[fh · 10] - tell me not to fall, but you don't fall either
Pertengahan Oktober, 2018.
"Ini udah malem, Arya. Kamu kesambet apa?"
Udara dingin yang membekukan kulit masih terasa akibat hujan yang turun sepanjang hari. Di bawah naungan langit malam berhias bintang satu dua, mereka duduk di pinggir lapangan sepakbola beralaskan rerumputan lembap. Dengan penerangan yang berasal dari tiang lampu terdekat, sesekali dua remaja itu mendengar kumpulan jangkrik bersuara saling bersahutan; memecah heningnya malam yang dingin.
"Enggak pa-pa. Aku cuma rindu kamu aja." Seolah tak ada beban saat Arya melontarkan sahutannya.
Lelaki itu menoleh sebentar pada Fira lalu kembali memaku tatap pada langit. Gadis itu melihat sekilas jika sudut bibir Arya naik sedikit. Bintang tak lagi muncul satu dua, awan berarak menjauhi lalu berganti cahaya-cahaya bintang yang sedikit memberi warna di pucuk kepala mereka.
Fira menggeleng tak habis pikir, tetapi seulas senyum tipis muncul di bibirnya. Sejak beberapa pertemuan terakhir, Arya seolah selalu memberinya godaan-godaan yang membuat pipinya memanas. Gadis itu benar-benar tidak tahu apa isi kepala Arya.
Bahkan hari ini, Arya tiba-tiba sudah ada di depan pintu rumahnya saat senja baru saja habis. Padahal, Fira baru saja pulang dari tempat kerja bundanya untuk membantu. Setelah meminta izin pada Nita, di sinilah kedua remaja itu sekarang. Duduk bernaung pada gelapnya nabastala yang memunculkan satu persatu bintangnya, beralas rerumputan lapangan yang tak jauh dari rumahnya, sama-sama membaui petrichor yang menenangkan jiwa.
"Lagipula ini belum malem banget. Bahkan belum jam tujuh," lanjut Arya yang masih menatap hamparan langit di atas sana; memeluk lutut dengan ulasan senyum tipis yang seolah urung meluntur.
"Oh, iya. Aku ada sesuatu."
Arya merogoh tas kecil yang ia bawa. Lantas dengan cepat, membuat tangan Fira menengadah. Dua kuntum bunga kamboja merah merona sudah ada digenggamannya. Bunga yang hampir sama dengan yang beberapa waktu lalu gadis itu terima. Fira menatap bunga yang kelopaknya bergerak-gerak akibat tiupan angin ringan, lalu beralih pada Arya. Gadis itu tersenyum, tetapi juga berkerut heran.
"Malem-malem gini? Kamu enggak takut didatengin kuntilanak?" Fira menaikkan alis kirinya; bersuara dengan nada main-main.
Lelaki dengan tubuh berbalut kemeja hitam putih kotak-kotak itu menderaikan tawa. Matanya sampai menyipit. "Kamu masih percaya sama mitos itu?" Arya berdeham. "Aku enggak ngambil dari kuburan, kok."
"Tapi ngambil dari luar pagar pemakaman umum," sambung Fira.
Arya tertawa lagi, memecah hening komplek di dekat rumah Fira yang selalu berselimut sepi kala malam sudah menjelang. Biasanya para penghuni lebih memilih mengistirahatkan diri di dalam rumah atau barangkali baru pulang tengah malam dari tempat kerjanya.
"Kenapa kamboja, Ya?"
Derai tawa berhenti mendadak. "Hah? Gimana?"
Fira masih betah menatap helai kelopak kamboja yang bergoyang-goyang di genggamannya. Semilir angin sedari tadi tak henti bertiup lembut, membuat tak hanya bunganya yang bergoyang, anak-anak rambut gadis itu juga ikut bergerak kesana-kemari.
Kepalanya tergerak menoleh pada Arya yang dahinya berkerut. Gadis itu menghela napas pendek sebelum bersuara. "Kenapa ngasih kamboja di saat cowok lain ngasih mawar?"
Arya bergumam panjang, pandangannya menerawang. "Mawar itu terlalu umum. Nggak asik." Ia menatap langit sebentar, lalu memaku tatap pada gadis di sebelahnya. "Lagipula aku juga udah bilang, kan, filosofinya sama kamu."
Darah berdesir, merangkak naik dengan cepat ke kedua pipinya. Fira menoleh buru-buru ke arah lain. Wajahnya memanas, pasti merah padam. Bagaimana bisa Fira lupa dengan filosofinya? Tentu saja tidak. Satu-satunya yang masih jadi pertanyaan adalah filosofi itu benar dari hatinya Arya atau sekedar filosofi belaka?
Ia hanya takut sudah berharap tinggi, tetapi malah berakhir dijatuhkan kembali.
"Ada banyak cara mengungkapkan perasaan, kenapa harus selalu pakai cara yang dilakukan orang-orang?"
Perlahan, gadis itu kembali menoleh pada Arya. Detik itu pula, bulan akhirnya muncul dari sela-sela mega yang diarak untuk menjauhinya. Menampilkan cahaya malu-malu yang menerangi langsung mereka berdua di samping lampu yang berada di tiang listrik terdekat.
Lelaki itu tersenyum sampai lubang di pipi kirinya terbentuk; tanpa sengaja juga ikut diterangi cahaya bulan. Arya menoleh, balas menatap Fira lamat-lamat. "Ada banyak cara juga untuk mencintai seseorang, enggak harus diucapkan oleh lisan."
Manik yang sama gelapnya dengan malam itu berkilat; seolah mencoba mengatakan sesuatu melalui tatapan. Sayangnya, Fira tak pandai dalam membaca tatapan seseorang. Ia tak pernah tahu apa yang Arya pikirkan. Hal itu membuatnya kadang bertanya-tanya, Arya hanya sekadar menggodanya atau sungguh-sungguh dengan ucapannya?
Arya memutus kontak mata lebih dulu, masih betah mempertahankan senyum dengan pipi berlubang itu. Ia memilih menatap awan yang pelan-pelan memperbolehkan bintang-bintang menunjukkan eksistensinya.
"Aku tau kalau kamu masih bingung soal filosofi bunga itu. Aku nggak maksa kamu buat percaya juga. Tapi ..." Arya menghela napas panjang, mematri senyum lebih merekah yang membuat lubang di pipi kirinya semakin dalam. "... percaya aja sama apa yang hati kamu mau. Kalau masih ragu ... mungkin yang kamu butuhkan adalah waktu."
Fira memiringkan kepalanya, mulai menopang dengan sebelah tangan saat bunga-bunga yang tadi ia genggam sudah diletakkan di atas rerumputan. Ia menatap lelaki di sebelahnya sungguh-sungguh dengan berbagai spekulasi memenuhi kepala.
"Kamu, pemikiran kamu, ucapan, bahkan alasan kamu tersenyum, semuanya misterius." Ucapannya membuat Arya menoleh. "Aku bahkan nggak bisa nebak apa yang kamu pikirkan dan apa yang bakal kamu lakukan. Kamu bener-bener susah dimengerti."
Tawa kembali mengisi ruang di antara keduanya. Namun, tawa kali ini terdengar lirih. Senyum itu, apakah terlalu sering dilihat akan membuat yang melihatnya semakin kecanduan? Fira rasa ia berlebihan, tetapi senyum yang disinari bulan separuh itu terlihat lebih menawan.
"Fira, kamu tau danau?" Lelaki itu memberi jeda sebentar. "Kalau kamu cuma liat permukaannya aja, kamu nggak bakal tau apa yang ada di dasarnya. Berbeda kalau kamu memilih untuk menyelami."
Desau angin bertiup agak berantakan. Gemerisik dedaunan dari pepohonan yang berjarak cukup jauh bahkan terdengar sampai ke telinganya. Fira menghela napas panjang; masih memaku tatap pada insan di sebelahnya dengan manik bersinar terkagum-kagum.
"Semakin aku coba mengerti kamu, semakin membingungkan sosok kamu sebenarnya."
Kedua sudut bibir Arya naik lebih tinggi. Ia mendekatkan wajahnya sedikit pada gadis di sebelahnya. Kedua remaja itu saling menatap sebentar. "Jangan dimengerti, tapi dipahami."
Detik berikutnya, lelaki itu menjauhkan wajahnya, memilih mendongak dan mengagumi bulan setengah yang menggantung bersama pasukannya. Kerlap-kerlipnya semakin bertambah seiring desau angin menjauhkan awan.
Fira terhenyak; membeku dengan manik dan pemikiran yang benar-benar seperti danau itu. Indah, tetapi misterius. Arya mungkin benar, dia tak harus mengerti, tetapi memahami. Gadis itu mengerjap, memandangi lagi Arya yang betah terus-menerus mematri senyum.
Bolehkah Fira berharap lukisannya kemarin dulu digantungkan di ujung bulan agar lekas jadi kenyataan? Fira ingin, lelaki di sampingnya ini terus di sisinya, seperti ini selamanya. Ia tersenyum penuh harap. Diam-diam menggantung asanya tinggi-tinggi.
"Ngomong-ngomong, kamu pernah suka sama seseorang pada pandangan pertama?"
Dahinya berkerut sebentar. Ia bergumam panjang sebelum bersuara. "Belum." Fira beralih menatap kelopak-kelopak bunga kamboja di depan tekukan kakinya yang masih belum berhenti bergoyang karena angin terus hilir mudik. "Kenapa?"
"Kalau mencintai seseorang, udah pernah?" Arya meluruskan kakinya yang sedari tadi ditekuk. Ia menoleh penuh minat pada Fira yang masih belum mengerti.
Fira menatap ke ujung kanan atas, berpikir dengan gumamam panjang. "Aku ... enggak yakin." Gadis itu lantas balas menatap Arya. "Lagipula, kita masih terlalu kecil buat mikir cinta-cintaan, kan?"
Mereka bahkan baru beberapa bulan menginjakkan kaki di jenjang sekolah menengah atas. Soal cinta, sepertinya terlalu dini. Kalaupun ada, mungkin sekadar cinta monyet belaka; perasaan kagum sesaat yang dikira cinta.
Eh, apakah ini berlaku untuk Fira kepada Arya juga?
Lelaki berkemeja kotak-kotak itu mengangguk menyetujui. Sudut bibir kirinya menekuk. Arya menggulirkan manik hitamnya pada angkasa yang mulai cerah, tetapi desau angin masih membawa dingin. Ia mengerjap beberapa kali. "Kayaknya cinta itu indah banget, ya. Bersama orang yang kita sayang, melukis masa depan bersama-sama." Embusan napas pelan menguar dari bibirnya. "Aku pikir, kalau bersama orang yang kita cinta, segalanya jadi lebih manis."
Fira berkedip beberapa kali, sempat terhenyak sebentar. Ia menghela napas pendek sebelum akhirnya melipat kedua tangan di atas lututnya yang menekuk. Melakukan hal yang sama dengan Arya, memaku tatap pada hamparan angkasa gelap dengan gemerlap bintang-bintang terus memunculkan diri dari balik kungkungan awan.
"Tapi cinta enggak semanis yang kita kira, Arya." Gadis berkaus putih dengan celana longgar panjang itu tersenyum samar. Kemudian perlahan, menumpukan kepalanya pada tumpuan tangan; menatap penuh minat pada kamboja setengah layu yang tergeletak di atas rerumputan. "Pertengkaran di sepanjang perjalanan, pengujian kesetiaan, dan mungkin jarak bisa aja membentang. Dan yang paling penting namanya jatuh cinta. Jatuh berarti harus siap menanggung sakit yang bisa datang kapan aja."
Keheningan menerpa. Desau angin membangkitkan kegelisahan dalam dadanya. Fira mendongak lalu menoleh dengan cepat pada lelaki di sebelahnya. Ia pikir, Arya membeku sebentar atas ucapannya. Fira sendiri bahkan tidak tahu darimana kata-kata itu ia dapatkan. Sekadar meluncur begitu saja seolah ia adalah orang paling andal dalam urusan percintaan. Padahal kenyataannya, jatuh cinta sekalipun belum pernah. Entahlah untuk perasaannya yang masih abstrak ini.
Derai tawa mengisi kekosongan sebentar di antara mereka yang sedari tadi hanya diisi siulan angin. Arya menoleh, dengan ulasan senyum penasaran sekaligus tak habis pikir. "Kamu tau, nyatanya kamu itu lebih complicated daripada aku. Liat, kamu bahkan udah kayak pakar cinta yang jatuh dari surga."
Fira menderaikan tawa yang hampir sama; menggedikkan bahunya samar. "Aku sendiri bahkan nggak ngerti apa yang aku bilang."
"Why should we call it 'falling in love' when we can just call it 'in love'?" ...[1]
Senyum yang terpatri sebentar di wajahnya, luntur akibat kebekuan tak terhindarkan. Desau angin mulai merisaukan, kelopak-kelopak bunga di ujung kakinya bergerak resah. Fira memeluk dirinya sendiri lantas menoleh dan mendapati diri disambut manik hitam berkilat dengan alis tebal yang memayunginya.
"Bahkan tanpa kata jatuh pun, nggak akan mengurangi definisi dari perasaan cinta itu sendiri," sambungnya sembari berkedip lembut. Arya menggariskan senyum di bibirnya.
Fira mengulum senyumnya. "Okay, I'm done. You win, I lose."
Arya Alvaro, lelaki yang masih betah memandangi gadis di sebelahnya itu menderaikan tawa lirih. Kedua matanya menyipit. "Kamu pasti tau sendiri kalau dalam cinta nggak ada menang dan kalah. Ya, kan, pakar cinta?"
Gumaman panjang dan anggukan sebagai balasan ucapan itu. Fira tersenyum penuh humor. "Sebenarnya siapa di sini yang pakar cinta, hmm?" Gadis itu menyenggol Arya dengan bahunya. "Kamu keliatan lebih berpengalaman daripada aku."
Di matanya, Arya tertawa dengan kepala tertunduk. Kemudian tak lama, balas tersenyum jenaka juga. "Aku sendiri bahkan nggak ngerti apa yang aku bilang."
Fira melotot, bibir bawahnya menekuk. "Eh, boleh main ikut-ikutan gitu?"
"Kamu sendiri waktu itu ikutin aku juga. Aku nggak marah, tuh." Arya menderaikan tawa. "Masa sekarang aku ikut-ikutan, nggak boleh?"
Gadis itu cemberut; pura-pura merajuk. Namun begitu Arya menderaikan tawa lebih heboh karena wajahnya, Fira ikut-ikutan tertawa. Lantas, keduanya sama-sama menghela napas penuh kelegaan selagi memaku tatap pada langit yang terang benderang; telah hilang awan-awan yang tadi menutupi.
Hari itu, tanpa sadar, mereka belajar tentang definisi dari cinta dan konsekuensinya. Yang mengejutkan adalah, kedua insan itu diam-diam telah menerima sebuah takdir yang telah diputuskan semesta. Asa yang tergantung tinggi di ujung bulan separuh dan harap yang membubung tinggi tanpa sebuah kesengajaan, dibawa pergi oleh desau angin yang mendera. Sedang mencari labuhannya di mana; pun sedang menghitung waktu yang tepat untuk menjadi nyata.
"Ra?"
"Hmm?"
"Jangan jatuh cinta, ya." Fira menoleh, balas menatap manik segelap danau yang berpendar di bawah sinar bulan separuh kekuningan. "Apalagi sama aku."
Untuk kesekian kalinya, gadis itu membeku lagi. Berlaku juga pada bibirnya yang tak mampu membalas. Ia terjebak di dalam mata itu. Namun, ada satu hal yang mengganjal. Pandangan Arya seolah menggambarkan jika dirinya penuh harap, sedang berputus asa, dan berangan untuk diselamatkan.
Detik berikutnya, ia melihat jika Arya tersenyum. Garis yang bahkan tak sampai ke matanya. Seperti sebuah kebimbangan yang berakhir hampir kecewa. Dalam diamnya, Fira hanya bisa berspekulasi, berkutat dengan skenario bodoh yang terus membayangi.
You tell me not to fall for you, I doubt you can do that too, batin Fira yang tanpa sempat tergumam jelas. Ia hanya bisa menelannya setelah tahu jika ada asa yang sama tergantung di atas kepalanya. ...[2]
***
Awal Oktober, 2021.
Denting sendok logam yang menyentuh bagian dalam gelas porselen putih mengiringi tawa lirih dari wanita berumur empatpuluh lima tahunan. Dengan ditemani gadis muda di depannya, mereka sesekali menatap keluar jendela besar yang memampang langsung pemandangan pohon bintaro yang menjulang sendirian berlatar bangunan-bangunan yang lebih tinggi. Dedaunannya sesekali tertiup angin, yang berwarna merah biasanya jatuh lebih dulu menemui rumput gajah mini di bawahnya.
"Udah dulu, Ra." Wanita bergaun dusty pink itu berucap penuh perhatian; menatap lamat-lamat putrinya yang sedari tadi terus berkutat dengan berlembar-lembar tugas kuliah. "Nanti, kan, bisa dikerjain kalau udah sampai asrama."
Fira menegakkan tubuhnya, menatap penuh pada bundanya. Ia menghela napas pendek. "Kalau nanti-nanti, entar Fira nggak semangat lagi, Bun. Ini mumpung lagi ada semangat." Gadis itu mematri senyum cerah dengan pupil mata melebar; mencoba meyakinkan. Kemudian, gadis itu lanjut berkutat dengan buku-buku, berlembar double folio, dan pulpen.
Nita bergumam panjang. "Terserah kamu aja. Mahasiswa ambis," cibir wanita itu sebelum akhirnya mengangkat gelas porselen lalu menyesap teh chamomile yang asapnya masih mengepul-epul.
Gadis di depannya menyipit. Fira cemberut. "Kalau Fira nggak ambis, Fira nggak dapet beasiswa ke sini, Bun."
"Iya, iya." Nita menaruh lagi cangkirnya di atas meja. "Tapi kamu, tuh, jangan terlalu maksain diri buat belajar. Bukannya bagus, yang ada makin stress."
"Makanya Fira ngerjain tugas ke sini, Bunda." Gadis itu mulai gemas, tetapi tak mungkin juga melawan bundanya. Ia memilih menghela napas panjang sebelum akhirnya kembali memilih mengerjakan tugasnya yang tertunda.
"Hmm, ngejawab terus kamu."
Fira berhenti lagi, melirik bundanya dengan kepala yang masih sedikit tertunduk. Gadis itu mendengkus sebentar lalu kembali lanjut menulis. Bundanya tidak akan berhenti sebelum perkataannya dituruti. Lagipula, Fira terlalu rajin belajar begini juga untuk bundanya. Beasiswa penuh hingga lulus nanti; bahkan jika beruntung gadis itu bisa mendapat beasiswa juga untuk Strata Tingkat Dua. Nita tidak perlu merogoh sakunya dari hasil bekerja di tempat pengiriman barang itu. Terlebih jika untuk jurusan desain merupakan salah satu biaya kuliah yang sama sekali tidak bisa dibilang terjangkau.
Sejak pagi hingga siang, langit bertahan memangku awan keabu-abuan. Hujan belum juga turun; atau barangkali akan menumpahkan semuanya di malam nanti. Fira masih ingat ketika bundanya tiba-tiba menelepon setelah kelas terakhirnya selesai. Mereka berdua akhirnya memutuskan bertemu di kafe tempat Fira dan April terakhir kali nongkrong.
Nita bilang, hari ini tempatnya bekerja tutup karena pemiliknya sedang pulang kampung. Meskipun sehari, hal itu bisa membuatnya bertemu dengan sang putri. Bahkan sebelum sampai di kafe itu, Nita masih sempat membuatkan makanan kesukaan Fira, ayam rendang.
Gadis dengan rambut terkucir itu meletakkan pulpennya di atas meja. Membaca sebentar deretan tulisan di berlembar kertas double folio sebelum akhirnya menyelipkan di antara halaman buku. Fira mendongak menatap bundanya yang masih betah menatap ke luar jendela. Dengan wajah yang ditekuk, sepertinya wanita itu masih kesal padanya.
"Bun."
"Ra."
Kedua perempuan itu berucap bersamaan. Keduanya serempak pula mematri senyum yang sama hangatnya. Sepertinya, rasa kesal dari Nita sudah berakhir. Fira penasaran apa yang membuat perasaan bundanya itu tiba-tiba menguap.
"Bunda duluan."
Wanita empatpuluh lima tahunan itu menyodongkan tubuhnya. Menyesap sebentar teh chamomile yang masih mengepul-epul asapnya. "Bunda nggak pernah denger lagi kabar Arya sejak acara kelulusan. Dia sekolah di mana sekarang?"
Fira yang tadinya tampak bersemangat atas apa yang akan dikatakan Nita, kian mengubah raut menjadi tertegun. Gadis itu menelan salivanya susah payah. Pandangan Fira tertunduk, ia tiba-tiba dilanda kebisuan untuk menjawab pertanyaan sesederhana itu.
"Ra ... kalian ada masalah?" Raut Nita tampak cemas, garis-garis di wajahnya mulai kelihatan. Wanita itu meraih tangan putrinya yang menganggur di atas meja; meremasnya pelan.
Kepalanya naik sedikit, gadis itu mulai berani menatap balik manik yang seperti tumpahan madu itu. Fira menghela napas panjang sebelum akhirnya mematri senyum tipis yang bahkan tak sampai ke mata. "Enggak, kok, Bun. Arya sama Fira baik-baik aja."
"Jadi ...?" Nita menaikkan sebelah alisnya, seolah hendak mengulang ucapannya dengan tatapan mata.
"Arya pindah ke luar negeri. Dia terlalu sibuk sama study-nya."
Gadis itu sudah harap-harap cemas melihat tatapan bundanya yang tampak memastikan. Melihat Nita mengangguk paham dan memilih mengangkat gelas porselennya, Fira merasa lebih lega. Ia tak perlu mengatakan lebih banyak hal yang membuatnya ingin menangis.
Fira berulang kali berusaha meraup oksigen yang terasa tak bisa masuk paru-parunya. Rasa-rasanya, dada menolak menerima udara lebih banyak, hendak membiarkan Fira mati dalam kesesakan.
Gadis itu berusaha menghirup lagi udara dalam-dalam. Berupaya tersenyum yang malah tampak kepalsuannya. "Bunda mau makan apa?"
***
Di balik meja pantri panjang berwarna putih serta mesin kopi bersiul nyaring yang mengepul-epul, seorang lelaki susah payah mengikat celemek hitam khas yang digunakan para barista kafe.
"Permisi."
Ia buru-buru berbalik begitu selesai dengan simpulannya. "Iya--eh, Fira?"
Gadis berkucir tinggi dengan tas putih di bahu kiri, juga tumpukan buku-buku di pelukannya itu; berusaha tersenyum ramah menanggapi keterkejutan sang barista.
Randi membelalak sebentar; tampak tak percaya. Sebentar kemudian ia lekas-lekas mengubah raut menjadi lebih ramah, senyum yang mematri sama merekahnya dengan pertama kali mereka bertemu. "Ada yang bisa dibantu?"
"Tolong tagihan untuk meja lima, ya, Ran," pintanya masih dengan senyum yang sama.
Lagi, lelaki itu tampak terkejut. "Eh, udah mau pulang aja?" Akan tetapi, ia tetap juga mencari-cara papan dengan berlembar-lembar kertas yang ternyata ada di ujung meja pantri; sedikit jauh dari jangkauannya.
Gadis yang berdiri di luar meja putih itu bergumam. "Udah lumayan lama soalnya."
Fira tak tahu mengapa seolah semesta memberinya begitu tantangan untuk dimainkan. Sejenak, ia merasa disudutkan, sebentar kemudian lalu seolah memberinya ruang lebih banyak. Saat sama-sama menyantap pesanan mereka, bundanya kembali menanyakan apakah Arya masih menghubunginya, atau mengapa lelaki itu tidak menghubungi wanita itu juga, dan yang paling parah, kapan lelaki itu kembali.
Sayangnya---sama seperti pertanyaan pertama bundanya setelah sekian lama tentang Arya---Fira bertahan membisu. Hingga sebuah panggilan kemalangan dari seberang telepon membawa bundanya pergi. Katanya, teman Nita tertimpa musibah. Mau tak mau, wanita itu meninggalkan Fira yang masih berusaha mencari jawaban dari setiap pertanyaan yang terus-menerus terlontar.
"Fira? Fira?"
Ia tersentak hingga bahunya naik sebentar. Fira melempar tatapan linglung pada Randi yang juga tampak sama bingungnya dengan tangan yang sudah menggantung di udara. "Iya?"
"Kamu nggak pa-pa, kan?" Randi menaikkan kedua alisnya risau.
Fira melarikan netranya sebentar. "Enggak, kok. Nggak pa-pa." Hah, sepertinya gadis itu terlalu lama melamun hingga lupa masih berada di tempat umum. "Oh, iya. Tadi semuanya berapa, Ran?"
Setelah Randi menyebutkan bilangannya, Fira mengangsurkan beberapa lembar uang. Kala hendak berbalik, panggilan dari lelaki itu membuatnya mengurungkan niat.
"Kamu---eh, maksudnya kalian; kamu sama April, bakal datang ke pameran itu, kan?" Manik coklat gelap milik Randi berkilat was-was, harap-harap cemas akan jawaban yang akan diberikan gadis di depannya.
Ada jeda pendek yang terasa sangat janggal di sekitaran kafe itu. Tiga detik yang heningnya membawa riuh angin yang berusaha merontokkan dedaunan bintaro, denting bel yang berbunyi tak habis-habis akibat pintu kafe yang terbuka tutup, dan sahut-sahutan orang yang berbicara seperti dengungan lebah.
Gadis itu bergumam panjang sebelum akhirnya mengangguk.
"Itu artinya iya?" Randi tak yakin; ia ingin memastikan.
Kedua sudut bibir Fira naik perlahan. "Iyaa." Lalu mengangguk meyakinkan.
Randi tersenyum; kelewat lebar. Jejeran gigi-giginya bahkan sampai kelihatan. Lelaki itu bergumam yes yes yes berulang kali sampai akhirnya Fira pamit pergi melewati pintu kafe yang sepenuhnya terbuat dari kaca.
Sayangnya, Fira sendiri tidak tahu mengapa gestur persetujuan juga sahutan iya itu bisa terlontar dari bibirnya. Ia takut, pameran itu hanya sebagai pelarian dari apa yang sebenarnya tidak pernah ia lakukan. Pameran yang pernah dijanjikan, tetapi tak pernah jadi kenyataan.
***
[ to be continue ]
--[27/04/2021; 22.10]--
--[04/06/21]--
[1] Mengapa kita harus menyebutnya jatuh cinta ketika kita bisa menyebutnya dengan cinta saja?
[2] Terjemahan Inggris untuk penggalan lirik milik Off Jumpol, Gun Atthaphan - ไม่รักไม่ลง (Too Cute To Handle). - Kau mengatakan untuk jangan jatuh (cinta) padamu, aku meragukanmu untuk melakukan hal yang sama.
...
Ngomong-ngomong, jangan jatuh cinta pada Arya. Sebab kamu akan berakhir jatuh cinta sendirian:"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top