[fh · 08] - blank canvas with a love story painting

Bisakah kau lukiskan kisah kita;
kisah cinta yang selalu berpegang pada suka,
menghalau duka,
dan tak lekang dipanggang usia?

***

Akhir September, 2018.

Pelataran sekolah terbakar. Angkasa seolah ingin memayungi para insan dengan panas membara. Meskipun begitu, kepala sekolah tetap saja mengumpulkan para siswanya di lapangan. Beruntungnya, mereka diperbolehkan berteduh di bawah pohon yang tumbuh di pinggirannya.

Bukan tanpa sebab, para siswa terpilih yang karyanya dipajang di mading sekolah kemarin akan mendapatkan hadiahnya langsung di hari itu. Walaupun terkesan tidak terlalu penting, tetap saja kepala sekolah memilih mengumpulkan para siswa SMA 1 Perwira sebagai bentuk kehormatan dan contoh agar ke depannya ada yang bisa berusaha memberikan karya terbaiknya lagi.

Sepuluh murid-empat siswa dan enam siswi-dikumpulkan menghadap pada semua orang. Mereka diberi penghargaan dan juga hadiah yang telah dijanjikan. Siswa lainnya pikir, acaranya hanya sampai di sana. Sayangnya, masih ada sepatah dua patah kata yang disampaikan kepala sekolah sebagai motivasi kreativitas. Belum lagi wakil kepala kurikulum yang lebih menekankan perkataan kepala sekolah. Beberapa siswa bahkan ada yang diam-diam mengeluh karena hampir melewatkan istirahat untuk makan siang di kantin.

Fira, gadis dengan rambut berkucir tinggi juga beberapa titik peluh yang membasahi sekitaran dahi merasakan bahwa tangannya diremas pelan, lantas berubah menjadi remasan keras di tangan kiri. Gadis itu sampai meringis.

"Kamu kenapa, sih? Sakit tau," desisnya sembari memiringkan kepala sedikit ke kiri. Ibu wakil kepala kurikulum itu belum juga menyelesaikan pidatonya. Sedangkan Fira, jujur saja sudah sangat pegal berdiri cukup lama di sana. Apalagi dipandangi hampir seisi sekolah, rasanya sangat tidak nyaman.

Ia merasakan tangannya diremas lagi meskipun tidak sekuat sebelumnya. Ada desis yang tidak Fira mengerti terdengar. "Aku. Kebelet. Pipis. Ra." Dari suaranya, Fira dapat menebak jika April merapatkan gigi-giginya.

Hampir saja Fira menyemburkan tawanya. Ia bahkan tidak tahu harus mengasihani sahabatnya atau memberikan guyonan di saat seperti ini. Namun, mengingat mereka yang berdiri di sana satu jam hanya untuk mendengar pidato, rasa-rasanya Fira akan jadi teman yang sangat kurang ajar telah menertawakan temannya sendiri.

"Baiklah, sekian dari Ibu. Terima kasih atas perhatian kalian semua." Wanita berumur empatpuluh tahunan itu menoleh ke belakang; pada kesepuluh siswa terpilih. "Kalian boleh kembali ke tempatnya." Lantas, ia beralih kembali menatap ke depan. "Nah, karena sekarang sudah istirahat, murid-murid sekalian boleh langsung membubarkan diri. Jangan lupa tetap menjaga kebersihan lingkungan sekolah kita. Sekali lagi Ibu ucapkan terima kasih."

Pelantang suara digenggaman wanita itu berdenging panjang. Fira merasakan ngilu pada bagian telinga kanannya. April melenguh panjang sembari menarik lengan kiri Fira yang sedari tadi menjadi sasaran empuknya.

Gadis dengan rambut bergaya bob itu menarik Fira tak sabaran; membelah lautan manusia yang sama sibuknya hendak menuju kantin. Berkali-kali April mengeram kesal sebab tak diberi jalan. Wajar saja, adalah hal yang sulit untuk menahan buang air kecil.

Salah satu bilik toilet berdebam agak keras. Lantas setelahnya, seseorang di dalamnya sana menggerutu kesal. Fira hanya menghela napas panjang dan memilih mencuci tangan tangan di westafel.

Gadis itu mengibas-ngibaskan tangan sebelum akhirnya menatap kaca besar di sana. Dengan tubuh tersentak, ia hampir saja memekik hebat kala menatap bayangan seseorang di belakangnya. Buru-buru ia berbalik dan mendorong orang itu keluar dari toilet perempuan.

"Ini, kan, toilet cewek," gemasnya begitu mereka keluar dari sana. Sapasang muda-mudi itu berdiri agak jauh dari pintu masuk toilet.

Lelaki itu hanya mengangkat bahu acuh. Ujung-ujung bibirnya malah sedikit naik; membuat Fira menggeleng tak habis pikir.

"Kamu udah mikirin soal ajakan aku, belum?"

Semilir angin meniup anak-anak rambut Fira yang bebas. Gerah yang tadinya menyelemuti mulai terobati. Terutama saat ini mereka berdiri di bawah pohon ketapang yang menjulang sendirian dengan beberapa daun kemerahannya.

Kedua alis Fira menaut, hampir menyatu. "Ajakan apa?" Beberapa detik setelahnya, gadis itu meringis pelan. Ia baru ingat apa yang dimaksud lelaki yang lebih tinggi darinya itu.

"Mau jadi nenek-nenek, hmm?"

Hanya tiga detik, manik semisterius danau itu menghujamnya; membekukan segala yang ada pada tubuhnya selama tiga detik pula. Detik berikutnya, terasa begitu kasak-kusuk. Jantung dengan dentum tak beraturan, paru-parunya yang seperti kekurangan pasokan, kepalanya yang tidak bisa berpikir apa-apa, atau yang sialnya manik kecoklatan itu malah memaku tatap pada Arya yang memilih memandangi langit biru dengan goresan tipis-tipis awan.

...
Stop smiling at me or looking this way
I'm losing my mind
My immunity to you is none
...[1]
...

"Oohh. Inget, kok." Fira menjawab cepat, lalu membuang wajah ke arah lain. Memilih memandangi para siswa yang melewati mereka sambil berceloteh ria dengan segenggam makanan dan minuman atau pada siswi-siswi yang memasuki toilet sembari berhaha ria.

"Kamu mau?" Arya memasukkan kedua tangan ke saku celana abu-abunya; memandangi gadis di depannya dengan kedua alis terangkat.

Fira balas menatap; menghirup udara dalam-dalam untuk menetralkan degup jantungnya yang berpesta tak henti-henti. Manik kecoklatannya berubah seperti tumpahan madu saat cahaya matahari mengintip dari celah-celah daun dari pohon tempat mereka bernaung. "Kata Bunda, yang ngajak aku pergi, harus temuin dia dulu."

"Minta izin?" Dahi Arya mengerut sedikit. "Aku harus bawa orangtua aku juga, nggak?"

"Hah? Untuk?" Sejenak mulut gadis itu ternganga, lantas terkatup dengan cepat.

Lelaki jangkung itu menaikkan sudut bibir kirinya sedikit. Ada kilatan di manik matanya yang tidak Fira ketahui. "Ngelamar kamu, kan?"

"Eh, kok-"

Darah mendesir, merangkak naik di wajah Fira. Bola mata gadis itu berlarian, lalu memilih membuang muka; menyembunyikannya di mana saja asal jangan sampai Arya melihat wajahnya yang memalukan itu. Benar-benar, itu hanya godaan biasa, dan ia sebegitu malunya.

"Pipi kamu merah," celetuk Arya yang malah terdengar tidak berdosa.

Panas di atas sana mulai membakar kepalanya, wajahnya juga mengikut. Fira menonjok lengan Arya sedikit keras. Sayangnya, lelaki itu malah menderaikan tawa yang membuat Fira semakin malu. Gadis itu menoleh lagi ke arah lain dengan mata menutup erat dan hidung mengerut; meringis pelan. "Arya!"

Arya berdeham sebentar; menetralkan tawanya. Namun, selepas itu ia malah lanjut tertawa pendek. "Tapi aku serius soal lamaran itu."

"Apa, sih?!" Bukan tonjok, gadis itu menabok lengan Arya yang berbalut seragam itu hingga mengeluarkan bunyi nyaring. Lagi, hanya bersambut tawa yang mengudara; mengisi atmosfer di sekitar keduanya.

"Lah, pipi kamu makin merah."

"Arya!" pekik gadis itu hingga beberapa siswa yang melewati mereka memandangi sejenak.

...
Stop flirting around or looking into my eyes
You specialize in making my heart race
...[1]
...

Fira tidak tahu wajahnya semerah apa saat ini. Ia hanya bisa mengerang kesal dengan kedua telapak tangan menutup wajah yang memanas; bukan salahnya matahari, karena lelaki di depannya ini yang berkata seolah tidak punya dosa.

Gadis itu tak tahu, setelah menderaikan tawa panjang, Arya menatapnya sedikit lama dengan ulasan senyum sehangat mentari pagi. Sebelum akhirnya, lelaki itu berdeham dan menurunkan tangan Fira yang menutupi wajahnya yang hampir sama ronanya dengan bunga kamboja yang saban hari ia berikan.

Arya mengangguk sekali dengan garis di antara bibirnya. "Nanti aku yang langsung minta izin sama Bunda kamu buat ngajak kamu jalan-jalan." Jeda sebentar diiringi siulan angin ringan. Fira menghela napas pelan diam-diam kala akhirnya lelaki itu bisa serius.

"Sekalian minta restu juga. Biar nanti tinggal bawa orangtua aku aja." Lalu detik berikutnya, Arya berjengit pergi dengan langkah panjang. Menciptakan rentang jarak yang kian menjauh sebelum nantinya ia mendapat hujam tonjok atau tabok dari Fira.

Tadinya, gadis itu memang ingin memekik kesal lagi. Atau bisa saja tangannya yang gatal akan menghujani Arya dengan tonjokan. Namun, melihat lelaki itu yang merentangkan jarak dengan cepat, juga dengan tawa yang terus-menerus berderai, Fira hanya berakhir dengan menghela napas panjang. Pun rona di wajahnya belum juga hilang. Gadis itu mengulas senyum tipis.

Kepalanya membuat skenario aneh. Tiba-tiba otaknya seolah memotret siluet Arya yang menjauh; bernaung awan yang diarak angin, langit dengan biru mudanya, dan pijakan paving block berwarna keabu-abuan. Ia mematri lekat di benaknya. Lalu tanpa aba, ilusi tangan yang memegang kuas kecil datang. Seperti hendak menggambar sesuatu yang harusnya berada di sisi lelaki itu.

"Ra?"

Senyum di bibirnya dengan cepat meluntur. Berganti dengan gigitan kecil di sudut bibir bawahnya. Fira memutar tumit menghadap pintu masuk toilet perempuan.

"Kamu sama cowok tadi ...."

***

"Kamu belum jawab pertanyaan aku, Ra. Ish!" gerutunya sebelum memasukkan sesendok penuh nasi dengan lauk. Ia mengunyah dengan suara hentakan-hentakan gigi yang terdengar.

Kelas X IPA-2 tidak ramai, tidak pula sepi. Ada sekitar lima orang siswa yang menduduki bangku-bangku kosong; termasuk Fira dan April. Kedua gadis itu duduk berhadapan dengan April yang membalikkan kursi milik seseorang yang duduk di depan Fira. Kedua gadis itu sama-sama menikmati bekal makan siang setelah tadi April menyelesaikan hajatnya di toilet.

Fira bergumam dengan pipi menggembung; berusaha mengunyah makanan agak cepat agar gadis di depannya itu tidak terus menerus menggerutu. "Temen, kok. Kami temenan."

Gadis di depan Fira itu menatap lama dengan mata yang hampir tenggelam, juga dengan pipi menggembung yang isinya tidak lanjut dikunyah. April malah memilih mencari-cari sebuah kebohongan. Lagi pula, Fira tidak bohong, kan? Apa yang perlu disembunyikan? Di antara mereka memang tidak ada apa-apa. Walau sebenarnya yang tadi itu agak berlebihan untuk disebut sebagai percakapan teman antarteman.

"Karena jauh aja, jadinya aku enggak denger," ucap April lalu lanjut mengunyah. Ia mengaduk makanannya lalu bersiap menyendokkan kembali ke mulut. "Tapi mukanya kayak familiar, ya."

Beberapa anak masuk ke dalam kelas sembari bercakap-cakap. Fira melirik sebentar ke pintu kelas yang terbuka lebar sebelum akhirnya menenggak air dari botol minumnya. "Karya dia juga dipajang di mading. Mungkin kamu liat dia pas maju ke depan tadi."

April bergumam panjang, matanya sipitnya membelalak; masih dengan mulut penuh sembari terus mengunyah. Fira agak tersentak sebab gadis di depannya itu malah memukul meja sedikit keras.

"Aaahh! Aku juga liat dia di perpus. Terus juga kayaknya sering liat dia main badminton." April menjeda sebentar. "Keren, sih, dia." Namun, kemudian, alisnya tertaut. "Oh, iya. Kamu kenal dia di mana? Namanya tau?"

Fira menghela napas panjang; menatap pada bekal makan siang yang dibuatkan bundanya yang hampir habis. "Di perpus. Awal September. Dia bilang namanya Arya."

April hampir menyendokkan kembali makannya, tetapi memilih mengurungkan niat dengan mulut yang masih siaga. "Wow, lumayan lama dan kamu baru cerita sekarang?" Ia menyedokkan makanannya dengan kesal. "Jangan anggap aku temen," ketusnya.

"Bukan gitu, April." Fira menghela napas lelah. Kepalanya tiba-tiba berdenyut. Dari nada bicara itu, ia tahu jika April hanya bercanda. Namun, tetap saja ia harus meluruskan. "Aku pikir, itu enggak terlalu penting buat diceritakan."

Gadis dengan rambut bergaya bob itu mengangguk beberapa kali; pertanda paham. "Ya, ya, ya, kayaknya dia emang mau deketin kamu, deh. Aku tim menunggu jadian."

"Heh!" sentak Fira tak terima.

Sendok yang ia genggam ia hunuskan di kotak bekal makannya. Sudah dua orang yang berkata seolah tak punya dosa. Gadis itu pada akhirnya hanya bisa menghela napas panjang. April yang duduk di seberangnya tertawa kecil dengan pipi menggembung.

"April ...."

Panggilan itu mengintrupsi kedua gadis yang masing-masing sudah kembali fokus pada kotak bekal yang isinya hampir habis. April dan Fira sama-sama menatap pada benda berbungkus putih lalu beralih pada seseorang yang meletakkannya di atas meja-tepat di depan April.

Lelaki familiar dengan rambut tertata rapi, pun hal yang sama berlaku pada seragamnya. Ia tersenyum sebentar pada April agak lama, lalu pada Fira; kemudian berlalu dengan langkah lebar. Ia duduk tak jauh dari meja Fira. Sekitar berjarak dua meja.

"Itu bakpao isi ayam, kan?" Fira bertanya dengan suara berbisik; menatap bungkusan putih di atas meja dan gadis di depannya bergantian.

April menenggak minumannya lalu beralih membuka bungkusan itu. Benar, itu bakpao isi ayam yang beberapa terakhir menjadi incarannya, tetapi tak pernah dapat. Sedikit asap mengepul begitu April tetap membiarkannya terbuka. Gadis itu hanya menghela napas sebelum akhirnya kembali menyantap bekalnya.

"Kamu nggak mau?"

Pertanyaan itu membuat April mendongak. Fira menaikkan sebelah alisnya. Gadis bergaya rambut bob itu menggeleng samar.

"Yakin?" Fira memastikan. April tak menjawab; hanya memberikan tatapan yang entah apa artinya.

Baru saja tangan Fira terulur hendak mengambil bakpaonya, April cepat-cepat menepis. Lantas, membungkus kembali bakpao tersebut. "Jangan. Aku mau," cicitnya yang membuat Fira hampir menyemburkan tawa.

Fira berdeham pendek. "Sejak kapan dia suka sama kamu?"

Gadis di depannya menghela napaa panjang lalu mengangkat bahu. "Entah. Beberapa waktu terakhir dia emang suka merhatiin. Enggak tau maksudnya apa."

"Dia suka kamu, tuh," celetuk Fira dengan senyum jahil.

April mengerucutkan bibirnya. "Tapi aku enggak."

"Kenapa? Dia keliatan cowok yang baik. Enggak pernah aneh-aneh, kan, di kelas. Ganteng juga."

"Tapi aku enggak mau sama dia." April bersikukuh.

Fira menautkan kedua alisnya. "Terus kamu maunya sama siapa?" Nadanya terdengar jengah sekaligus gemas.

"Chris Evans." April mengulas senyum merekah. "Eh, enggak Hero Tiffin aja yang agak mudaan," ralatnya cepat. "Atau ... Chris Hemsworth juga enggak pa-pa."

Gadis itu menaik-turunkan alisnya dengan senyum yang masih bersitahan mematri. Fira mendengkus sebal; merotasikan bola mata. Lantas memilih mengemas barang-barang bekas makan siangnya. Sebab setelah itu, bel pertanda kelas kembali dimulai berdering nyaring.

***

Cuaca benar-benar sulit diprediksi. Tadi siang, udaranya cukup membakar. Namun sekarang, awan bergulung-gulung, berlomba-lomba menutupi nabastala kebiruan dan matahari yang cahayanya masih berusaha mengintip dari sela mega. Walaupun belum begitu gelap, alam seolah menjanjikan hujan deras nanti malam, atau mungkin saja sehabis ini.

"Aku duluan, ya!"

Kedua gadis itu saling melambaikan tangan; melempar senyum sekilas lalu berjalan berlawanan arah begitu sampai di depan gerbang sekolah. Posisi rumah yang tidak searah membuat Fira dan April tak dapat pulang bersama. Paling-paling hanya berjalan berdampingan dari kelas hingga pintu gerbang.

Seperti hari-hari sebelumnya, gadis dengan rambut berkucir tinggi itu akan menunggu bus di bawah naungan halte. Angin membekukan sore hari itu sesekali bertiup ke arahnya, membuat Fira menggigil sebentar. Ia melanjutkan langkah menuju segerombolan siswa yang mungkin juga menunggu hal yang sama.

Deru berbagai mesin kendaraan memenuhi telinga. Satu-persatu siswa mulai meninggalkan halte. Namun, ada satu hal yang aneh kala sebuah motor parkir di depan sana. Lelaki yang Fira tebak mungkin juga siswa SMA 1 Perwira-duduk berdiam di atas motornya agak lama tanpa mengangkut siapa pun untuk dibawa pergi. Kepala yang masih mengenakan helmet hitam itu tampak menghadap padanya. Akan tetapi, Fira tak mau percaya diri lebih dulu. Mungkin saja ia melihat ke arah lain.

Angin sedikit mengamuk, ditambah lagi para pengguna jalan melajukan kendaraannya buru-buru; takut jika hujan turun sewaktu-waktu. Bersamaan dengan itu, lelaki tadi turun dari motor yang seluruh bagiannya berwarna hitam. Dengan sekali sentak, helmet di kepalanya ikut lepas. Ia memeluknya lantas berjalan mendekati Fira. Gadis itu tercenung sebentar.

"Aku dari tadi nungguin kamu di situ." Fira bahkan tidak mengerti Arya sekadar memberitahu atau sedang mengajukan protes. Nada suaranya sangat datar.

"Mana aku tau kalau kamu nungguin." Gadis itu mengalihkan perhatiannya sejenak ke jalanan; bahunya terangkat agak acuh. "Lagi pula aku juga enggak tau kalau itu kamu."

Bahu lelaki dengan jaket parasut hitam itu agak turun, lantas napasnya dihela terlalu keras. "Ya udah, kalau gitu kita pulang bareng."

Mata gadis itu membola. "Eh, nggak usah. Aku bisa pulang sendiri, kok. Entar lagi busnya juga dateng." Ia menggeleng cepat di akhir ucapan; mau tak mau bernapas agak berantakan sebab Fira merasakan panik yang menerpa bersamaan dengan dedaunan yang saling bergemerisik.

"Aku mau ketemu sama bunda kamu, biar minta izin."

Dan tepat setelah kata itu meluncur, jantung Fira juga ikut-ikutan hendak meluruh. Kakinya seperti mati rasa seolah hendak diterbangkan saja bersama tiupan angin.

"Ra ...?"

Gadis itu agak tersentak. Ia menghela napas agak buru-buru sebelum akhirnya memberanikan diri untuk mengadu pandang pada manik gelap nan misterius itu. Fira mengangguk agak kaku. "O-Oke."

***

Seperti yang sudah ia perkirakan sebelumnya, suasana akan sangat-sangat canggung. Cukup lama mereka bertiga duduk lesehan beralaskan karpet hijau dengan motif sedikit rumit di sebuah rumah dengan gaya minimalis berwarna dominan kuning gading. Tak banyak hiasan di dinding-dindingnya, hanya ada beberapa bingkai foto Fira dan bundanya, juga beberapa sertifikat penghargaan berbingkai kayu.

Di depan ketiganya, sudah ada tiga gelas teh hangat juga sepiring camilan yang Fira bawa dari belakang begitu mereka sampai. Namun, beberapa saat lamanya juga tak kunjung ada yang memulai percakapan. Udara yang mendingin di luar sana seolah melesak masuk ke dalam rumah sederhana itu.

Fira juga sedari tadi hanya membuka dan mengatupkan mulutnya saja; bingung hendak memulai kata dari mana. Sedangkan di luar sana, angin mulai bertiup menerpa pepohonan; menjatuhkan dedaunan untuk menemui rerumputan.

Setelah bertemu saat toko hendak tutup, ketiga manusia itu memilih langsung ke rumah Fira dan bundanya. Wanita paruh baya itu memang agak terkejut pada awalnya, tetapi menetralkan dengan cepat lantas memilih membawa putri serta-merta teman anaknya ke tempat tinggal yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki sebab jaraknya yang tak sampai setengah mil.

Kedua remaja sekarang lebih terlihat seperti anak yang baru saja ketahuan mencuri. Arya dan Fira serempak menunduk. Motif di karpet sepertinya lebih menarik dibanding keheningan yang bertambah dingin.

"Bunda enggak tau kalau kamu punya temen cowok, Ra."

Keheningan pecah sebentar, tetapi masih terasa sama dinginnya dengan angin yang menderu di luar sana. Dari sudut matanya, Fira dapat melihat Nita mengangkat gelas tehnya untuk disesap sebentar. Sejujurnya, Fira bingung hendak menyahut apa. Gadis itu malah berakhir dengan memberikan tawa lirih yang bahkan tak sampai ke telinga bundanya.

"Nama kamu siapa, Nak?" Nita menoleh pada satu-satunya lelaki yang duduk di sana. Memberikan tatapan intimidasi yang membuat Fira meringis sangat pelan. Ia jadi agak menyesal telah menerima tawaran Arya jika akan berakhir begini.

Arya menegakkan tubuhnya, kepala yang tadinya agak menunduk karena memilih untuk menatap segelas teh yang belum ia sentuh untuk terangkat menyentuh bibirnya. Lelaki itu berdeham sejenak. "Nama saya Arya, Bu." Lelaki itu bergumam singkat; seolah hendak memilah kata yang tepat untuk diucapkan. "Kalau boleh, saya minta izin untuk ngebawa Fira jalan-jalan."

"Kata Fira, sebelum ngajak anaknya pergi, saya harus minta izin dulu sama bundanya," lanjut lelaki yang mungkin usianya hanya terpaut beberapa bulan lebih tua dari Fira. Ia tampak menghela napas pendek untuk mengusir kegugupannya.

Gadis berkucir tinggi itu merasakan dentuman dalam dadanya yang tidak terkira. Fira bahkan susah payah menelan salivanya yang sudah berada di ujung kerongkongan. Suasana di sekitarnya begitu menegangkan. Bundanya tak pernah terlihat sedingin itu. Ia hanya bisa merapalkan doa di dalam hati; berharap perbincangan mereka berakhir dengan baik.

Nita mengangguk beberapa kali. Hening seperti pasang surut, dingin tak kunjung menepi. Wanita empatpuluh tahunan yang belum sempat mengganti kemeja kerjanya itu mengulurkan tangan ke arah kudapan yang telah disediakan putrinya. Mengulas senyum tipis setelahnya. "Minum dulu tehnya, Nak Arya. Di luar dingin."

Arya mengangguk canggung, mengulas senyum setengah yang sangat memperlihatkan kegugupannya. Fira tahu, daripada dirinya, mungkin lelaki itu lebih tertekan. Dia mungkin tak pernah memperkirakan bahwa untuk meminta izin bepergian dengan ibu dari seorang gadis akan semenakutkan ini.

"Iya, Bu. Terima kasih." Lantas setelahnya, lelaki yang masih mengenakan celana abu-abu itu menyentuh tangkai cangkir.

"Memangnya kamu mau ngajak anak saya ke mana?"

"Ke Taman Srigunting, Bu. Saya pikir itu tempat yang bagus buat cari udara segar. Akan ada pameran juga di sana." Arya yang tadinya hendak menaikkan gelas yang sudah ia genggam itu malah mengurungkan niat. Ia berpandangan penuh pada sang nyonya rumah.

Wanita empatpuluh tahunan itu mengerutkan bibirnya. "Cuma itu?"

"Mungkin sedikit makan?" Lelaki itu agak mencicit, sedikit ragu.

"Cuma kalian berdua?"

Arya terdiam, memilih melirik Fira sebentar. "I-iya. Kalau saya ajak teman-teman saya, Fira mungkin enggak nyaman."

"Coba kamu tanyak sama Fira. Dia mau enggak, kamu ajak pergi." Nita lagi-lagi mengulas senyum tipis. Dagunya diangkat sedikit; menunjuk Fira yang berada di seberangnya tengah memainkan jemari dengan gugup.

Gadis yang masih berseragam lengkap itu mendongak, membalas tatapan bundanya yang mulai menghangat. Fira bernapas lega karena bundanya yang tak lagi terlihat menyeramkan. Ia tersenyum gugup sebentar, melirik Arya yang juga menatapnya, lalu kembali lagi melihat sang bunda. "Ya ... kalau Bunda enggak bolehin, Fira enggak bakal pergi, kok."

"Bunda mau jawaban kamu, bukan Bunda."

Fira menghela napas agak panjang. Kepalanya menoleh sebentar pada Arya yang juga menunggu jawabannya. Gadis itu beralih pada Nita; mematri senyum yang tak sampai pada matanya. "Iya, Bunda."

"Ya sudah, kalau gitu kalian boleh pergi." Wanita itu tersenyum hangat pada kedua remaja di depannya. Benar-benar senyum yang mencairkan suasana yang sedari tadi tak henti membeku. Lantas, ia beralih kembali menyesap tehnya.

Gadis berkucir tinggi itu tercenung; menatap gerak-gerik bundanya dengan ekspresi tidak percaya. "Bunda ...?"

"Bunda serius." Nita menurunkan cangkirnya. Tersenyum sebentar pada putrinya lalu beralih pada satu-satunya lelaki di sana. "Nak Arya jagain Fira, ya. Dia anak Ibu satu-satunya."

Arya mematri senyum merekah; matanya sampai hilang, ada juga lengkung yang tercetak di pipi kirinya. "Makasih, Bu. Makasih banyak."

"Tapi, jangan bawa Fira ke tempat yang cuma ada kalian berdua aja, ya. Kita enggak tau siapa aja yang nanti menghampiri." Wanita itu menjeda sebentar, menatap dua remaja di depannya bergantian. "Juga, Bunda mau kalian pulang sebelum malam."

Fira mengangguk mantap, ada senyum malu di sana. "Oke, Bunda."

Kedua manusia yang sama-sama masih mengenakan seragam putih abu-abu itu saling melempar pandang. Mereka juga sama-sama mematri senyum yang bersitahan untuk beberapa lama. Rasanya, ada sedikit beban yang terangkat.

Suasana yang hening tak lagi terasa begitu dingin. Fira yang memutus kontak mata lebih dulu. Ia memilih menyesap tehnya yang mungkin ikut mendingin. Pun, Arya melakukan hal yang sama, tenggorokannya mungkin agak tercekat karena suasana yang agak mencekam tadi.

"Jadi ... kalian ini pacaran? Kalian izin mau kencan, kan?" Nita menyeletuk, raut wajahnya hampir sama polos dengan anak usia lima tahun.

Mata Fira membola. Napasnya tercekat. "Eh, eng-enggak, Bunda!"

"Uhuk!" Sedangkan Arya yang baru saja menyesap tehnya tersedak. Teh yang seharusnya sudah menyeloroh masuk kerongkongan malah kembali naik.

Kedua remaja itu mati kutu.

***
[ to be continue ]

-[13/04/21; 11.55]-
-[22/05/21]-

[1] Terjemahan Inggris untuk penggalan lirik milik Off Jumpol, Gun Atthaphan - ไม่รัก ไม่ลง (Too Cute To Handle).

...

Karena terlalu panjang, jadinya bab ini kubagi dua:"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top