[fh · 11] - but love is not as sweet as you think

Sesuatu yang tidak kita suka terkadang malah mengantarkan pada suatu lain yang lebih tak terduga.
Semesta memang atipikal, leluconnya selalu abnormal.

***

Awal Oktober, 2021.

Siulan lirih angin menyapa telinga, sesekali menerbangkan lembaran-lembaran kertas di buku yang dibiarkan terbuka di atas rumput gajah mini. Sembari bersandar di pohon pinus menjulang dengan beberapa buahnya yang berguguran, Fira sibuk dengan tulisan-tulisan di kertas double folio. Suasana menenangkan ditambah pemandangan yang memanjakan membuat gadis itu tak lelah terus menerus berkutat pada tugas yang baru saja diberikan dosennya beberapa saat lalu.

Langit betah memangku awan keabu-abuan terang. Membuat hari menjelang siang itu sedikit sejuk. Hal yang biasa mengingat bulan Oktober adalah awal dari musim penghujan. Beberapa mahasiswa di sana bahkan memakai pakaian lebih tebal. Begitu pun dengan Fira yang mengenakan kaus lengan panjang yang di luarnya masih juga memakai sweater berwarna biru muda.

Kelasnya hari ini berakhir cukup awal. Daripada menghabiskan waktu dengan hal yang tidak penting, Fira memilih mengerjakan tugas-tugasnya. Dari tugas yang baru saja diberikan, sampai tugas beberapa hari terakhir yang ia tinggalkan. Terlebih lagi, suasana di sekelilingnya cukup tenang. Beberapa mahasiswa yang juga berada di sana lebih memilih duduk menyendiri, membuat Fira leluasa melakukan apa pun di tempat ia menumpukan diri.

Zhafira Freya menghela napas panjang, menganggurkan pulpen di tangannya yang mengambang di udara. Ia memaku tatap dengan pikiran menerawang pada kolam tak seberapa besar yang di permukaannya ditumbuhi teratai putih dan eceng gondok. Gadis itu mengingat-ingat lagi perkataan dosen mata kuliah desainnya di kelas lagi. Helaan napas menguar lagi, bertiup bersama siulan angin yang menerbangkan anak-anak rambutnya.

"Hari ini ada pameran di kelas Arsitektur. Saya harap kalian datang juga ke sana." Fira ingat, dosen wanita itu memandangi seisi kelas dengan senyum yang teramat tipis, sebelum akhirnya ia menyusun tumpukan bukunya yang agak berantakan di atas meja.

Suasana kelas saat itu mulai agak berisik, terdengar seperti dengung lebah yang bersahut-sahutan. Hingga seorang gadis feminin dengan rambut lurus tergerai sepinggang mengangkat tangannya. "Maaf, Bu. Arsitektur sama Tata Busana, kan, beda. Kenapa kita harus datang ke pameran mereka juga?"

Fira yang duduk tepat di tengah ruangan menoleh sebentar pada gadis itu; diam-diam ikut menyetujui.

Wanita di depan sana mendongak, lantas berkacak pinggang. Dagunya naik sedikit. "Mau Arsitektur atau Tata Busana apa bedanya? Toh, kalian juga satu fakultas."

"Lagipula, kalau kalian kasih saya laporan tentang pameran itu, saya bisa beri nilai lebih untuk kalian semester ini," lanjutnya tanpa menoleh lagi pada seluruh mahasiswa di sana.

Setelah merapikan seluruh barang-barangnya, dosen itu beranjak meninggalkan kelas yang kian menjadi sebuah sarang lebah, dengung di mana-mana. Beberapa ingin melancarkan protes, tetapi tak punya keberanian saat si dosen masih di dalam ruangan. Selebihnya berpikir jika tugas yang diberikan tidak masuk akal. Fira adalah kubu kedua, tetapi ia tetap saja bisa masuk ke kubu pertama juga.

Mau bagaimana lagi, bagi anak kuliah, yang terpenting adalah mendapat nilai tinggi bagaimanapun caranya. Meskipun tugas terdengar tak masuk akal dan lontaran protes tiada berguna, pada akhirnya, tetap saja akan dikerjakan. Lagi lagi, demi nilai semata.

Gadis ber-sweater biru muda iu menyusun barang-barangnya yang berantakan di permukaan rerumputan; memasukkan satu-persatu barangnya ke dalam tas. Mungkin seharusnya Fira memang menghadiri pameran itu. Bukankah kemarin ia sudah mengatakannya pada Randi tempo hari?

"Fira! Firaa! Firaaa!"

Ia yang baru saja bangkit dari duduknya mendongak dengan bahu agak tersentak. Matanya menangkap seorang gadis yang berjalan agak tergesa menuju ke arahnya. Rambut bergaya bob-nya sampai bergoyang-goyang.

"Kamu kemana aja, sih?" April menghela napas susah payah; sepertinya ia baru saja berlari mengitari pelataran kampus hanya untuk mencari Fira. "Di kelas nggak ada, di perpus nggak ada, di SC juga nggak ada-"

"Ngapain aku ke SC?" Fira mengernyit."

"-dan kamu nggak angkat telpon aku, Firaa." April berucap gemas. "Jadi apa gunanya kamu punya HP kalau nggak digunakan dengan semestinya?"

"Kamu-"

"Udah?"

April terdiam dengan telunjuk menggantung di udara; agak linglung. Namun, cepat-cepat tersadar. "Hah? Eh, belum-"

Fira menghela napas panjang sembari mengerjap beberapa kali. "Tapi aku mau ngerjain tugas dulu, April."

"Hah?"

"Pameran mini di kelas jurusan Arsitektur." Fira mengurut pangkal hidungnya; tiba-tiba pusing jika harus memikirkan tugas terus menerus. "Dosen nyuruh buat laporan dari pameran itu."

Sahabat Fira dari masa SMA itu agak bingung, tetapi mengangguk juga. "Oh, ayo aku temenin. Kita juga udah punya janji sama si ... Ndi ... Radi ...."

"Randi."

"Ah, iya, Randi!" April menyahut agak riang. "Ayo, ayo. Pasti pamerannya keren."

Dan tepat setelahnya, Fira merasakan jika tangannya ditarik. Mau tak mau tubuhnya juga mengikut. Pasrah saja diperlakukan seperti itu. Lagipula lebih baik daripada pergi sendirian ke tempat yang penuh sesak dan mungkin ia tak kenal siapa pun di sana.

***

Fakultas Teknik tiba-tiba menjelma tempat yang penuh sesak. Barisan para mahasiswa mengular dari pintu utama yang terbuat dari kaca hingga tangga yang menuju lantai dua gedung. Kemungkinan semuanya tengah berebut tempat untuk melihat pameran sederhana yang dilaksanakan jurusan Arsitektur.

Fira menghela napas lelah; menatap penuh tidak ketertarikan pada pintu masuk utama untuk masuk ke gedung fakultasnya sendiri. Ia tidak tahu mengapa tiba-tiba fakultasnya bisa seramai ini. Padahal sesaat setelah selesai dengan kelas terakhirnya dua jam lalu, gedung itu masih cukup lengang. Memang ramai, tetapi tidak sepadat ini.

Ia bertanya-tanya, alasan untuk sekedar pameran biasa mungkin agak klise; bahkan hampir tak mungkin seluruh mahasiswa bisa dengan mudah meringankan langkah untuk menjejakkan kaki di sini.

Ah, gadis itu baru sadar. Barangkali barisan mahasiswa yang mengular itu juga mendapat ancaman yang sama dari dosennya. Nilai. Tidak akan mengherankan jika alasannya begitu.

"Kira-kira kita bisa masuk nggak, ya?" April yang masih setia menggandeng tangan Fira tampak celingukan begitu keduanya sudah melewati pintu kaca itu. "Barisannya panjang banget, terus ..." Ia menaikkan lengan kirinya, menatap sebentar pada arloji putih yang bertengger di sana, "udah mau makan siang juga."

"Mungkin kita bisa makan siang di kafetaria kampus dulu," ucap Fira tak yakin.

Gadis itu menatap sebentar ke anak tangga, sedikit demi sedikit barisannya mulai bergerak. Pandangannya lalu beralih pada sebuah binder di pelukan dengan pulpen yang selalu tersedia di dalamnya. Jika bukan karena mengejar nilai, Fira tidak akan mau merepotkan diri untuk berdiri lama, berusaha memecah kerumunan, dan membayangkan sepadat apa nanti di dalam kelas Arsitektur yang tidak bisa dibilang seluas Student Center apalagi auditorium.

Dari sudut matanya, Fira menangkap jika April menekuk sudut bibir kirinya. "Aku belum laper, sih. Kamu belum juga, kan? Lagipula ini nggak bakalan lama kayaknya." Kedua gadis yang berdiri bersisian itu berjalan beberapa langkah kala barisan bergerak maju. "Nah, kita bentar lagi juga masuk. Kamu juga pasti sebentar aja udah selesai laporannya. Paling cuma poin penting terus nanti kerjain di asrama."

Fira mengangguk pelan; mau tak mau menyetujui juga. Hanya sebentar saja. Setelah itu ia akan menyelesaikan kesimpulannya lalu merebahkan diri di kasur tidak terlalu lebar di asrama. Namun, ia bahkan tak tahu kapan barisannya akan habis, sedikit mengejutkan juga bahwa di belakang mereka masih dibuat barisan yang mengular panjang.

"Duh, kapan sih habisnya? Kan nggak sabar mau liat."

Meskipun hanya gerutu dengan bisik lirih, Fira masih bisa mendengar April yang tak henti mengoceh soal keramaian itu. Fira menoleh sedikit, menautkan kedua alisnya tak mengerti.

"Sejak kapan kamu tiba-tiba semangat untuk pameran arsitektur ini?" cetus Fira yang malah terdengar seperti menginterogasi.

Gadis dengan gaya rambut bob itu membeku sebentar; hendak berbicara, tetapi malah terlihat gelagapan. "Em ... ya ... kan ... pasti keren liat konstruksi bangunan yang masih sketsa atau bentuk mini-mini gitu."

Fira memicing; perkataan sahabatnya terdengar tidak meyakinkan. "Kenapa nggak masuk Arsitektur aja kalau gitu?"

April membeku lagi. Fira bahkan sampai harus menarik gadis itu untuk berjalan menaiki anak tangga satu-persatu. Barisan mulai habis.

"Eee ... nggak gitu juga!" Ia menampik terlalu keras, beberapa orang menoleh padanya. Gadis itu meringis. "Maksudnya ... kalau aku suka musik apa aku harus jadi musisi juga? Atau kalau aku suka liat desain-desain baju yang kamu buat, apa aku juga harus masuk jurusan tata busana?"

Zhafira Freya masih betah bersitahan memicing, tetapi tidak menampik juga pertanyaan retoris dari April. Namun, tetap saja ia tidak puas. Gadis itu merasa ada sesuatu yang janggal dari tingkah sahabatnya ini. Semuanya serba berlebihan.

Ahh, terlalu banyak memerhatikan ekspresi dan emosi orang lain. Sepertinya Fira lebih cocok berada di jurusan Psikologi saja.

Kedua gadis itu sudah memasuki kelas Arsitektur yang hampir seluruhnya berwarna putih bersih. Hampir. Sisanya meja-meja yang disusun di sekeliling ruangan berwarna kecoklatan atau tempelan mengenai konstruksi bangunan juga yang kebanyakan berwarna abu-abu atau hitam. Juga poster lumayan besar di sisi belakang kelas bertuliskan 'Let's See Our Future'.

Fira benar-benar tidak menyangka jika kelas Arsitektur sedingin itu. Pendingin ruangan di sana bahkan lebih dingin dari angin yang pelan-pelan mengamuk hendak menumbangkan pepohonan yang ditanam di pelataran kampus. Sepertinya semua penghuni kelas itu punya tubuh yang antimainstream.

Keragaman yang di luar ekspektasi. Gadis itu pikir ia mungkin hanya akan melihat miniatur kota dengan gedung-gedung menjulang atau miniatur juga tetapi terbuat dari stik es krim dan lidi. Namun, ternyata lebih dari sekadar itu.

Di setiap sisi-sisi kelas, ada beberapa meja yang berfungsi sebagai tempat beberapa LCD proyektor, lalu dinding putih polos di depannya akan memantulkan konstruksi berbentuk animasi; mulai dari permulaannya, hasil akhir yang diharapkan, hingga fungsi dan tujuan pembuatan konstruksi.

Tepat di tengah-tengah ruangan adalah konstruksi bangunan yang memang seperti apa yang Fira pikirkan sebelum datang ke sana. Miniatur menara dengan gedung-gedung kota yang hanya menyangkut seperempat konstruksi utama. Melihat skalanya, Fira pikir menara itu akan mengalahkan Menara Kembar Petronas atau Menara Taipei 101, pun barangkali malah Burj Khalifa. Di sekelilingnya ada rumah apartemen dan jembatan layang. Konstruksi itu berlapis kaca tinggi di setiap sisi untuk mencegah orang-orang menyentuh dan mengacaukan. Mungkin itulah sebabnya konstruksi ini diletakkan tepat di tengah, ia bisa dengan cepat menjadi pusat perhatian.

Fira menulis poin-poin penting yang ia lihat dengan ditemani April yang sesekali mendiktekan tulisan yang tidak dapat ia baca. LCD proyektornya, konstruksi utama di tengah ruangan, dan ... ah, jangan lupakan konstruksi yang terbuat dari lidi dan stik es krim di sekeliling menara. Terlihat menawan.

"Firaaa! Apriil!" Pekikan penuh semangat dan keterkejutan membuat kedua gadis itu serempak memutar tumit. Sebongkah senyum merekah dengan mata hampir menyipit menyambut Fira dan April.

Randi betah bersitahan mengembangkan senyum; terlihat antara masih tak percaya dan gembira. "Aku nggak nyangka kalian beneran datang. Makasih banyak, ya."

Kedua gadis itu serempak mengangguk, bersamaan pula menampilkan senyum; meskipun tak selebar milik Randi. Fira jadi sedikit merasa bersalah karena datang ke sana bukan karena ketulusan, tetapi karena membutuhkan nilai. Sangat kontras dengan senyum tulus nan bersemangat dari wajah dengan rahang tegas itu.

"Karya kamu ada di sini, nggak? Mau liat, dong!" seru April bersemangat.

Fira mengangguk setuju. Diam-diam berterimakasih bahwa setidaknya di antara mereka berdua, masih ada yang datang dengan tulus sukarela.

"Pasti ada, lah!" Randi menderaikan tawa sebentar.

Lelaki berkemeja putih polos itu menuntun Fira dan April menuju ke salah satu meja tak jauh dari tempat mereka berdiri. Sebuah konstruksi jembatan yang terbuat dari stik es krim dan lidi berwarna putih sedikit kekuningan.

Prakaryanya mendetai, Fira bahkan mengira jika konstruksi jembatan mini itu diukir. Dan yang paling mengejutkan, sepertinya hanya Randi yang memamerkan konstruksi jembatan di saat yang lainnya memamerkan gedung pencakar langit, komplek perkantoran, perumahan, jalan layang, dan bandara.

"Wow, berani beda," puji April dengan tubuh sedikit membungkuk. Ia menatap dengan mata berbinar pada konstruksi milik Randi.

Lelaki itu mengulum senyumnya. Lagipula siapa yang tidak senang ketika karyanya dipuji? "Dari konsep 'future' sebenarnya jembatan penghubung antar daratan yang paling penting. Kapal? Hmm ... kayaknya enggak begitu praktis. Orang-orang lebih suka menggunakan cukup satu kendaraan untuk bepergian."

April menegakkan tubuhnya; agak menekuk bibirnya ke sudut kiri. "Tapi ada pesawat."

"Pesawat bahkan enggak mendarat di halaman rumah. Ke bandara tetap pakai mobil, kan?" Randi menyahut cepat dan percaya diri. "Jadi jembatan fungsinya mempermudah. Kalau setiap pulau dihubungkan dengan jembatan, kita bahkan bisa dengan mudah mengelilingi dunia cuma dengan sebuah kendaraan."

Gadis dengan gaya rambut bob itu bergumam panjang; terkagum-kagum. "Pemikiran yang luas."

Randi membentuk garis-garis imaji dengan tangan kanannya lalu menaikkan kedua alis. Senyum masih betah mematri di sana. "Future." [1]

Kedua gadis itu tertawa rendah, Randi mengikutinya. Kemudian, Fira sibuk sebentar menulis simpulan penting yang dikatakan Randi barusan. "Kalau boleh tau, jembatan ini jenis apa?"

Randi Gunadhya memaku tatap pada konstruksi jembatan mini miliknya. "Aku ngambil jenis suspension bridge yang digabung dengan beam bridge. Tapi tentu termasuk inspirasi dari Golden Gate di Francisco [2]." Ia tersenyum hingga jejeran gigi-giginya tampak. "Aku penggemar Joseph Strauss [3]. Aku mau ngalahin konstruksinya yang mendunia itu. Haha."

Fira menggelengkan kepala tak habis pikir, tetapi tak urung juga melontarkan tawa. Gadis itu lanjut lagi menulis di dalam lembaran kertas bindernya.

Di pameran itu, Randi seolah menjelma menjadi pemandu pameran. Ia menjelaskan tiap-tiap konstruksi mini yang terpampang di sana. Mempermudah tugas Fira untuk menyelesaikan laporannya. Dan tentu saja membuat April girang karena lengkap sudah mengenal tiap konstruksi yang ia kagumi.

Ini hanya sekadar perasaan Fira atau apa, kalau Randi terlalu bersikap lebih pada mereka berdua. Bahkan sejak pertama kali mereka bertemu di kafe itu, dia sudah menawarkan untuk menghadiri pameran.

Lantas hari ini, lelaki itu dengan suka rela menjelaskan setiap detail yang kurang dimengerti. Apakah Randi memang patut dicurigai? Namun Fira pikir, Randi hanya lelaki baik-baik yang ingin meluaskan pertemanan. Mungkin ....

***

Fira menatap pantulan dirinya sendiri di cermin besar. Setelah selesai dengan poin-poin penting untuk laporannya, gadis itu pamit hendak ke toilet. April tidak ikut, padahal sudah dibilang kalau akan langsung pulang. Katanya masih ingin melihat-lihat karya-karya para mahasiswa arsitek di sana. Alhasil, kedua gadis itu bersepakat bertemu nanti di pintu utama Fakultas Teknik untuk kembali ke asrama bersama.

Toiletnya begitu sepi; terasa sangat janggal mengingat perempuan dan toilet adalah dua hal yang sulit untuk dipisahkan. Malah kesunyian itu mengundang sesuatu yang membuat dadanya tiba-tiba bergemuruh, ada denyut yang tidak ia mengerti.

Gadis itu menghela napas panjang sebelum akhirnya beralih menatap tas putihnya yang teronggok di antara dua westafel. Ia tiba-tiba teringat, sejak kelas paginya, Fira sama sekali belum menyentuh ponselnya, pun bahkan setelah April mengatakan jika ia sudah menghubungi puluhan kali.

Tas diraih lalu dibuka perlahan, tetapi gemuruh dalam dadanya malah bersahut-sahutan tak terkendali. Fira buru-buru merogoh tasnya dan mengambil benda pipih berbentuk persegi panjang itu.

27 panggilan tak terjawab dan 17 pesan belum terbaca.

Dahi gadis itu mengerut. Sebanyak ini? Fira menatap ponselnya lamat-lamat, lantas menguarkan desah napas lelah. Ponselnya dalam silent mode.

Namun, yang membuatnya semakin bingung adalah lima panggilan di antaranya dari April sedangkan sisanya dan semua pesan berasal dari nomor tidak dikenal.

Perasaannya semakin tak enak saja. Ia tergesa membuka pesan singkat itu.

+44202793xxxx

-- Fira, tolong angkat.
-- Fira, aku mohon.
-- Ini mungkin satu-satunya kesempatan, Fira. Please.
-- Kamu ke mana? Tolong angkat bentar aja.
-- Fira, ini Arya.

Gemuruh dalam dadanya berubah jadi sambaran petir. Fira merasakan jika dadanya nyeri dan ngilu, kakinya juga sulit menapak dengan benar. Untuk sekian lama, sebuah pesan terkirim dari seseorang yang selama ini ia tunggu kabarnya.

Fira menengadah, berusaha meraup oksigen sebanyak-banyaknya akibat dada yang tiba-tiba begitu sesak. Pun menahan sekuat tenaga agar matanya tak cepat-cepat menggenang. Sebelah tangannya yang bebas, berusaha mencengkeram sisi westafel agar tak ambruk saat itu juga.

Gadis itu menelan saliva susah payah. Lanjut lagi membaca sisa pesan.

-- Kamu sibuk?
-- Maaf, karena selama ini aku nggak bisa hubungin kamu. Aku bener-bener minta maaf.
-- Aku harap kamu nggak marah karena aku baru bisa ngelakuinnya sekarang.
-- Mungkin aku memang ngehubungin di waktu yang salah ya. Kamu nggak bisa angkat telpon aku. Padahal mungkin ini satu-satunya kesempatan yang aku punya.
-- Tapi setidaknya aku tetep punya sedikit keberuntungan untuk bisa ngirim pesan ini sama kamu.
-- Kamu baik-baik aja, kan di sana?

Matanya menggenang, ia akan luruh. Sembari air matanya membentuk jejak-jejak memanjang, isak-isak kecil menyakitkan keluar dari bibirnya. Fira mengangguk menanggapi pesan yang ia baca. Kamu baik-baik aja, kan, Arya?

-- Tenang aja. Aku baik-baik di sini, kok. Kotanya bagus. Mungkin lain kali aku bisa ajak kamu ke sini.

Isakan gadis itu kian keras. Matanya tenggelam di genangan air tak berkesudahan. Ia berusaha sekuat tenaga agar isakannya tak bergema terlalu kencang, tetapi bibirnya terlalu sulit untuk mengatup. Pulang dulu, Ya.

-- Aku beneran rindu sama kamu, Ra. Terlalu.
-- Aku sayang kamu. Kamu juga, kan?

Matanya mengabur, titik-titik air mulai berjatuhan di layar ponselnya. Fira buru-buru menghapus. Aku rindu kamu, Ya. Aku sayang kamu. Tolong cepet balik. Ini sakit banget.

-- Jaga diri kamu baik-baik, ya. Aku pasti balik, aku janji. Tolong tunggu aku.
-- Aku sayang kamu, Fira.
-- I always love you.

Fira mengotak-atik layar gawainya. Menghubungi kembali nomor yang digunakan Arya untuk menghubunginya. "Please ... please ...," ucapnya di sela-sela isak yang membuat dadanya berdenyut.

"Maaf, nomor yang anda tuju tidak dapat dihubungi. Mohon periksa kembali nomor tujuan-"

Ponsel diturunkan, ia meremasnya sembari menahan denyut yang terus menghantam dada. Dengan sebelah tangan, wajah diusap kasar; berusaha menghapus jejak-jejak air mata yang membanjiri wajah. Namun, genangan lebih besar turun lagi--lebih deras. Fira terisak kencang; menggemakan rasa sakitnya sendirian; menahan agar tak melebur dengan ubin dingin detik itu juga.

Dia menyesal, mengapa tidak memeriksa ponselnya saat April bilang kalau dia menelepon? Mengapa ia tidak menunggu panggilan yang diidam-idamkan itu?

Namun, sayangnya menyesali tiada jua berguna. Notifikasi ponselnya sudah menunjukkan puluhan panggilan tak terjawab dan belasan pesan tak terbaca. Berandai pun tak berguna sebab tak ada alat yang bisa memutar balik waktu. Fira menangis bertambah kencang. Bahkan nomornya tak lagi bisa dihubungi, kemungkinan sudah dinonaktifkan.

Di tiga tahun lalu, Arya pernah berkata padanya, bahkan tanpa kata 'jatuh' pun, tidak akan mengurangi definisi dari perasaan cinta itu sendiri. Fira bahkan masih ingat bahwa saat itu sinar bulan menerangi wajah Arya yang tampak lebih menawan, dengan senyum tulus dan pipi kirinya yang berlubang. Namun, hari ini, Fira menyadari bahwa perkataan lelaki itu tidak sepenuhnya benar.

Jatuh dan cinta adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Bersiap mencintai dan dicintai, maka harus pula siap menanggung lara yang menghampiri. Cinta tidak akan lengkap tanpa jatuh. Sebab cinta bukan hanya soal memegang suka, melainkan juga mendekap luka.

Seperti yang pernah ia katakan waktu itu, cinta tidak semanis yang kita kira. Karena sesungguhnya, semesta telah menyiapkan semua rasa manis, asam, asin, dan pahit untuk satu cinta yang disisipkan di hati dua jiwa. Tugas keduanya hanyalah menata ulang, menjadikannya sebuah tuntunan, perasa yang mempererat hubungan, dan bukannya alasan untuk saling melepaskan.

Sayangnya, Fira hanya tidak tahu jika rasanya jatuh ternyata sesakit ini.

Setiap dua jiwa, punya jatuh dan cinta yang berbeda. Jika cinta diibaratkan sebagai sukacita, maka jatuh adalah dukalara. Jika cinta Arya dan Fira adalah kebersamaan yang dimulai tiga tahun lalu, maka saat inilah mereka merasakan jatuh. Jatuh dalam bentangan jarak yang mustahil dipangkas serta dekap kerinduan seperti badai musim panas.

Cinta adalah jatuh, jatuh adalah cinta. Fira harus mematrinya dengan jelas di kepala dan lubuk terdalam jiwa. Gadis itu hanya perlu menunggu saja, tidak akan lama.

Sepuluh ribu jam? Duapuluh ribu? Atau selamanya pun tak masalah. Asalkan ia tetap tahu jika Arya mencintainya. Selalu.

Benar, Arya mencintainya. Fira juga sama.

***
[ to be continue ]

--[05/05/21]--
--[12/06/21]--

[1] Aku membayangkan Randi berkata seperti suara lelaki di intro lagu milik Dua Lipa - Future Nostalgia.
[2] Golden Gate Bridge -- jembatan gantung yang menghubungkan kota San Francisco, California di Semenanjung San Francisco dan Kabupaten Marin, California. Panjangnya 2.727 m dengan ketinggian adalah 230 m di atas permukaan air. Merupakan salah satu jembatan terindah di dunia.
[3] Joseph Strauss -- perancang jembatan Golden Gate.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top