[fh · 09] - i just hung the canvas, would you make it happen?
... Gantungkan di sana;
dekat dengan bulan dan para pasukannya.
Meskipun nanti kalau-kalau jatuh;
dia akan tersangkut di salah satu bintang yang bersemu.
...[1]
***
Awal Oktober, 2021.
Di tengah gelapnya langit, bulan sabit menggantung cantik. Ia tak sendiri, ada ribuan bintang menemani. Sesekali angin bertiup; membuat dedaunan gemerisik sedikit, beberapa yang berwarna kemerahan lolos dari rantingnya dan jatuh menemui rerumputan. Hujan jatuh sebentar tadi sore, tetapi begitu bagaskara tenggelam, langit tampak cerah. Seolah tidak terjadi apa pun sebelumnya.
Jendela di kamar itu belum juga ditutup. Tirai putihnya yang disingkap sedikit membuatnya berayun mengikuti irama angin yang tertiup. Sesekali menyapa lengan seorang gadis yang duduk di meja belajarnya; fokus pada selembar kertas dan pensil, sibuk mencorat-coret.
"Ra?" panggil gadis lain yang duduk di ranjang bagian bawah kamar itu. Di pangkuannya ada laptop yang menyala, sedangkan di atas tempat tidur sudah berserakan berbagai macam jenis buku. "Kamu begadang, nggak?"
Fira berhenti sejenak dari aktivitasnya, lalu kembali menarik garis di atas kertas. Mulai dari garis lurus lantas meliuk sedikit di bagian bawah. "Kayaknya iya. Aku harus nyelesaikan banyak desain buat Bu Sasha."
April yang masih bersitahan menatap sahabatnya untuk menemukan jawaban, mengangguk sebentar. Ia lanjut fokus pada laptop di pangkuannya. Sesekali melirik pada buku terbuka yang tak jauh dari tempat ia duduk. Lantas menekan tombol-tombol di papan keyboard dalam kecepatan sedang.
Sehabis pulang dari kafe tadi, tiba-tiba saja Fira tergerak untuk mengerjakan semua tugas-tugasnya yang sempat terbengkalai. Ia terlalu lama melamun, sampai meninggalkan masa depannya yang pasti. Gadis itu berakhir duduk di meja belajar dari sore tadi sehabis bebersih diri.
Begitu pula dengan April. Melihat Fira, ada sebuah kesadaran juga yang tumbuh padanya. Gadis yang biasanya hampir selalu terlihat marathon drama, sekarang berkutat dengan tumpukan buku untuk mengerjakan tugas. Katanya, tugas akuntansinya akan tenggat besok. The real power of kepepet.
Sayup-sayup, suara ketukan pintu mengintrupsi pergerakan mereka. Kedua gadis itu serempak saling menoleh satu sama lain, menampilkan ekspresi yang sama bingungnya. April memindahkan laptop di pangkuannya ke ranjang, memilih membuka pintu untuk melihat siapa yang sekiranya berkunjung di saat hari sudah gelap begini.
Begitu daun pintu ditarik, hanya tiupan angin yang menyapa kulitnya. Tidak ada siapa pun yang berdiri tegak di sana untuk menunggu pintu terbuka. April berkedip beberapa kali; menoleh kanan-kiri, memastikan bahwa tidak ada orang iseng yang sekiranya bersembunyi. Namun, tetap saja ia hanya disapa angin membekukan berkat sisa-sisa hujan yang masih terasa.
Gadis itu mendengkus, menggaruk belakang telinganya frustrasi. Akan tetapi, tak urung juga menunduk. April mengerutkan dahinya begitu melihat sepotong kertas yang bergerak terombang-ambing oleh angin. Tangannya terulur mengambil. Begitu membaca deretan aksara yang tertulis di sana, kerutan di dahinya semakin dalam.
"Siapa, April?"
April masih bersitahan mematung; tak menjawab. Rautnya menunjukkan kebingungan yang kentara. Matanya bergulir; memastikan bahwa ia tak salah baca.
"April?"
Nada bicara Fira mulai terdengar khawatir. Pintu kamar itu berdenging akibat tiupan angin yang agak kencang. Gadis yang masih betah duduk di meja belajarnya itu berbalik, bangkit lantas menghampiri sahabatnya yang masih bertahan membisu.
"Surat lagi," ucap April singkat begitu Fira sudah ada di sebelahnya. Ia mengangsurkan pada gadis itu.
Fira menyipitkan mata, dahinya ikut berkerut. Tetapi tetap juga menerima selembar kertas berwarna agak kekuningan itu dari tangan April. Manik kecoklatannya bergulir membaca.
...-------...
Fira,
Begitu bukan namamu?
Kalau salah, beritau aku ya.
Tidak tau apakah kau mengenalku atau tidak,
atau kenal tetapi tidak peduli,
aku hanya ingin mengatakan, jangan bosan menerima surat dariku.
Aku mohon.
Mungkin ini sedikit mengganggu,
tapi agak sulit menumbuhkan keberanian.
Iya, kan?
Ngomong-ngomong,
kamu cantik kalau sedang sedikit senyum.
Kapan-kapan,
boleh aku minta untuk senyum lebar, tidak?
...-------...
Langit bergemuruh, angin bertiup mengamuk di luar jendela. Fira tidak mengerti perasaan apa yang cocok untuk mendeskripsikan perasaannya setelah membaca memo yang masih betah bertahan di ujung jarinya. Gadis itu merasa bukan ini yang ia harapkan.
"Ra?" Suara April agak bergetar, rautnya kentara akan kekhawatiran. Gadis itu menutup pintu kamar mereka sebelum akhirnya memegang pundak sahabatnya.
Wajah Fira muram, bibir bawahnya bergetar. Helaan napas berat menguar. "Ini ... bukan ... dari Arya."
Dan di saat itu pula, pelupuk matanya dipenuhi genangan. Tetes demi tetes membasahi pipi. Ia meluruh, berdebam jatuh di ubin kayu kecoklatan kamar itu. Gadis itu terisak menyakitkan, tersadar bahwa terlalu tinggi menggantungkan asa. April duduk di lantai, mendekap sahabatnya; berharap dapat menenangkan isakan demi isakan yang terasa tak kunjung berakhir.
***
Awal Oktober, 2018.
Bagaskara hampir menggantung tinggi, tetapi cahayanya masih terasa hangat. Terkadang harus mengintip dulu sebab mega terus berarak tertiup angin; menyusuri luasnya nabastala biru menenangkan.
Dua insan itu melangkah di trotoar jalan yang terbuat dari beton dengan hiasan kerikil hitam terlekat. Si gadis menatap kanan-kiri, sesekali bibirnya menggumamkan takjub begitu lirih. Matanya ikut melebar kala pepohonan menjulang menyambut, di depannya ada huruf cetak besar yang terbuat dari aluminium bertuliskan 'Taman Srigunting'.
"Kamu belum pernah ke sini?"
Netra kecoklatan Fira bergulir kesana-kemari begitu mereka memasuki taman yang sebagian besarnya berwarna hijau akibat pepohonan yang lebih mendominasi. Tempatnya cukup ramai, kemungkinan besar karena hari Minggu, juga tempat itu adalah salah satu tempat paling digemari di seluruh kota Lama Semarang.
Gadis yang kali ini membuat rambutnya dikepang rendah itu menoleh pada lelaki di sebelah kanannya. Ia mematri senyum seadanya lalu menggeleng.
"Udah berapa lama kamu tinggal di Semarang?" Ada nada jenaka di ujung kalimat yang dilontarkan lelaki dengan jaket denim kebiruan itu.
Arya menuntun gadis dengan overall hitam dan atasan kaus putih itu untuk duduk di bangku panjang; salah satu bangku taman yang kosong. Masing-masing memilih menatap hiruk-pikuk orang-orang yang sekadar berkeliling atau juga memilih membekukan momen.
Tawa lirih sebagai sahutan. Sesungguhnya Fira tidak tahu jika kota tempat tinggalnya seindah ini. Selama ia tinggal di sana, Fira hanya berkeliling di sekitar rumah, tempat kerja bundanya, dan sekolah. Sama sekali tak pernah berpikir untuk berkeliling kota.
Dan hari ini, dengan kesadaran penuh, entah mengapa Fira bisa-bisanya menerima tawaran dari lelaki yang awalnya ia anggap asing. Sedikit tidak masuk akal juga mengapa bundanya bisa dengan begitu mudah memberikan izin. Fira sejujurnya tidak mau memikirkan itu. Membuat kepalanya seketika berdenyut.
"Jadi beneran, aku orang pertama yang ngajak kamu jalan-jalan?" Arya berucap tak percaya. "Wow, I feel special."
Fira menoleh pada Arya, manik keduanya kembali bersirobok. Kala lelaki itu menampilkan senyum yang terkesan jenaka, Fira tertawa.
Ia memilih membuang muka; memaku tatap pada bangunan persilangan antara arsitektur renaissance dan arsitektur tradisional di tengah taman. Gereja Blenduk berdiri gagah bukan hanya di tengah taman Srigunting, tetapi juga tepat di tengah kota Lama Semarang. Kehadirannya merupakan salah satu peninggalan zaman kolonialisme Belanda sekitar tahun 1700-an. Bahkan hampir seluruh bangunan di sana masih berlanggam art deco, renaissance, barouqe, dan Semarangan. Ciri khasnya adalah ornamen yang identik dengan gaya Eropa; penggunaan pintu dan jendela yang luar biasa besar, penggunaan kaca-kaca berwarna, hingga atapnya yang unik. Tidak heran kota ini disebut-sebut sebagai Outstadt atau Little Netherland.
Rasanya, seharian mungkin tidak cukup. Ia ingin mengunjungi tiap tempat di sini. Pasti seolah seperti berada di Belanda. Gadis itu mematri senyum yang sama hangatnya dengan mentari yang hampir mencapai ubun-ubun. Mengintip dari celah-celah dedaunan sebuah pohon menjulang tempat ia bernaung. Fira memaku pandangan pada sekumpulan orang-orang yang berpose di bawah jejeran payung warna-warni yang sengaja digantungkan.
Namun, senyumnya luntur seketika. Gadis itu terperangah kala mengetahui bahwa tidak ada siapapun yang duduk di sebelahnya.
Arya menghilang.
Fira bangkit dari duduknya, menyisir pandangan ke seluruh penjuru arah. Tempat yang hampir disesaki para pengunjung itu membuatnya agak kesulitan melihat. Akan tetapi, pada akhirnya ia tak juga menemukan seseorang yang sekiranya berperawakan mirip dengan Arya.
Napas Fira memburu. Keramaian benar-benar seketika membuatnya kehilangan pasokan oksigen. Gadis itu melangkah tak tentu arah, berusaha mencari-cari. Kepalanya kalang kabut; menoleh kanan-kiri kelimpungan.
Ia sendirian.
Di kota antah-berantah.
Tanpa tahu jalan pulang.
Apa yang lebih mengerikan?
***
Awal Oktober, 2021.
Hujan berskala sedang mengguyur alam. Gemuruh di langit disertai akar-akar kilatan sesekali tampak dari balik jendela yang ditutup rapat. Kacanya terhias rambatan lurus aliran bekas-bekas hujan yang mampir akibat angin.
Jarum pada jam yang menggantung di dinding menunjukkan pukul dua dini hari. Berselimut keremangan, gadis itu masih betah duduk di depan meja belajar dengan ujung jemari menyentuh beberapa lembar kertas desain yang baru saja ia selesaikan.
April terlelap sejam lalu setelah selesai dengan makalahnya, tetapi Fira yang sudah selesai beberapa belasan menit lalu belum juga beranjak dari duduknya untuk menemui kasur. Berteman lampu belajar yang tidak begitu terang, manik kecoklatannya menatap kosong; lurus pada tirai jendela yang tersingkap---menampakkan jejak-jejak aliran hujan yang menabraki kaca.
Setelah menangis sebentar setelah membaca memo singkat si depan pintu beberapa jam lalu, Fira kembali melanjutkan tugasnya; seolah tak terjadi apa pun. Mungkin April bingung, tetapi lebih memilih bungkam dengan melanjutkan tugasnya juga. Sekarang lembaran kertas itu ia tumpuk di sudut meja bersama dengan dua memo lainnya.
Matanya bergulir pada sudut meja yang menyentuh dinding---tumpukan buku-buku menyambut penglihatannya. Fira mengerutkan bibir lalu meletakkan kertas desain yang masih sketsa kotor itu di atas meja; menumpukan kotak pensil biru muda di atasnya. Tangan gadis itu mengambil salah satu buku bersampul biru kehijauan dengan gambar kotak-kotak kehitaman yang membentuk seperti kota. Buku karya Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie - Jakarta Sebelum Pagi.
Fira mengusap buku itu. Tatapannya matanya mulai nanar. Ada sesuatu dalam dadanya yang hendak keluar. Gadis itu membuka lembar demi lembar dengan jemarinya, hingga lantas, sesuatu yang lama terpendam di sana mencuat.
Kamboja yang bentuknya tidak lagi seperti masih baru dipetik; hampir sama tipis dengan lembaran-lembaran yang mengapitnya. Warnanya pun juga sudah berubah coklat kekuningan. Fira melengkungkan senyum tipis, menyentuh bunga yang tampak rapuh itu.
Arya ... apa kamu masih inget aku?
Senyumnya berubah miris. Maniknya mengkilat akibat genangan air mata yang siap membludak lagi. Dekap kerinduan kembali membayangi.
Hujan di luar kamar sana masih betah jatuh menghujam bumi. Detak jam sesekali terdengar di sela-sela guyuran hujan yang menenangkan. Fira seharusnya sadar, percuma menunggu jika dia bahkan tak mau tahu. Setidaknya tanah masih mendapat kepastian bahwa hujan akan datang; meskipun tidak jelas waktunya kapan, pun masih ada awan keabu-abuan pertanda ketibaan. Tetapi untuk lelaki itu, Fira hampir putus harap. Bimbang di antara tetap melanjutkan atau menarik lembar baru.
Arya ... apa kamu menghitungi jam juga?
Apa kamu juga menunggu saat-saat di mana kita kembali bersama?
Fira hampir goyah, tetapi pada akhirnya memilih untuk bertahan. Meskipun tak ada yang meyakinkan, gadis itu tetap pada pendirian. Tangisnya luruh lagi. Ia menunduk dalam, berusaha meredam isakan-isakan yang keluar menyakitkan.
Sekarang udah 4.325 sejak yang kedua. Kamu mau nunggu sampai sepuluh ribu?
***
Awal Oktober, 2018.
"Arya ...." Gadis itu memanggil lirih, suaranya bergetar. Fira menatap sekeliling dengan linglung.
Gadis itu melangkah, hampir membelah kerumunan. Meskipun keraguan sempat mampir di benaknya, ia berusaha meyakinkan diri. Ia harus menemukan lelaki itu.
Bibir bawahnya bergetar, keramaian membuatnya semakin kebingungan. Fira menatap semua lelaki yang ada di sana; berharap menemukan wajah yang beberapa saat lalu duduk di sebelahnya. Namun, yang dia dapatkan nihil.
Apakah masih sempat mengatakan bahwa dirinya menyesal telah menerima tawaran Arya? Lihatlah. Lelaki itu bahkan meninggalkannya sendirian di sana. Tanpa mengenal siapa pun atau tempat yang benar-benar asing.
Gadis itu menggerakkan gigi-giginya dengan pandangan yang masih menyisir keadaan. Kalau nanti ketemu, aku remukin badannya.
Baru saja gadis itu hendak masuk lebih jauh ke tengah taman, tangannya ditarik tiba-tiba; menjauh sedikit dari keramaian. Memang tidak sakit, tetapi membuatnya memekik lirih dan hampir terhuyung ke belakang jika si pelaku tidak menahan punggungnya.
Fira mematung sebentar; menatap dari atas hingga bawah berulang-ulang pada sosok yang berdiri di depannya dengan senyum merekah tanpa dosa.
"Aryaaa!!" Ia memekik kencang, beberapa orang sampai menatap bingung pada keduanya.
Fira tak peduli. Ia menghujami lelaki itu dengan pukulan; di lengan, di bahu, dan dadanya. Gadis itu telanjur kesal. Ditinggal tanpa isyarat di tempat tak dikenal benar-benar mengerikan.
Lelaki berjaket denim biru itu hanya mengaduh saja, tetapi derai tawa ikut mengiringi. Fira tentu saja kesal dan semakin membabi buta memukuli Arya.
"Udah, udah. Hey! Sakit, Ra! Ahahaha ...."
Hujaman pukulan itu berhenti juga, tetapi tidak dengan derai tawa yang masih bersitahan menguar dari bibirnya. Fira masih berupaya untuk menahan diri untuk tidak memukuli Arya lagi; memendam hasrat janji dalam dirinya untuk meremukkan tubuh lelaki di depannya ini jika bertemu. Namun, gadis itu berakhir dengan menghela napas panjang; berharap emosinya lekas meredam.
Sebuah kantong plastik tembus pandang lantas berada di depan wajahnya; dua buah cup minuman dengan warna seperti air biasa terlihat dari baliknya. Fira mengerutkan keningnya. Jangan bilang dia ngilang buat beli ini.
"Aku tadi beli air kelapa karena cuacanya panas." Arya melihat langit sebentar. "Tapi pas balik malah kena pukul." Lelaki itu menurunkan bungkusannya; menatap pura-pura sedih pada minuman yang baru saja ia beli.
"Mana aku tau!" ketus Fira. Tangannya bersedekap. "Lagian kamu juga nggak bilang-bilang kalau mau beli itu."
Tatapan Arya berubah menyelidik. Sudut bibirnya naik sedikit, membentuk senyum jenaka. "Kamu takut kehilangan aku, ya?"
Fira membuka dan mengatupkan mulutnya. Amarah yang tadinya meletup-meletup, redam seketika dan tergantikan dengan perasaan tak karuan.
"Enggak, lah!" Ucapannya terlalu cepat. Gadis itu memalingkan wajahnya dengan bola mata berlarian. "Aku cuma takut ditinggal sendirian. Kan nggak lucu kalau tersesat di sini."
Bibir lelaki itu agak mengerut, tetapi mengangguk juga. Fira tahu jika anggukan itu terkesan setengah percaya. Sejujurnya gadis itu tidak peduli, yang terpenting ia sudah menyatakan semuanya; meskipun ia sendiri agak meragukan ucapannya yang seolah hanya setengah kebenaran.
Arya mengangsurkan se-cup minuman dari plastik yang sedari tadi ia pegang pada Fira. "Diminum. Biar nggak emosi."
Angin bertiup agak kencang, menerbangkan anak-anak rambut Fira yang tak terikat. Taman Srigunting agak lengang, mungkin para pengunjung pergi ke tempat lain. Gadis itu menerima cup yang sisi-sisinya berembun akibat es di dalamnya. "Makasih."
Ia tak menampik, cuaca panas benar-benar membuat tenggorokannya kering. Ia akan memaafkan Arya karena pergi tiba-tiba tadi. Akan tetapi, tentu saja karena air kelapa di tangannya berhasil memuaskan dahaga.
"Udah selesai marahnya? Ayo, kita ke suatu tempat?"
"Ke mana?" Fira berucap penasaran setelah menyesap es kelapa muda dari ujung sedotan.
"Ada pameran dekat sini," sahut lelaki itu lantas membuang cup miliknya yang telah kosong ke tong sampah. Fira yang juga telah menghabiskan esnya juga ikut membuang cup miliknya. "Ayo."
Tanpa aba, Arya menarik tangannya untuk berjalan berdampingan. Fira terhuyung sebentar sebelum akhirnya menyamakan langkah dengan Arya di atas trotoar memanjang berwarna keabu-abuan. Mereka meninggalkan pelataran taman Srigunting dan masuk ke daerah yang penuh dengan pedagang-pedagang barang lama yang menggelar lapak di bahu jalan.
"Kamu tau, sebenarnya aku juga baru pertama kali ke sini," kata Arya di sela-sela suara orang-orang yang sibuk tawar-menawar. Tetapi mereka melewatinya saja.
Fira tersentak, menampilkan raut tak percaya pada lelaki di sebelahnya. "Serius?" Gadis itu kembali menatap lurus ke depan. "Jadi, aku orang pertama yang kamu aja ke sini? Wow, I feel special," lanjutnya dengan senyum geli saat menirukan kalimat yang beberapa saat lalu Arya ucapkan. Kedua remaja itu lantas tertawa bersama.
Hanya berjarak kira-kira seratus meter dari taman Srigunting, Arya dan Fira memasuki pelataran gedung bertingkat dua dengan warna hampir seluruhnya putih gading. 'Semarang Contemporary Art Gallery' tertulis di atas pintu kaca. Akan tetapi, gedungnya sepi. Bahkan pintunya tertutup dengan tulisan 'Closed' di sana.
Arya menghela napas kecewa. "Maaf, ya." Lelaki itu menatap pintu kaca tertutup itu dengan bibir mengerut. "Pasti pamerannya diundur."
"Nggak pa-pa, kok." Fira berucap menenangkan, ada senyum juga yang terpatri di bibirnya. "Sebagai gantinya, gimana kalau kita keliling deket-deket sini aja? Nggak kalah menarik sama di dalam gedung pameran, kan?"
Arya lekas-lekas menoleh. Raut wajahnya berubah menjadi lebih baik. Senyum tipis bertengger di wajahnya. "Boleh. Aku yang jadi pemandu wisatanya."
"Pemandu wisata, tapi baru pertama ke sini, emang bisa?'
"Meragukan, huh? Kita buktiin aja kalo gitu."
Kedua insan itu saling beradu pandang sebentar lalu tertawa bersamaan. Arya memberi isyarat dengan kepalanya, Fira mengangguk semangat dengan senyum yang bersitahan merekah. Membawa kesejukan bersamaan dengan semilir angin di siang yang hampir membakar.
Arya menuntunnya kembali ke pasar barang-barang lama yang sebelumnya mereka lewati. Bukannya tetap berjalan lurus, lelaki itu malah mampir di salah satu toko. Mau tak mau, Fira mengikuti langkahnya.
"Kamu mau beli?" Fira menoleh pada Arya yang menatap penuh minat pada barang-barang lama di toko itu.
Kalung-kalung agak kusam bergantungan, vas keramik, keramik potret, dan masih banyak barang-barang kecil lainnya yang tampak agak berkarat tetapi masih terlihat apik tertata di ubin dan rak-rak kayu. Beberapa lainnya dipajang di lemari kaca setinggi pinggang. Fira penasaran, selama apa umur barang-barang di sana.
"Enggak," sahut Arya polos. Fira mendengkus, sedangkan seorang pria tua si pemilik toko itu tertawa lirih. Arya ikut tertawa juga. "Kalau enggak beli, ngapain aku mampir ke sini?"
Fira menatap deretan jam lama yang di dalam lemari kaca di depannya. Bergaya vintage dengan rantai dan bagian jamnya sendiri berwarna emas. Ia ingat pernah melihatnya beberapa kali di dalam film, tetapi ketika dilihat langsung ternyata lebih indah.
"Ra, coba liat itu." Gadis itu mendongak, mencari arah pandangan dan sesuatu yang ditunjuk oleh Arya. Dinding toko yang terbuat dari kayu itu digantungi deretan keramik berbentuk piring berwarna putih kebiruan dengan potret manusia. Beragam, ada dua objek, seorang saja, bahkan ada juga siluet.
"Lucu, ya." Arya berucap penuh ketertarikan. "Apalagi kalau ada potret kita bertiga."
"Kita bertiga?" Fira menatap heran, sebelah alisnya terangkat.
"Iya." Arya mengangguk mantap dengan ulangan senyum tipis. "Aku, kamu, sama anak kita nanti."
Zhafira Freya mematung akibat ucapan nyeleneh seorang Arya Alvaro. Tawa yang menderai dari bibir lelaki itu membuat wajahnya panas. Fira bahkan tak punya muka lagi di depan si pemilik toko yang sekarang sudah geleng-geleng kepala dengan tawa gelinya.
"Pak, saya mau jam yang ini, ya."
Arya menunjuk jam yang tadi ditatap lama oleh Fira. Si pemilik toko beranjak dari tempatnya berdiri dan mengeluarkan jam pilihannya. Ternyata lebih mengkilap ketika dilihat dari dekat. Namun, Fira malah mengerutkan dahinya bingung.
"Bukannya kamu tadi bicara soal keramiknya? Kok malah beli jam?" Gadis itu menatap jam di depannya dan Arya bergantian.
Lelaki itu tak langsung menjawab. Ia lebih dulu memberikan uang sebagai ganti jam yang ia beli. Setelah mendapatkan bungkusan, Arya mengayunkan kaki beberapa langkah dari toko. "Karena tadi jamnya udah kamu liatin."
Lagi dan entah untuk yang keberapa kalinya, Fira mengerutkan dahi. Pemikiran lelaki di depannya selalu tak dapat ditebak. "Apa hubungannya?"
"Jamnya jadi lebih spesial."
Fira mematung lagi, lalu setelahnya mematri senyum tak habis pikir yang disertai gelengan. Detik berikutnya, ia merasakan jika Arya sudah menggenggam tangannya.
Kedua remaja itu beranjak dengan senyum yang masih bertahan dan terus bersitahan. Mereka kembali sebentar ke Taman Srigunting yang penuh dengan kehijauan. Sesekali, Arya meminta Fira membekukan momen dengan ponsel miliknya. Namun, begitu giliran Fira, lelaki itu malah memotret diam-diam. Katanya lebih bagus kalau candid. Gadis itu itu hanya tertawa sembari menggeleng tak habis pikir.
Arya dan Fira lanjut menyusuri jalanan. Berjalan seolah tanpa arah dengan latar bangunan-bangunan peninggalan kolonialisme Belanda yang identik dengan putih pucat. Lagi, mereka membekukan momen; baik sendirian maupun berdua.
Bergantian melihat Arya dan angkasa, diam-diam gadis itu meletakkan kuasnya di atas palet. Lantas, menarik garis di langit; membentuk rangkaian harap tanpa jeda di masa depan. Senyum merekahnya menandakan bahwa sebuah asa hampir selesai dilukis pada kanvas nabastala, bersemoga di dalam diam jika harapnya lekas-lekas menjadi kenyataan.
***
Bagaskara menggantung di barat, warnanya jingga pekat. Hampir tenggelam menuju peraduan; hendak tergantikan dengan bulan. Deru motor berwarna hitam itu melembut begitu sampai di depan sebuah rumah petak sederhana berwarna hijau muda, tegak sendirian dengan diapit dua rumah mewah berlantai dua dengan pilar-pilar putih menjulang.
"Makasih, ya." Fira berkata begitu turun dari motor milik Arya. Senyumnya mematri indah begitu sinar senja menyapa wajahnya. Sejenak gadis itu merasa jika Arya menatapnya agak kagum begitu melepas helmet berwarna senada dengan motornya.
Arya berdeham, balas mematri senyum hingga pipi kirinya tampak sebuah lengkungan. Ia mengangguk.
"Buat ini juga makasih, hehe." Fira menaikkan plastik berisi sebungkus makanan untuk bundanya. Wajahnya masih bersitahan mematri senyum, tetapi lebih lebar hingga menampakkan deretan giginya.
Lelaki yang masih duduk di motornya sembari memeluk helmet itu menderaikan tawa. Ia mengangguk lagi. "Iya, Fira."
Manik segelap malam itu bertahan menatapnya lama. Fira tak nyaman. Ia harus melarikan bola matanya ke mana-mana, asalkan tidak balik membalas tatapan itu. Dadanya sudah berdentum hebat sejak mereka mengelilingi gedung pameran tadi. Kalau dibalas, Fira takut nanti jantungnya malah berlari pergi.
"Kalau gitu ... aku masuk duluan, ya." Fira bergumam di ujung kalimatnya, menatap sebentar pada Arya. "Makasih sekali lagi. Semuanya keren."
Arya mengangguk lagi, senyumnya agak pudar. Seperti ada yang hendak dikatakan, tetapi malah berakhir kembali tertelan. Fira menunggu sebentar sebelum akhirnya tersenyum lagi dan hampir memutar tumit.
"Emm ... Ra?"
Gadis itu tidak jadi melangkah. Ia memilih kembali berbalik dengan sebelah alis terangkat. "Iya?"
"Kalau misalnya aku nembak kamu ..., kamu mau nggak jadi pacar aku?"
Hening menerpa, tetapi dengan cepat dipecah oleh suara sekempulan jangkrik; pertanda jika senja hampir habis. Cukup lama kedua insan itu saling melempar tatap, mencari di mata satu sama lain untuk mencari jawaban entah apa.
Fira tersenyum ringan, bibirnya agak mengerut. Ia menggeleng. "Enggak."
Arya membuka mulutnya sebentar, lalu mengatupnya lagi. Ia terlihat tidak menyangka atas jawaban gadis di depannya. Tetapi tak urung juga menanggapi dengan anggukan paham. "Kalau aku bilang aku suka kamu ..., kamu percaya?"
Masih dengan senyum yang sama, Fira lagi-lagi menggeleng.
Kernyitan dalam lantas muncul di dahi lelaki itu. "Lah, kenapa?"
"Kan kalau." Fira bertahan mematri senyum, lebih lebar. Kedipan sayunya seolah membawa sinar dari senja menyinari seluruh wajahnya yang kuning langsat.
Kedua anak manusia itu sama-sama terdiam. Saling menatap sebentar sebelum akhirnya memilih membuang muka dengan tawa pelan. Arya menghela napas panjang, mengadu tatap sejenak pada lukisan senja di atas kepalanya.
"Kalau gitu ... aku pulang, ya," pamitnya yang membuat Fira dengan cepat beralih menatapnya. Gadis itu mengangguk, mematri senyum lagi yang terkesan malu-malu. "Jumpa besok di sekolah."
Arya mengangkat tangannya, melambai pelan. Kamudian dengan cepat memakai helmet yang sedari tadi ia peluk. Lantas suara mesin motor menderu, ia menarik gas dan menghilang dengan motor hitamnya di balik tembok di ujung jalan.
Fira masih betah, bersitahan menatap jejak-jejak kepergian lelaki itu dengan senyum yang semakin lama semakin mengembang. Gadis itu menunduk, menatap bungkusan yang ia beli sesaat sebelum mereka sampai di rumah. Kemudian beralih mendongak, memaku tatap pada batas jingga dan biru. Sebuah lukisan alam menakjubkan.
Diam-diam ia berharap sesuatu yang terdengar konyol. Sesuatu yang Fira tarik menggunakan kuas dan palet imaji dengan langit sebagai kanvasnya. Harap yang telanjur ia gantungkan tinggi sebelum senja berlalu. Sebuah angan agar lelaki itu tetap bersamanya, melukis bahagia tanpa sempat berpikir tentang waktu.
***
[ to be continue ]
--[21/04/21; 14.31]--
--[29/05/21]--
[1] Puisi bersambung dari awal Bab 08 - Blank Canvas with a Love Story Painting.
...
Udah dibagi dua, tetep aja panjang:"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top