[fh · 05] - do you have any clue who's missing you so badly?
Tidakkah semuanya terasa begitu menyakitkan;
saat rindu tak kunjung tersampaikan?
Risau mendekap dengan selimut tebal;
padahal di luar sana, badai kemarau mengamuk besar.
Tidakkah kau mau mengurangi beban gelisah,
yang kian merajalela di lubuk dada?
***
Pertengahan September, 2018.
"Oh, mati!" umpatnya agak keras sembari menepuk dahi.
Di tengah lapangan dengan terik mentari yang merajalela, Fira ditarik-tarik lalu dihentikan mendadak saat teman berwajah orientalnya mungkin mengingat sesuatu. Gadis berkucir tinggi itu menghela napas. "Kenapa lagi?"
April menoleh dengan wajah berkerut khawatir yang tampak kentara. "Gawat, aku belum balikin buku Kimia ke perpustakaan. Tenggatnya hari ini."
"Nggak bisa nanti pulang sekolah?"
April, si gadis yang matanya sudah sipit itu, makin sipit saja. Rambut pendek bergaya bob-nya beterbangan terkena angin yang berembus gerah. Memandang Fira dengan pandangan cemas yang cukup kentara. "Nggak bisa. Cuma buka sampai jam istirahat habis."
Fira menghela napas, menaikkan sebelah alisnya. "Ya udah, sana."
Entah harus bersyukur atau tidak, Fira juga tidak tahu. Bel istirahat baru berbunyi kian menit lalu, April menarik tangannya untuk menemani membeli bakpao isi ayam di salah satu stand kantin yang katanya unlimited. Untungnya, April ingat untuk mengembalikan buku. Fira tak harus menahan pengap berada di kantin.
Akan tetapi, sekarang temannya itu akan meninggalkannya. Seperti April memang suka begitu. Saat pulang sekolah beberapa hari lalu ia juga tak kelihatan batang hidungnya. Andai saja saat hujan itu April bersamanya, mungkin Fira takkan sendirian di halte. Atau harus menahan pengap akibat tawa orang asing yang seolah ingin melesak masuk dalam kehidupannya.
Ah, ngomong-ngomong soal Arya. Lelaki itu tak lagi dilihatnya beberapa hari terakhir. Tepatnya setelah hujan di halte itu. Tidak tahu apakah Fira yang tak melihatnya atau memang Arya yang sengaja tak memunculkan diri.
"Mau nemenin, nggak?"
April membuyarkan Fira. Cepat-cepat ia menoleh dengan pandangan bingung sekaligus menimbang.
Ke perpustakaan? Itu artinya ia akan bertemu Arya? Mungkin sebaiknya tidak saja. Fira tidak siap. Lebih tepatnya, akan selalu tidak siap menubrukkan manik mata dengan milik Arya yang semisterius danau.
"Oh, nggak usah, ya." April berucap cepat. "Aku sendiri aja. Tungguin aku. Di sini atau di kelas juga nggak pa-pa." Gadis berwajah oriental itu memutar tumit menuju kelas, tetapi tak lama wajahnya menoleh lagi pada Fira. "Inget, nanti kita beli bakpaonya. Pokoknya harus beli."
Kemudian, punggung April menjauh pergi. Sesekali Fira dapat melihat jika temannya itu menghentakkan sepatunya ke tanah dengan kesal. Wajar, April sudah membicarakan tentang bakpao itu sejak pagi. Bayangkan harus menahan untuk makan makanan lembut itu lebih lama lagi.
Diam-diam, gadis itu bernapas lega. April tak lagi menariknya. Setidaknya ke perpustakaan itu. Ia tak siap, atau mungkin takkan pernah siap.
Fira memutar tumit, hendak berjalan menuju taman. Semoga saja tidak sangat-sangat ramai mengingat sekarang adalah jam istirahat. Namun, ke mana lagi gadis itu akan pergi? Kelasnya pasti akan begitu sumpek, di tempatnya berdiri sekarang hawanya membakar. Jangan tanyakan kantin, Fira benci berdesakan. Apalagi hanya untuk duduk sendirian di sana seperti orang bodoh.
Akan tetapi, langkahnya terhenti mendadak. Fira hampir terhuyung ke belakang saking kagetnya. Seseorang yang lebih tinggi darinya tiba-tiba berada di sana, seperti hantu. Sayangnya, mungkin hantu tak ada yang serapi itu, apalagi senyumnya.
Ah! Fira merutuki yang terakhir itu.
Gadis itu menghela napas pelan, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tiba-tiba berdentum hebat. Entah apa artinya, pun Fira tak tahu. Lantas, ia melayangkan tatapan jengah. "Untung aku nggak punya penyakit jantung. Kamu dateng kayak hantu."
Tawanya berderai. Fira bisa melihat jika Arya sampai menyipitkan mata. "Mana ada hantu seganteng gini. Semua hantu di Indonesia itu jelek, pakaiannya lusuh."
Sejujurnya, Fira tak dapat menampik jika ucapan itu benar adanya. Akan tetapi, apakah saat ini waktu yang tepat untuk memamerkan kepercayaan diri?
Gadis dengan rambut dikucir tinggi itu tersenyum tipis, hampir tak terlihat. Lantas berjalan melewati Arya yang senyumnya perlahan memudar bekas sisa tawa. Seperti keputusan awalnya, ia akan pergi ke taman. Jika tak ada bangku yang tersisa, duduk di bawah pohon pun tak apa. Rasanya, kemarau mengamuk hari ini, hendak membakar seluruh pelataran sekolah.
Lihatlah, mengapa lelaki itu datang di saat yang tak terduga? Sudah berapa kali Fira mengatakan di dalam hati kalau ia tak siap, tak siap, entah kapan siap untuk bertemu Arya? Namun ... argh! Skenario apa sebenarnya yang disisipkan semesta di antara mereka berdua?
Dari sudut matanya, ia bisa melihat bahwa Arya mengikutinya. Seperti pacar? Ah, tidak! Jangan berpikir absurd, hei!
Sebenarnya, Fira sedikit penasaran mengapa Arya hari ini menyembunyikan tangannya di balik punggung tegap itu. Biasanya, tangan lelaki itu selalu berada di dalam kantong celana abu-abunya. Apakah ada yang ia sembunyikan?
Sayangnya, gadis itu malah mengharapkan kalau-kalau Arya membawakannya sesuatu. Coklat, es krim, atau air mineral juga boleh. Eh, apa, sih?
Fira mengerutkan bibir sekaligus mengerjab lama. Siapa dia berharap dibawakan hadiah? Haduh.
Langkah-langkah itu tepat berdiri di tempat yang lebih berwarna. Lebih dominan hijau sebab, hampir seluruh lokasi ditumbuhi rumput jenis gajah, pohon ketapang, pohon mangga, juga pohon cemara laut. Tempat paling menakjubkan di SMA 1 Perwira. Itu bagi Fira.
"Oohh, jadi kamu emang rencanain bawa aku ke sini, ngomong berdua biar romantis gitu?" celetuk suara bariton di sebelahnya.
Fira yang baru saja menapaki langkah di bawah pohon cemara lantas menoleh heran. "Kapan aku bilang gitu?" Kedua insan itu lantas saling memutar tumit ke sisi lawannya. Mereka saling berhadapan.
Arya balas menatap heran. Alis tebalnya bertaut. "Enggak, ya? Terus kita ngapain ke sini?"
Gadis itu menghela napas. Tiba-tiba ia pening. Bukan karena April yang seharusnya menarik Fira saja ke perpustakaan, bukan juga sebab Fira tak memilih langsung saja membelah keramaian di kantin untuk langsung membelikan April bakpao, pun bukan pula karena Fira belum memakan bekalnya. Lelaki ini ... seolah bertingkah untuk dipuja, ditakuti, juga untuk dihindari kehadirannya sekaligus saat sekali tatap.
"Aku memang mau ke sini. Seharusnya aku yang nanya, kenapa kamu ngikutin?" Fira menaikkan dagunya sedikit.
Arya tersenyum gugup diiringi dengan kekehan lirih yang terdengar canggung. Manik gelapnya itu berlarian kesana-kemari. Seolah memang memandang langsung pada Fira adalah tanda bahaya. "Aku mau tau nama kamu."
Sungguh tak menyerah lelaki ini ternyata. Dari kemarin tidak habis-habis ingin tahu nama Fira. Gadis itu hanya mengulas senyum tipis sebelum akhirnya helai daun cemara laut di atas mereka berjatuhan. Seperti gumpalan rambut, tetapi lebih tebal.
"Aku masih orang asing, ya?" Bibirnya melengkung sedikit ke bawah. Fira hampir tergelak. Namun ia menahannya dan berakhir mengulas senyum.
Arya mengangguk beberapa kali. "Baiklah. Izinkan orang asing ini mendekatimu agar tak jadi orang asing lagi." Ia tersenyum, tulus. Tak tampak sama sekali gurat geli atau jenaka di wajahnya. "Mohon terima hadiah dari orang asing ini, Nona yang selalu tersenyum."
Dua bunga berwarna dominan merah jambu tersodor di antara keduanya. Bunga kamboja. Kemungkinan diambil dari pohonnya langsung yang berada di antara perpustakaan dan kelas X IPS-1. Hanya di sana satu-satu pohon kamboja di sekolah.
Fira penasaran, mengapa tanaman yang katanya angker itu ditanam di sana. Penasaran juga apakah Arya berasal kelas X IPS-1. Yang lebih penasaran, mengapa Arya malah menghadiahinya bunga kamboja di saat lelaki lain lebih memilih mawar.
Gadis dengan rambut berkucir tinggi itu bingung, tetapi tak urung juga mengulas senyum. Matanya menatap Arya, lalu beralih pada bunganya, begitu beberapa kali. "Kamboja? Apa aku keliatan kayak kuntilanak?"
Derai tawa mengisi ruang di antara mereka. Suasana di taman itu yang tak bisa dikatakan sepi membuat beberapa pasang mata menatap kebingungan. Akan tetapi, Fira masih tak paham apa maksudnya.
Arya membuat Fira menerima dua bunga yang hampir melayu. Gadis itu memandaginya lamat-lamat, sedangkan Arya mengulas senyum sedikit lebar.
"Iya, kamu mirip kuntilanak kalau rambutnya digerai acak-acakan, pake baju putih lusuh, terus melayang-layang," kelakarnya lalu tertawa lagi. Fira hanya memandangi saja sampai Arya selesai dengan tawanya.
"Kamu nggak pernah baca filosofi bunga kamboja, ya?" Arya tersenyum saat maniknya dengan Fira saling bertubrukan. "Atau mungkin kamu taunya cuma, pohon kamboja itu dihuni makhluk halus, contohnya kuntilanak?"
Fira menggeleng sembari mengulum senyum. Itu yang biasa ia dengar dari orang-orang sekitarnya. Gadis itu hanya menyampaikan opini mereka. Lagipula, sedikit aneh juga Fira kurang kerjaan mencari hal itu di internet.
Lelaki jangkung itu mengangguk, tetapi senyumnya malah menunjukkan kegelian. Mungkin tak habis pikir mengenai Fira. "Dalam budaya orang Cina, kamboja itu maknanya cinta. Biasanya mereka memberikan bunga ini untuk mengungkapkan ...."
Keduanya menatap lama, saling menyelami manik milik lawannya.
"... perasaan."
Jantung Fira mungkin berhenti berdetak selama dua detik, lalu memompa darah lebih cepat. Membuatnya agak pening dan sesak napas. Fira kehilangan asupan oksigen yang seharusnya bisa membuat ia berpikir lebih cepat. Membuang muka dari wajah yang sudah mematri senyum yang sialnya malah membuat Fira semakin terpaku.
Tolong ingatkan Fira, apakah masih terlalu cepat untuk jatuh cinta?
Arya melangkah mundur, masih dengan senyum yang tampaknya tak urung meluntur. Tak seberapa jauh, tumitnya lantas memutar, lalu meninggalkan Fira yang masih terpaku dengan tangan menengadah berisi dua bunga Kamboja merah jambu. Kelopaknya tertiup semilir angin, membawa kembali kesadaran Fira.
Tunggu, tadi lelaki itu bilang apa?
Mengungkapkan perasaan?
Anak-anak rambut Fira yang bebas terbang tertiup angin yang entah sejak kapan malah berubah sedikit sejuk. Mengembuskan aroma musim semi yang penuh warna ke dalam dadanya. Gadis itu menunduk, mengadu pandang pada kelopak merah jambu di tangannya. Kedua sudut bibirnya perlahan naik malu-malu.
Fira ingin menggantung harapnya tinggi-tinggi. Setinggi cemara tempat ia bernaung, atau lebih tinggi juga tak apa. Akan tetapi, ia masih takut. Kalau-kalau harapnya terhempas lalu melesak ke dalam tanah, terkubur, dan tak bisa keluar lagi, bagaimana?
Atau kalau-kalau harapnya memang sudah naik, bagaimana jika ternyata Arya hanya sekedar mengatakan filosofi aneh kepadanya?
***
Awal Oktober, 2021.
Matanya tiba-tiba membuka. Gadis itu terjaga dengan titik-titik keringat yang membasahi dahi. Padahal, telinganya sendiri mendengar dengan jelas jika angin di luar sana tengah mencoba mengguncang pepohonan hingga membuat dedaunan bergemerisik berisik.
Dari balik tirai putih itu, nabastala tampak gelap. Mungkin masih tengah malam. Sayangnya, Fira tak dapat lagi menutup mata akibat mimpi yang berasal dari masa lalu.
Sebenarnya itu bisa disebut mimpi. Sebab, semua itu adalah kejadian nyata di masa dulu. Fira menggigit bibir dalamnya, menatap ranjang di atasnya dengan pikiran mengawang. Mengapa mencoba melepaskan harus selalu diiringi dengan langkah dari masa lalu?
...
Aku terjaga sepanjang malam
Benakku menerawang,
ketika kau berada di dekatku
Apa kau tahu,
siapa yang begitu sangat merindukanmu?
...[1]
...
Ia beringsut, mendudukkan diri di ranjang dengan selimut krem yang masih menutup tubuh. Kakinya ia tekuk, bersamaan dengan itu, tangannya memeluk lutut.
Fira tidak tahu mengapa tiba-tiba rasa rindu menyakitkan itu menjangkitinya kembali. Seolah, rasa itu berubah menjadi selimut tebal dan memeluk Fira erat-erat-tak membiarkan gadis itu untuk melepas dengan mudah begitu saja.
Helaan napas panjang menguar. Tiba-tiba saja malam terasa begitu sepi. Padahal, jelas-jelas tadi Fira mendengar angin tiba-tiba mengamuk mengguncang pepohonan. Juga, sepertinya April sudah pulas. Ada dengkuran halus yang ia dengar dari ranjang atas.
Fira memeluk dirinya sendiri. Ternyata kamu pergi, nggak sekedar pergi. Kamu ninggalin semua ingatan itu untuk aku tanggung sendiri.
Mengapa ingatan-ingatan itu tak henti menggangunya? Fira seolah punya dosa masa lalu sehingga memori yang seharusnya hanya hantu di sudut pikiran, malah memutari seisi kepalanya. Membayangi lalu membungkusnya dengan selimut yang amat membekukan.
...
Tiap kali aku menutup mata,
tiap kali kuhendak terlelap,
pikiranku selalu berkelana tentangmu
Aku tak bisa beristirahat,
sebab aku terasa seperti hilang dalam pikiranmu.
...[1]
...
Gadis itu bersandar pada dinding di belakangnya. Mencoba menutup mata perlahan-berharap bisa kembali terlelap. Sayangnya, hal itu sama sekali tak berguna.
Tiap kedipnya terasa sepertinya membawa kepingan puzzle wajah lelaki itu. Wajah yang tak urung pergi dari kepalanya sebab janji sepuluh ribu jam. Terkadang Fira berpikir, apakah pernah sekali saja Arya merindukannya? Atau setidaknya mengingat jikalau dulu mereka pernah sama-sama tersenyum dengan alasan tak masuk konyol?
Lantas, jikalau rindu suatu hari membludak, tak dapat tertampung, pada siapa harus disampaikan? Siapa yang harus dipersalahkan?
...
Kuberharap kau ada di sini,
bersisian denganku walau itu terasa tak mungkin
...[1]
...
Andai saja. Andai berharap semudah angin menjatuhkan dedaunan kering di atas rerumputan, andai berasa semudah membalik telapak tangan, maka akan Fira lakukan.
Ah, tidak! Bukan berharap yang sulit, menunggunya terkabul.
Entah kapan. Mungkin dua detik kemudian, besok, seminggu, sepuluh ribu jam, atau bahkan tak mungkin.
Sayangnya, Fira tak berhenti sampai di situ. Meskipun kepalanya bilang jangan lagi berharap, hatinya diam-diam berbisik pada bintang, menggantung harap di ujung bulan sabit, lagi-lagi bersemoga agar pintanya lekas terkabul.
***
Tumpukan buku di atas meja belajar tersinari oleh cahaya yang berasal dari jendela. Tirai putih itu bergelombang terkena angin ringan, sesekali menyentuh lembut tumpukan itu. Sebelum akhirnya, sepasang tangan berkulit kuning langsat hendak mengangkatnya.
Akan tetapi, pemilik tangan itu mengurungkan niat. Manik kecoklatan milik Fira berlarian seolah memikirkan sesuatu. Ia lantas melirik benda persegi panjang yang masih terhubung dengan kabel berwarna putih.
Haruskah?
Rautnya tampak menimbang-nimbang. Masih cukup pagi dan Fira sudah dirundung kebimbangan. Dengan setelah celana capri panjang berwarna coklat dan atasan kemeja mocca, gadis itu tampak rapi. Rambutnya juga diikat lebih tinggi yang memberikan kesan agak formal.
Setelah berpikir cukup lama, tangannya kemudian menggapai ponsel pintar itu. Menekan tombol power di sisi kanan sebab kemarin malam ia belum sempat menghidupkan.
Fira mencari sebuah kontak di layar gawainya. Berpikir lagi cukup lama sebelum akhirnya menghela napas panjang dan menekan tombol 'panggil'. Ia mendekatkan ponsel itu ke telinga dengan dada yang bergemuruh. Gadis itu menggigit bibir bawahnya cemas. Meskipun seolah tahu jika jawaban yang ia dapat sama seperti kemarin-kemarin.
"Nomor yang Anda tuju tidak dapat dihubungi. Mohon periksa kemb-"
Fira menarik ponsel dari telinganya dan mematikan sambungan begitu suara operator yang selalu didengarnya itu berbicara. Ia menghela napas lelah. Lantas terduduk begitu saja di kursi meja belajar dengan jemari mengurut pelan pangkal hidungnya.
Bodohnya. Fira tahu apa yang akan ia dapatkan dan tololnya lagi, ia malah terus mencoba hal yang sama. Seolah tahu di depannya ada lubang, ia melewati begitu saja. Tidak peduli jika masuk ke dalam sana. Barulah setelahnya, ia menyesal telah melakukan hal tersebut. Yang paling tidak masuk akal adalah, gadis itu mencoba kembali esok harinya. Seperti tidak belajar dari kemarin.
"Ekhm."
Dehaman itu membuat Fira kalang kabut. Buru-buru ia bangkit kembali hendak mengangkat buku-buku di atas meja untuk dibawa ke kampus. Akan tetapi, sebelum hal itu terjadi, seseorang lebih dulu menahan agar tumpukan buku itu tak dibawa.
"Mau ke mana?" Nadanya terdengar mengintimidasi, seperti seorang ibu yang bertanya pada anaknya.
Fira menggigit bibir bawahnya. "Ke ... kampus." Sudah terbata, terdengar tak yakin pula. Gadis itu tidak tahu apa yang akan dipikirkan April terhadapnya.
"Jam tujuh?" April yang masih mengenakan piyama tidur, rambut sedikit berantakan, pun wajah tak kalah sama, menatap gadis di depannya itu dengan pandangan tak percaya. "Kamu pikir aku nggak tau jadwal kamu hari ini? Jam pertama itu nanti jam sembilan."
"Dosennya majuin jadwal." Sekarang, Fira malah terdengar mencicit. Seolah, ia tak mau lebih lama bersama dengan April, setidaknya untuk saat ini.
Fira hanya takut ditanyai. Terutama soal panggilan yang baru saja ia lakukan.
"Kamu bahkan baru hidupin HP."
Gadis berkemeja mocca itu mulai tahu ke mana arah pembicaraan mereka. Dari sudut matanya, Fira bisa melihat jika April bersedekap.
"Kamu mau ketemu sama Arya?"
Tuhan, itu yang Fira harapkan.
"Andai semudah itu," lirih Fira dengan kepala tertunduk. Pandangannya kosong.
Maniknya jatuh pada tumpukan buku yang masih ia usahakan untuk diangkat. Lantas dibawa dari sana. Entah ke mana. Mungkin pergi ke tempat di mana tak seorang pun bisa melihat ia menumpahkan tangis entah untuk yang keberapa kalinya.
April menyuarakan helaan napas pelan. Sementara matanya menatap khawatir pada Fira, tangan gadis itu menarik temannya menuju ke tepi ranjang. Fira mengikut saja. Lantas keduanya duduk saling berhadapan.
"Aku bukannya nggak suka kalau kamu sama Arya," ucapnya pelan sembari terus menatap Fira yang tertunduk. Sepertinya pijakan di bawah kaki mereka kian menarik. "Tapi kalau kamu nangis terus karena dia nggak bisa dihubungin gitu, sama aja dengan kamu nyiksa diri sendiri. Belum tentu juga kan dia ngelakuin hal yang sama."
"Dia pasti juga rindu, kok." Fira bersuara lagi, tetapi lebih terdengar seperti lirihan tak yakin. Rasa-rasanya, mata memanas, dadanya bergemuruh saat mengatakan hal itu. Bahkan, Fira saja tak yakin dengan ucapan sendiri.
"Tau dari mana?" April terdengar menantang. "Sejak terakhir kali kalian ketemu, dia pernah ngehubungin kamu? Atau setidaknya pernah ngirim pesan singkat?" Jeda sebentar, seolah April hendak melihat ekspresi Fira. Seperti dugaannya, Fira tak bisa menampik. "Nggak pernah."
"Udah berapa lama?"
Fira mendongak, balas menatap April dengan kernyitan bingung. Tak seberapa lama ia akhirnya mengerti, lalu lantas menjawab. "1536 jam. Kira-kira."
"Ra ...." Nada bicara April terdengar memperingatkan.
Gadis berkemeja mocca itu menghela napas panjang. "Dua bulan lebih."
Lelaki itu seperti angin. Kedatangannya tanpa sebuah tanda, tetapi kepergiannya malah menyisakan sesuatu yang sudah terporak-poranda. Hatinya. Berbagai cara telah dicobanya untuk menghubungi Arya. Akan tetapi, sama seperti keberadaannya, bahkan semua akun media sosial lelaki itu bahkan juga ikut lenyap. Seolah, telah membuat kesepakatan cukup lama jika hal tersebut akan terjadi.
April mengulurkan tangannya, menggenggam tangan Fira. "Ra ... aku cuma mau ngasih tau, Arya mungkin nggak bisa kasih kamu kepastian."
Dadanya terasa dihantam batu besar. Fira meneguk ludah susah payah. Entah mengapa, perkataan itu seperti sebuah kenyataan pahit yang menyedihkan. "Ini masih dua bulan."
"Masih." April menyuarakan tawa hambar. "Terus kamu mau nunggu berapa lama lagi? Lima bulan, sembilan bulan? Atau sepuluh ribu jam kayak yang pernah kalian lalui?"
Fira masih membisu. Diam-diam terus membenarkan ucapan April. Tidak ada yang terdengar salah. Akan tetapi, semua ucapan-ucapan itu terus mengikis pertahanannya. Mulai menggoyah pendirian bahwa harus terus mempertahankan yang sudah ia mulai sejak bertahun lalu.
Sayangnya, hati itu masih terus memegang janji untuk bertahan.
April menghela napas lelah. Masih cukup pagi, ia bahkan belum menggosok gigi. Tapi lidahnya sudah gatal ingin meluapkan wejangan pada sang sahabat. Kurang apa lagi.
"Kamu paham nggak makna seseorang yang pergi, terus ngilang tanpa tau jejaknya?"
"Arya nggak ngilang. Dia bilang, dia di London. Kuliah di sana."
"Kamu bisa pastiin?"
Fira terdiam lagi. Sejujurnya, bahkan ia tak yakin jika Arya-nya benar-benar di sana. Akan tetapi, apakah Arya setega itu berbohong padanya?
"Seseorang menghilang, berarti dia nggak mau diganggu."
Tepat setelah kata itu meluncur, ribuan jarum terasa seperti menusuk dadanya. Disertai dengan tindihan batu besar. Fira merasa perih, sekaligus sesak. Matanya memanas, ingin menangis, tetapi rasanya bahkan tak sanggup.
Apa Arya merindukannya?
Apa Arya pernah sekali saja berpikir tentangnya?
Apa Arya selama ini memang menganggap Fira seperti duri pada batang mawar?
Apa Arya ... mencintainya?
Genggaman di tangannya kian mengerat. April seolah memberikan suntikan semangat lebih banyak. Hal itu terbukti dengan raut April yang tidak segarang tadi-lebih hangat, dengan ulasan senyum tipis.
"Aku paham posisi kamu, Ra. Mungkin kamu bener. Nggak ada salahnya nunggu sampai sepuluh ribu jam itu dulu. Kalau dia juga nggak ada, langkah selanjutnya adalah merelakan. Percuma kalau terus digenggam, kamu yang tersakiti."
Pandangan tertunduk tadi kian mendongak, balas menatap April. Ya, dia akan menunggu. Sampai sebegitu lama. Yang jadi pertanyaan, akankah Fira sanggup?
***
[ to be continue ]
--[21/03/21; 22.57]--
--[24/04/21]--
[1] Terjemahan bebas untuk penggalan lirik milik Nanon Korapat - มองกี่ทีก็น่ารัก (Cute Cute), dengan gubahan sedikit olehku.
...
Anyways, semoga masih menunggu update selanjutnya. Terima kasih. /emoticon bungkuk badan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top