Bab 11

*** 

"Jangan gunakan alasanmu yang klise untuk melarangku menarik novel HEART FOR YOU dari HG Novel," tegas Fikri bersungguh-sungguh.

Vita seperti ditahan oleh sesuatu. Bagaimanapun juga dia tidak enak hati. Bukankah Fikri punya niat tidak menerbitkan novel itu? Kenapa sekarang berubah pikiran?

"Pak, tolong pertimbangkan sekali lagi. HEART FOR YOU punya potensi tinggi untuk mendapatkan pundi-pundi uang. Masa ditarik begitu saja, sih Pak?"

"Tahu apa kamu tentang kehidupanku, hah?" Tampak Fikri mulai naik pitam karena merasa resah dengan bujukan Vita yang keterlaluan. "Suka-suka aku, hak-hak aku untuk menarik naskah itu dari platform HG Novel. Toh, yang untung juga aku, bukan kamu," ucap Fikri tegas.

"Tapi, pak. Saya pembaca setia HEART FOR YOU, tapi saya tidak mau kalau pihak penerbit menghapus cerita itu. Saya terbiasa melihat hape dan ..."

"Tinggal beli bukunya, kenapa susah? Kamu dapat manfaat apa dengan melarangku menerbitkan buku yang menjadi milikku?"

Sekali lagi, ego Vita dikendalikan. Sejak mengetahui kebenaran, dia memiliki perasaan terhadap Fikri. Dia juga tak rela novel HEART FOR YOU diterbitkan. Entah kenapa, lebih baik novel digital Fikri menetap di HG Novel saja daripada diadaptasi menjadi buku. Banyak peluangnya.

Vita tahu itu karena salah satu penulis favoritnya merasakan manfaat menerbitkan novel di platform daring. Dia menginginkan Fikri merasakan hal yang sama.

"Pak. Pernahkah merasakan yang namanya digaji?" tanya Vita yang kedengarannya mudah dijawab oleh Fikri.

"Hei, semua pekerjaan itu digaji. Asal niat dan komitmen melakukannya." Fikri tampak membuka kulkas untuk menyiapkan minuman untuk Vita.

"Makanya. HEART FOR YOU juga punya satu juta pembaca, tidak ... hampir dua juta pembaca. Harusnya Anda pertimbangkan lagi. Lebih banyak uang yang didapatkan. Melebihi gaji yang Anda punya."

"Tahu apa kamu?" tanya Fikri dingin. "Tahu apa kamu soal kehidupan orang lain? Bisanya beropini saja."

"Saya tahu karena banyak penulis handal yang merasakannya. Anda pun harus demikian. Jangan diam begitu saja."

"Kalau aku mau HEART FOR YOU diterbitkan ... kamu marah?" Tatapan Fikri ke Vita sangat serius. "Baru kali ini aku menemukan pembaca yang tak mau novel yang dia baca diterbitkan. Hanya kamu seorang."

"I—Itu ..."

"Kamu pacarku? Sehingga berhak melarang-larang orang?"

Jujur, Vita pun tak mau mengatur-ngatur orang lain, terutama pada Fikri. Namun sekali lagi, Vita dikendalikan oleh ego. Dia merasa tak enak sekarang.

"Kamu menaruh perhatian karena keluargaku yang hancur?" tanya Fikri kembali.

"Saya tidak main-main soal bilang menyukai Anda. Makanya saya punya hak untuk melarang novel itu diterbitkan," jawab Vita refleks keluar dari mulutnya.

"Oh jadi begitu? Lalu itu artinya sama saja kamu membantahku. Hukuman pun akan datang kembali padamu," ucap Fikri sedikit mengancam.

"Pak. Sekali lagi. Itu merupakan peluang besar. Kalau diterbitkan, hanya di awal saja sukses. Siapa tahu ke depannya, akan menjadi kenangan.

"Kamu mencoba menyindir?" Fikri sangat muak dan tak sungkan meninggikan suaranya. "Siapapun berhak menerbitkan bukunya. Toh, aku punya banyak massa, kan? Mereka tidak keberatan, enggak kayak kamu. Sebagian pembacaku ada yang lebih suka buku fisik, makanya kulakukan. Kalau memang mau aku sukses di platform daring, aku juga bisa. Tinggal tunggu waktu yang sesuai."

Fikri pun punya naskah yang mungkin dapat menggantikan posisi HEART FOR YOU jadi novel populer. Kata Surya juga sebagai penulis terkenal, setidaknya memiliki satu buku fisik, apa salahnya? Fikri menyingkirkan rasa egonya tak ingin menerbitkan apa-apa. Beruntung Surya membantu banyak.

"Juga, aku yang berumur 37 tahun ini, perlu menyukai seseorang yang umurnya jauh dariku?" Kata-kata Fikri begitu menyakitkan bagi Vita. "Jangan mimpi. Setidaknya kamu harus sadar diri. Katamu menyukai novelnya berarti menyukai penulisnya. Apa kamu mencari cinta dengan melakukan hal senekat itu?"

Vita mencoba meluruskan. "Ti—tidak begitu, pak. Saya hanya ... kasihan melihat Anda yang sendirian dan menanggung hidup dengan bayang-bayang mantan istri Anda."

"Terus kenapa? Apa harus menyukaimu dan saling menerima rasa sakit?"

Jalan pikiran Fikri dan Vita tentu jauhlah berbeda. Vita itu hanya haus akan cinta. Ketampanan serta handalnya seorang Fikri yang membuat Vita terbuai.

"Saya kasihan. Saya tidak tahan melihat curhatan memilukan Anda di Insta Story. Saya ingin membalas dan menenangkan Anda, tapi sadar diri bahwa saya hanya mahasiswi."

"Terus mana kesadaran dirinya? Tertinggal di rumah?"

Selagi Vita ingin melanjutkan obrolannya, tiba-tiba bel pintu rumah Fikri berbunyi. Membuat pria itu mengalihkan situasi dan segera bergegas membuka pintu untuk tamunya.

Vita tak berbuat apa-apa selain melihat Fikri meladeni teman yang datang.

"Surya. Baru juga mau kuhubungi. Kamu datang rupanya." Fikri lekas memeluk sahabatnya seperti lama tidak bertemu.

"Hei, beberapa pekan lagi akan buka Pre-Order untuk novel HEART FOR YOU. Kamu sudah siap, kan?"

"Tentu siap. Duduk dulu, duduk dulu."

Vita berdiri mematung. Entah hal apa lagi yang ingin diperbuatnya.

"Apa aku sudah gila? Apa aku gila mengucapkan hal itu di depan Pak Fikri?"

Gadis itu sadar diri. Bagaimanapun usahanya, sekeras apa pun dia mencoba, Fikri tak akan mau dengannya. Dia yang cantik dengan tubuh langsing serta kulit putih bengkoang saja ditolak oleh Fikri.

"Sudahlah, jangan memikirkan hal itu, Vita. Aku tetap akan menyukai Pak Fikri, namun sewajarnya saja."

Tak sadar Vita melangkah. Diam-diam dia mengumpat menuju kamar Fikri yang menjadi tempatnya menulis.

"Wah, ada komputer juga. Ada tempat tidur nyaman. Benar-benar, kamar ini didesain layaknya kantor buatnya."

Vita menyapu pandangan. Sedikit gelap, hanya remang-remang dari lampu tidur di nakas. Lilin aromaterapi juga masih menyala. Sprei ranjang yang mengerut pun masih membekas. Dia menebak Fikri habis mengistirahatkan diri.

Gadis itu duduk di sisi ranjang dan melakukan hal tidak biasa dengan memegang bantal kepala yang memiliki kain bagus.

"Oh? Bantalnya basah." Vita mengelus bantal kepala yang kemungkinan dari air mata Fikri. "Mungkinkah, Pak Fikri menangis? Entah kenapa jadi kasihan melihatnya."

Tak cukup curahan hati di Insta Story yang menjadi highlight di akun medsos Fikri, ternyata dosen itu masih belum melupakan kenangan memilukan tentang rumah tangganya.

"Bagaimanapun, Pak Fikri pasti belum melupakan wanita bernama Ratih." Vita mendadak lesu, seraya memainkan kedua ibu jarinya. "Sekeras apa pun beliau mencoba lupa, dia tetap ingin keluarganya utuh seperti dulu."

Vita bangkit, tetap dengan ekspresinya yang lesu. "Buat apa menyukai Pak Fikri? Aku sangat ambisius mengejarnya."

Tiba-tiba saat ingin keluar dari kamar, sebuah buku catatan terjatuh dari meja. Dia tak sengaja menyenggolnya.

Buku warna merah muda beserta stiker-stiker yang menempel sampul, menarik perhatian Vita untuk mengambilnya.

"Sebentar. Buku punya siapa ini?" Vita penasaran dan langsung membuka halaman pertama.

Sontak, Vita menutup mulutnya tercengang. Tangannya terus membuka halaman selanjutnya hingga sampai di pertengahan.

"Ini ... ini, kan? Bu—buku diary milikku. Kenapa bisa ada di sini?"

*** 

Apa ini? Diary Vita kok bisa nyasar di rumah Fikri? Apa ada sesuatu di masa lalu? Tunggu kelanjutannya.

*

6 Februari 2021

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top