. Tapi ternyata kamu cuma diem aja." April tertawa, hambar lagi. "Kamu tau itu artinya kamu kasih dia kesempatan buat ngejer kamu, kan?"
Gadis berambut pendek itu menengadah sebentar, lalu kembali menatap dengan kilatan amarah sama banyak seperti sebelumnya. "Tapi aku nggak mau permasalahin itu. Aku nggak mau jadi cewek yang cuma hidup buat menunggu cinta yang bertele-tele." April menaikkan sudut bibir kirinya. "Aku nggak mau kayak kamu yang buta karena nunggu pacarnya yang entah bakal balik lagi atau enggak."
Fira tidak tahu harus bagaimana menanggapi setiap perkataan yang dilontarkan April. Air mata terus berjatuhan ke pipinya. Ia bahkan tidak tahu mengapa tiba-tiba menjadi diliputi pilu yang lebih biru seperti ini, bahkan lebih daripada ketika untuk terakhir kalinya ia mendengar suara Arya.
Seorang Zhafira Freya masih terlalu bingung, mematung meresapi tiap-tiap kalimat sahabatnya sendiri. Dari keegoisannya yang hanya mementingkan diri sendiri hingga Randi, ia lagi-lagi tergugah. Ternyata selama ini ia memang seburuk itu.
Ia tersentak begitu pintu kamar mandi ditutup terlalu kasar. Fira menatap sisa-sisa bayangan April yang masih berdiri tepat di depannya. Tangis itu, kilat kekecewaan di matanya, wajah yang merah padam akibat amarah, semuanya karena Fira. Apa pun yang terjadi, semuanya karena Fira yang terlalu egois.
Gadis itu meluruh, jatuh di ubin kayu kamar asramanya, berselimut dingin dan kegelapan. "Maaf, April, maafin aku."
Padahal sebenarnya, Fira sendiri yang tahu bagaimana cara kerja maaf sesungguhnya. Takkan berarti jika hanya dengan semua kata dan isak yang semakin memilukan. Sebuah maaf tanpa tindakan adalah omong kosong, tetapi gadis itu bingung apa yang seharusnya ia lakukan untuk memperbaiki segalanya menjadi seperti semula. Meskipun tahu jika gelas yang pecah mana bisa kembali menjadi utuh seperti pertama kali.
***
Selama seminggu penuh, April tak mau bicara. Ia hanya hilir mudik di sekitar kamar dan tidur di asrama mereka dengan mulut bertahan memangku bisu. Jangankan untuk berbicara, menoleh pada Fira saja ia seperti tak sudi. Rasa-rasanya, kamar asrama mereka seperti neraka yang harus segera ditinggal pergi.
April seolah tak mau berlama-lama di sana jika ada Fira yang duduk di sudut kamar sembari mengerjakan tugas kuliah. Gadis itu pasti langsung cepat-cepat angkat kaki. Jika bukan karena sebuah keharusan untuk tinggal di sana, April pasti sudah akan memilih pindah kamar atau kalau boleh langsung saja pulang ke rumahnya.
Namun, April tak melakukannya. Mungkin berniat memberi pelajaran juga pada Fira yang terlalu egois pada orang lain melalui kebisuannya yang tiap hari kian membuat kegelisahan membuncah. Fira mengakui kesalahannya, sudah meminta maaf, mencoba memperbaiki juga dengan mengajak bicara lebih dulu. Akan tetapi, gadis itu selalu berakhir terabaikan.
Hingga di awal pagi itu, setelah berhari-hari berlalu dengan raut Fira yang terus-menerus muram akibat wajah April yang tak juga tampak berseri, akhirnya ada juga setitik senyum yang muncul di sana. Fira diberikan sekantong berisi tiga bungkus roti yang masing-masing memiliki rasa cokelat, kelapa, dan srikaya.
"Makasih."
Gadis dengan rambut panjang terkucir itu menaruh terlalu banyak bumbu bahagia di senyumnya, berharap setidaknya April mau membalas barang sebatas gumam rendah. Namun, sama seperti hari-hari sebelumnya, April masih memangku bisu. Terpaksa lagi senyum itu kembali luntur.
Fira bergumam sebentar begitu melihat April sibuk memasang sepatu putihnya, hendak pergi ke kampus. "Jam berapa kelas terakhir kamu?Mau ke kafe, nggak?"
Ia masih tetap menunggu ketika April sudah hendak membuka pintu kamar, tanpa suara lagi. Namun, tangannya masih tetap berada di handle tanpa membuka. Fira seperti punya setitik harapan untuk membuat April berbicara.
"Aku mau ke perpustakaan kota sama temen buat kerja kelompok. Mungkin bakal pulang malem banget."
Kemudian setelahnya, daun pintu terbuka sebentar. April menghilang dengan menyisakan sedikit kecewa di belakangnya.
Senyum kecut tergambar. Meskipun hanya berbalas penolakan, setidaknya Fira sudah lebih baik setelah mendengar sahabatnya yang mulai mau berbicara. Kedua sudut bibirnya naik menjadi lebih cerah, memberi semangat pada dirinya sendiri. Ia akan berusaha agar hubungannya dengan April menjadi seperti semula.
Namun ternyata, di pagi dengan kicauan burung yang terlalu merdu, tanpa angin yang bertiup gelisah, juga tak ada langit yang memangku awan keabu-abuan, tak hanya membawa kabar yang melegakan. Sehabis debam pintu bersama kepergian April, gawainya berdering nyaring.
Kabar duka merasuk tak hanya berdenging di telinganya, tetapi juga membuat dadanya serasa dihantam batu besar, kaki tak dapat menapaki ubin kayu dengan benar, dan rasa-rasanya air mata juga ikut berjatuhan di sekitar tempatnya jatuh meluruh bersama isakan-isakan kepedihan yang mengudara di dalam kamar.
***
- ditulis sembari mendengarkan lagu milik Krist Perawat - ขอโทษที่ยังร้องไห้ (Missing) dan komposisinya Frederick Chopin - Nocturne No. 20, C Sharp Minor -
Akhir Oktober, 2021.
Zhafira Freya tak tahu mengapa seolah semesta terlalu banyak memberinya kejutan dalam waktu berdekatan. Bukannya ia ingin menentang, tetapi gadis itu bahkan tak punya waktu untuk menyiapkan diri dengan kabar-kabar tak baik lainnya.
Ia terduduk lemas di atas tanah basah pemakaman, menatap dengan pandangan kosong pada pusara yang bahkan belum sampai sepuluh menit dibentuk. Bulir-bulir air mata terus berjatuhan di pipinya tanpa bisa ditahan sebentar.
Bundanya baru saja pergi, meninggalkan Fira untuk selamanya. Bahkan tanpa sempat saling berbagi peluk di saat-saat terakhir yang penting itu.
Kejadiannya terlalu cepat, bahkan untuk bernapas saja Fira merasa sesak. Dari seberang telepon, Fira mendapat kabar dari teman satu tempat kerja bundanya bahwa wanita empatpuluh tahunan itu mengalami kecelakaan saat hendak menyeberang; tepat di depan kantor pengiriman barang itu, tempatnya bekerja.
Memang terdengar sepele, tetapi kecelakaan itu membuat nyawa bundanya langsung melayang. Fira tidak tahu kapan tepatnya ia sampai di rumah. Namun, begitu baru saja sampai, ia disuguhkan dengan pemandangan bundanya yang sudah terbujur kaku dengan kain kafan yang membalut seluruh tubuhnya.
Fira jatuh meluruh di hadapan mayat sang bunda. Menangis dengan isakan
menyakitkan sembari terus ditenangkan oleh teman sepekerjaan bundanya dan juga para tetangga.
Ironisnya, bahkan gadis itu sama sekali tak berpikir tentang kepergian yang terlalu tiba-tiba ini. Ia hanya sibuk dengan dunianya sendiri. Seperti kata April, Fira terlalu egois untuk memperhatikan dan memahami keadaan sekitarnya.
"Ayo pulang, Nak." Sebuah suara menyentak, membawanya kembali dari alam bawah sadar.
Fira mendongak dan mendapati hanya dua atau tiga orang yang masih bertahan di sisinya, kemungkinan tetangga dan teman bundanya, menunggu Fira ikut pulang bersama. Gadis itu lekas-lekas menghapus air mata yang menjejaki wajahnya.
Gadis rengsa itu mengangguk lemah, menghapus lagi air mata yang jatuh lagi begitu netranya kembali bersirobok dengan tempat peristirahatan terakhir sang bunda. Sebelum akhirnya ia bangkit dibantu oleh salah seorang wanita.
Begitu menjauhi area pemakaman pun, air mata masih tak henti menjejaki pipinya, terus turun tanpa aba. Terkadang tanpa sadar kita berpikir tentang semesta yang fana ini. Semuanya datang tanpa diduga, lalu perginya begitu cepat tanpa terasa. Jumpa yang singkat, lantas setelahnya berakhir dengan perpisahan tanpa isyarat.
Kakinya kembali menapaki sesuatu yang bernama rumah setelah sekian lama, kamarnya yang dulu tempat beristirahatnya bersama sang bunda. Tak banyak yang berubah, bahkan untuk tumpukan buku yang tersusun di atas meja. Hanya tirainya yang sudah berubah menjadi biru muda dan seprai merah muda.
Keheningan di kamar itu membuat matanya kembali menggenang. Fira penasaran, seberapa kesepian bundanya tanpa sang putri semata wayang. Jika saja gadis itu tak harus menempati kamarnya di kampus, maka Fira akan memilih untuk tetap tinggal bersama orang tua tunggalnya itu, berbagi kesedihan dan kebahagiaan bersama. Di sini, di rumah ini, di kamar ini.
Isakan perih itu mengudara, tanpa aba lantas kakinya membawa pada ranjang yang sudah sangat lama tak ia sentuh. Fira jatuh di sebelahnya, menopangkan kepala di tempat tidur yang hampir basah akibat tangisnya yang semakin deras saja.
"Fira rindu bunda," ucapnya di sela-sela isak. "Maafin Fira, Bunda."
Gadis itu merasa dunia tak lagi tempat yang tepat untuknya. Ayahnya, Arya-nya, bundanya, bahkan April juga sama. Adakah sesuatu yang masih tersisa untuknya? Mungkin hanya memori yang terus melekat-lekat; yang semakin dikupas, maka ceritanya malah kian mengundang isak yang berlipat-lipat.
Ia menyesal, mengapa hanya meminta untuk menjaga Arya untuknya. Mengapa tidak pula untuk ayahnya, bundanya serta April yang selama ini selalu berdiri sebagai penopangnya? Mengapa? Bodoh sekali, kan?
Kalau sekarang bundanya ikut pergi juga, siapa yang harus Fira salahkan?
Namun tetap saja, segalanya sudah sangat terlambat untuk menyesal sekarang. Ia tak bisa lagi meminta bundanya untuk tetap di sini, memeluknya erat dan menyalurkan setiap rasa sayang di usapan lembutnya. Bundanya telah pergi, jauh sekali, mustahil diharapkan untuk kembali.
Angin yang bertiup lembut menerbangkan tirai biru muda di kamar itu, menyentuh Fira sama lembut. Isakannya makin keras, makin memilukan. Fira sangat merindukan bundanya. Mengapa juga ia tak pernah menyempatkan waktu untuk menghubungi kala senggang.
"Maaf, Fira belum bisa bahagiain bunda di saat terakhir."
Apakah masih terlambat sekarang? Apakah Fira masih bisa meminta agar semua orang di kehidupannya tak pergi terlalu cepat dan tanpa isyarat lagi? Jika masih memungkinkan, Fira ingin April mendekapnya hangat lagi seperti seorang ibu, ia ingin melihat wajah ayahnya lagi, dan yang paling ia ingini adalah kembali menatap wajah Arya.
Lebih dari itu, Fira ingin mewujudkan setiap keinginan bundanya. Tetap bahagia dan tak pernah menyerah menggapai asa.
"Bunda ..., maafin Fira," lirihnya dengan suara sengau. Matanya tak lagi terbuka dengan benar, tertutup rapat perlahan-lahan bersama tiupan angin yang menerbangkan lembut tirai hingga menyapa pucuk kepala. "Fira ... pengen peluk bunda."
Kegelapan dengan cepat menyergapnya begitu sinar-sinar senja menelusup masuk dari jendela. Jauh di dalam lubuk hatinya, Fira ingin melihat sang bunda sekali lagi, meskipun di dalam mimpi sekalipun. Meskipun hanya sebentar, ia ingin merasakan lagi hangatnya dekap itu.
Gadis itu hanya tidak tahu saja, dari semua harapannya yang tersemat di sela-sela isakan pilu, ada salah satu di antaranya yang mengantre untuk terkabul begitu asanya baru saja membubung. Tinggal menunggu detik-detik saat Fira benar-benar merasa lebih baik.
***
"Jika aku tahu bahwa kami akan berpisah untuk selamanya, aku tidak akan memilih berpisah dari dirinya walau hanya sementara." - Krist Perawat.
***
[ to be continue ]
-[23/06/21; 15.22]-
-[17/07/21]-
...
Aku menangis ketika menulis bab ini. Cengeng banget ya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top