Real & Really
"Mamaaaaa......!"
"Mamaaaaa......!"
"Mamaaaaa......!"
"Aril, sini sama kak Diah yahh..."
"Enggak mauuu, mau sama mamaaa!"
"Tapi Rillll, mama lagi nggak bisa bantu Aril, lihat deh perut mama Aril udah gede!"
"Pokoknya sama mamaaa.....!"
"Kenapa sayangg?" Ily bangun dari berbaringnya ketika mendengar teriakan Aril putra pertamanya yang baru berumur dua tahun seminggu lalu. Real Putra Ally.
Nama yang mereka pilihkan untuk putra mereka itu terbilang unik. Real. Yang artinya nyata. Nyata. Fakta. Tidak terpaksa. Meskipun diperkirakan benih yang terproses menjadi janin yang berkembang dalam rahimnya dua tahun lalu sebelum Ily melahirkannya adalah hasil dari hubungan terpaksa. Putra Ally, jelasnya putra Ali & Ily.
"Baby 'Really', papa kerjaaa!"
Pagi tadi sebelum berangkat kerja Ali mengecup perut Ily yang sudah membesar kembali setelah pamit, mencium dahi dan bibirnya singkat. Ya, saat setahun tiga bulan usia Aril, Ily kembali positif hamil.
Pertama kali mengetahui positif hamil lagi, Ali sudah menganggapnya bayi nyata yang dihasilkan dengan hubungan tanpa paksaan. Bukan hanya napsu tapi penuh dengan cinta. Ah.
Tentu saja sangat wajar bagi mereka antara 'Real' dan 'Forced' sangat berkesan. Dan tentunya sangat bersejarah.
Pernikahan mereka yang awalnya terpaksa dan dipenuhi dengan kekerasan rumah tangga, meski bukan secara fisik karna mereka sama, yaitu mulut comberan dan patung mulut berbisa, berakhir dengan menghasilkan seorang putra yang makin merekatkan hubungan mereka yang kala itu baru saja berikrar saling ingin mempertahankan satu dengan yang lain.
Dan kehadiran Real Putra Ally, yang dipanggil Aril tersebut melengkapi perjalanan kasih mereka dari forced menjadi real. Lebih lengkap lagi jika nanti adiknya yang diperkirakan berjenis kelamin perempuan yang sudah dipersiapkan namanya "Really Baby Ally" lahir.
"Papaaaaaa!!"
Teriakan Aril pagi tadi sebelum saat ini meneriakan 'mama' sudah biasa terdengar. Aril memang sedikit temperamen. Sedang cemburu pada adik didalam kandungan karna sering dicium papa.
"Kenapa Ril?"
"Papa jahat!"
"Lho?"
"Papa celing cium pelut mama, Alil nggak pelnah dicium pelutnya!"
Aril menepuk perutnya yang sedikit gendut karna bobot tubuhnya yang montok. Ali tertawa mendengar ucapan Aril lalu mengangkat putranya yang sedang cemburu buta sama sepertinya saat cemburu pada Ily yang pernah bercerita tak sengaja bertemu dengan Bima.
Aril sama sepertinya, kalau cemburu selalu saja tak logis. Seperti kali ini, Aril cemburu karna papa sering cium perut mama, ia ingin perutnya juga dicium. Kan tak logis.
"Papa cium perut mama, karna ada adik didalamnya, kalau Arilkan sering papa cium pipinya, iyakan?!"
Meski menjelaskan seperti itu, tetap saja Ali mencium perut Aril sebagai ungkapan rasa sayang dan agar Aril tak merasa papanya tak adil.
Sekarang Aril sedang minta perhatian mama. Waktunya mandi tidak mau dibantu Diah, mintanya dibantu mama, hingga sedari tadi bikin keributan memanggil-manggil mama.
Keras kepala, apa maunya minta selalu dituruti karna selama ini memang selalu begitu.
"Ali kecil memang...." Diah selalu berkomentar begitu. Gelengan kepala dan helaan napasnya selalu menyertai saat menghadapi Aril yang diawasinya sejak lahir sampai Ali dan Ily pindah kerumah mereka memisahkan diri dari orangtuanya. Tadinya Ily masih bisa mengurus rumah dan Aril yang berusia setahun sendirian tanpa dibantu, tetapi saat ia dinyatakaan positif hamil, Ali menyarankan untuk mencari asisten rumah tangga.
"Kak Diah saja ya kalau mau, sampai kita dapet pembantu, diawasi kak Diah dulu!" Pinta Ily.
Ia merasa ngeri dengan berita-berita tentang pembantu rumah tangga di televisi. Masih kurang percaya ada orang asing dirumahnya. Lagipula mencari pembantu rumah tangga agak susah sekarang. Ada tapi belum tentu cocok. Jadi sementara Diah-lah yang membantu mereka. Kebetulan dirumah mertuanya juga sudah ada asisten rumah tangga yang sudah tak perlu pengawasan lagi sekarang.
"Bukan cuma Ali kecil, Ali besar juga begitu!" Sahut Ily pada ucapan Diah. Ily selalu teringat tingkah laku Ali yang ia kenal saat sudah menjadi suaminya bila membicarakan Aril.
Ia memang tak tahu Ali kecil seperti apa, tapi menurut dia Ali besarpun keras kepala dan selalu ingin maunya terpenuhi, mirip sama juniornya.
"Mau mandi sama mamaaaa.....!"
Aril terlihat berlari mendapati Ily yang berusaha bangun dari berbaringnya.
"Iyaa, sini mandi sama mamaa...!"
Berdiri memegang perutnya, Ily mendekati Aril yang menghambur padanya. Ily mencium kepala Aril yang mendekap perutnya.
"Mama...mama...adik udah nggak gelak-gelak lagi ya?" tanya Aril memegang perut Ily dengan telapak tangannya.
"Adik udah besar di dalam sini sayang, makanya ruang gerak adik terbatas," Ily menjelaskan sambil mengusap perutnya yang sudah memasuki bulan ke 9 dan membawa Aril menuju kamar mandi.
"Oh, adiknya kesempitan didalam sini...." Aril menyimpulkan sendiri.
Beberapa bulan saat bayi dalam kandungan Ily membesar dan mulai terasa setiap gerakannya, Aril memang paling suka diberitahu jika adiknya bergerak. Siku atau lutut yang menonjol selalu saja menjadi rebutan pegang dengan papanya.
"Yeayyy, duluan alilll.....papa kalahhhh!"
Aril sering bersorak menang karna merasa Ali kalah padahal mengalah saja. Karna kalau kalah, Aril akan menangis tak senang dan selalu berteriak, "Papa jahatttt!"
Pernah suatu kali Ali menggoda Aril, merebut mama darinya. Ali sengaja memeluk Ily tanpa bisa disentuh Aril.
"Ini mama punya papaa!"
"Punya Alillll....!"
"Bukann punya Aril, punya papaaa...!" Ali menghalang-halangi Aril menyentuh Ily dengan memeluk dan menjauhkan tangan Aril yang ingin menggapai mamanya sampai Aril kesal benar-benar tak bisa menyentuh Ily.
"Papaaaaa!" Aril mulai berteriak kesal. Menarik baju Ali yang membelakangi sambil memeluk ibunya yang tak terjangkau.
"Yeayy, mama punya papa!" Ali malah makin sengaja membuat Aril kesal.
"Papa jahatttt.....dasal patung mulut belbicaaaa....!" Aril berteriak dan memukul Ali dengan jari-jari kecilnya.
Ily yang sedari tadi menahan tawa dan menahan rasa kasian tetapi sekaligus bangga karna sedang diperebutkan dan menjadi ratu didalam rumah akhirnya benar-benar tertawa mendengar teriakan Aril,
'Dasar patung mulut berbisa' dengan ucapan khas anak kecilnya.
"Udah papaa, jangan goda Aril teruss!" Ily mengingatkan sambil melepas pelukan Ali dan menghampiri Aril yang baru saja meneriaki dan memukul pantat Ali.
"Mama jangan mau lagi sama papa, papa itu jahadddd!" Aril menangis dipelukan Ily.
"Papa cuma bercanda kok, sayang!" Ily menenangkan Aril sementara Ali malah memeluk Ily dari belakang yang sedang mendekap Aril. Aril berkesempatan memukul wajahnya.
"Eh, eh, nggak boleh begitu sama papaaa...!"
Akhirnya Ily yang kerepotan mendamaikan dua lelakinya itu. Yang satu karna memang anak kecil, yang satunya benar-benar kayak anak kecil.
"Abis papa jahat, jelek, gantengan juga Alil, wlekkkk!"
"Masa sih? Tanya sama mama dong yang mana yang paling ganteng, pasti mama bilang papa dong, ya kan maaaa?"
"Ishhh, papaaa...!" Ily mengingatkan Ali agar berhenti menggoda Aril.
"Iya deh ngalah aja, papa ganteng, Aril cakep yaa...!" Ali akhirnya mengalah.
"Enggak, papa ganteng biasa, Alil ganteng kuadlat!" Aril tak mau kalah. Dia ganteng kuadrat. Berlipat-lipat. Ali dan Ily tertawa lepas dibuatnya.
Memutar kran shower, Ily menyudahi ingatannya pada tingkah laku Ali dan Aril yang sama-sama keras kepala dan tidak ada yang mau mengalah. Terkadang lucu sama Ali, seperti masa kecil kurang bahagia. Aril anaknya sendiri dijadikan mainan. Perasaan anaknya sendiri sering dipermainkan.
Bukan tidak sayang, kata Ali, begitu caranya menyayangi Aril. Ia tahu bagaimana rasanya jadi Aril, karna iapun dulu seperti itu. Sebenarnya butuh keseimbangan. Antara dididik dan diajak bermain agar ia tidak tumbuh menjadi pria dingin sepertinya karna memiliki ayah yang dingin. Tidak juga semaunya sepertinya, yang apa-apa arus diluluskan kalau tidak rumah berantakan karna amukan. Tapi tetap saja buah jatuh tak jauh dari pohonnya. Bahkan Aril saja tahu patung mulut berbisa karna Ily tak sengaja pernah mengumpat Ali dengan sebutan itu saat bertengkar dan Aril mendengarnya.
"Patung mulut belbica itu apa mama?"
"Papa suka godain mama soalnya!"
Saat itu Ily cuma menjelaskan secara sederhana saja dan menyesal mengungkapkan kesal didepan anak mereka.
Ily mulai mengusap tubuh Aril dan memencet sabun cair yang berada didinding kamar mandi lalu mengusap tubuh montok itu. Selesai mandi, ketika Ily bergerak mengambil handuk, Aril sudah lari keluar kamar mandi.
"Arillll......!" Ily berteriak karna khawatir Aril lari diatas lantai marmer dengan tubuh basah. Reflek ia mengejar Aril karna ke khawatiran Aril akan tergelincir dan itu sangat berbahaya kalau kepalanya terbentur marmer.
"Hati-hati, Ly!"
Bugghh!
Saat Diah menangkap tubuh Aril yang berlari dari dalam kamar mandi dan melihat Ily mengejarnya, Diah sempat mengingatkan. Tetapi Ily sudah tak bisa menahan tubuhnya saat kakinya yang basah menyentuh lantai dan terpeleset lalu terduduk.
"Auwhhhh...!"
"Ily!!"
Diah melepas Aril dan mendekati Ily yang meringis kesakitan. Ily mengusap pinggangnya dan merasa ada yang merembes dari bawah perutnya.
"Kak Diahhh..."
Diah menyibak ujung pakaian yang dikenakan Ily karna Ily terlihat menjangkaunya dan tak melihat karna terhalang perut.
"Basah, Ly!"
"Mamaaaa... !"
"Sttt...sttt...tenang ya Aril!" Ily mencoba mengingatkan Aril meskipun mendadak perutnya terasa mules.
°°°°°°°
Ali melangkah tergesa melangkah di lorong rumah sakit dimana tadi ia diberitahu kalau Ily dibawa kesana. Yang ia tahu Ily terpeleset jatuh saat keluar dari kamar mandi.
"Harus segera di operasi caesar, ketubannya sudah pecah pasca terpeleset!"
"Segera saja ma, jangan sampai terjadi apa-apa sama Ily, persetujuan mama saja, aku menyusul kesana!"
Tadi Ali sudah meminta pada mamanya yang menelpon untuk segera saja memberi tindakan sesuai dengan anjuran tim dokter jangan menunggunya. Ia tidak mau terjadi apa-apa pada Istri dan bayinya. Tentu saja.
Really Baby Ally, nama yang sudah mereka persiapkan sudah menunggu pemiliknya lahir ke dunia. Walaupun harusnya bukan dengan cara mendadak seperti ini.
Tadi malam mereka sempat membicarakannya setelah terhempas melepas hasrat yang masih intens dilakukan meski perut Ily sudah menggunung. Justru saat-saat mendekati waktunya itu mereka dianjurkan untuk tetap berhubungan intim. Menurut dokter yang menangani Ily sejak anak mereka yang pertama, saat berhubungan intim, prostaglandin yang dikeluarkan sperma dapat mengakibatkan kontraksi guna membantu penekanan sehingga kepala bayi dapat masuk ke bagian bawah panggul. Meski begitu, hubungan intim pada usia kehamilan tua tetap harus dilakukan dengan hati-hati.
"Memasuki sembilan, berarti tinggal nunggu hari Really akan lahir ya, istli!" Ali berkata dan setelahnya mengecup pundak Ily yang sedang mengatur napasnya.
"Mmhhh iyahhh'..."
"Udah ngos-ngosan banget, kalau nggak kuat lagi jangan dipaksa..."
Ali mengusap punggung polos Ily, merasa bersalah kalau ritual kebutuhan biologis mereka saat Ily sedang hamil besar membahayakan bagi istrinya dan calon bayi mereka.
"Enggak papa kok, nggak terpaksa juga," Ily berkata mematahkan kekhawatiran suaminya.
Meski ngos-ngosan, Ily merasa tidak terpaksa. Hormon kehamilannya yang membuat ia tetap suka bahkan lebih doyan melakukannya disaat hamil besar seperti itu.
Dan dorongan seksual itu juga muncul dari Ali yang merasa istrinya terlihat lebih seksi saat sedang hamil. Ia tak tahan jika melihat bagian tubuh istrinya yang lebih besar dari saat tidak hamil. Selain perut, tentu saja dada dan bagian pinggul kebawah lebih besar dan menggoda Ali untuk menyentuhnya. Dan Ali selalu berusaha berhati-hati dalam memenuhi hasrat mereka meski suara-suara gairah yang timbul akibat pergesekan tubuh mereka selalu membuatnya bersemangat memompa hasrat dengan posisi-posisi yang tidak membahayakan.
Meremas bantal, meremas bahu Ali dengan tangan terangkat kebelakang karna suaminya itu berada dibelakang sementara ia meringkuk seperti bayi lalu terpekik lirih saat tiba dipuncak takkan dirasakan lagi beberapa waktu setelah ia melahirkan. Minimal 41hari. Maximal tiga bulan seperti saat kelahiran Aril didepan matanya. Kenapa sampai selama itu? Karna Ali tak tega saat menyaksikan betapa beratnya perjuangan seorang ibu yang akan melahirkan bayinya. Meski Ily ia lihat kuat dan mudah melahirkan tetapi tetap saja wajah pucat pasi dan sakitnya jelas terlihat. Apalagi Ily sempat meminta maaf pada ibunya bahkan kepadanya.
"Masih tetap mau normal?"
"Mau..."
"Nggak kapok sakitnya?"
"Sama ajaa, sakit juga, mana ada cara melahirkan yang tidak sakit, semua beresiko, bunda aja tiga kali melahirkan normal, aku baru sekali, masa kapok?" ucap Ily mengingat kalau ibunya melahirkan tiga kali secara normal, sambil berbalik menghadap Ali. Tetap pada posisi meringkuk Ily mengusap bahu Ali yang bertahan pada posisi miring menghadapnya lalu Ali mengusap keringat dikeningnya.
"Kata mama, aku dilahirkan caesar," cerita Ali.
"Iya, mama pernah cerita waktu aku sedang hamil Aril," sahut Ily.
"Mama nggak kuat karna aku lama banget didalem, pembukaannya nggak nambah-nambah!" Ali bercerita lagi meskipun Ily sudah tau.
"Ngapain sih kamu didalem lama-lama, cuami?"
"Mana aku tauuuu, masih betah kali disitu ngemut jempol, nggak mau keluar karna nggak tau kalau udah gede ada yang lebih enak di emut!" Ali meraba dada Ily yang mengenyal.
Ily tergelak sambil memukul bahu Ali dan meremas rambutnya saat bibirnya mendarat disana sesaat.
"Apaan sih, mana juga pikiran bayi semesum ituuu?" Setelah memukul bahunya, Ily menekan puting dada Ali dengan telunjuknya dengan masih menyisakan tawa.
"Habisnya, nanyanya ngapain didalem lama-lama sihh..." Ali merangkum kepala Ily dengan telapak tangannya lalu mengguncangnya pelan. Gemas. Pertanyaan nyeleneh jawabannya juga pastinya asal-asalan.
"Yang penting dedek Really jangan betah lama-lama didalem yaa, biar bisa main sama kakak Real!"
Ali mengusap wajahnya. Sepertinya si adik menuruti kata-kata mamanya. Jangan betah lama-lama didalam, makanya sebelum waktunya udah minta dikeluarkan saja meski caranya sedikit ekstream. Gara-gara terpeleset.
"Li..." mamanya terdengar memanggil saat terlihat Ali tergesa kearah mereka.
Didepan ruang operasi, terlihat Bu Rosehan, bunda Ily dan kak Diah dengan wajah tegang.
"Kenapa?"
"Nggak papa kok, cuma kita ngerasa kaget aja tidak seperti rencana awal, normal menunggu hari," kata Bu Rosehan menjawab kecemasan Ali.
"Papaaa...." suara Aril membuat Ali menyadari kehadiran sulungnya yang berwajah polos tapi saat ini menatapnya penuh arti.
"Mama nggak apa-apa, Aril doain mama sama adik ya," Ali mengangkat Aril dan menggendongnya.
Aril mengangguk ragu. Sepertinya ada yang mengganggu pikirannya. Pikir Ali, Aril cuma cemas sama seperti dirinya. Diah juga terlihat ragu. Apa yang akan Ali katakan jika tahu kenapa Ily terpeleset.
"Yang jahat bukan papa kali ini, tapi Aril!" Kalimat yang lolos dari bibir polos dengan 'R' yang sudah terdengar hampir lugas itu membuat Ali memandangnya tak mengerti. Kenapa Aril merasa jahat?
"Kok gitu?"
Pertanyaan Ali tidak terjawab saat pintu ruang operasi terbuka.
"Alhamdulilah, sudah lahir bayi perempuan, dalam keadaan baik, selamat semua!"
Dokter Sarwendah, dokter kandungan senior yang sedari anak pertama mereka sudah menjadi tempat konsultasi dan membantu persalinan berkata dengan senyum.
Untung saja beliau segera datang ketika dihubungi dan diberitahu tentang keadaan Ily. Dokter Sarwendah juga yang memberi intruksi agar segera dilakukan tindakan operasi setelah dokter muda yang bertugas di IGD menghubungi.
"Alhamdulilahhhh......."
Hanya ucapan syukur terdengar dari mereka yang ada disana.
Akhirnya operasi selesai dan kedua-duanya selamat.
"Untung saja tindakan kalian sudah tepat, setelah ada yang merembes langsung bawa ke rumah sakit!"
Diah mengangguk-angguk lega. Bu Rosehan menepuk bahunya. Diah sigap menghubungi rumah sakit untuk mengirimkan ambulance, baru setelah itu menghubungi Bu Rosehan. Dan Bu Rosehan-lah yang menghubungi Ali dan bunda Ily, sementara Diah membawa Ily kerumah sakit dengan mengangkut Aril sekaligus. Meski terkejut Diah berusaha tak panik. Untung saja Ilypun tenang meski ia merasakan mules.
Bertemu dengan Ily diruang perawatan, Aril mendadak menangis. Ily menjangkau Aril dan meraih kepalanya yang berdiri disamping Ali.
"Nggak apa-apa, mama sama adik sudah selamat yaa!" ujar Ily membuat Ali mengeryit. Teringat akan pertanyaannya yang tadi belum juga terjawab. Kenapa Aril mengatakan dirinya yang jahat sekarang?
"Sekarang bukan cuma papa yang jahat, Aril jugaaa...."
"Nggak ada yang jahat, papa nggak jahat, Aril juga nggak jahat..." sahut Ily lagi.
"Ada apa sebenarnya?" Ali bertanya dengan wajah tegang. Aril semakin was-was. Ia sangat takut kini. Ia tahu sekali kalau papanya sedang marah. Mulutnya berbisa. Aril ketakutan. Yang ada dipikirannya, papanya begitu menyayangi mama dan adiknya, pasti papa akan marah kalau tahu ia yang menyebabkan mama dan adiknya hampir celaka.
"Nggak apa-apa, Aril tadi mandi minta dimandiin mama, trus lari keluar kamar mandi, lantainya basah jadi licin..." Ily menjelaskan sehalus mungkin agar tak terjadi kesalahpahaman antara anak dan suaminya.
"Ohh, jadi gara-gara Aril lantainya licin?"
"Aril lari duluan keluar dari kamar mandi, cuma mau becandain mamaa..." ujar Diah menambahkan.
"Siniii...!" Ali menarik tangan Aril dan berjongkok menatapnya. Aril menunduk takut.
"Lihat papa!" Ali berkata dengan wajah mengeras meminta Aril menatapnya.
"Papaaa..." Ily memanggil Ali dengan nada mengingatkan agar jangan memarahi Aril tapi Ali mengangkat tangannya agar Ily jangan ikut bicara.
"Nama kamu siapa?"
"Aril..."
"Lengkapnya siapa?"
"Real Putra Ally..."
"Anak siapa?"
"Mam..maa!"
"Heh, apa kamu tau?" Mata Ali melotot.
"Jug...juga anak papa!" Aril menambahkan ucapannya karna ia mengira papanya marah karna tak disebut.
"Bukan itu, kamu tau, kita sedang dapat saingan baru buat ngerebutin mama, jadi harus bersaing sehat ya! DEAL?"
Aril yang tadinya mengkeret takut jadi berbinar memandang Ali yang mengangkat jari kelingking didepannya.
"Namanya siapa pa?" Sebelum menautkan jarinya dikelingking Ali, Aril bertanya.
"Really Baby Ally!"
"Bagaimana kalau kita bergabung aja pa, biar pasukan kita dua lawan satu? DEAL!" Aril menautkan jari kelingkingnya dikelingking papanya.
"Oke, nanti bila kita menang, mamanya buat papa!"
"Buat Aril!" Aril menarik kelingkingnya.
"Buat papa!"
"Buat..."
"Stttt...sttt...sttt...harusnya kalian jangan saling berperang, harusnya pasukan kalian ini melawan pasukan sebelah, sekarang kita 4 lawan 3, kita akan menangg!" Bu Rosehan menyahut membuat yang lain terperangah. Ada-ada saja. Ternyata berbicara dua lawan satu dan pasukan, Bu Rosehan jadi ingat pasukan sebelah dan sekarang sudah menjadi 4 lawan 3.
"Oweeekkkkk!"
"Tuhhh dedeknya nangisss, kalian sih ngerebutin ratu pasukan tanpa deal sama dia!" Bunda Ily berseloroh. Mereka sampai melupakan sikecil yang baru dilahirkan itu.
"Coba Ly, susui dulu!"
Bunda Ily menyerahkan bayi Really kepangkuan Ily. Begitu Ily membuka dadanya, bayi tersebut mencari-cari puting yang sudah diarahkan kepadanya lalu menghisapnya ganas.
Mungkin karna tak terlalu berisi membuat sedotannya jadi lebih kencang.
Untung saja rumah sakit yang dipilih dalam proses melahirkan tersebut melakukan rawat gabung, Imunisasi Menyusui Dini (IMD), dan mendukung pemberian ASI eksklusif hingga mereka tidak memisahkan bayi dengan ibunya. Dengan rawat gabung, Ily bisa kapan saja menyusui bayinya setelah sebelumnya telah dilakukan Inisiasi Menyusui Dini (IMD). Bayi juga bisa segera mendapat kolostrum saat menyusui untuk menyempurnakan ususnya.
Senangnya. Ily memandangi bayi keduanya dan Ali itu dengan senyum penuh syukur dipercaya merawat anugerah terindah lagi. Jarinya menggesek pipi bayi mungil yang sejenak seperti memandangnya lalu menutup mata dengan mulut masih menyedot dadanya. Ily menunduk mencium bayinya. Menggoyangnya pelan dengan penuh kasih. Dan semua seolah-olah terlupakan.
Ali dan Aril memandangi Ily dan Rily lalu saling menoleh kalah.
"Kakak Aril, kayaknya kita udah kalah sebelum perang sama dedek Rily!"
°°°°°°°°°°°°°°ExtraEnd°°°°°°°°°°°°°°°°°°
Banjarmasin, 24 September 2017
Haiiii...
Aku disini lagi.....
Baca juga extra terbaru bersujud bersamamu 'Extra2Sujud' ya!
Extra Bismillah akan menyusul setelah repost tamat.
Ohya, aku juga ada rencana memposting extra 'memilih cinta' diwattpad yang cuma ada diversi cetak.
Terima Kasih ya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top