F.Couple15

Gelisah. Rasanya seminggu ini bagi Ali hari yang sangat tak baik.  Badmood. Kenapa? Karna ia kesepian. Tak ada Ily? Ali menghela napasnya dalam-dalam.

Bukankah dulu juga tidak ada Ily dirumah? Kenapa sekarang terasa sepi. Rasanya Ali ingin kembali dimasa mereka sama saling melemparkan kalimat kasar tetapi selalu bersama. Rasanya lebih baik Ily jadi pendiam tapi ia tetap bisa melihatnya setiap hari.

Tak bisa tidur. Tempat tidur rasanya terlalu besar sekarang tanpa ada Ily disebelahnya. Meskipun tadinya hanya pertengkaran yang ada, bahkan selimutpun bisa jadi rebutan, hal itulah yang membuatnya terlalu merasa kehilangan. Sepi. Benar-benar sepi.

"Aliii......!"

Tok. Tok. Tok!

Setiap pagi sekarang yang terdengar hanya keributan orang-orang yang membangunkannya.
Tak cukup sekali. Kak Diah dan mama bergantian membangunkan. Karna tidurnya sekelebat. Matanya jadi terasa berat.

"Iyaaaaaa!" teriak Ali dengan suara serak tapi makin erat memeluk guling.

"Dari tadi iya iya terus kamu Li, cepetan bangun ini udah jam berapa?" Suara mama berteriak didepan pintu kamar.

"Iyaaa maaa!" sahut Ali full berteriak karna pastinya suaranya akan terdengar samar dari luar.

"Buka dulu pintunya, baru mama percaya!" teriak mamanya lagi.

Ali bangkit dari tempat tidur dan dengan sempoyongan menyeret langkahnya menuju pintu.

"Astagfirullah hal adzimm, kusut banget sih Liii?"

Membuka pintu suara terkejut mamanya membuat Ali mengusap wajah dan mengusap rambutnya yang awut-awutan kebelakang.

Bu Rosehan menggelengkan kepala. Rasanya sudah lama ia tak melihat Ali kusut kalau keluar kamar. Sejak ada Ily masuk kedalam rumah mereka Ali memang lebih teratur dan terawat. Bagaimana tidak teratur dan terawat? Ily meskipun awalnya dikatakan tidak bisa apa-apa dan harus kursus segala sesuatunya untuk menjadi seorang istri, nyatanya mampu mengurus Ali.

"Buruan mandi, tadi Qiran datang nganter pesanan kamu, kamu katanya minta dibikinin ayam madu yang biasanya sering Ily buatkan buat kamu-kan?"

Satu lagi. Ali semalam mendadak kangen masakan Ily. Lidahnya sudah tak merasakan masakan kak Diah memenuhi seleranya. Kata mama pesen aja sama Qiran, ponakan papanya yang pinter memasak. Qiran gadis delapan belas tahun itu jadinya pagi-pagi sudah kerumah untuk memasak buatnya.

"Ya, bentaran ma!"

"Cepetan mandinya!"

"Iyaaa!"

Ali menarik handuk dengan malas sepeninggal mamanya. Masuk kekamar mandi ia malah duduk ditoilet sambil menatap dinding kamar mandi dengan pikiran kacau. Rasanya tidak ada gairah dan semangat. Setelah mandi tak ada lagi yang membantu untuk membenahi kerah dan mengancing kemejanya. Tak ada lagi yang ia pandang ketika  memakaikan dasi dan duduk menemaninya makan. Bahkan sampai pulang kerjapun ia tak semangat karna tak ada yang membukakan pintu kamar lalu membantu membuka lagi kancing bajunya.

Bahkan ia terkadang menyesali, harusnya empat kali lagi, sambil membuka kancing kemejanya ia bisa mendaratkan bibirnya keleher Ily dan memberinya tanda kepemilikan yang bertubi-tubi.

Ali memejamkan matanya dan menghirup udara yang tiba-tiba saja ia rasakan seperti wangi Ily ketika terakhir kali ia memuja tubuhnya. Halus kulitnya yang mulus apalagi bercampur dengan wewangian minyak zaitun yang dipakainya membuat Ali kecanduan. Sekarang yang tertinggal hanya minyak zaitunnya. Percaya atau tidak, Ali bahkan memakainya setiap malam sebelum tidur agar ia tetap bisa mencium wanginya. Ya Tuhan.

"Ngapain aja sih Li dikamar mandi kok mandinya lama amat yak?" Protes mama dimeja makan tak membuat Ali menyahut.

"Sabun nggak kamu habisin-kan, Li?"

"Maksudnya, ma?" tanya Ali dengan mata tak bersemangat sambil menggulung lengan bajunya.

"Siapa tahu gosokannya kurang licin!" Bu Rosehan seperti menggoda tapi wajahnya sedikit diseriuskan.

"Apaan sih mama?" Ali melebarkan matanya yang tadi sayu.

Tahu aja mama kalau ia habis melemparkan benihnya didinding kamar mandi. Tragis! Dengan membayangkan wajah Ily saja ia sudah bisa menaikkan gairahnya dan terhempas pada kenikmatan yang semu. Kemana Ali yang dulu yang katanya mau punya istri empat? Sekarang ditingga istri satu saja sudah tak bisa move on. Semakin ingin move on semakin rasanya sulit melupakannya.

Rindu bukan hanya pada tubuhnya yang memberi rasa nikmat. Tak sekedar rindu raganya. Tapi rindu pada kenangan yang tak kunjung bosan mendekam diretina tajamnya. Meski ia menampik rindu pada raganya tetapi cuma rindu pada kenangannya, ia tak mencoba menyadari kenangan itu tak menyempurnakan rasa rindu bila tak ada raga yang ia rindukan dalam dekapannya.

'Weitss. Puitis banget dah gue!' Ali menggeleng menggoyahkan pikirannya yang ternyata tak bisa melupakan rasa rindu yang tak disadarinya.

Ali menghadapi makanan yang sekarang sudah tersedia di meja makan. Sebelum ia memakannya ia memandangi tampilan masakan itu.

"Kenapa? Udah sama kan tampilannya dengan masakan yang sering dibuatkan Ily?" Lagi-lagi mamanya sudah bisa menebak pikirannya.

"Iya maa...."

"Ya udah, jangan dipandangi terus, dimakan!"

Ali mulai menyendok nasinya kepiring dan mengambil lauknya. Biasanya Ily melakukan semua itu untuknya. Ah, kenapa jadi ingat Ily lagi?

"Gimana rasanya kak Ali?" Qiran yang sedari tadi duduk disamping Bu Rosehan bertanya.

"Lumayan, enak kok!" sahut Ali sambil menyantap masakan itu.

"Iya dong, Qirankan pinter masak!" Sahut mama Ali.

"Kalau sama masakan Ily, enak mana?" Kali ini kak Diah yang baru mendekat bertanya dengan mimik menggoda.

"Apaan sih?"

"Cie..ciee...belum bisa move on....!" Qiran ikut-ikutan menggoda.

"Ck. Apaan sih anak kecil ikut-ikutan aja?"

Ali berdecak lalu menyambit Qiran dengan tisu yang baru ia tarik untuk melap mulutnya dan menggumpalnya sebelum melemparkan kearah keponakan ayahnya itu.

"Gimana bisa move on kalau isi kamarnya masih dipenuhi bau Ily?" ucap Bu Rosehan lagi.

"Sayang sekali kayaknya Ily susah maafin kamu ya Li!" Kak Diah berkata dengan mimik serius.

Ali terdiam. Ada perasaan gundah dihatinya. Mamanya bilang, beliau sudah mencoba menghubungi Ily melalui keluarganya, tapi Ily tak mau diajak bicara mengenai Ali. Ali sendiri sebenarnya belum sempat atau memang menunda untuk pergi ke pengadilan agama.

"Sebenarnya hubungan kalian selama ini gimana sih?" Bu Rosehan bertanya penasaran.

Ali berdiri dari duduknya tanpa menjawab pertanyaan ibunya. Ia memang belum bercerita jujur bagaimana hubungannya dengan Ily yang penuh dengan sandiwara. Pencitraan. Semacam gimmick. Dimana cuma diluar kamar terlihat manis. Padahal didalam kamar penuh dengan keributan. Tapi kemanisan sekaligus keributan itulah yang membuatnya tak bisa move on karna merasa kehilangan.

"Li?"

"Sudahlah ma!"

"Lalu mau dibawa kemana hubungan kalian kalau tidak diselesaikan?"

"Biar saja, nanti dia kecepetan kawin lagi kalau dilepas cepat-cepat!" Sahut Ali keceplosan.

"Maksudmu, kamu nggak rela? Nggak bisa nge-ikhlasin?"

Ali tak bisa menjawab sementara mamanya mengiringi langkahnya.

"Kalau kamu mau mempertahankan dia kamu harus melakukan sesuatu!"

Mempertahankan? Benarkah ia ingin mempertahankan? Apa yang ia lakukan selama ini? Tidak ada. Membiarkan saja semuanya mengambang dan menggantung. Seakan tak peduli padahal ia peduli. Terkadang ia berpikir, buat apa peduli pada orang yang menginginkan oranglain. Buat apa memikirkan orang yang tak pernah memikirkan perasaannya. Istri macam apa? Menerima tamu laki-laki lain dan pasrah dicium tanpa protes dan itu terjadi didepan matanya. Bukankah sudah jelas apa yang Ily inginkan? Seketika ada rasa marah menelusup kedalam batinnya.

"Li, tolong jujur saja sama mama, kalian tidak bisa mendiamkan saja persoalan ini!" Bu Rosehan berusaha untuk membuat pikiran Ali terbuka dengan persoalan yang menimpanya.

"Instrospeksi diri, Li!" ucap mamanya lagi karna Ali hanya diam.

"Dia yang ingin minta cerai-kan ma, bukan aku!"

Ali akhirnya angkat bicara soal hubungannya dengan Ily dari sisi dirinya.

"Kenapa?"

"Ya mungkin karna ada pria itu!" tukas Ali sambil meraih sepatunya yang sedikit berdebu. Tak ada yang menyemirkan setiap pagi seperti sebelumnya jadinya Ali sendiri yang membersihkannya pakai kaos kaki yang masih ada dirongga sepatu. Jorok.

"Mungkin?" Bu Rosehan menekan kata mungkin yang diucapkam Ali.

"Kenyataannya begitu-kan?" sahut Ali lagi dengan mood yang semakin buruk saja.

"Sebaiknya kalian bicara dari hati ke hati deh, kamukan belum menjelaskan tentang siapa yang kamu bawa dinner itu Li!"

"Buat apa ma? Dia tidak mengharapkan penjelasan, dia tidak mengharapkan aku mempertahankannya...."

"Itukan pikiran kamu..."

"Pikiran yang benar ma, bukan pikiran yang salah, aku yang tahu Ily selama disini, didalam kamar aslinya bukan diluar kamar!"

Mamanya menghela napas. Kalau sudah begini, beliau merasa tak tahu lagi apa yang harus dikatakan.

"Setidaknya kita datang kerumah orangtuanya untuk mengembalikan seperti kita datang untuk memintanya, Li!"

Musnah sudah harapannya untuk menambah pasukan dengan menikahkan Ali. Sepertinya mereka berdua didalam kamar tak melakukan apa-apa sampai lebih dari dua bulan ini Ily tak ada tanda-tanda kehamilan. Meski ia tak tahu sepenuhnya apa yang terjadi didalam kamar tetapi ia sudah bisa membaca sekarang dari apa yang Ali bicarakan.

"Pergi dulu, ma!"

Ali pamit tanpa menjawab apa yang sudah disarankan mamanya. Datang untuk mengembalikan? Rasanya ia benar-benar merasa tak rela. Perasaan apa ini? Apakah hanya sekedar rasa egois karna sudah merasa memiliki?

"Telpon orangtuanya, Li!"

Ali cuma diam mendengar pesan ibunya saat ia memasuki mobil.
Ketika ban mobil sudah menggilas aspal, pandangannya ke jalan tapi pikirannya pada Ily. Rasanya otaknya semakin berat saja.

Berjalan lunglai menuju ruangannya ketika dua puluh menit kemudian ia tiba dikantornya, Ali tak peduli tatap mata karyawan yang dilewatinya terlihat heran. Kelihatan tanpa semangat. Tidak seperti Ali yang seminggu sebelumnya, sebelum kehadiran Mr. Dauglash. Pikir anak buahnya Ali stress karna kerjasamanya dengan Mister dari Eropa itu terancam gagal karna Ali tak konsentrasi pada bisnis disebabkan masalah rumah tangga. Ali memperingatkan keras bagi karyawan yang menggosip tentang dirinya karna mereka semua tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dan Ali merasa tak perlu ia menjelaskan masalahnya supaya mereka tidak berpikir buruk tentangnya.

Duduk dibelakang meja kerjanya Ali menyandarkan punggung disandaran kursinya yang empuk. Menyandarkan kepala lalu memejamkan matanya. Kenapa rasanya hidupnya kacau? Ah. Ali mengacak rambutnya sendiri lalu  memutar kursi kerjanya menghadap jendela. Rasanya mau terjun bebas dari jendela karna prustrasi. Ah.

"Kenapa sih gue? Rasanya baru kali ini merasa prustrasi karna melepaskan!"

Ali mengacak-acak rambutnya lagi. Bukannya ia sudah sering melepaskan bahkan dilepaskan perempuan lain, kenapa sekarang rasanya berbeda? Apakah sesungguhnya niat mempertahankan lebih besar daripada melepaskan? Karna apa? Cinta?

°°°°°°°
"Ali tadi menelpon, dia akan datang bersama orangtuanya nanti malam!" ucapan bundanya membuat dada Ily berdenyut ngilu.

Akhirnya dia akan datang juga. Meskipun datangnya mungkin hanya untung mengembalikan. Ah, dadanya berdenyut ngilu lagi, Ily memegang dadanya sendiri.

"Ali tadi minta maaf sama bunda soal kejadian di restoran, dia bilang semuanya tidak seperti yang kita pikir..."

"Untuk apa dijelaskan lagi, sudah jelas dia menggandeng wanita lain, apa gunanya juga dijelaskan, toh ujung-ujungnya tetap berpisah," ucap Ily emosi.

Entah kenapa bila mengingat Ali menggandeng wanita lain untuk diajak Dinner dan diperkenalkan sebagai pasangannya Ily merasakan emosi yang luar biasa.

"Ily...."

"Aku benci sama dia bun, dia nuduh aku tapi dia sendiri yang begitu, dia pikir aku ini patung sama kayak dia yang nggak punya perasaan itu?"

"Sebenarnya kamu kenapa sih Ly? Cemburu?"

Cemburu?' Ily mengerucutkan bibirnya.

"Ah enggak, aku nggak cemburu, ngapain cemburu sama dia? Dia aja yang cemburu sama Bima!"

"Jadi sama-sama saling cemburu?"

"Bunda? Apa bunda tak marah melihat menantu membawa perempuan lain?"

"Coba dengerin dulu penjelasan dia, baru kamu boleh sakit hati dan marah!"

Bunda Ily tersenyum bijak. Ily sampai heran terbuat dari apa hatinya? Kenapa sampai tak juga emosi dengan sikap Ali yang sudah jelas-jelas tak setia? Sengaja melepaskan karna sudah ada yang lain.

"Buat apa dijelasin lagi, bun? Udah jelas dia sengaja mau lepasin aku!"

"Kalau dia nggak mau lepasin kamu, emangnya kamu mau?" ucapan Bundanya membuat dada Ily berdenyut ngilu kembali.

Ali tidak mau melepaskan? Apa tidak salah? Ily tak percaya. Apa artinya ia buat Ali? Bukannya mudah saja Ali mencari pengganti walaupun ia harus melepaskan dirinya? Ck.

Meski begitu rencana kedatangan Ali  entah kenapa membuat Ily berdebar. Setidaknya Ily merasa bisa melihat wajahnya untuk terakhir kalinya. Entah kenapa lagi ia ingin merekam ulang raut wajahnya yang dingin, mimiknya yang datar seperti patung, ucapannya yang kasar seperti preman agar ia bisa segera melupakannya.

Karna yang ada dalam benak Ily  selama mereka berpisah, raut Ali sangat jauh berbeda ketika sedang bercinta dengannya. Ketika sedang dilanda gairah wajahnya jauh lebih sayu dan lembut. Ketika menyatukan tubuh mereka wajahnya begitu hangat karna nikmat. Ketika pelepasan mimiknya terlihat ringan seperti melepaskan beban dengan kepuasan. Dan hal itu membuatnya jatuh pada kenangan yang menjadi rasa rindu yang tak berujung. Hanya berujung pada ketersiksaan karna Ali sepertinya tak peduli. Dan ia berusaha tak rindu pada raga itu. Cuma merindukan kenangannya saja. Meskipun tak mungkin merindukan kenangan tanpa merindukan orangnya. Karna takkan sempurna sebuah rindu tanpa balasan rindu.

"Ah, aku akan segera move on karna akan merekam wajah dinginnya yang menyebalkan seperti diawal!"

°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°
Banjarmasin, 13 September 2017

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top