Semester Akhir

Bukan tentang liburan yang membawa senyuman Haiva mengembang sempurna. Namun, karena dia sepenuhnya telah memahami mengapa ibunya mengambil keputusan cepat tanpa mempertimbangkan permintaannya. Jika Haiva tahu dari awal dan mengerti bagaimana baiknya papa tirinya itu, drama perseteruan mereka pasti tidak akan terjadi.

Yogyakarta menjadi kota tujuan untuk menghabiskan liburan semester kali ini sebelum dia harus mempersiapkan diri di semester akhir sekolahnya. Haiva diajak Wira berkeliling toko interior bangunan. Papanya ingin sang putri mendesain sendiri kamarnya nanti supaya dia nyaman tinggal di sana selama kuliah di Yogyakarta.

"Yakin hanya ini, Iva?" tanya Wira ketika Haiva mengatakan sudah cukup.

"Iya, Pa. Iva kan bukan anak kecil yang butuh boneka."

Bonding pun segera tercipta, Haiva yang merindukan belaian kasih seorang ayah seolah tersirami dengan limpahan sayang Wira. Sedikit manja tanpa mengabaikan batasannya. Nirmala sendiri tersenyum bahagia melihat keduanya semakin akrab dari hari ke hari.

Nyatanya bukan hanya Wira, Jeffrey pun merasakan bahagia akhirnya setelah melihat bagaimana ayahnya berjuang sendiri setelah dikhianati sang mama, dia bisa tersenyum bahagia bersama keluarga barunya. Jika akhirnya Jeffrey mengucapkan terima kasih kepada Nirmala dan Haiva itu adalah bentuk cintanya kepada sang papa.

"Jef, kamu harus jagain Haiva selama Papa dan Ibu tidak ada di Klaten." Wira membuka suara ketika mereka sedang makan di sebuah restoran Jepang kenamaan yang ada di mal tempat mereka belanja.

"Siap, Pa. Tanpa Papa ingatkan, Jeffrey memang sudah seharusnya menjadi kakak yang baik untuk Iva. Bukan begitu, Dik?" jawab Jeffrey membolak-balikkan daging yang dia panggang di depannya.

"Dik—?" Haiva mengerutkan keningnya.

Nirmala tertawa lirih mengetahui keterkejutan putrinya. Mungkin Haiva masih merasakan bermimpi mendapatkan perhatian dari dua laki-laki asing yang menyayanginya dengan tiba-tiba.

"Sama seperti kamu harus memanggil mas kepada Jeffrey, Jeffrey pun harus membiasakan memanggilmu dengan sebutan dik." Senyum yang masih sama terlihat di bibir Nirmala ketika meminta dukungan Wira.

"Benar sekali apa yang dikatakan Ibu, Papa berharap kalian bisa menjadi saudara yang rukun. Jeffrey yang sejak dulu menginginkan adik perempuan sudah Papa penuhi ya?"

Haiva menatap kakak tirinya yang tersipu malu di depannya.

"Nih makan, sudah matang dagingnya," kata Jeffrey yang membuat Haiva terkejut.

"Jangan kaget, Iva. Masmu ini terkadang sedikit usil. Tapi Papa bisa menjamin kalau dia akan sama sayangnya kepadamu seperti halnya yang Papa lakukan."

Potret keluarga yang sempurna. Seminggu berada di Yogyakarta tidak akan pernah cukup untuk memberikan kepuasan bagi Haiva yang masih ingin menikmatinya bersama Wira dan Jeffrey. Awal minggu Jeffrey dan Haiva kembali ke Klaten. Haiva harus kembali ke sekolah setelah liburan dan Jeffrey sudah mulai mengajar.

Upacara bendera, seluruh siswa berkumpul di kampus dua. Selain karena awal semester berlangsung, kepala sekolah juga akan memperkenalkan guru-guru praktik yang akan membantu mengajar di sekolah mereka.

Teman-teman Haiva sudah terdengar meng-ghibah. Di antara sekian banyak guru praktik yang berdiri di hadapan mereka, ada satu orang yang terlihat mencolok mata. Haiva masih diam saat semua teman-temannya ingin tahu siapa yang berdiri paling ujung. Artinya mereka akan tahu paling akhir.

Seakan kompak tanpa berkoordinasi, seluruh siswi menyambut dengan sorak sorai saat kepala sekolah mulai mengenalkan Jeffrey

"Jeffrey Mahawira, mahasiswa keguruan teknik mesin yang akan membantu mengajar di kampus satu."

Setelah mengetahui namanya para siswi pun semakin histeris menanggapinya. Mereka bahkan mulai keluar dari barisan untuk melihat dari jarak yang cukup dekat seperti apa wajah rupawan Jeffrey yang terhalang karena dia mengenakan topi.

"Lho, ini mengapa siswi-siswi pada heboh sendiri? Kembali ke barisan!" teriak kepala sekolah.

"Yah Bu Hasti, Jungkook, Bu ini."

"Iya Bu, Oppa Jungkook ini."

"Mengapa tidak mengajar tata busana saja, Bu?"

Beberapa siswi berteriak dengan heboh. Seolah mengerti magnet yang membuat mereka histeris, Hasti segera mengakhiri pengumuman setelah upacara berakhir.

"Bagi anak-anak kelas XII, kalian harus selalu semangat, pergunakan waktu kalian yang hanya tinggal empat sampai lima bulan di sekolah dengan menciptakan prestasi yang baik."

Haiva yang terlihat kalem semakin membuat teman-temannya penasaran.

"Va, memangnya kamu nggak ingin kenalan dengan guru praktik itu. Tuh anak-anak sudah mengantri mengajaknya foto sebelum dia berangkat ke kampus satu."

Haiva menggeleng. Sepertinya niat Jeffrey meninggalkan mobilnya di rumah lalu memakai motor Haiva untuk berangkat ke sekolah bersama adalah keputusan yang salah. Haiva akan menolaknya besok, dia justru takut akan menjadi sasaran tembak teman-temannya yang ingin mendekati kakak tirinya itu.

Sampai jam belajar selesai, Haiva masih takut keluar kelas. Pagi tadi Jeffrey berjanji menjemputnya sepulang sekolah, tapi melihat bagaimana antusias teman-temannya yang bahkan hendak mampir ke kampus satu hanya untuk bertemu dengan Jeffrey semakin membuat nyali Haiva menciut.

"Va, meneng wae. Ra pengen muleh po? Kae lo cah-cah meh ngapel, melu ora?" --Va, diam saja. Nggak ingin pulang kamu? Anak-anak mau ke kampus satu, kamu mau ikut apa tidak?--

Haiva menggelengkan kepala sambil menggigit bibirnya. Dia masih takut bertemu dengan Jeffrey, tidak ingin laki-laki itu memanggilnya di depan teman-temannya.

Sayangnya, harapan itu hanyalah tinggal harapan. Haiva yang menghindar justru bertemu dengan Jeffrey di taman saat laki-laki itu bercengkerama dengan guru-guru yang lain.

"Nah itu dia adik saya, Bapak, Ibu. Haiva Shabira."

Semua mata menuju kepada gadis yang sedang berjalan sendiri di koridor sekolah.

"Lho—?"

"Mas Jeffrey—?"

Beberapa tanggapan yang tampak jelas terkejut sampai akhirnya Jeffrey bersuara untuk memberikan penjelasan bahwa papanya menikahi ibu Haiva.

Meski tanpa banyak pertanyaan, tapi semuanya tahu dari bahasa tubuh keduanya yang menjelaskan bahwa Jeffrey dan Haiva sudah akrab. Itu terlihat Jeffrey mengusap kepala Haiva yang tertutup jilbab sebelum keduanya melangkah bersama.

"Ternyata Pak Jeffrey itu kakak tirinya Haiva? Pantas saja dia nggak terlalu ambil peduli saat kepala sekolah memperkenalkannya. Ternyata mereka telah akrab, Cuy."

"Lah iya, perasaan pernah melihat Pak Jeffrey sebelumnya di mana, ternyata dulu di depan sekolah saat Haiva berseteru dengan calon papanya. Wah, ternyata mereka sudah saling menerima hingga Haiva sedekat itu dengan kakak tirinya?"

"Iya, ya."

"Lalu apa kabarnya pelakor itu?"

Percakapan teman-teman Haiva yang akhirnya menguap tanpa jawaban karena orang yang menjadi bahan ghibah-an mereka sudah tidak terlihat lagi bayangannya di sekolah.

"Mas, sepertinya besok aku naik motor sendiri saja. Risi aku dilihatin teman-teman yang ngebet banget pengen kenal sama kamu," kata Haiva setelah mereka pulang dari masjid di samping rumah.

"Nggak! Kita berangkat bareng."

"Lah kok—?!" Haiva mengerucutkan bibirnya.

Jeffrey masuk rumah. Dia langsung ke dapur melihat Tumini yang sedang membuat makan malam untuk mereka.

"Bi Tum, biar aku aja yang masak. Bibi temani ngobrol Iva di depan."

Haiva kembali tercengang, ternyata selain penyayang, Jeffrey ini adalah laki-laki yang tidak penah memandang tugas anak perempuan atau laki-laki. Dia bahkan lihai mengolah makanan yang sukses membuat lidah Haiva tidak ingin berhenti mengecap karena rasanya membuat lupa. Ingin tambah dan tambah lagi.

"Mas Jeffrey ini memang calon suami idaman, Mbak Iva. Dia terbiasa mengerjakan pekerjaan rumah sendiri sejak remaja ditinggal Bu Femila. Jadi, memasak itu bukanlah sesuatu yang baru lagi. Meski di rumah tersedia asisten rumah tangga yang bisa membantunya." Tumini tersenyum menggoda anak asuhnya yang sudah beranjak dewasa.

"Bi, jangan buka semua rahasia dong, kan, aku jadi malu di depan Iva."

"Mengapa harus malu, Mas? Harusnya malah bangga dong, aku saja berharap kalau nanti punya suami yang ringan tangan seperti Mas Jeffrey ini. Ya Bi Tum, ya?"

Mata Jeffrey mengunci tatapan adiknya. Seperti ada magnet yang enggan untuk dilewatkan. Menikmati wajah manis sang adik adalah hobi baru yang menjadi moodbooster hari-harinya. Haiva sendiri juga mulai menikmati kebersamaan mereka. Jeffrey yang selalu take on hand untuk membantunya, membuatnya merasakan betapa nikmat menjadi adik meski dia terlahir sebagai anak sulung dari rahim ibunya.

Sepertinya semesterakhir di SMK itu bukanlah hal yang membuatnya takut lagi, karena Jeffrey selaluada sebagai tempatnya bertanya dan meminta pendapat untuk pendidikanselanjutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top