5. Selangkah Lebih Dekat

Kringggg!

Bel pulang SMA Nuansa telah berbunyi. Para siswa sontak berteriak kesenangan. Bagaimana tidak? Jam baru menunjukkan pukul sebelas siang, sedangkan bel pulang baru berbunyi pukul dua. Pulang lebih awal. Well, momen langka yang terjadi di kalangan siswa SMA Nuansa.

Maji berjalan keluar kelas dengan perasaan yang senang juga. Hari ini kelasnya terbebas dari pelajaran Pak Nanda, dan dia benar-benar merasa bersyukur atas hal itu. Ia lalu berjalan menyusuri koridor, menuju kelas XI IIS 1, kelasnya Ody.

"Ody, dicari, nih!" teriak seorang siswa kelas XI IIS 1 yang berdiri di ambang pintu. Padahal Maji belum sampai di depan kelas itu, namun sepertinya anak-anak kelas sana sudah peka duluan.

Ody lalu keluar kelas dengan style khasnya, rambut acak-acakan dan seragam yang agak berantakan. Sama sekali tidak terlihat seperti seorang ketos. Lebih mirip berandalan sekolah yang minta di DO.

"Ada sibuk osis, ga?" tanya Maji to the point. Ody mengangguk pelan.
"As always."
Maji menganggukkan kepalanya tanda mengerti.
"Okedeh, gue pulang naik bus aja kalo gitu." ucap Maji sambil tersenyum lebar. Fake smile. Ody menatapnya sekilas.

"Sorry, tapi jangan kecewa gitu, dong." ujarnya sambil mengacak-acak rambut gadis itu. Maji seketika cemberut, lalu menjauhkan tangan Ody dari kepalanya.
"Siapa yang kecewa? Sok tau lu."

Ody hanya terkekeh. Dari mereka masih orok sampai sekarang sahabatan, ia hampir hafal kelakuan cewek itu. Seperti saat ini, ia tahu sahabatnya itu sedang kecewa. Ya, kecewa karena mereka lagi-lagi nggak bisa pulang bareng.

Eh, kok geer banget, sih?

Bukannya geer. Seperti apa yang Ody bilang tadi, dia hampir hafal kelakuan Maji. Dari ekspresi mukanya ... Ody bisa menyimpulkan kalo Maji lagi kanker.

Kantong kering.

Naik bus itu mahal, perlu duit, sedangkan duitnya dia menipis. Jelas aja dia kecewa nggak bisa pulang bareng Ody. Nebeng di Ody, kan, gratis. Melindungi dompet dari kanker.

Yah, kurang lebih, begitulah jalan pikiran Maji.

Setelah berdebat cukup lama, akhirnya Maji pergi meninggalkan Ody. Mau tak mau, dia akhirnya pulang naik bus. Minta tolong sama Bang Rama juga percuma, kakak kesayangannya itu lagi kuliah.

Jadilah ia di sini, di halte bus, bersama calon-calon penumpang lainnya.

****

Evan berjalan beriringan bersama Aldo menyusuri koridor yang agak sepi. Sepertinya murid-murid SMA Nuansa bener-bener semangat pulang.

"Do, ke timezone, yuk? Game Center juga boleh." ajak Evan.
Aldo hanya menggumam. Sisi anak-anaknya Evan lagi kambuh, dan dia pasti minta ngegame bareng Aldo.

"Sorry, gue ga bisa, Van. Gue udah punya janji sama Mawar." jawab Aldo sambil tersipu. Evan menatapnya geli, belum pernah Aldo malu-malu kucing kayak gitu. Sejak Aldo berpacaran dengan Mawar--model SMA Nuansa yang jadi inceran para cowok dengan bodi yang aduhai-- sahabatnya itu jadi sering pergi bareng Mawar dan melupakan dirinya.

"Mentang-mentang udah punya pacar, mainnya sama pacar terus," Evan pura-pura kesal.
Aldo tersenyum mengejek, "Cie, yang jomblo iri,"

"Mending jomblo, daripada taken, ujung-ujungnya galau juga, nggak bebas,"

Aldo cemberut. Nggak tau lagi mau bales ucapan Evan kayak gimana. Ia akhirnya memilih untuk mengalah saja. Yang taken ngalah, begitulah prinsipnya.

Begitu menuruni tangga, rupanya Mawar sudah menunggu Aldo di sana. Senyumnya yang manis mengembang begitu melihat pacarnya. Dengan cekatan, gadis itu menggandenh lengan Aldo agresif, membuat Evan bergidik ngeri.
"Eh, ada Evan juga. Evan, gue pinjem Aldo dulu, ya," ucap gadis itu dengan gayanya yang centil. Evan hanya mengangguk mengiyakan tanpa peduli lagi apa yang dikatakan oleh dua sejoli itu.

Evan--seperti biasa, menuju halte bus. Bus yang akan ia tumpangi sudah ada di sana, ia lalu mempercepat langkahnya dan segera masuk ke dalam bus.

Kemudian, senyumnya mengembang.

Maji ada di bus itu juga. Sedang duduk di bangku belakang. Sendirian. Tanpa Ody. Kesempatan emas!

"Hei," ucapnya sambil menepuk bahu Maji.
Maji sedikit tersentak, ia menoleh ke asal suara dan mendapati seorang laki-laki tengah tersenyum ke arahnya.
"Oh, hei, Evan."
"Boleh gue duduk di sebelah lo?"
Maji terlihat berpikir sebentar, namun kemudian ia mengangguk. Evan tersenyum kecil, lalu duduk di sebelahnya.
"Makasih,"

Mereka berdua lalu larut dalam keheningan. Bus mengajak mereka berkeliling ke berbagai halte, namun tidak ada satupun yang membuka percakapan. Maji sibuk dengan pikirannya--entah apa yang ia pikirkan, sedangkan Evan memikirkan topik apa yang bisa dibicarakan.

Kemudian, sebuah ide terlintas di benaknya.

"Lo ... hari ini sibuk gak?" tanyanya. Maji menatapnya sebentar, kemudian berpikir.
" Em ... enggak, sih. Kenapa?"
Evan tersenyum jahil, "Temenin gue main, yuk."
"Hah? Main? Main apaan?" nada suara Maji meninggi. Matanya membulat. Evan tidak menjawab. Senyum jahilnya masih terlukis di wajahnya. Maji bergidik ngeri.

"Maaf, gue gak bisa, Van. Gue baru inget, hamster tetangga gue tewas tenggelam kemarin. Hari ini gue mau melayat ke sana." lanjutnya. Evan menahan tawanya sekuat mungkin. Anjir, nih cewek kenapa lawak dan imut banget?

"Shh, just wait and see."

Forelsket

"Main ... di sini?" tanya Maji sambil menatap laki-laki yang tengah mengisi saldo untuk kartu gamenya.
"Hm, di sini." ucap Evan mengiyakan. Setelah saldo terisi, laki-laki itu menatap Maji yang masih mencerna semuanya. Ia kemudian tersenyum jahil.
"Iya, Ji. Kita main di sini. Liat, ada banyak permainan, lo kalo mau main mandi bola di sebelah sana juga boleh."

"Gue terlalu imut buat main mandi bola," jawab Maji sarkastik. Evan tertawa mengejek, yang dibalas tatapan tajam oleh Maji.
"Mumpung udah isi saldo, ayo kita duel!" ajak Evan. Tanpa sadar, ia menggenggam pergelangan tangan Maji kemudian menariknya ke arena-arena permainan yang ada.

Jantung Maji seketika berdegup kencang. Cuma megang pergelangan tangan gue aja rasanya nyaman banget, gimana kalo dia megang telapak tangan gue, ya? , batin Maji.

"Eh, mikir apa gue barusan?"

Mereka lalu mulai memainkan permainan-permainan yang ada. Mereka berduel hockey, yang dimenangkan oleh Maji. Kemudian basket, yang pastinya dimenangkan oleh Evan.

"Kenapa gak ada bom bom car, sih? Padahal gue lagi pengen nabrak-nabrak orang," ujar Maji sambil menatap ke sekeliling arena permainan. Evan menatapnya ngeri. Cakep-cakep beringas juga nih cewe, batinnya.

Mereka kemudian mencari arena permainan yang bisa dimainkan oleh dua orang. Mata Evan kemudian jatuh pada sebuah arena. Ia tersenyum, kemudian menarik tangan Maji mendekat ke arena itu.

"Main ... *DDR?" tanya Maji. Evan mengangguk cepat.
"Iya, DDR."
Maji terdiam sejenak. Pikirannya mulai menerawang kesana kemari. Haruskah ia main DDR atau tidak? Ia tak mau membangkitkan memori lama itu kembali.

Evan menyadari sorot kebingungan di mata gadis itu. "Lo kenapa, Ji? Takut?" tanyanya menantang. Setelah bermain bersama tadi, ia jadi tahu kalau gadis ini akan terbakar semangatnya jika ditantang. Itulah yang ia coba lakukan sekarang.

Maji menggeleng cepat. Matanya yang tadinya memancarkan sorot kebingungan kini terlihat berapi-api.
"Kata siapa gue takut? Sini, lawan gue!"

Evan tersenyum senang. Syukurlah gadis itu tidak terlihat linglung lagi. Mereka berdua melepas sepatunya, lalu naik ke arena. Untung saja sepatu mereka tidak menimbulkan bau yang mengganggu pengunjung lain.

Mereka berdua lalu memilih lagu yang akan dimainkan. Pilihan jatuh pada lagu milik SHINee berjudul Ring Ding Dong. Dengan mantap, Maji menekan tombol mulai.

Mereka saling melempar pandangan sekilas, lalu kembali fokus ke layar. Gerakan-gerakan yang harus mereka ikuti mulai bergerak semakin cepat. Awalnya, Evan mampu mengikuti tempo gerakan, namun semakin lama ia kewalahan juga. Namun tidak dengan Maji. Gadis itu melakukan gerakan dengan cekatan, terlihat seperti seorang pro yang sudah sering memainkan permainan tersebut.

Maji memperoleh skor yang lebih tinggi. Ia menatap Evan sinis.
"Gue cuma ngalah tadi. Siap ronde kedua?"

Maji mengangguk mengiyakan. Para pengunjung yang lain mulai menonton permainan mereka yang begitu sengit. Ody yang sedang membeli keperluan untuk OSIS di dekat arena permainan itu ikut mendekat. Memerhatikan apa yang pengunjung tonton. Sepasang siswa dan siswi dengan seragam yang sama dengan dirinya tengah bermain DDR dengan asiknya.

Matanya membulat begitu melihat siapa yang menjadi tontonan itu.

Evan dan Maji. Ya, mereka berdua. Permainan yang sengit, namun siapapun tahu kalau mereka terlihat dekat.
Ody kemudian meninggalkan arena tersebut dan kembali ke sekolah. Pikirannya mulai mengawang kesana kemari.

Evan ... sebenernya apa yang lo mau dari Maji?

***

Waktu menunjukkan pukul enam sore. Setelah melewati delapan ronde yang semuanya dimenangkan oleh Maji, mereka memutuskan untuk pulang. Saldo yang ada di kartu milik Evan juga sudah habis.

"Gue ga nyangka lo jago amat main DDR." ucap Evan membuka percakapan. Maji tertawa.
"Yah, lo tau, dulu waktu SMP gue dijulukin DDR Queen,"
Evan menatapnya seolah mengejek, kemudian terkekeh. "PD banget."
"Ga percaya? Itu tadi buktinya,"
Evan hanya mengangguk-angguk mengiyakan. Kemudian, hening menyelimuti keduanya.

Jarak antara mal tempat mereka bermain tadi dengan rumah cukup jauh. Jadi, perjalanan memakan waktu yang cukup lama. Mereka berdua juga sudah menghubungi orang di rumah bahwa mereka berdua pulang terlambat.

"Ngantuk," gumam Maji pelan disertai dengan uapan. Evan menyadari hal itu, kemudian tersenyum tipis.
"Tidur aja, entar gue bangunin kalo udah sampe di halte deket rumah lo. Jalan Anggrek, kan?"
"Iya, di Jalan Anggrek." jawabnya. Ia tak memedulikan apa yang Evan katakan sebelumnya. Matanya mulai berkunang-kunang akibat menganguk. Maji kemudian menatap bahu Evan yang terlihat nyaman untuk bantalan.

Plek!

Kepalanya kemudian mendarat sempurna di bahu laki-laki itu. Evan terkejut. Ia menatap Maji yang kini sudah tertidur dengan pulas di pundaknya. Ia tertawa kecil.
"Jadi, dia orangnya kayak gini, ya? Nggak bisa nahan ngantuk?" gumamnya. Ia memerhatikan wajah gadis itu yang terlihat damai saat tertidur. Senyumnya tak henti-hentinya menghiasi wajahnya.

"Jadi, tadi kita main bareng di game center, ya?"
"Tadi kita main hockey bareng, ya?"
"Tadi kita main DDR bareng, ya?"
"Tadi gue kalah terus lawan lo, ya?"
"Sekarang kita duduk sebelahan di bus, ya?"
"Dan sekarang ... lo lagi tidur di pundak gue, ya?"

Evan mulai meracau tidak jelas. Entahlah. Ia merasa sangat senang. Bahkan, ia mulai melupakan nilai matematikanya yang jeblok tadi pagi (sebenarnya ini alasan kenapa dia minta pergi ngegame). Rasa suka yang ia pendam pada gadis ini semakin lama semakin tumbuh.

Imaji, mulai sekarang, gue bakal pastiin kalo lo bukan lagi hanya sekedar imajinasi gue.

Forelsket

a/n: hai semua~ maafkan untuk update yang bener-bener lama ini. Lagi ada acara di sekolah dan enggak sempet nulis apapun XD

Mungkin, part ini alurnya agak cepet. Tapi percayalah, ini bahkan belum masuk ke konflik inti. Sebenernya di part ini emang mau bikin Evan seneng karena bisa deket sama Maji. Ya gapapalah, kasian juga dia mendem rasa satu setengah tahun kagak kejawab-jawab XD maklum kalo kurang greget, bentar lagi diedit. Buat Ody, maaf partnya dia masih sedikit banget, kasi Evan sama Maji dulu yak XD

Sekian dari saya. Salam ppoppo~

Note : DDR = Dance Dance Revolution. Permainan yang kita ngedance tapi cuma gerakin kaki aja. Kebayang?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top