F.Couple16
"Kenapa, Li?"
Bu Rosehan mengomentari Ali yang turun dari mobilnya agak lama sampai beliau mengetuk kaca jendelanya.
"Nggak, ma!"
Ali menyahut sekenanya lalu menarik napasnya dalam-dalam. Tak seperti saat ia harus ikut datang diperkenalkan pada Ily pertama kali, kali ini jantung Ali berdebar sangat keras. Membayangkan akan melihat wajah istrinya yang mungkin akan jadi mantan, ia rasanya nervous. Apa nanti yang akan ia katakan jika bertemu?
"Apa kabar?"
Ah, monoton.
"Sehat?"
Apalagi bertanya seperti itu. Terdengar sok perhatian. Ali makin tak mengerti sebenarnya apa yang terjadi pada hatinya.
"Lo jatuh cinta kali!"
"Sotoy!"
Ali teringat tadi dikantor saat ia berdiri dipinggir jendela memandang keluar sambil mengenang Ily dan saat-saat ribut mereka didalam kamar sekaligus saat-saat manis mereka diluar kamar, Dito datang mengejutkannya. Tanpa terdengar kedatangannya, mahluk itu tiba-tiba saja sudah berdiri di depan mejanya.
"Ngelamunin apa lo? Hadeh, jangan mau nerjunin diri dari lantai 7 lo!"
"Astagfirullah hal adzimm, cem setan aja lo datang-datang ngagetin gue!"
"Pak Ali yang terhormat, kalau gue setan, pasti nggak ada yang takut sama gue, secara gue ganteng gini!"
"Innalilahiiii....."
"Emang gue mati?"
"Ya kan kata lo, lo setannnn..."
Ali membalik badan lagi menatap keluar jendela.
"Kenapa sih lo? Gue kesini nggak ditanya mau ngapain?" Dito menarik kursi didepan meja Ali dan menghempaskan tubuhnya disana.
"Ck!" Ali berdecak dan membalik badannya lalu mengembalikan arah badannya menghadap jendela kembali.
"Dingin banget sih?"
"Ngapain gue hangat sama lo, sama cewek aja gue ogah!"
"Nah itu dia masalahnya, tuh si Vera nanyain lo, dia baper sama lo setelah jadi bini sehari!"
"Yaelahhh, guekan udah bilang gue cuman pinjem malam itu doang!"
"Tapi dia ngarepin lo segera jadi duda!"
Ya Tuhan. Benar-benar menambah masalah saja. Sama sekali nggak ada Vera dalam pikirannya setelah kejadian itu. Apalagi saat diantar pulang si Vera terlihat sudah terbawa perasaan.
"Kalau lo butuh gue, gue akan bisa nemenin lo lebih dari sekedar bini pura-pura Li!"
"Maksud lo?"
"Apalagi kalau lo bebas dari bini lo, gue siap..."
"Siap?"
"Siap gantiin dia!"
Ya Allah. Sudah punya masalah ditambah masalah lagi. Tak menyangka Vera seperti ini pikirannya. Padahal ketika ia menelpon Dito dan minta carikan cewek buat semalam dan Dito menyarankan Vera teman main mereka kalau sedang nongkrong, ia sudah bilang cuma buat jadi bini pura-pura. Meskipun Dito ingin tahu detail tentang apa yang terjadi tapi Ali merasa tak sempat panjang lebar menceritakannya lalu hanya bilang, "gue lagi ada masalah sama bini gue, tapi gue perlu bini buat acara malam ini sama relasi gue!"
"Jalanin dulu kayak gini!"
Asli. Ali menyesal memberi harapan. Padahal maksudnya jalanin saat jadi bini pura-pura. Jalanin saat berperan malam itu. Kadang Ali tak habis pikir, Zaman sekarang kebanyakan teman yang mengetahui temannya punya masalah, bukannya ingin membantu agar hubungannya membaik malah memanfaatkan keadaan yang sudah kacau agar ia bisa memasuki ditengah-tengah badai. Mirip sama kubu sebelah terhadap ibunya.
"Aduh, kenapa tiba-tiba jadi ribet begini?" Ali menggaruk kepalanya saat itu diiringi tatapan Dito yang keheranan.
"Kenapa lo ngerasa ribet, bukannya niat lo tuh punya bini empat, tu si Vera siap!"
"Lo bilang apa sama dia? Jangan bilang lo cerita gue pernah ngomong kayak gitu!"
"Soriii, gue ceritaaaa!"
"Haduh, lemes banget mulut lo!"
"Ya gue dipepet si Vera ditanya melulu soal lo!"
"Ck!"
"Lagi juga kenapa lo stress, bukannya udah niat lo kayak gitu!"
Ali membuang mukanya kembali ke jendela. Sama sekali nggak ada kepikiran Vera selama berpisah dengan Ily. Yang ada cuma Ily. Yang ada bayangan kerinduan pada istrinya itu.
"Lo kenapa, gelisah banget kayaknya?"
"Gue kepikiran bini gue!!"
"Lo pake hati nih pasti!" Dito berpendapat.
Ali tak menyahut. Pakai hati? Benarkah? Dito tahu sejak awal ketika Ali dipaksa menikah. Saat itu Ali merasa sangat terpaksa saja. Sesumbar tak pakai hati ketika Dito berkata, "Paling juga lo nggak tahan nggak nyentuh bini lo, masa barang bagus dianggurin!"
"Berapa hari ini gue terus terbayang dia, nggak tauu, diapain dia ya gue!" Ali menaruh kedua tangannya dipinggang sambil menatap keluar jendela.
"Di-apain maksud lo?" Dito bertanya terheran-heran. Di-apain? Memang jaman ya sekarang ini di-apa-apain? Di-pelet?
"Lo jatuh cinta kali!" Celetuk Dito. Sebenarnya asal tapi ngena.
"Sotoy!"
Mengena tapi Ali berusaha mengelak.
"Jatuh cinta sampai nggak kepikiran yang lain!"
Dito berkata lagi.
Pada akhirnya Ali hanya bisa merenunginya.
"Kalau mau mempertahankan harus ada usaha, jangan didiemin aja!" Dito asal tembak saja. Tapi dia dari awal memang bukan teman yang makan teman.
"Mama gue aja ditolak waktu mau ngomongin gue!"
"Itu mama lo, harus lo sendiri yang ngomong, memangnya yang berhubungan sama dia mama lo?"
Akhirnya Ali menelpon bunda Ily. Menjelaskan tanpa diminta. Bertanya bagaimana kabar Ily. Bilang kalau ia ingin datang bersama orangtuanya. Dan saat ini mereka sudah berada didepan rumah istrinya itu. Entah kenapa hanya berdebar yang ia rasa. Rindunya terasa semakin dalam saja. Bahkan mengingat akan bertatap muka saja Ali semakin deg-degkan.
Ali turun dari mobilnya dan melangkah mengikuti mamanya yang terlebih dulu mengikuti langkah papanya.
"Ini gimana sih cerita sebenarnya?" Pak Rosehan menoleh pada istrinya.
"Udahlah Pa, dari tadi nanya mulu tapi nggak paham juga!" Sahut Bu Rosehan tak senang ditanya itu-itu melulu.
"Enggak, papa tu heran aja. Kelihatan baik-baik saja kok dikembalikan?"
"Kita aja dulu kelihatan baik-baik saja tapi kamu tetap kawin lagi!"
"Ck!"
Pak Rosehan berdecak karna tiba-tiba diserang. Sementara Ali masih menenangkan hatinya untuk bersiap dengan pertemuannya dengan Ily. Bersiap tidak mendapatkan penolakan yang tidak ia harapkan.
°°°°°°°
"Keluarga Ali sudah datang!" Suara bunda dari luar kamar membuat jantung Ily berdegup kencang. Rasanya lebih gugup daripada ketika pertama kali dikenalkan sebagai calon suami dan istri.
"Loh! Kok nggak siap-siap sih, Ly?" Bunda menatap Ily yang berdiri memegang pintu kamar yang baru dibukanya. Bunda Ily mengeryitkan alisnya.
"Aku nggak perlu keluar-kan bun, mereka cuman mau balikin aku-kan?" balas Ily pada bunda dengan nada tanya yang sama.
Sebenarnya bukan itu harapannya. Tapi mau bagaimana? Kalau Ali ingin mengembalikan pada orangtuanya, itu sudah resiko yang harus ia terima.
"Eh, jangan gitu Ly, kalian bertemu awalnya baik-baik, kalau harus berpisah pun di akhiri baik-baik." lembut suara bunda menenangkan Ily. Ily mengangguk dan masuk lagi ke dalam kamar.
"Ganti baju, dandan yang rapi, jangan awut-awutan, meskipun harus pisah kamu tetap harus kelihatan segar!"
Ily mengangguk malas. Entah kenapa sebenarnya ia sedang malas berdandan. Tapi ingin sekali melihat wajah Ali. Entahlah. Rasanya beberapa malam ini ia memimpikannya. Ingin meraba wajahnya.
Ily mulai memoles wajahnya dengan bedak compact powder dan mengoles sedikit lipgloss dibibirnya. Dilepaskannya jepit rambut bebek yang menggulung rambut panjangnya. Ily mulai menyisir tapi dengan malas, tetapi begitu teringat ingin melihat wajah Ali, Ily sedikit bersemangat. Aneh.
Didepan cermin Ily menatap wajahnya. Sekarang sudah nggak pucat lagi setelah dipoles-poles. Ily memejamkan mata dan menarik nafasnya yang terasa sesak dalam-dalam. Ily sedang siap-siap melepaskan status dari seorang istri menjadi Janda. Ily memegang dadanya yang selalu saja ngilu bila mengingatnya.
Sementara diluar sana. Ali duduk dengan gelisah menunggu Ily keluar dari kamarnya. Sama sekali tak ada kata yang bisa terucap.
"Bima itu sahabatnya Ily dikampus, Ily memang dekat sama Bima tapi mereka tidak ada hubungan apa-apa!"
"Vera juga cuma istri pura-pura kok, karna Ali sudah berjanji sama partner kerja bulenya itu kalau mau bawa istri!"
Seperti pertemuan saat ingin meminta Ily, saat inipun yang banyak bicara kedua orangtua mereka. Mama-mama yang menginginkan semua berakhir baik dan tidak ada kesalah pahaman. Sedangkan para ayah sedang asik berdua berbicara tentang hal yang lain. Apalagi kalau bukan soal bisnis. Bahkan mereka menyudut ditempat yang lain.
'Mana dia?'
Pikiran Ali malah tertuju pada Ily yang tak keluar-keluar. Apa dia benar-benar tak mau melihat wajahnya lagi?
"Beberapa hari ini Ily terlihat kurang enak badan, dia tadi masih dandan Li, sabar ya!"
Bunda Ily justru seakan mengerti Ali sedang menunggu. Bahkan wajahnya terlihat cemas bercampur tak sabar.
"Dia sakit?" Ali bertanya dengan wajah yang terlihat mengkhawatirkan Ily karna mendengar ia sakit.
"Agak malas saja dia, Li, bangunnya agak siang lalu malas makan!" jelas Bunda Ily lagi.
"Kok gitu? Nanti tambah sakit kalau tak mau makan, bun!" Ali menyahut lagi.
"Susah dibujuknya, diajak keluar kamar aja nggak mau, badmood katanya!"
Ali tiba-tiba berdiri.
"Kemana?" Mama Ali mendongak memandang Ali.
"Kelamaan!"
Mama Ali mengeryit. Apa Ali akan pulang?
"Saya susul Ily ya bun!"
Bunda Ily dan Mama Ali berpandangan. Ada sedikit harapan yang terpancar dari mata mereka.
"Susul aja, kamarnya disebelah sana!" Bunda Ily menunjuk kedalam.
Ali melangkah dengan pasti tapi tetap terasa debaran jantungnya yang tak beraturan. Sudah tidak sabar bertemu. Melihat wajahnya. Dan menyampaikan pikirannya sedari awal menuju kerumah itu.
"Nggak ada salahnya lo bertanya sekali lagi, benarkah ia ingin di-ceraikan?"
Saran Dito terngiang.
Ali berdiri didepan pintu kamar. Menarik napasnya dalam-dalam lalu mendorong pintu kamar perlahan. Dari cermin yang ada dihadapannya, Ali bisa melihat Ily sedang memejamkan matanya.
'Ya Tuhan, bini gue!' Batin Ali berbisik. Ia memiringkan kepalanya memandangi wajah istrinya yang kelihatan lebih chubby dari biasanya. Katanya malas makan? Kenapa nggak tirus-tirus? Jangan, jangan tirus, chubby begitu lucu, manis, imut. Ali menarik sudut bibirnya sedikit.
'Kenapa dia?' Ali seketika berwajah cemas melihat Ily membuka mata lalu mengusap wajahnya, sebentar kemudian menekan pelipis dengan menyangga kepalanya itu dengan siku yang ditekuk diatas meja riasnya.
Terlihat Ily bergerak berdiri tapi terhuyung lalu dengan bergerak cepat Ali meraih dan menyangga tubuhnya. Seperti saat haus diberi air, Ali merasakan dadanya yang sesak karna rindu terasa melega karna menghirup wangi tubuhnya yang setiap malam menemaninya menjelang pagi.
Ily juga tanpa sadar memeluk erat tubuh yang mendadak membuatnya tak terjatuh karna tadi ia terhuyung. Matanya tertutup. Mimpikah rasanya ia mengenali pelukan yang ia rasa saat ini?
"Kenapa?"
"Pusing!"
"Dandannya kelamaan sih jadinya pusing!"
Suara itu membuat Ily membuka matanya. Apa ia tak salah dengar? Dan tak salah cium wangi tubuhnya? Indera perasa dan indera penciumannya normalkah?
Jantung Ily serasa mau melorot keperut ketika matanya menangkap sosok yang baru saja menyapa telinganya dengan suara yang sangat ia rindukan dimalam-malamnya akhir-akhir ini.
'Apa gue tak salah rasa? Pelukan dan suara ini...'
"Kam...kamuu...?" Ily berusaha menegakkan tubuh setelah melepaskan pelukannya.
"I miss youuu...!"
Ya Tuhan, rasanya Ily mau mencari cutton bud untuk mengorek telinganya, siapa tahu saja ia salah dengar. I miss you? Ily terperangah.
Sesaat ia terdiam tapi akhirnya mengangkat tangan menaruh punggung tangannya di kening Ali. Ali mengambil tangan Ily dari keningnya lalu tersenyum kecil, merasakan debar jantung dan teriakan batinnya karna mampu mengatakan kata-kata manis disaat terdesak.
"Gue sehat, nggak kayak lo sakit karna jauh dari gue!" Ali menyelipkan jarinya kejari Ily meskipun kalimat yang keluar dari bibirnya berupa tuduhan kalau Ily sakit karna jauh darinya. Maksudnya ingin mencairkan suasana agar tak kaku. Dan entahlah ia merasa rindu menjahili Ily.
"Enak aja!!" Ily hampir saja menarik tangannya dari selipan jari Ali kalau Ali tidak sempat mengeratkannya.
"Lepasin!"
"Enggak!"
Ily membuang pandangannya. Apa maksudnya patung ini? Kalimat yang keluar dari bibirnya menyebalkan. Semenyebalkan saat pertama kali ia berada dalam satu kamar.
Sementara Ali merutuki mulutnya yang sedari tadi tak konsisten. Dari kata manis I miss you menjadi kalimat ledekan menyebalkan.
"Apa lo lebih bahagia tanpa ada gue didekat lo?" Setelah terdiam dan tak tahu harus berkata apa, akhirnya Ali mampu bertanya.
Ily mencoba menatapnya. Sedikit puas karna sudah bisa menatapnya meskipun tak bisa menyentuh. Apa ia harus bilang? Pikirannya itu salah. Sama sekali ia tak bahagia saat jauh dari Ali.
Ily membalik badannya meski tangannya tak dilepaskan Ali. Memandangnya hanya menambah keinginan memeluknya semakin kuat saja. Memandangnya hanya ada sakit karna perpisahan didepan mata. Tapi membalik badan justru menambah parah detakan jantungnya. Tangan Ali yang masih menggenggamnya terangkat melipat tangan didepan dadanya. Ia dipeluk dari belakang sekarang.
"Maafin aku, aku suami yang nggak baik bagimu, harusnya kamu mendapatkan suami yang lebih baik dari aku, yang bisa bahagiain kamu didalam maupun diluar kamar!"
'Enggak, jangan ngomong begitu, aku mensyukuri apa yang sudah diberikan Allah. Suami seperti kamu.' Batin Ily berbisik tapi yang keluar justru kalimat lain dari mulutnya.
"Apakah itu sebabnya, hari ini kamuu ngembaliin aku pada orangtuaku?"
"Aku nggak nyebutnya ngembaliin, aku cuma ingin menuruti kemauan kamu, kalau kamu yakin ingin pisah dari aku, aku akan berusaha meluluskannya!" Ali berbisik ditelinga. Ucapannya pasrah tapi Ily merasa ada yang menyakiti dalam dadanya.
"Kalau kamu yakin mau ngelepas aku, akuu, nggak apa-apa..."
Berat mengucapkannya. Meskipun hati menolak dilepas tetapi Ily merasa gengsi kalau harus menjawab, "Kenapa kamu turuti mauku? Kenapa kamu nggak mau pertahanin aku? "
"Kalau aku yakin? Kalau aku nggak yakin gimana?"
Pertanyaan Ali yang sarat makna mengandung kata tanya bagi Ily sendiri. Maksud Ali apa sih sebenarnya? Ily menghela nafas. Dadanya mulai sesak. Ia tak bisa dibuat menerka-nerka sendiri apa yang Ali mau. Iya kalau benar menebak, kalau salah bagaimana?
Ily bersiap melangkah keluar kamar melepaskan tangan yang sedang menggenggam dan memeluknya. Tetapi Ali justru menarik dan semakin erat memeluknya.
"Jangan minta cerai lagi, jangan minta lepasin lagi, karna setiap kamu bilang begitu, pikiranku kacau!!"
°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°
Banjarmasin, 14 September 2017
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top