[fh · 14] - they lied when they said sunsets were always beautiful
Senja tak pernah seindah yang dielukan mereka.
Jingganya hanya sementara.
Sebuah sekat tinggi yang datangnya pasti.
Sebuah isyarat bahwa sesuatu yang indah pasti akan berakhir pergi.
***
Awal Agustus, 2021.
Pada saat suka kian tertanam makin tinggi, duka tak lagi jadi ancaman yang perlu dipikiri. Seharusnya, Fira punya intuisi lebih tajam, sebab hubungannya dengan Arya terlalu berjalan tanpa hambatan. Seperti badai besar yang dimulai dari heningnya ombak di lautan.
Sayang sekali, apa pun jenis entitas di dunia ini pasti akan berakhir pergi. Bahkan untuk jenis bahagia bernama cinta sekalipun. Sebuah kanvas harap yang ia gantungkan begitu senja lahir memang menjadi nyata. Namun seharusnya Fira sadar, keindahan senja hanya mampir sesaat.
Di bawah naungan langit yang terlalu cerah, kedua remaja duduk berdampingan beralaskan rerumputan. Sama-sama memilih memasang kebisuan dengan kemungkinan-kemungkinan yang sempat mampir di sudut kepala.
Satunya bergerak gelisah hendak mengeluarkan perkataan yang tercekat di pangkal tenggorokan. Sedangkan satunya lagi memilih tetap membisu, menunggu jenis patah apa lagi yang akan mampir.
"Maaf, Ra."
Karena pada dasarnya, kata maaf tak pernah cukup. Ia tak mengerti, semesta telah mengancang semuanya atau mereka yang terlalu tergesa. Apakah mentari yang bersinar di atas sana juga bagian dari naskah sebagai bentuk menghangatkan hati yang tengah patah?
"Maaf aku nggak bilang soal ini sebelumnya." Lirih, ucapan Arya bertiup bersama semilir angin. Terlalu rapuh, nadanya terdengar keruh.
Fira menekuk lututnya, berkedip beberapa kali lalu tersenyum simpul. "Nggak pa-pa."
Semua kalimat hanya bisa mengantung di ujung lidah. Ada begitu banyak macam kalimat bentuk kekesalan yang akan diungkapkan, tetapi ia hanya berakhir dengan senyum simpul dengan gumaman yang bahkan terdengar terpaksa. Jika harus membandingkan jatuhnya Arya dan Fira, mungkin tak ada apa-apanya dengan milik orang lain. Namun, sebenarnya tak ada rasa jatuh yang patut disepelekan.
"Nggak ada yang nggak pa-pa, Fira." Arya menggeram frustrasi. "Aku nggak suka semua ini. Aku nggak suka rencananya, pergi ini, ja-"
"Apa nentang bisa bikin situasinya jadi lebih baik?"
Lelaki itu terdiam, agak tertunduk. Menyatakan bahwa ia tak dapat menampik jika perkataan Fira memang benar. Sore memang masih terlalu muda, saking cerahnya seolah benar-benar dirancang agar kedua insan itu tak terlalu tenggelam pada patah yang tak seberapa.
"Tapi nerima gitu aja juga nggak ngebuat kita baik-baik aja."
Tawa mengudara bersama siulan burung gereja yang bertengger di ranting pohon. Bukan tawa yang disebabkan kelucuan, tetapi lebih dalam bentuk sebuah ejekan; bentuk sebuah ketidakberdayaan. "Ini cuma masalah jarak. Ini cuma London-Semarang aja, bukan Bumi-Neptunus." Fira melanjutkan tawanya lagi.
Tangan yang beristirahat di puncak lutut disentuh lembut. Tawa hambar tak lagi terdengar, Fira kembali membisu dengan helaan napas berat yang terus terembus. Gadis itu hampir menangis ketika Arya meremas tangannya lembut.
"Memangnya kenapa kalau kita pisah? Toh, juga nggak berpisah secara harfiah, kan?" Fira tersenyum lagi, terpaksa. "Kita masih bisa berhubungan, kan? Kita masih bisa telponan, chat, video call. Kita-"
Napas Fira tercekat, semua kalimat hanya bisa tersangkut di pangkat tenggorakan tanpa bisa diutarakan. Ia ingin mengeluarkan semua kekesalannya; ia tak suka jarak, ia tak suka jika harus berjauhan, tetapi Fira takut akan jadi orang yang egois karena tak sudi melepaskan.
Arya membawa Fira ke dalam pelukannya. Gadis itu tertawa di dalam hati, bertanya-tanya mengapa terlalu menganggap hal ini berlebihan? "Lagipula, kamu ke sana buat pendidikan, bukan buat ngerancang pernikahan."
Ada sesak yang perlahan meranggas dari dadanya. Rengkuh di tubuhnya semakin erat. Jika Fira tak salah dengar, Arya berulang kali menghela napas berat.
Lantas lelaki delapan belas tahun itu menggumamkan kalimat yang seperti dipaksa untuk keluar dari tenggorokan. "Besok aku berangkat, Ra."
Pelukan terlepas, sepasang mata saling bersua. Ada hangat yang menjalar sampai ke pelupuk mata, tetapi dipaksa agar tak sampai jatuh titiknya. Kemudian, Fira menggariskan senyum yang bahkan tak sampai ke telinga. "Bagus, kan? Lebih bagus kalau sampai di sana lebih awal. Jadi nanti nggak buru-buru."
"Ra ...." Sepasang mata, sepasang manik yang hampir tak pernah absen berkilat bahagia, kali ini tampak lebih gelap. Sinarnya memudar dengan tatapan yang semakin lama semakin penuh biru. "Kali ini aku mohon jangan jadi Fira yang aku kenal; nerima semua yang udah disiapkan semesta. Sekali jadi orang egois nggak bakal bikin kamu jadi orang paling buruk."
Pertahanannya runtuh juga bersama angin yang bertiup agak ricuh. Genangan di sudut mata meluruh, jatuh membentuk aliran panjang di wajah. Fira sesenggukan, berusaha menahan sesak yang meranggas hampir ke seluruh dadanya. Arya kembali membawa Fira ke pelukannya, menyandarkan kekasihnya di dada dengan tangis yang tak ubah kian memilukan. "Kalau ... kalau aku bilang ... aku nggak suka jaraknya, apa keadaan ... apa keadaan bakal berubah pikiran?"
Gadis itu merasakan jika Arya bersandar di pucuk kepalanya sembari mengusap. Untuk hari ini, entah untuk keberapa kalinya Fira mendengar lelaki itu terus-terusan mendesah lelah, pun dengan wajah yang tak lagi bersinar. "Aku nggak tau. Papa bilang aku tetep harus kuliah di London, baik mau atau enggak."
"Kalau ... kalau kita coba kabur dari yang udah ditetapkan, apa keadaan ... mau berbaik hati mengubah jadi sesuatu yang lain?" Tangisnya sudah reda, tertinggal isak-isak kecil yang sesekali lolos dari bibir. Namun, Fira malah berganti berceloteh, berharap menemukan celah kecil yang sengaja disisipkan semesta.
Jedanya memang tidak terlalu lama, tetapi ada janggal di antaranya. Pelukan lagi-lagi terlepas, menciptakan jarak yang tidak terlalu longgar. Arya menangkup wajah gadisnya, menghapus jejak-jejak air mata di sana. "Aku cuma takut kalau keadaan punya kejutan lain yang lebih di luar dugaan."
Dua pasang mata yang tadinya sibuk bersua lantas terlepas. Fira menunduk sedikit, memandangi rerumputan di bawah kaki mereka dengan pandangan kosong. Kedua tangan Arya beralih menggenggam lembut tangan gadis itu, seolah memberi isyarat bahwasanya mereka akan baik-baik saja.
"Sampai kapan? Berapa jam?"
Fira hanya ingin tahu, hanya ingin mempersiapkan lebih awal jika sewaktu-waktu kesabarannya telah habis sebab tak sanggup membendung lebih banyak rasa rindu. Namun, yang paling ia takutkan adalah, bagaimana jika jaraknya yang tak mau dipotong untuk diubah menjadi temu?
Dua tahun lebih menjalin rasa, bahkan Arya dan Fira baru saja mendapatkan duapuluh ribu jam mereka. Sekali lagi, ini hanya masalah jarak. Long distance relationship bukan masalah besar, jangan terlalu terpaku karena begitu banyak kabar simpang siur mengenai kesetiaan yang bisa saja tergerus.
Namun tetap saja, jatuh mereka sama sekali tak konyol. Segala macam cara untuk jatuh cinta tak dapat diejek sebab setiap insan punya jalannya untuk mencari suka dan duka. Ini hanya masalah waktu dan jarak yang tak dapat dipangkas sewaktu-waktu.
"Kapan pun waktunya, berapa jam terlewat pun, aku harap kamu nggak bosan nunggu."
Sepasang kekasih kembali saling menatap. Ada harap lain yang sempat tersemat, tetapi lebih memilih agar tetap bertahan menjadi harap tanpa ucap. Dua bongkah senyum diulas bersama langit yang diam-diam telah mengguratkan jingga kekuningan di sela-sela awan yang berarak perlahan.
Di kala itu, saat kepalanya memilih beristirahat di bahu Arya, di saat yang sama pula lelaki itu juga menyandarkan kepalanya, Fira menakuti salah satu hal dari berbagai spekulasi di kepala. Orang-orang memang tak berbohong mengenai senja yang indah, tetapi lembayung yang muncul adalah pertanda cahaya menghilang, habis tergerus malam. Ia cemas jika malam takkan berakhir, tidak sampai bersua esok kembali.
"Kamu yakin nggak mau dateng ke bandara?" Suara di seberang telepon terdengar berharap. Fira yakin, wajah Arya saat itu pasti menekuk. Siapa juga yang tidak berharap jika kekasihnya akan mengantarkan sebelum benar-benar angkat kaki.
Akan tetapi, Fira masih bersitahan. "Aku yakin. Maaf, ya."
Ada embusan napas kecewa di sana. Untuk sesaat, di seberang telepon hanya terdengar keriuhan orang-orang dan gemuruh pesawat yang entah tengah mengudara atau mendarat. "Jaga diri kamu baik-baik."
Fira tersenyum, tetapi juga ingin menangis. Ia menggigit bibir dalamnya sebelum membalas. "Kamu juga. Tetep fokus sama pendidikan. Jangan sampai telat makan. Kalau ada kelas pagi, perlengkapannya disiapin malem. Kalau ada tugas langsung dikerjain, jangan nunda sampai setumpuk. Terus-"
"I love you, Fira." Jeda napas di seberang sana agak tertahan. "Always."
Bulir-bulir kembali berjatuhan. Mati-matian menahan nyatanya nihil juga. Fira menutup mulut agak isaknya tak sampai terdengar Arya. "I ... I love you too. Forever."
Setelah hampir tiga bulan lamanya, Fira baru mengerti mengapa Arya tak henti-henti mengucapkan maaf, ia mengerti mengapa Arya bersitahan membisu begitu Fira mengatakan kemungkinan-kemungkinan yang bisa mereka lakukan saat berjauhan, ia juga mengerti mengapa untuk pertama kalinya manik itu berkilat kecewa. Arya hanya sudah tahu jikalau nanti sambungannya terputus, hampir mustahil berharap untuk tersambung lagi.
Tak ada pesan singkat, tak ada pula panggilan masuk atau keluar. Mungkin keduanya hanya bisa menerka-nerka apa yang terjadi pada pasangannya di belahan bumi yang lain. Berharap semesta berbaik hati untuk mempertemukan mereka kembali.
***
Pertengahan Oktober, 2021.
Memang tidak ada yang mengatakan jika pagi masih terlalu dini, tetapi keheningan yang ada di kamar itu terasa janggal. Sepasang kaki tak lelah hilir mudik di depan meja belajar dengan tangan menyangga gawai di depan telinga. Sebuah panggilan yang dilakukan selalu berakhir dengan suara milik operator yang makin didengar malah semakin menyebalkan.
Fira berdecak, menurunkan ponsel dengan jemari yang mulai mengetuki layar. Tak lama setelahnya, ia menduduki kursi dengan helaan napas panjang yang terdengar frustrasi.
April sebelumnya tak pernah begini; meninggalkannya tanpa memberitahu juga pergi terlalu awal. Gadis itu biasanya tak pernah bangun lebih dulu. Meskipun pernah, mereka akan selalu berakhir dengan pergi bersama. Namun pagi ini, ada sesuatu yang aneh.
Sepertinya Aprilia Faranisa tidak aneh di hari itu saja. Dari beberapa hari lalu, gelagatnya juga berubah. Fira penasaran, jika sahabatnya memang punya masalah, mengapa tak bercerita?
Gadis yang sudah bersetelan rapi dengan kemeja putih itu menghela napas lagi. Matanya menatap kosong pada room chat-nya dengan April. Pesannya terkirim, tetapi tidak dibalas-pun sama sekali tidak ada tanda-tanda akan dibalas.
Sebenarnya, ada apa dengan April?
Pintu kayu di kamar itu lantas diketuk agak gegabah. Fira terperanjat; dengan cepat menoleh. Ketukan di pintu berhenti, berganti dengan ketukan lembut alas kaki yang menapaki lantai kayu--seperti menjauhi pintu.
Ia mengernyit, tetapi tak urung juga bergerak mendekati daun pintu. Begitu terbuka sempurna, hanya keheningan yang menyapa. Lorong sepi dengan pintu-pintu kamar tertutup adalah yang dilihat Fira pertama kali; seperti sebuah deja vu.
Namun semesta memang selalu punya cara yang aneh untuk menunjukkan sesuatu. Langit memang tak terlalu cerah hari itu, tetapi tidak pula memangku awan keabu-abuan. Angin yang bertiup agak gelisah membawa sebuah benda menyentuh lembut permukaan kakinya. Fira menunduk, mendapati sepucuk memo berwarna kuning pucat dengan gambar boneka teddy bear kecil di sekelilingnya.
Fira menghela napas pendek, belum berniat mengambil sepucuk kertas yang masih berombang-ambing angin di atas kakinya yang telanjang. Surat keempat yang ia terima. Tidak terlalu terkejut mengingat ia hampir terbiasa, tetapi sedikit terkejut juga sebab jarak waktu yang cukup jauh dari surat ketiga yang ia terima sekitar dua minggu lalu.
"Kamu siapa, sih?"
Gadis itu menggaruk alisnya sekejap, lantas memungut sepucuk kertas bergambar lucu di atas kakinya. Ia menggeleng tak habis pikir, jika bukan Arya, siapa yang harus bersusah payah dengan meletakkan kertas--kertas di depan pintunya? Sebegitu takutnya dia bertemu dengan Fira secara langsung?
Jemarinya terulur membuka lipatan yang dilakukan sekali. Tak seperti biasanya, surat kali ini terlalu pendek; sesuai juga dengan kertasnya yang juga hanya sebesar kertas origami.
...-------...
Di langit yang tampak cerah,
ada bulan yang diam-diam melimpat.
Di sebuah sudut kamar yang resik,
ada setitik cahaya yang diam-diam menyembul cepat.
Di sebuah sudut pikiran yang semrawut,
ada harap yang diam-diam tersemat.
Jikalau boleh,
jikalau semesta merestui,
maukah engkau memberi sebuah pertemuan dalam sempat?
...-------...
Fira menarik atensi dari kertas yang berimpitan di sela jemarinya, mengangkat kepala seolah merasakan sesuatu yang janggal lainnya tengah terjadi. Lorongnya memang sepi dan selalu, tetapi ia rasa ada sepasang mata yang memaku tatap; hendak menunggu respons.
Tangan diturunkan, kaki melangkah beberapa kaki ke depan. Fira celingukan mencari sekiranya sesuatu yang menjadi penyebab paranoidnya. Memang tak ada apa pun, bahkan di ujung lorong yang merupakan tikungan juga kosong. Hanya siulan angin yang sedari tadi tak henti hilir mudik.
Kertas kembali dipaku tatap, sebuah cahaya berpendar dari iris kecoklatannya. Zhafira Freya mungkin terlihat seperti gadis yang tidak peka, tetapi ia punya firasat yang jelas tak bisa sepenuhnya dipersalahkan.
"Kamu mau ketemu, kan?" Sebuah senyum tipis terbit sebelum akhirnya terbenam kembali; hilang bersama tiupan angin. "Nggak masalah. Jangan sembunyi di balik kertas lagi."
***
Pertengahan Oktober, 2021.
Angin yang bertiup agak gegabah menerbangkan surai hitamnya. Beberapa kali gadis itu menyelipkan rambut ke belakang telinga sembari berjalan sedikit tergesa di koridor kampus. April yang sebelah tangan penuh buku-buku, berulang kali menghela napas lelah. Gawai di saku celananya tak henti-henti bergetar. Padahal ia terburu-buru juga harus mengumpulkan makalah sebelum pukul delapan.
Namun April tak menghiraukan, atau bahkan menyetel ulang gawainya agar dalam mode diam. Gadis itu terus berjalan saja hingga akhirnya bertemu dengan dosen yang membuatnya harus bangun lebih awal pagi ini.
"Kamu keliatan buru-buru," kata dosen pria dengan setelah kemeja garis-garis biru tua itu. Tak ada senyum di wajahnya, ia hanya menatap tanpa ekspresi pada April yang sudah tampak terengah-engah.
April mengangsurkan makalah bersampul jingga dari tumpukan buku-buku di pelukannya. "Ini makalah saya, Pak."
Pria itu menatap makalah dan April sendiri bergantian, tak lama setelahnya ia baru menerima. "Cepat, ya. Sebenarnya nggak masalah kalau nanti kumpulnya pas jam saya."
Ada raut yang tampak tak percaya, April hanya bisa membuka dan mengatupkan mulutnya bingung. Jadi, apa gunanya ia bangun pagi-pagi sekali dan terengah-engah berusaha mencari dosen itu? Padahal jamnya juga masih nanti pulul sepuluh. Gadis itu menghela napas lelah.
"Tapi nggak pa-pa, nilai kamu nanti saya kasih lebih." Kemudian, pria bersetelan rapi itu melangkah menjauh, ada senyum seadanya yang tergurat di sana.
Dengan cepat, April sumringah. Lantas sebelum siluet itu menjauh, ia berucap terima kasih beberapa kali. Helaan napas lega menguar bersama angin yang masih berusaha menerbangkan rambut pendeknya. Setidaknya, ia tidak menyesal memberikan tugas lebih awal. Padahal sebenarnya sudah jelas-jelas dosen tadi mengatakan di room chat jika tugasnya harus dikumpul sebelum pukul delapan pagi.
April baru saja hendak melangkah kembali-sebenarnya dia tak punya ide hendak kemana, tetapi getar di saku celananya lagi-lagi berulah. Meskipun getarnya hanya sebentar, gadis itu mengeluarkan gawainya dari saku celana dengan raut agak jengah. Ia hampir saja melihat siapa yang tak lelah mengubunginya, sebelum seorang lelaki familier melewatinya.
Gemerisik dedaunan di sekitar koridor memecah atensinya sesaat. Gawai diabaikan, angin berembus lembut membawa mata memaku tatap pada siluet yang menjauhi lalu memilih berbelok di tikungan depan sana.
Bahu tegapnya menyandang tas hitam berukuran sedang, di tangannya ada secarik kertas berwarna agak kekuningan. Meskipun langit di atas sana tak dapat dikatakan cerah, tetapi cahaya dan seulas senyum di wajahnya seolah mampu mengusir awan yang hendak memangku warna keabu-abuan.
Pikiran April bercabang, kepalanya menulis skenario yang berkaitan dengan kejadian akhir-akhir ini-terutama setelah ia dan Fira bertemu dengan Randi. Gadis itu menunduk, menatap layar ponselnya.
Sepuluh panggilan tak terjawab dan tiga pesan belum terbaca dari Fira. Sepertinya Fira memang bingung mengapa dirinya tak berpamitan sebelum pergi. Namun, April seperti itu juga karena terburu-buru.
Sebelum tubuh tegap itu pergi terlalu jauh, April buru-buru memacu langkah. Ia hanya ingin memastikan penglihatannya lebih dulu sebelum akhirnya nanti kembali berspekulasi dengan skenario lengkap di kepalanya.
"Randi! Ran!" Gadis itu memekik hingga gemanya meranggas ke penjuru koridor yang masih berisi dua tiga orang.
Lelaki itu berhenti melangkah, tubuhnya lantas berbalik. April benar, ia adalah Randi; mahasiswa juruan arsitektur yang saban hari menjadi pemandu di pamerannya sendiri.
Begitu April sampai di depannya, lelaki itu buru-buru melipat dua kertas yang ia pegang lalu menyembunyikannya di balik badan-seolah tak ingin April tahu mengapa secarik kertas itu bisa membuatnya tersenyum sepanjang koridor tanpa melihat orang lain.
"Eh, April?" Randi menggaruk telinganya dengan tangan bebas; berusaha pula mematri senyum, tetapi malah terkesan seperti baru saja sesuatu dari gedung Rektorat. "Ada kelas pagi, ya? Datangnya cepet banget, padahal masih jam tujuh lebih dikit."
April membalas senyum itu sejenak. "Enggak, sih. Tapi tadi ngumpulin tugas sama dosen." Gadis itu mungkin terlihat sangat ingin tahu apa yang disembunyikan Randi, tetapi ia berusaha agar tidak terlalu memedulikan. "Kamu sendiri, Ran?"
"Kurang lebih sama." Lelaki itu tertawa hambar. Gelagatnya terlalu gelisah, seolah memberi isyarat jika April datang di saat yang sangat salah. Randi tidak tahu saja jika tujuan April memang sengaja membuat nyata skenario yang ada di kepalanya. "Ini mau ngerjain tugas praktek perkelompok sama temen buat dikumpul nanti jam sepuluh."
"Oh?" April membelalak. "Di kelas? Break a leg! [1]" Gadis itu mengancungkan jempol dengan tangan bebas, tak lupa ikut mematri senyum seadanya.
Randi tampak makin gugup, entah apa yang menganggunya-April yang datang di saat yang tidak tepat atau sesuatu yang berusaha ia sembunyikan sedari tadi. "Kalau gitu ... aku duluan, ya."
Sehabis April mengangguk, lelaki itu memutar tumit; melangkah menjauhinya dengan langkah sama tergesanya dengan tiupan angin yang seolah hendak menumbangkan pepohonan di sekita koridor kampus. Randi memang berjalan ke arah Fakultas Teknik, tetapi setelahnya ia malah berbelok menuju ke arah lain.
Tak sulit melihat jika seseorang berbohong. Langkah Randi telah berubah menjadi berlari, ia seperti tak ingin ketahuan melakukan sesuatu. Namun, April tak perlu menebak lagi ke mana lelaki dengan tubuh tegap itu akan pergi.
"Ngerjain tugas kelompok di asrama putri, hmm?"
***
[ to be continue ]
--[17/06/21; 13.04]--
--[07/07/21]--
[1] Break a leg - bahasa slang Amerika yang berarti sama dengan 'good luck'.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top