8. Gay?
Ody memarkirkan motornya di depan sebuah cafe bergaya aesthetic. Maji segera turun dan melepaskan helmnya. Dengan sigap, Ody mengambil helm Maji kemudian menggantungnya di sadel bersama helmnya.
"Dy, kok rame banget, sih? Balik aja, yuk?" Maji menarik-narik ujung seragam sahabatnya. Raut cemas terlukis dengan jelas di wajahnya.
"Ya iyalah rame. Grand opening, makan gratis, siapa, sih, yang gak mau?"
Maji mengangkat sebelah tangannya, "Gue gak mau, Dy. Udah pulang aja deh, yuk?"
Ody memutar bola matanya, lalu merangkul pundak gadis itu. "Tenang aja, udah sama gue."
Mau tak mau, Maji akhirnya mengikuti langkah Ody menuju cafe. Seperti dugaannya, cafe itu hampir penuh oleh para pengunjung. Benar-benar terlihat sesak seperti kantin sekolah yang biasanya.
"Tuh, kan, rame. Gak ada tempat duduk. Mending balik aja, deh." pinta Maji. Ody meliriknya malas, memilih untuk mengabaikan ucapan gadis itu. Ody lalu mengajaknya pergi ke sudut ruangan alias pojokan, tempat favorit Maji. Ody sangat tahu tempat duduk favorit Maji. Dekat jendela, mojok, dan di tempat yang tidak terlalu ramai.
Dan tempat ini memenuhi ketiga kriteria di atas.
"Tuh, ada tempat, kan. Ga terlalu rame juga." ucap Ody sambil duduk di salah satu kursi. Maji hanya mengangguk-anggukkan kepalanya malas. Ia lalu duduk di depan laki-laki itu. Tak lama kemudian, seorang waitress pun datang dan mulai mencatat pesanan mereka.
"Duh, rasanya lama banget gak ngobrol sama lo." ujar Ody tak lama setelah waitress itu mencatat pesanan mereka.
"Baru juga dua hari. Itu pun lo masih nganterin gue ke sekolah, Dy. Kita sempet ngobrol." sanggah Maji. Ody hanya ber-hehe ria.
"Ada cerita seru apa, nih? Gosip kek, apa kek." tanya Maji. Gadis itu menopang dagunya di atas meja. Tidak seperti cowok kebanyakan, Ody ini seperti gudangnya cerita. Dia bisa tahu cerita dan gosip menarik seputar anak SMA Nuansa. Ya, mentang-mentang ketua OSIS, dia jadi tahu segalanya.
Ody terlihat berpikir sebentar, lalu tersenyum lebar, "Lo tau Randy, kan? Anak OSIS kelas sepuluh yang banyak disukain kakak kelas?" tanyanya.
Maji menggumam sebentar, lalu mengangguk. "Tau, si Firda sering ngomongin dia, tuh. Kenapa?"
Ody memelankan suaranya, "Waktu OSIS lembur, dia nyuci muka pake air bekas kobokan, tau! Bhahaha!" ucapnya sambil tertawa terbahak-bahak.
"Gila! Kok bisa, sih? Gimana ceritanya coba?"
Ody lalu mulai bercerita, "Jadi, waktu itu kita bener-bener lembur. Sibuk. Belum pada makan. Akhirnya salah satu orang berinisiatif buat beli nasi bungkus buat kita makan bareng. Karena males bolak-balik cuci tangan, kita minta tolong sama Mpok Inah--penjaga sekolah, ngebawain air buat cuci tangan,"
"Nah, kita makan, deh. Cuci tangan juga di sana, abis itu kerja lagi. Airnya belum dibuang. Si Randy ga ikut makan, dan kayaknya ngantuk banget. Dia bilang mau nyuci muka bentar. Diliat, deh, ada air di depan pintu ruang OSIS. Dia nanya, 'woi, ini air buat apa?', ga ada yang denger karena lagi sibuk. Dan .. dia akhirnya nyuci mukanya pake air itu." jelas Ody sambil berusaha menahan tawanya.
Maji lalu tertawa terbahak-bahak. "Gila! Parah! Gue harus ceritain ini ke Firda! Dia pasti langsung ilfeel!"
Ody terkekeh. "Lo gimana? Tadi pagi lo ngapain bareng si kucrut itu?"
Tawa Maji terhenti. Ia kemudian mengingat-ingat kejadian tadi pagi. "Si kucrut? Maksud lo Pak Abdi?"
Ody menggeleng, "Bukan, lah. Yang satunya lagi."
"Evan?" tanyanya lagi. Ody mengangguk.
"Gue kepilih Olimpiade Biokimia, Dy. Bayangin, deh. BI-O-KI-MI-A." ujarnya dengan melakukan penekanan pada Biokimia.
Ody terlihat antusias. "Wooo, keren, dong! Lo ikut lomba bareng dia?"
"Dia? Maksud lo Pak Abdi?"
"Bukan, lah. Yang satunya lagi."
"Evan?" tanyanya lagi. Ody mengangguk.
"Iya, gue bareng sama dia. Bahkan gue satu tim sama dia."
Ody menggumam. Memikirkan kata-kata yang tepat untuk dilontarkan. Karena sedikit saja dia salah berucap, bisa-bisa kenangan masa lalu itu terungkit kembali oleh gadis ini.
"Lo ...," ucap Ody menggantung. "kenal sama dia?" tanya Ody dengan hati-hati. Matanya yang sipit memandang Maji penuh harap, menunggu jawaban gadis itu. Ah, rasanya kayak lagi nembak gebetan aja.
Maji terdiam. Bengong. Yang ia lakukan hanyalah mengedip-ngedipkan matanya. Ody semakin nervous mendengar jawaban gadis itu. Beneran, deh. Rasanya kayak lagi nembak gebetan.
"Dia? Maksud lo Pak Abdi?" tanya Maji dengan ekspresi polosnya.
"Evan, Jiiii ... Evan!" Ody berseru. Ia menepuk dahinya dengan agak keras. "Lama-lama lo pengen gue bantai, deh!"
Maji tertawa, "Jangan, dong. Susah, loh, nemu orang kayak gue."
"Iyain aja, iya." Ody memijat-mijat pelipisnya. "Kok gue bisa tahan, ya sahabatan sama spesies kayak lo?"
Tawa Maji semakin kencang. Ody menatapnya malas. Melihat tingkah Ody yang pura-pura kesal (padahal emang kesel, sih.) membuat Maji akhirnya menghentikan tawanya.
"Iya, gue kenal dia. Waktu lo sibuk OSIS, gue pulang sama dia. Naik bus."
"Berdua?"
"Yep." jawab Maji singkat.
"Kok lo bisa cepet banget akrab sama si kucrut itu? Setau gue, lo masih menutup diri gara-gara trauma itu."
"Si kucrut? Maksud lo Pak--"
"Evan. Sekali lagi lo nanya gitu, pulang-pulang lo tinggal nama." potong Ody cepat.
Maji cengar-cengir. Ia lalu menggaruk-garuk tengkuknya yang tidak gatal. "Gue juga ga ngerti kenapa gue bisa cepet akrab sama Evan. Semua mengalir begitu saja."
"Cih, sok puitis lo." ledek Ody. " Yah, kalo si kucrut itu bawa pengaruh dan berbuat baik ke lo, ga masalah." lanjutnya sambil mengangkat kedua bahunya.
Maji menyipitkan kedua matanya yang sudah sipit. "Gue denger lo daritadi bilang 'si kucrut' terus, deh."
"Hah? Kucrut? Spesies apa lagi, tuh? Lo salah denger kali." sanggahnya cepat. Oh tidak, dia salah ngomong. Tuh, kan, pasti bakalan susah nyembunyiin semua ini dari Maji.
Maji mencubit lengan Ody. "Enggak! Kuping gue gak pernah salah, Dy!"
"Iyain aja, iya." sahut Ody malas. Sebenarnya, sih, menghindari pertanyaan Maji lebih lanjut.
"Ayo cerita! Lo kenapa bilang Evan 'si kucrut'? Pasti ada apa-apanya, nih!"
Ody menghela napas. "Ga ada apa-apa. Gue cuma ... suka manggil dia 'si kucrut'."
"Boong! Idung lo kembang-kempis, tandanya lo lagi boong, Dy!" Maji mulai menghakimi sahabatnya. Yah, ada untungnya juga punya sahabat dari kecil, bisa tahu kebiasaan-kebiasaan dari sahabat itu sendiri. Contohnya Ody. Kalo lagi bohong, hidungnya bakalan kembang-kempis kayak sekarang ini.
Ody menutupi hidungnya dengan kedua tangan. "Anjir. Susah juga ya punya sahabat yang sahabatan dari orok gini. Jadi susah boong."
"Yaudah buruan kasi tau. Penyakit kepo gue lagi kambuh, nih."
Ody menghela napas berat. Dipijat-pijatnya lagi pelipisnya yang tak terasa sakit. Sementara otaknya sibuk memikirkan bagaimana menjelaskan permasalahannya dengan si kucrut itu. Karena sedikit saja ia salah berucap, Maji bisa salah paham.
Kenapa Tuhan menakdirkan gue buat sahabatan ama lo, Ji? Repot, batinnya.
"Gimana?" desak Maji lagi. Wajah Maji terlihat seratus kali lebih berseri daripada biasanya. Ya, beginilah dia kalau penyakit kepo akutnya sudah kambuh.
Ody membuka mulutnya, mencoba mengeluarkan untaian kata yang sudah ia rangkai tadi. Tapi, rasanya susah sekali. Padahal biasanya ia bisa bercerita apapun kepada gadis yang ada di depannya. Namun untuk soal yang satu ini ... rasanya berat sekali.
Ia akhirnya menghela napas berat sebelum melanjutkan ucapannya. "Gue ... sempet deket sama dia."
Mata Maji seketika membulat. Wajah berserinya hilang seketika.
"OH MY GOD!" pekiknya. Beberapa pengunjung cafe itu mulai melirik ke arahnya, namun ia tak menyadari hal itu.
"O-oke ... g-gue ngerti s-sekarang ...," ujar Maji terbata-bata. Ody mulai kebingungan. Kenapa Maji tiba-tiba gagap? Apa dia Aziz Gagap kedua?
Maji lalu mengontrol detak jantungnya agar kembali stabil setelah terkejut tadi. Ia menatap Ody nanar, kemudian tersenyum tipis.
"Gue baru tau, Dy. Tapi, gue bakal nerima kenyataan itu dengan lapang dada. Gue terima lo apa adanya sebagai sahabat gue."
Ody semakin kebingungan dibuatnya. "Maksud lo apaan, Ji? Kenyataan apaan?"
"Lo bilang lo sempet deket sama Evan, dan sekarang hubungan kalian merenggang. Gue ngerti sekarang kenapa lo manggil dia si kucrut."
"Lo ... sakit hati, kan?" tanya Maji. Ody melongo. "Orang yang sakit hati biasanya akan memanggil nama mantan gebetannya dengan nama yang aneh-aneh, dan 'si kucrut' itu aneh."
"Sakit hati ap--Oh My God! Maji! Jangan bilang lo ngira gue suka sama Evan?"
"Bukannya itu kenyataannya? Gue terima kalo lo ternyata gay. Gapapa. Gue sama sekali ga masalah, Dy. Kita tetep sahabat." Maji menunjukkan ekspresi dramatisnya.
"Bukan sempet deket dalam artian sempet PDKT, Ji! Ya Tuhan! Kenapa gue punya sahabat lemot begini?" Ody mengacak-acak rambutnya frustasi. Tuh, kan. Dia salah ngomong lagi. Dan Maji terlanjur salah paham. Apa-apaan itu? Masa dirinya dituduh gay?
Maji mengerjap-ngerjapkan matanya. Ekspresi dramatisnya seketika lenyap. "Oh, bukan ya?"
"Ya bukan, lah!" seru Ody. "Gak habis pikir gue. Kenapa lo bisa jadi juara umum dengan otak se-lemot ini?"
"Oh ... hehe," Maji hanya menunjukkan cengiran lebarnya.
Ody berusaha menenangkan dirinya dari pikiran liar Maji. Benar-benar, ya, orangtua Maji tidak salah memilih nama. Imaji, suka berimajinasi.
Setelah ia mendapatkan kembali ketenangannya, ia melanjutkan ucapannya.
"Gue ... pernah jadi temen deketnya Evan. Gue belum bisa cerita secara detail ke lo. Tapi, secepat mungkin gue bakal ceritain ke lo. Entah gue atau Evan yang bakal cerita."
Maji mengangguk-angguk tanda mengerti. Ia memang menyadari ada atmosfer yang kurang baik saat melihat Evan dengan Ody. Bahkan dalam radius satu meter pun atmosfer itu terasa. Sepertinya, mereka terlibat dalam suatu masalah di masa lalu. Dan masalah itu belum selesai sampai sekarang.
Entah apa itu, dan siapa yang akan memberitahunya, secepat mungkin ia akan mengetahuinya.
Ya, pasti.
ㅎ Forelsket ㅎ
a/n: Heyho~ Telat update sehari HAHAHA gara-gara keasyikan nonton Reply 1988 XD
Part terpanjang yang pernah kutulis sejauh ini. Dialognya banyak juga. Sebenernya Evan punya scene sendiri di part ini, tapi kepanjangan, ah. Segini aja udah panjang. Entar berbelit-belit malah bingung. Author bingung, pembaca bingung. Yang penting bisa ketawa /salah.
Jangan lupa vomment-nya gaess!
Salam ppoppo~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top