[fh · 13] - maybe you're just stuck in the wrong situation
Pertengahan Oktober, 2021.
Nyatanya membiarkan orang lain berbahagia tidak juga selalu membuat diri sendiri ikut bersuka.
Hujan di atap fakultas tak lagi terdengar berdebam keras. Beberapa mahasiswa ada yang memutuskan menembus guyuran dengan terburu-buru, ada pula yang memilih menatap di samping pilar tinggi di depan gedung.
Ketidaksengajaan itu melahirkan sesak yang berusaha ditahan dengan kepalan tangan kuat. Dua pasang mata dari depan pintu kaca fakultas menatap dengan manik berkilat kecewa. Pandangannya sayu begitu bersirobok dengan sepasang mahasiswa yang berusaha menembus hujan dengan sebuah payung.
Ia hanya tidak mengerti, mengapa harus orang itu yang mendapatkannya? Ahh ... dia lupa, mungkin hanya kurang berusaha untuk mendapatkan sesuatu itu.
Apakah begini rasanya punya rasa yang bahkan tak punya eksistensi untuk terlihat? Ia hanya ingin tahu jika kesempatan itu ada. Namun, melihat pemandangan menyakitkan itu, asa di atas kepalanya seolah jatuh berdebam bersama hujan yang meresap ke dalam bumi.
"Aku tadi liat Bu Karin deket situ. Kuy, masuk."
Ia bergeming sesaat dengan mata hampir menggantikan langit untuk menjatuhkan rinai. Setelah berkedip beberapa kali, ia mengangguk pada seseorang di sebelahnya.
Tumit bergerak memutar; hendak masuk kembali ke dalam fakultas. Namun sebelum itu, kepalanya masih sempat memaku tatap sejenak pada dua manusia yang tubuhnya mengecil dan hampir memudar ditelan jarak.
Sepertinya benar, ia seharusnya berusaha lebih. Bukan hanya meratapi dalam kejauhan seperti ini.
***
"Kamu nggak beli buku something gitu?"
Rak-rak tinggi mengkilap kecoklatan mengapit sepasang manusia yang berjalan pelan di antaranya. Bukan buku yang berdesakan, hanya peralatan tulis berjejer rapi dan digantung yang beresksistensi. Fira melihat-lihat, sesekali mengambil lalu meletakkan kembali di tempatnya, kadang juga mengambil lantas mengampitnya di antara lengan dan pinggang.
"Buku something?" beo Fira dengan kernyitan di dahi. Ia melirik sebentar pada Randi yang tak lelah mengikutinya.
Lelaki dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku hoodie itu mengangguk polos. "Novel maksudnya. Di meja depan itu kayaknya buku baru semua. Kamu nggak mau beli itu?"
Gadis itu ingat, begitu masuk toko buku dengan pintu kaca itu, mereka langsung disambut dengan meja yang penuh buku-buku novel bertuliskan 'New Released'.
Fira tahu trik promosi itu. Pemilik toko sengaja meletakkan buku-buku itu di depan pintu karena eye catching. Sehingga orang-orang akan mampir ke sana dan membeli buku itu. Sayangnya tidak berlaku padanya. Selain tidak sedang masa luang, uangnya mungkin lebih baik digunakan untuk hal yang lebih penting.
Fira bergumam sebentar. Begitu melihat refill binder, ia memasukkan tiga bungkus yang berwarna putih dengan sedikit gradasi merah. "Enggak, deh. Takut cuma teronggok aja."
Randi bergumam agak panjang diikuti dengan anggukan beberapa kali. Ia melangkah beberapa ke belakang dan mengambil sebuah buku berwarna putih dengan font besar dan tiga wanita bergaya bak model Victoria Secret dari rak di sebelah kirinya.
Lelaki itu mengangsurkannya pada Fira. "Buku ini aja gimana? Pasti nggak bakal nganggur di sudut meja."
Fashion Design Course, karya Steven Faerm yang dicetak pertama kali tahun 2012. Salah satu buku yang harus dimiliki oleh anak tata busana. Gadis itu menatap buku setebal 160 halaman itu dan Randi bergantian.
"Aku udah punya buku itu." Setelahnya, Fira beralih melihat-lihat lagi rak di sebelah kanan. Dirasa cukup, ia berjalan hendak menuju kasir.
Lelaki dengan hoodie putih itu gelagapan sebentar. Meletakkan kembali buku karya Steven Faerm itu kembali ke tempatnya. Akan tetapi, Randi kembali mengambil asal buku yang ia rasa mirip dengan tema buku yang pertama ia ambil. Cepat-cepat ia memacu langkah dan berdiri di depan Fira sebelum gadis itu mencapai meja kasir. Ia mengangsurkan buku bersampul merah muda.
"Kalau ini, kamu udah punya juga?" Randi berucap bersemangat. Kedua sudut bibirnya naik, wajahnya berbinar cerah.
The Little Dictionary of Fashion karya perancang busana terkenal dunia, Christian Dior. Kalau yang ini, Fira memang belum punya. Sebab utamanya adalah karena harga yang begitu tinggi. Kalau dipakai semua untuk membeli buku itu, bisa-bisa uangnya tidak cukup untuk sebulan ke depan.
"Belum punya, sih," ucap Fira ragu-ragu. "Tapi kayaknya nggak perlu. Buku-buku sejenis itu bisa dipinjam di perpus."
Fira beralih menatap belakang punggung Randi, hendak berjalan melewati. Namun, lelaki itu malah kembali menghalangi jalan Fira seolah tak memperbolehkan dulu untuk gadis itu beranjak.
"Kenapa?" Randi mengangkat buku bersampul merah muda itu, membaca sebentar tulisan yang berada di sampul belakangnya. Setelahnya, lelaki itu kembali menatap Fira. "Kalau punya buku ini, kamu nggak sekadar dianggap keren karena punya buku karya desainer terkenal. Tapi juga langsung kayak belajar sama yang ahlinya, yang karyanya udah dipakai orang terkenal sedunia. Kamu---"
"Randi ...." Fira memotong, nadanya seolah meminta pengertian karena beberapa pengunjung mulai menatapi mereka. "Aku bilang nggak perlu."
Lelaki itu berkedip beberapa kali. Bibir yang tadinya menganga karena belum selesai bicara, mengatup perlahan. Senyumnya berubah lengkung gugup. "Kalau kamu nggak mau beli, aku beliin, ya?"
"Eh---nggak usah, Ran." Mata Fira membola. Lantas setelahnya ia malah dikejutkan dengan Randi yang berbalik hendak menuju kasir.
"Nggak boleh nolak berkah, Ra." Lelaki itu tertawa ringan. "Seharusnya bilang makasih terus terima, bukan nolak."
Fira menghela napas panjang, mulai pening dengan tingkah Randi yang semakin lama semakin kekanak-kanakan. Lelaki itu benar-benar kepala batu. "Makasih, tapi beneran nggak perlu. Mending kamu beli buku tentang arsitektur aja."
"Tapi aku mau beli buku ini." Randi menunjuk buku yang telah ia letakkan di meja kasir. Fira mengikut saja dengan bola mata yang merotasi lelah.
Setelah selesai berbelanja alat tulis dan juga ... ugh, bukunya, kedua muda-mudi itu berdiri di teras keramik toko bukunya. Mungkin hal pertama yang harus disesali Fira adalah membiarkan lelaki jangkung di sebelahnya ini menemani ke toko itu. Tak ada masalah pada awalnya hingga buku mahal milik Dior merogoh kocek Randi.
Fira tidak marah, sungguh. Malah seharusnya ia senang akhirnya bisa memeluk buku idaman para anak tata busana itu. Akan tetapi, ia merasa tak enak. Gadis itu merasa seperti akan harus untuk membalasnya.
Hujan tak lagi berdebam bertubi-tubi membasahi tanah. Hanya ada jarum-jarum halus yang bahkan hampir tak kasar mata. Dari sudut matanya, Fira melihat jika Randi tersenyum singkat dengan pandangan ke depan. Tangannya sibuk memegang plastik berisi buku yang ia beli untuk Fira.
"Kalau kamu pulang sendiri, nggak masalah, kan?" Lelaki yang lebih tinggi dari Fira itu menoleh, mematri senyum ringan. "Aku baru inget kalau ada kelas tambahan."
Fira membalas senyum sama ringan dengan anggukan singkat. Diam-diam bersyukur di dalam hati sebab lelaki ini tak akan lagi mengikutinya. Setidaknya untuk sementara ini. "Nggak masalah."
Randi lantas menyodorkan plastik putih susu dengan logo toko buku tempat mereka berdiri di depannya. "Buku kamu. Jangan marah, oke?"
Hening sesaat karena Fira sibuk menatap bungkusan dan Randi bergantian, berulang kali. Gadis itu menghela napas panjang sebelum akhirnya mengangguk dan menerima bungkusan itu. "Makasih banyak, Ran. Aku terlalu ngerepotin kamu hari ini."
"Enggak, kok. Santai saja." Lelaki itu tersenyum lagi, lebih lebar. "Aku duluan, ya."
Randi Gunadhya memutar tumit masih dengan senyum yang terpatri sedikit tersinar cahaya mentari yang mengintip di sela-sela awan bekas terpaan hujan. Punggungnya perlahan mengecil, lantas menghilang di balik pagar tinggi kampus Galang Udayana di seberang sana.
Fira sedikit merasa aneh. Bungkusan yang diberikan lelaki itu lebih berat dari yang ia kira. Penasaran, gadis itu menurunkan sebelah bungkusan berisi alat-alat tulis ke lantai, lalu membuka plastik yang diberikan Randi.
Dua buku.
Ia terpaku sesaat begitu menyentuh dua jilid buku dengan ukuran hampir berbeda. Fira mengeluarkannya dari plastik untuk memastikan.
Buku pertama berwarna merah muda, seperti yang Randi pegang beberapa waktu lalu. Sedangkan buku kedua, berwarna lebih gelap. Dominan biru tua dan ungu yang melambangkan gelap malam dengan gemerlap bintang bertaburan.
Love Is... karya Puuung.
Fira memasukkan kembali buku-buku itu dalam plastik. Sama sekali tak mengerti apa maksud Randi memberikan buku itu padanya. Bahkan, gadis itu sama sekali tak melihat jika Randi diam-diam mencomoti buku dari meja di depan pintu masuk itu.
Namun yang paling membingungkan ....
Cinta adalah...
Apa maksudnya?
***
Dari balik jendela, terlihat gurat senja yang lahir perlahan mewarnai langit dan awan yang berserakan. Daun pintu di kamar itu berderit terbuka kemudian. Seorang gadis yang sedari tadi sibuk menggoreskan pensil di atas kertas putih merasa terusik. Begitu memutar tubuh, ia mendapati gadis lain yang berjalan agak lunglai menuju ranjang dengan tumpukan buku-buku di pelukan, tas laptop di tangan kiri, dan tas abu-abu yang bersandar di belakang punggungnya. April menjatuhkan tubuhnya di tempat tidur bagian bawah dengan sekali tarikan napas panjang dan lelah setelah menjatuhkan semua barang-barangnya di sisi lain kasur.
Fira kembali memutar tubuhnya, menyirobokkan mata lagi dengan gurat-gurat kasar di atas meja belajar. Setelah menatap sebentar, gadis itu lanjut menambah garis-garis pada desain setengah jadinya. "Kenapa?"
Helaan napas panjang menguar, April merebahkan dirinya di atas kasur dengan kaki yang masih menjuntai dan berayun-ayun. "Biasa."
"Nggak kebagian bakpao isi ayam?" tebak Fira dari balik meja belajar. Tanpa menoleh, gadis itu tersenyum sembari menggeleng kecil.
Fira mengingat kembali masa SMA mereka, April biasanya tidak bertenaga setelah jam istirahat berakhir walau telah makan makanan berat lain. Makan siangnya takkan lengkap tanpa bakpao isi ayam. Ketika mengetahui kalau kafetaria kampus juga menyajikan bakpao isi ayam saat jam makan siang, April bertingkah kelewat girang. Di hari pertama, gadis itu sampai memesan lima bakpao. Untuk hari seterusnya, jam makan siang di kampus adalah waktu yang paling ia tunggu. Fira terkadang bingung, April datang ke kampus untuk mencari ilmu atau mencari bakpao isi ayam?
Aprilia Faranisa tertawa hambar, senyum yang tergurat sebentar di wajahnya bahkan tak sampai membuat sudut matanya berkerut. "Enggaaak." Akan tetapi, nada bicaranya dipaksakan agar sedikit memberi bumbu jenaka.
"Terus?" Fira sudah berhenti dari aktivitasnya. Gadis itu berbalik dan menumpukan tangan dan dagu di sandaran kursi; menatap penuh minat pada April yang masih bersitahan berbaring di kasur.
"Capek banget sama tugas."
Gantian Fira yang tertawa. Gadis itu beranjak dari duduknya untuk menekan saklar penerangan sebab malam hampir lahir. "Ya, iya, lah. Jangan kamu pikir kuliah itu kayak yang ada di novel-novel. OSPEK ketemu kakak pembina ganteng, deket, jadian. Atau cuma dikasih cobaan cinta, bukan cobaan tugas-tugas bejibun dari dosen dengan deadline sedekat darah sama nadi."
Di mata Fira, ia melihat jika April tertawa tanpa suara. Fira memilih kembali ke meja belajar dan mengerjakan tugasnya. Sebelum gangguan-gangguan lain membuatnya meluapkan segala sesuatu yang harus dikerjakan.
Hening agak lama malah memperdengarkan kicau burung sebagai penutup hari. Senja semakin memekatkan warna dengan ungu lalu perlahan menjadi biru gelap. Warna-warna yang muncul di langit setelah hujan deras yang cukup panjang memang selalu tampak lebih cantik.
"Mending kamu bersih-bersih, deh," ucap Fira di sela-sela goresan pensil yang kembali menemui kertas putih. "Kamu baru dari luar, nggak ngapa-ngapain, main rebah aja di atas kasur. Di kasur aku pula."
April bergumam panjang. "Nanti, ah, Ra. Masih capek."
"Kamu inget, nggak, cowok yang pernah ngasih aku bakpao ayam waktu kelas sepuluh?" April membuka suara setelah beberapa lama memilih hening.
Zhafira Freya memiringkan kepala dengan pandangan mengarah ke langit-langit kamar. "Kapan? Aku lupa."
Desis kesal mengudara. Kemudian bersambut dengan derit besi penahan kasur sebab April sudah bangkit dari rebahnya. "Masa kamu nggak inget, sih?"
"Emangnya kenapa?" Sembari terus mencoba menyelesaikan desainnya, Fira tertawa kecil.
April bangkit dari duduknya. Setelah menghampiri lemari dan mengambil pakaian ganti, gadis itu melangkah menuju toilet. "Nggak pa-pa. Cuma nanya." Lantas kemudian, ia menghilang di balik pintu toilet setelah debam lembut mengudara.
Ujung pensil tak lagi bersentuhan dengan kertas, kepala Fira memutar ke arah daun toilet. Matanya menyipit heran. "Laahh?"
Hanya perasaan Fira saja atau memang April sedikit berbeda hari ini. Gadis itu biasanya selalu bersemangat jika terlalu banyak ditanyai. Hampir sedikit kemungkinan jika ia hanya akan meninggalkan percakapan menggantung.
Fira pikir, sahabatnya itu punya sesuatu yang disembunyikan. Apakah mereka masih belum terlalu dekat untuk April menceritakannya?
Ah, ia lupa. Tidak semua hal bisa diceritakan, bukan? Setiap orang butuh ruang masing-masing untuk menyimpan rahasia dan perasaannya sendiri.
***
"Mbak, moccachino dinginnya satu, ya." Ia berucap agak keras dari balik meja pantri kepada seorang wanita dengan celemek putih.
Rambut dengan gaya bob itu terayun angin sebentar, April susah payah mengambil sesuatu dari tas abu-abu kecilnya. Tumpukan penuh di pelukan dan tas laptop di tangan kiri membuatnya agak susah bergerak. Kondisi kafetaria kampus di jam makan siang begini juga membuatnya sesak.
"Tambah satu lagi, Mbak!"
Pekikan dari suara bariton itu membuat April terperanjat sepersekian detik. Gadis itu menatap dengan bingung seorang lelaki yang dengan gerakan cepat sudah berada di sisinya; menunggu pesanan dari balik meja pantri. Senyumnya terbit terlalu cerah seperti cuaca di hari itu.
"Randi?"
"Hai, April."
Ia berusaha menandingi senyum itu. Namun, April malah berakhir dengan memaku garis wajah yang agak kaku. Pada akhirnya, gadis itu memilih membuang wajah.
"Cuma sendiri?"
April tahu ke mana maksudnya. Tentu saja sahabatnya. Ia kembali menoleh pada lelaki di sampingnya, lantas mengangguk kecil. "Fira masih ada kelas."
Di matanya, Randi mengangguk beberapa kali. Begitu pesanan mereka siap di atas meja pantri, lelaki itu dengan sigap memberikan sejumlah uang yang cukup untuk dua cup moccachino. Ia juga yang membawakan minuman itu di kedua tangannya.
"Eh, Ran." April agak terkejut, apalagi karena lelaki itu sudah memamerkan dua cup moccachino dingin di kedua tangan. "Nanti aku ganti, ya. Aku aja yang bawa sini. Gak pa-pa."
"Hari ini aku traktir." Randi sudah memutar tumit, matanya celingukan seolah mencari meja dan bangku yang kosong untuk diduduki mereka berdua. "Bawaan kamu banyak, biar aku aja yang bawa. Kita nyari meja dulu. Soalnya aku butuh temen buat selesaiin makalah proyek."
April menghela napas pendek. Lelah juga sebenarnya kalau harus keliling kampus lagi dengan beban-beban berat yang sudah memenuhi sekujur tubuhnya. Apalagi setelah ini kelasnya masih ada. Mau tak mau, gadis itu mengikuti langkah Randi. Hingga tak seberapa jauh berjalan melewati meja-meja penuh kebisingan, mereka mendudukkan diri di bangku besi berwarna hitam dengan ukiran rumit. Di depannya, terdapat meja bulat dengan ukiran hampir sama, menghadap tepat di kolam ikan kecil yang di sekelilingnya ditumbuhi rumput jepang.
Ada desah lega yang mengudara dari sudut meja. April memperhatikannya. Dari mulai Randi menyeruput beberapa kali moccachino dingin dari ujung sedotan, hingga lelaki itu mengeluarkan laptop dari tas hitam yang beberapa waktu lalu ia sandang.
Gadis itu menghela napas lagi, lebih pelan. Lantas juga ikut menyesap minumannya. Ia meletakkan laptop di atas meja, lalu mulai membuka tugas yang harus ia kerjakan. Mulai berhenti memerhatikan orang lain lebih detail.
"Makasih, ya, Ran." April berdecak, lalu tertawa kecil. "Sampai lupa."
"Hah?" Lelaki itu melepas pandangan dari monitor sebentar, lalu tersenyum seadanya. "Nggak pa-pa. Santai."
Hening di antara mereka terjalin. Siang terlalu terik hari ini. Gemuruh orang-orang berbicara dan tertawa bersamaan seolah tak membiarkan gemericik air yang hendak ikan di kolam itu diperdengarkan. Bahkan suara mesin tik di hadapannya juga tak bisa menyaingi riuh mahasiswa yang menikmati waktu sebentar di kafetaria kampus.
April sudah mengetik beberapa kata di layar monitornya, tetapi tetap saja tak bisa berkonsentrasi. Padahal sudah lelah mencari buku-buku referensi dari perpustakaan. Bukan masalah riuhnya tempatnya itu, tetapi ada spekulasi yang masih tersangkut di sudut pikirannya.
"Kamu dulu SMA di mana, Ran?"
"Oh!" Randi tersentak sebentar. "Aku nggak dari Semarang, sih. Kemaren sekolah di Jakarta."
"Kamu yakin nggak pernah sekolah di Semarang? SMA Perwira 1?"
Lelaki yang baru saja hendak menyeruput moccachino dinginnya itu berhenti mendadak. Ia malah kembali meletakkan cup itu di atas meja. Dari rautnya, ia tampak terperanjat. Pandangan yang tadinya masih fokus pada monitor laptop lantas beralih perlahan menatap April.
"Aku pernah sekolah di sana, tapi kayaknya cuma sebulan atau dua bulan." Randi menggerakkan kepalanya ke kanan dan ke kiri, lalu menggedikkan bahu asal.
April melarikan matanya kesana-kemari, lantas kembali menjatuhkan pandangan pada se-cup moccachino miliknya yang bahkan baru disesap sekali sejak dibeli. Gadis itu ingin sekali mengeluarkan semua spekulasi yang terus menggerayangi pikirannya selama beberapa hari terakhir. Akan tetapi, bibirnya seperti dikunci rapat. Begitu berhasil membuka mulut, lidahnya malah kehilangan sesuatu untuk dikatakan.
"Memangnya kenapa, April?"
Ia mendongak atas pertanyaan Randi. Lelaki itu sudah sibuk kembali berkutat dengan laptopnya. Barangkali sama halnya dengan April yang juga ditumpuk dengan tugas-tugas.
April menghirup udara dalam-dalam. "Kamu nggak inget aku, Ran?"
Jemari yang tadinya sibuk menari di atas keyboard, berhenti mendadak. Pandangan Randi juga mematung sebentar sebelum akhirnya lelaki itu balas menatap April yang beraut menuntut jawaban memuaskan. Sayang sekali, hanya kebisuan yang lahir di antara kedua mahasiswa itu. April tak mendapatkan jawaban yang mungkin sempat mampir di kepalanya.
Kenyataan yang menyakitkan itu adalah sebuah kebisuan barangkali bisa lebih menyakitkan daripada sederet kalimat penuh penentangan.
***
[ to be continue ]
-[27/05/21; 21.42]-
-[26/06/21]-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top