3. Sebotol Air
"Udah nyampe, cepetan turun!" hardik Rama pada adiknya yang baru saja turun dari motornya. Maji mendengus kesal. Ini pertama kalinya kakaknya bersedia mengantarnya ke sekolah. Kalau saja Ody tidak ada keperluan OSIS yang benar-benar mendesak, dan mereka berdua tidak memaksa Rama untuk mengantar Maji, pastilah saat ini Rama sedang berada di rumah, bersantai, sambil menonton Spongebob.
"Aduh, bayang-bayang mantan saat diriku masih SMA tiba-tiba muncul," Abangnya mulai berceloteh lagi. Alasan klise. Kali ini, Rama menepuk-nepuk dadanya sendiri sambil menatap ke arah langit, seolah-olah berkata, Tuhan, aku tak ingin mengingatnya lagi.
Maji kemudian mendorong tubuh Rama dengan helm. Membuat Rama yang sedang menghayati perannya hampir terjatuh dari motor.
"Maji!" pekiknya.
"Sst, diem, Bang. Sadar gak sih daritadi diliatin?" ucap Maji sambil menunjuk ke sekitar. Mereka berada di depan gerbang SMA Nuansa, yang merupakan akses keluar masuk bagi para siswa, yang sekarang perhatiannya teralih pada dua saudara yang tengah beradu mulut. Rama kemudian mengalihkan wajahnya.
"Oh, ya, Bang. Satu lagi, stop ngaku-ngaku keinget mantan. Gue tau, selama sembilan belas tahun ini, lo masih jomblo. Bye!" Maji lalu berjalan memasuki area sekolah, meninggalkan kakaknya yang berteriak-teriak memanggil namanya seperti orang kesetanan.
"Maji! Dengerin Abang! Liat aja entar ya, Abang bakal taken!" teriak Rama lagi. Maji justru sibuk menyembunyikan wajahnya dari para siswa yang kini menatapnya sambil menahan tawa.
Bang Rama! Malu-maluin!
=Forelsket=
Maji berlari mengelilingi lapangan basket dengan nafas yang tersengal-sengal. Hari ini, kelasnya-- XI MIA 4 dan kelas Evan--XI MIA 6 mendapat pelajaran olahraga, pelajaran yang sangat ia sukai. Dibuka dengan pemanasan seperti biasa, lalu berlari mengelilingi lapangan sepuluh menit.
Wow, terdengar sangat menyenangkan.
"Ayo, ayo! Tiga menit lagi! Imaji, jangan loyo begitu! Semangattt!!" seru Pak Agung selaku guru olahraga sambil menepuk-nepuk tangannya beberapa kali, seolah memberi semangat. Maji tidak menggubris ucapan gurunya itu. Ia terlalu lelah dengan semua ini. Maji lelah, Bang.
Evan terkekeh pelan melihat Imaji yang ditegur oleh Pak Agung. Memang benar, sih, daritadi ia perhatikan, gadis itu terlihat loyo sekali. Ah, tapi bukannya setiap jam olahraga dia memang seperti itu?
Evan lalu mempercepat langkahnya, dan ia berada tepat beberapa meter di belakang Maji. Agak jauh, sih, tapi nggak jauh-jauh amat. Yah, setidaknya ia bisa mengawasi Maji dari sini. Kalau gadis itu tiba-tiba pingsan gimana? Bisa berabe kalo nggak ada yang jaga di belakangnya. Sebenernya, sekalian nge-modus, sih.
"PRIITT!! Sudah sepuluh menit, silahkan istirahat sejenak!" suara peluit Pak Agung seolah-olah menjadi oasis di tengah gurun pasir bagi Imaji. Gadis itu langsung menghentikan larinya, kemudian duduk di pinggiran lapangan basket sambil meluruskan kakinya. Teman-temannya yang lain mulai mengeluh soal betapa capeknya dirinya setelah lari, atau sinar matahari yang bisa membuat kulit mereka hitam. Namun, Maji yang jauh lebih lelah dari mereka bahkan tak bisa berucap barang satu kata pun.
Capeknya warbyasah.
Setelah mendengar bunyi peluit Pak Agung, Evan ikut duduk di pinggir lapangan, bersama teman-temannya yang lain. Ia duduk di paling ujung, begitu pula dengan Imaji. Jarak mereka saat ini hanya terpisah beberapa meter. Evan memerhatikan penampilan gadis itu. Rambutnya yang dikuncir ekor kuda, dengan tetesan keringat di wajahnya, entah mengapa membuat Maji terlihat semakin cantik di matanya.
Gadis itu sepertinya benar-benar kehabisan tenaga. Jauh berbeda dengan dirinya yang fine-fine aja untuk berlari selama sepuluh menit. Bahkan, latihan di basketnya jauh lebih keras daripada ini.
"Woi, ada yang mau minta air nggak?" tanya Dhira, bendahara kelas XI MIA 4 sambil membawa satu botol minum berukuran besar. Sepertinya ia baru saja balik dari kantin. Hal itu membuat anak-anak kelas XI MIA 4 menjadi heboh. Termasuk Imaji.
"Gue, Dhir! Gue!"
"Eh, mau dong!"
"Dhira, gue mau!"
Kemudian, salah satu siswa dengan tubuh yang agak besar bangkit dari duduknya dan menghampiri Dhira. "Berisik lo semua! Gue minum, nih!"
Laki-laki bertubuh gempal itu merebut botol air dari tangan Dhira, membuka tutup botolnya, kemudian meneguk isinya.
Sampai habis tak bersisa.
"YAH, KOKO! KOK DIABISIN, SIH?" pekik para cewek-cewek nggak terima. Yang cowok-cowok juga ikut memprotesi aksi boikot yang dilakukan Koko.
"Ya, abisnya lo pada ribut, sih! Yaudah gue abisin!" bela Koko. Sungguh, alasan yang tidak masuk akal. Apa hubungannya ribut dengan ngabisin air? Keributan pun masih berlanjut, ada yang mengatakan Koko saat ini sedang hidup di gurun pasir sehingga perlu banyak air, bahkan ada yang menuduh bahwa Koko sedang PMS.
Perhatian anak-anak kelas XI MIA 6 pun tertuju pada keributan yang terjadi di antara anak kelas XI MIA 4 itu. Termasuk Evan. Yah, sebenarnya Evan tidak terlalu memerhatikan keributan itu, yang ia perhatikan adalah Imaji. Gadis itu terlihat benar-benar perlu air.
Evan lalu mengambil satu botol air mineral yang ia taruh di dekatnya. Botol itu baru ia beli tadi pagi, masih tersegel dengan rapat. Bahkan dirinya sendiri belum sempat meminumnya. Ia memandangi botol itu lama, lalu beralih menatap Imaji. Kemudian, seulas senyum terukir di wajahnya.
"PRIITTT! Anak-anak, kumpul!" bunyi peluit Pak Agung kembali terdengar. Para siswa yang tadinya ribut, kemudian mendekat ke arah Pak Agung. Mereka mengelilingi guru olahraga tersebut secara setengah lingkaran.
"Mohon maaf, waktu kita masih tersisa dua jam lagi, namun Bapak tidak bisa melanjutkan pembelajaran hari ini," ujar beliau. Maji yang berbaris di belakang dapat mendengar dengan jelas apa yang dikatakan oleh gurunya tersebut. Senyuman lebar pun mulai terukir di wajahnya.
"Mohon dimaklumi, ya, anak-anak. Anak Bapak diopname, istri Bapak tidak bisa ambil cuti, sekarang anak Bapak sendirian di rumah sakit," jelasnya. Raut wajah Pak Agung kemudian terlihat lesu. "Jadi, sisa dua jam pelajaran ini kalian bisa gunakan sesuka hati. Mau main, kek, terserah. Yang penting jangan ke kelas!"
Para siswa pun mengangguk. "Siap, Pak! GWS buat anaknya, Pak!"
"GWS Anaknya Pak Agung!"
"GWS!"
Keributan mulai terjadi. Raut wajah Pak Agung kemudian kembali seperti biasa, wajah-wajah orang yang main senggol-bacok. Maji yang tadinya tersenyum lebar, kini senyumannya berubah menjadi senyuman iba. Masa iya dia seneng gurunya ngga ngajar gara-gara anaknya sakit? No way. Sebenci-bencinya dia sama pelajaran Olahraga, dia masih punya hati, Man.
Evan melihat senyum lebar Maji yang perlahan berubah menjadi senyuman iba, tulus, dan ... manis banget. Sementara anak-anak yang lain justru sibuk mengucapkan GWS. Melihat kesempatan ini, Evan lalu diam-diam pindah ke barisan belakang, tepat di sebelah Maji. Lalu dengan berani, ia menyerahkan sebotol air yang ia beli pada gadis itu.
Maji mengernyit heran, "Eh, kenapa?"
"Buat lo," jawab Evan singkat sambil tersenyum.
Maji masih mengernyit bingung. Ini cowok kayak pernah liat tapi dimana ya? batinnya. Kemudian, ia menggeleng cepat sambil tersenyum. "Makasih, tapi kata Abang gue, ga boleh nerima pemberian dari orang asing. Jadi, maaf ya, buat lo aja."
Evan tersenyum geli, menahan tawa tepatnya. Polos banget, gakuku ganana, batinnya. Eh, tapi ... orang asing?
"Lo ... lupa sama gue?"
"Emang kita pernah kenal?"
Evan membulatkan matanya seketika. Ia mengerjap-ngerjapkan matanya, mencoba mengingat-ingat kejadian kemarin. Dia lupa atau gimana, sih? Jangan-jangan yang gue ajak kenalan kemarin bukan Maji lagi? Jangan-jangan itu alien yang menyamar biar mirip sama nih cewek?
"Kita ... kan baru kenalan kemarin. Di halte," jawab Evan.
Maji seketika menjentikkan jarinya. "Oh, iya! Gue inget. Ehsan?" tebaknya. Evan menepuk dahinya pelan. Senyumnya masih tetap menghiasi wajahnya yang terlihat frustasi menghadapi gadis yang satu ini.
"Evan, Ji."
"Ah, iya! Evan! Maaf, ya, gue suka lupa sama orang kalo baru ketemu," ujar Maji sambil menunjukkan cengiran tanpa dosanya. Evan balas tersenyum. Nih cewek pinter tapi bego di saat yang bersamaan, kenapa gue naksir cewek kayak begini, ya?
Evan kemudian teringat sesuatu. "Kita kan udah kenal, jadi, lo mau kan nerima minumnya?" tanyanya. Gadis itu mengangguk sambil tersenyum.
"Makasih, ya. Tapi, entar lo minum apa?"
"Tenang aja, gue masih punya satu lagi di kelas. Gausah peduliin gue, minum aja, gue ikhlas." jawabnya bohong. Maji lagi-lagi tersenyum sambil mengucapkan terimakasih. Ada perasaan hangat yang menyelimuti hati Evan saat melihat senyum gadis itu.
Pelajaran olahraga pun berlanjut meskipun tanpa Pak Agung. Dua kelas itu sepakat bermain kucing-kucingan bersama. Maji yang tadinya terlihat lelah, dengan semangat 45 ia ikut bermain. Bersama Evan tentunya.
Maji merasa senang. Senang, bukan karena pelajaran olahraga tidak efektif. Senang, bukan karena Pak Agung tidak mengajar. Senang, bukan karena mereka bermain kucing-kucingan. Entah perasaan senang macam apa ini. Yang ia tahu, ketika ia dekat dengan Evan, ada rasa senang dan nyaman yang menghampirinya.
=Forelsket=
Mulmed : Anggep aja yang dikasih sama Evan itu botol air ya, sama yang cewek, anggep aja si Maji :v.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top