Setenggar Hati

Kamar mandi menjadi pelampiasan. Air dingin mungkin bisa menjernihkan kembali pikiran, menormalkan kembali detak jantung dan mengusir resah yang tiba-tiba menyapa hati malam ini. Haiva masih yakin bahwa semuanya hanya kebaperannya saja. Dia yang selama ini hanya hidup berdua dengan sang ibu kemudian mendapatkan perhatian dari seorang kakak yang sangat menyayanginya.

Tidak hanya mandi, Haiva mengguyur kepalanya berulang kali. Sampai-sampai Jeffrey mengetuk pintu kamar mandi karena adiknya tak kunjung keluar padahal sudah lebih dari setengah jam berada di sana.

"Va, are you ok?" Jeffrey memelankan suaranya.

Tidak ada jawaban dari dalam, hanya suara air yang jatuh dari gayung ke tubuh Haiva. Jeffrey hanya takut adiknya akan masuk angin, karena udara di luar cukup dingin dan Haiva mandi dalam waktu yang cukup lama.

Tak berselang lama dari Jeffrey mengetuk pintu, Haiva keluar dengan terburu-buru. Dia bahkan tidak melihat Jeffrey yang masih berdiri di dekat pintu kamar mandi. Helaan napas Jeffrey mencoba menetralkan asumsi yang melintas di pikirannya.

Dia baru mengingat, bukankah panti asuhan akan mengingatkan adiknya dengan kisahnya sebelum pertemuan mereka. Meski tidak tinggal di panti, Haiva juga merupakan anak yatim. Mungkin juga Haiva bersedih karena teringat kembali pada almarhum ayahnya.

"Aku akan menjadi orang paling depan untuk melindungimu selain Papa dan Ibu, Haiva. Aku sudah janji, jika Allah menghadiahkan seorang adik, aku akan menjaganya." Jeffrey bergumam lirih.

Beralih Jeffrey yang kini menggunakan kamar mandi. Dia juga harus membersihkan badannya. Namun, tidak selama yang Haiva lakukan, Jeffrey segera menyudahi setelah menganggapnya cukup.

Dia kembali ke kamar ketika tidak seorang pun ada di ruang makan. Mungkin Haiva langsung beristirahat. Mereka sudah makan malam bersama dengan anak-anak panti di sana. Namun, saat Jeffrey keluar kamar dengan semua peralatan kerja miliknya karena dia harus menyiapkan bahan untuk mengajar keesokan harinya dan juga membuat laporan kegiatan harian, Haiva yang duduk di kursi di ruang keluarga tiba-tiba berlari ke kamar tanpa menyapanya.

"Aneh," ucap Jeffrey. "Tidak biasa-biasanya Haiva sekaku ini, apa aku berbuat salah kepadanya?" Langkah kaki Jeffrey mengarah ke pintu kamar Haiva.

Kembali dia mengetuk pintu seperti yang dia lakukan di kamar mandi sebelumnya.

"Va, what's wrong with you? Open the door, please."

Haiva bergeming. Detak jantungnya kembali tak beraturan. Dia takut, berdekatan dengan Jeffrey semakin meresahkan hatinya.

"I'm okay, Mas. Hanya capek sedikit, aku langsung tidur aja," jawab Haiva tanpa membuka pintu.

Jeffrey melebarkan mata dan mengempaskan napas. Dia memilih kembali untuk mengerjakan tugasnya. Haiva memang bukan anak kecil lagi jadi dia mencoba memberikan kepercayaan kepada adiknya untuk melakukan problem solving atas kesulitan yang mungkin menimpanya sekarang.

Keesokan paginya, kembali Jeffrey dibuat terkejut oleh tingkah adiknya. Saat dia sedang bersiap-siap, Haiva berangkat lebih dulu dengan sepeda motornya tanpa pamit. Hanya berkata kepada Bi Tum bahwa ada yang harus diselesaikannya di sekolah pagi-pagi.

"Tidak cerita yang lain, Bi?" tanya Jeffrey.

Tumini menggelengkan kepalanya.

"Tapi, Mas—" jawaban menggantung yang membuat Jeffrey membalikkan badannya kembali menghadap pada pengasuhnya ini.

"Mbak Haiva tadi sepertinya memang menghindari Mas Jeffrey, karena sebelum mengambil kontak sepeda motornya di kenap bertanya kepada saya, Mas Jeffrey ada di mana."

"Lalu?" Jeffrey mengernyitkan keningnya.

"Ya saya jawab sedang bersiap setelah mandi. Lalu Mbak Haiva-nya langsung buru-buru pergi."

"Belum sarapan berarti dia?" Jeffrey melongok ke meja makan yang masih utuh.

Tumini kembali menggelengkan kepalanya. Jeffrey mengancingkan lengan bajunya dan meminta pengasuhnya itu untuk menyiapkan dua bekal untuknya dan untuk Haiva.

Pagi itu, Jeffrey harus bermain dengan setir bundarnya untuk bisa sampai di sekolah. Hal yang menurutnya terlalu berlebihan. Sebagai calon guru harusnya dia lebih bersahaja, meski mobil bukanlah barang yang mewah lagi, tapi saat semua mata melihat yang dia kemudikan, tentu saja mereka bisa menghitung berapa rupiah yang harus dikeluarkan untuk bisa memiliki SUV keluaran Jerman series GLE 450 itu.

Sebelum ke sekolahannya—kampus satu—Jeffrey terlebih dulu ke kampus dua. Dengan dalih ingin bertemu kepala sekolah untuk memberikan laporan dan diskusi metode pengajaran, dia memilih menemui Haiva di kelasnya terlebih dulu.

"Iva, dicari Oppa Jungkook tuh di depan kelas."

Sapaan salah satu teman sekelasnya mengoyak lamunan Haiva. Dia menggeragap, sayangnya Haiva tidak lagi bisa menyembunyikan semua itu karena Jeffrey telah lebih dulu melihatnya dari ujung pintu. Dia berjalan mendekat dengan sebuah paperbag di tangan kanannya.

"Mas Jeffrey—?" Mulut Haiva sedikit terbuka.

"Kenapa harus berangkat dulu dan nggak sarapan di rumah? Kalau kamu sakit gimana?" Kekhawatiran itu tampak tergambar jelas di wajah Jeffrey.

"Ke kantin yuk, temani aku. Aku juga belum sarapan gara-gara kamu." Tanpa menunggu jawaban Haiva, Jeffrey menarik lengan adiknya dan mengabaikan teman-teman Haiva yang memperhatikan mereka.

Seperti mendapatkan komando saat tangan mereka bersentuhan. Hati Haiva kembali jumpalitan. Dia sangat menikmati perhatian dari kakaknya, tapi takut jika rasa yang tumbuh di hatinya berbelok arah dan dia tidak bisa mengaturnya lagi.

"Mas, malu dilihat teman-teman." Haiva merengek, tapi Jeffrey tetap mengabaikannya. Sepertinya dia akan memberikan hukuman untuk adik manisnya ini di kantin nanti.

Tatapan mata Jeffrey mengunci pandangan Haiva. Dia semakin tercekat saat Jeffrey tidak memberikan celah untuk mengalihkannya.

"Haiva, did I wrong you?"

Haiva tertunduk. Dia sudah tidak sanggup lagi menatap manik mata kakaknya dengan intens. Itu sangat tidak baik untuk kesehatan hatinya.

"Kenapa harus menghindar jika aku nggak melakukan kesalahan?"

Pertanyaan beruntun dari Jeffrey yang membuat Haiva semakin bisu. Dia masih mengunci rapat-rapat bibirnya, takut saat suaranya yang keluar dia tidak lagi bisa menahan air mata yang pasti akan turut serta.

Apakah jatuh cinta bisa terjadi secepat itu? Rasanya mustahil, tapi Haiva tidak berani mengambil risiko dengan selalu berdekatan dengan kakaknya.

"Haiva, aku bicara dengan manusia, kan? Bukan dengan manekin. Kalau kamu nggak menjawab, bagaimana aku bisa tahu masalahmu?"

Jeffrey mengambilkan makanan Haiva kemudian meminta sang adik menghabiskan sarapan paginya.

"Aku nggak—" Baru saja Haiva hendak bersuara, tapi dia justru tersedak. Jeffrey dengan cepat meraih gelas minumnya dan berpindah posisi memberikannya kepada Haiva lalu membantunya dengan menepuk bahu adiknya perlahan.

"Pelan-pelan makannya. Aku nggak akan pergi sebelum kamu menjawab semua pertanyaanku."

Haiva justru yang memilih berdiri dan meninggalkan Jeffrey sendiri di kantin. Berniat untuk mengejar, tapi langkahnya terhenti saat yang bersamaan sekelompok guru masuk ke kantin dan memanggilnya. Jeffrey akhirnya tertahan di kantin.

Setelah berbasa-basi sebentar dengan para guru yang menyapanya akhirnya dia bisa meninggalkan tempat itu. Namun, juga tidak mungkin menemui Haiva lagi karena harus segera meluncur ke kampus satu untuk mempersiapkan mengajar.

Seharian mengajar di kelas, tapi pikiran Jeffrey masih berada pada Haiva. Dia masih meraba apa yang sesungguhnya terjadi pada adik tirinya itu. Sepertinya kemarin baik-baik saja. Dengan cepat Jeffrey mengetikkan pesan singkat kepada sang adik.


Meski Jeffrey tahu, saat itu pasti gawai milik adiknya masih mati karena masih dalam lingkungan sekolah. Namun, setidaknya setelah menyala dia membaca pesannya. Rasanya ada yang ganjil setelah menikmati kebersamaan, tertawa dan berbagi cerita dengan Haiva. Jeffrey tidak ingin lagi ada kata sendiri. Dia sangat menikmati hari-harinya bersama keluarga barunya.

"Pak Jeff, kalau seperti itu bukannya nanti tidak bisa bergerak karena tidak ada sambungan dari input tenaga pada kumparan yang harusnya menggerakkan dinamonya?"

Jeffrey terhenyak.

'Fokus Jeff, fokus. Kamu harus profesional.'

Karena moodbooster-nya hari ini menghilang Jeffrey mendadak seperti orang linglung. Dia segera menyudahi pembelajaran setelah meluruskan informasi yang salah dia ucapkan di hadapan para siswa.

'Beruntunglah, Jeff. Satu siswa di kelasmu menyadari bahwa kamu telah membuat kesalahan hingga bisa segera diluruskan.'

Jeffrey berjalan menuju ruang guru. Harinya mendadak kelabu, apa karena seharian dia belum melihat senyum Haiva, entahlah. Jeffrey hanya bisa menghela napasnya. Tiba-tiba dia mengingat sesuatu. Let us always meet each other with smile, for the smile is the beginning of love.

Jeffrey kembali mengeja dan mengartikan dengan pelan-pelan. Senyum adalah awal dari sebuah cinta, mungkinkah hatinya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top