Senarai Rindu
Bak dua orang yang tidak saling mengenal, Haiva dan Jeffrey seperti orang asing di rumah mereka sendiri. Tumini yang melihat keduanya menjadi keheranan. Tentang Jeffrey dia sangat paham, tapi dengan Haiva? Wanita paruh baya itu masih berusaha untuk mengerti.
Tidak ada kebaikan mendiamkan saudara sendiri, apalagi lebih dari tiga hari. Allah pun melarangnya. Namun, Haiva tidak cukup memiliki keberanian untuk mengatakan. Yang dia lakukan sekarang adalah untuk menyelamatkan hati agar tidak berharap lebih. Selain itu dia juga ingin menjernihkan pikiran. Tidak mungkin tumbuh cinta di antara dua saudara yang harusnya saling mengasihi.
Jeffrey sendiri diam bukan karena tidak peduli. Ada banyak pekerjaan yang menyita perhatiannya. Tugas praktik siswa yang butuh ketelitian dan konsentrasi karena dia juga belum memiliki pengalaman yang banyak. Saat siswanya membuat praktikum, Jeffrey pun tidak kalah sibuknya untuk mencoba. Sehingga masalahnya dengan Haiva seperti tergeser dengan sendirinya.
"Mas Jeff, mboten sae lho nesunan kaleh adi niku. Ada apa to? Apa Bibi harus cerita ke Bapak?" --Mas Jeff, tidak baik marahan dengan saudara.--
Jeffrey menatap pengasuhnya itu sekilas. Dia lalu kembali mengerjakan laporan kerja.
"Mas, diaturi kok ya mung mendel wae to. Mbok ya didangu, Mbak Iva kenapa." --Mas, diberi tahu kok hanya diam saja. Sebaiknya ditanya, Mbak Iva kenapa.--
"Apa ta Bi? Paling meh halangan. Makane badmood-an." --Mungkin mau halangan, makanya badmood.--
Tumini meninggalkan Jeffrey setelahnya. Hari sudah lewat Isya tapi Haiva belum juga sampai. Jeffrey semakin resah, jika sebelumnya dia hanya menyimpannya dalam hati sekarang Jeffrey memilih mengikuti langkah Tumini ke belakang.
"Bi. Haiva nggak pamit mau pergi ke mana? Ini sudah lepas Isya kok belum pulang juga." Jeffrey membuka layar gawainya.
Tumini menggelengkan kepalanya. Yang dia tahu dari sepulang sekolah, Haiva hanya ganti pakaian kemudian keluar lagi dengan sepeda motornya. Seminggu terakhir ini dia memang kelihatan lebih pendiam dari sebelumnya. Sering mengurung diri di kamar dan sepertinya memang sengaja menghindari Jeffrey di rumah.
Jeffrey masih menatap layar gawainya. Pesan yang dikirimnya pada Haiva seminggu yang lalu hanya dibaca tanpa adanya balasan. Dia segera berganti pakaian. Sepertinya sang adik sudah kelewat batasan, mendiamkannya tanpa alasan yang jelas. Jeffrey harus segera bertindak.
Setelah berganti pakaian, Jeffrey memilih kembali menghubungi gawai Haiva. Sejak tadi panggilannya tersambung, tapi tidak ada jawaban. Setelah panggilan keempat, barulah terdengar suara berisik dan dehaman laki-laki yang semakin membuat Jeffrey bertambah khawatir.
"Selamat malam," suara orang di ujung telepon menyapa perungu Jeffrey.
"Siapa kamu, di mana Haiva?"
"Maaf, Pak. Apa Bapak keluarga dari korban tabrak lari pemilik HP ini?"
Jantung Jeffrey berdegup semakin kencang. Dia butuh memastikan. Apakah yang dimaksud dengan korban tabrak lari itu adalah adik tirinya atau bukan.
"Maksudnya Haiva kecelakaan?"
"Pemilik gawai ini seorang wanita yang ditemukan masyarakat tergeletak di jalan setelah tertabrak mobil yang justru meninggalkannya di tempat kejadian lalu mereka langsung membawanya ke sini."
"Sekarang korban ada di mana?" tanya Jeffrey.
"Rumah Sakit Seger Waras."
Jeffrey memanggil Tumini, memintanya bersiap karena mereka harus segera berangkat ke rumah sakit. Tidak banyak bicara, dalam benaknya hanya ingin tahu bagaimana keadaan Haiva sekarang. Tumini pun tahu diri, dia juga tidak banyak bertanya setelah tuan mudanya menerima kabar kalau sang adik kecelakaan.
Sampai di IGD Rumah Sakit Seger Waras, Jeffrey segera berlari ke petugas dan memastikan keadaan Haiva.
"Tidak ada identitas bersamanya. Sehingga kami tidak bisa menghubungi siapa pun. Gawainya ditemukan tidak jauh dari tempat jatuhnya, tapi terkunci dan kami tidak bisa mengaksesnya. Sampai Bapak telepon tadi."
"Saya bisa melihat keadaannya?" Jeffrey menerima gawai yang sudah retak layarnya. Dia tidak lagi peduli apa pun kecuali Haiva.
Andai saja jantung yang dimilikinya itu buatan negara tetangga, sudah bisa dipastikan jika kini pasti sudah tidak lagi berada di tempatnya. Melihat Haiva dengan luka lebam dan terdapat bekas darah yang mulai mengering di wajah dan sebagian tubuhnya membuat Jeffrey lemas tak berdaya.
Mata Haiva masih terpejam, meski napasnya berembus teratur. Namun, melihat sesekali dia mengernyit, Jeffrey tahu bahwa adiknya sedang tidak baik-baik saja.
"Iva, buka matamu. Jangan buat aku semakin khawatir." Jeffrey menatap bias. Matanya sudah mulai mengabur, bukan karena dia kehilangan kesadaran, tapi kegelisahannya membuat kelenjar lakrimalnya tidak bisa membendung air yang tiba-tiba mengalir di belah pipinya.
"Kamu ada masalah apa, Iva? Kenapa nggak mau cerita?" Jeffrey menghapus air matanya dengan kasar. Dia ingin menemui dokter yang menangani adiknya. Sementara itu Tumini diminta terus berada di sisi Haiva, siapa tahu gadis itu siuman ketika ditinggal Jeffrey pergi.
"Dokter, mengapa adik saya belum siuman padahal kata perawat tidak ada luka yang serius?" Jeffrey bicara tanpa basa-basi setelah dipersilakan duduk di depan dokter.
"Sepertinya korban sempat terpelanting di jalan, karena kalau dilihat dari jatuhnya, beberapa saksi mata mengatakan bahwa helm yang dipakai korban terlepas dari kepalanya." Dokter itu masih menatap Jeffrey dengan saksama.
"Kemungkinan terburuk, pasien mengalami gegar otak."
"Astagfirullah, Haiva." Bibir Jeffrey bergetar. Dia tidak sanggup membayangkan kesakitan yang dialami adiknya kini.
"Lalu apa yang harus kami lakukan, Dokter?" tanya Jeffrey setelah berhasil menguasai dirinya.
"Tolong segera isi formulir di administrasi supaya kami bisa melakukan tindakan dengan segera."
Tidak menunggu nanti Jeffrey segera melangkah meninggalkan ruang dokter di IGD.
"Tolong lakukan yang terbaik, Dokter."
Jeffrey berulang kali menelepon papa dan ibunya. Setidaknya meski mereka sekarang sedang di Belanda, keduanya harus tahu kondisi Haiva, tapi sepertinya sinyal tidak bisa bersahabat.
Jeffrey kembali menatap wajah adiknya yang penuh dengan luka. Rasanya sebagai seorang kakak, dia telah gagal menjaga Haiva. Apa yang harus dia katakan kepada orang tua mereka sebagai bentuk pertanggungjawabannya?
"Maafkan aku, Iva. Mungkin aku kurang peka saat kamu ada masalah. Tapi sungguh, aku tidak berniat untuk mendiamkanmu. Kamu harus kuat sekarang. Dokter akan melakukan tugasnya untuk membantu proses sembuhmu."
"Sabar, Mas. Semua ini cobaan, Allah sedang menguji keikhlasan kita."
"Masalahnya aku tahu, Bi, kalau Iva sedang ada masalah, tapi dia tidak pernah mau cerita padaku. Kakak macam apa aku ini?" Jeffrey meluruh di lantai.
Kepalanya tertunduk di antara tekukan kaki. Hatinya hancur seketika. Dia begitu sayang kepada Haiva, jika memang harus ada yang celaka mengapa bukan dirinya. Mengapa justru orang yang selalu memberinya semangat?
Jeffrey mondar-mandir di depan ruang radiologi. Beberapa bayangan buruk melintas di benaknya. Sepertinya, semesta seakan mengempaskan dirinya ke ngarai yang cukup dalam. Sampai-sampai Tumini tidak tega melihat tuan mudanya semrawut seperti sekarang.
"Mas Jeffrey, duduk dulu. Mbak Iva pasti kuat di dalam."
"Aku takut, Bi—" Air mata Jeffery kembali meleleh.
"Aku tidak siap, dan sampai kapan pun tidak akan pernah siap. Kami baru sebentar bersama, aku baru menikmati menjadi seorang kakak. Aku tidak ingin kehilangan Haiva," Jeffrey berucap lirih di sela lelehan air matanya.
"Dia gadis yang baik, pandai di sekolah dan tidak banyak tingkah. Kenapa Allah memberikan kesakitan kepada gadis baik ini di saat-saat akhir sekolahnya?"
Melihat Jeffrey sesedih itu, Tumini pun tak kuasa menahan air matanya. Dia tahu Jeffrey sesayang itu kepada Haiva. Dia sangat memperhatikan kebutuhan adiknya bahkan sampai hal yang paling kecil sekalipun.
"Mas Jeffrey harus kuat, jangan sampai terlihat lemah di depan Mbak Iva. Supaya dia juga kuat dan semangat untuk sembuh."
Jeffrey menggelengkan kepalanya lemah. Dia sendiri tidak tahu mengapa selemah itu ketika mengetahui adiknya sedang berjuang untuk sembuh. Seperti ada yang hilang dalam jiwanya, laksana separuh napas yang terlepas dari raganya.
Perawat mendorong hospital bed Haiva keluar dari ruangan. Matanya masih terpejam, tapi dengan jelas bibirnya bergerak menyuarakan sesuatu.
"Mas Jeff ... Jeffrey."
Jeffrey yang mendengar itu meminta perawat menghentikan beberapa saat, tapi sepertinya perawat tidak mengabulkannya.
"Kita langsung membawa pasien ke ruang rawat, Pak. Nanti bisa ditemui di sana," salah satu di antara mereka akhirnya bersuara.
Jeffrey menurut, dia memanggil Tumini untuk mengikuti perawat yang mengantarkan Haiva ke kamarnya. Sementara dia harus menebus obat yang telah diresepkan dokter dengan segera.
Dua puluh menit kemudian, Jeffrey masuk ke kamar perawatan Haiva. Tatapannya berserobok dengan tatapan sayu milik Haiva. Mengetahui Haiva telah tersadar, Jeffrey segera meletakkan kantong obat di meja lalu mendekati adiknya.
"Mas Jeff, maafin Iva—" suara Haiva terbata.
Jeffrey segera menggelengkan kepalanya. Dia memilih mencondongkan badannya ke arah Haiva.
"Katakan, mana yang sakit? Biar aku sampaikan kepada dokter yang merawatmu."
"Kepalaku pusing, Mas," rintih Haiva.
Jeffrey tombol nurse call yang ada di atas head board hospital bed Haiva. Tak berselang lama seorang perawat datang dan memeriksanya.
"Jangan tinggalin aku sendiri, aku takut—" Haiva menatap Jeffrey penuh harap.
"Tidak ada yang ingin meninggalkan kamu. Sebentar, aku harus ketemu dokter dulu untuk mengetahui kondisimu. Kamu di sini sama Bi Tum ya?" Jeffrey berbisik lirih.
Lagi dan lagi, kedua mata mereka bertemu. Tatapan khawatir dari kakak tirinya membuat Haiva semakin tersungkur dalam kubangan rasa yang ingin sekali dikhianati hatinya. Namun, sepertinya semesta tidak berpihak pada inginnya. Jeffrey semakin mendekat yang membuat hatinya pasrah dalam buaian senarai rindu.
Thereis no charm equal to tenderness of heart because the heart sees something whichis invisible to the eye.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top