Prologue

Pemakaman tampak sepi, hanya angin yang terasa dan terlihat menggoyangkan beberapa pohon kamboja hingga menggugurkan daun-daun yang mulai mengering. Layaknya kehidupan yang sudah menjadi satu kepastian pada akhirnya, mati. Demikianlah kodrati yang sudah selayaknya dijadikan sebagai pengingat dan penerimaan untuk bisa berbuat kebaikan selama hidup di dunia karena tidak akan ada yang abadi. Semua akan kembali jika waktunya telah tiba.

Tampak gadis belia berusia 17 tahun itu masih duduk di depan pusara sang ayah. Menumpahkan segala keruwetan hati dan kegundahannya. Tanpa ada pembicaraan sebelumnya, semalam sang ibu memperkenalkannya dengan seorang laki-laki paruh baya yang sebentar lagi akan mengubah statusnya menjadi anak tiri untuk laki-laki itu. Haiva masih terguguk. Dia belum bisa menerima keputusan ibunya. Ditambah dengan sindiran teman-teman sekolahnya, menjadi anak pelakor.

"Percuma jadi juara kelas yang dielukan sebagai duta percontohan karena prestasi. Apanya yang perlu dicontoh dari anak seorang pelakor? Kita disuruh seperti dia juga gitu?"

"Tampang innocent, bawaannya kayak orang bodoh yang nggak tahu apa-apa kalau ibunya jual diri selama ini untuk ngilangin status janda. Merebut suami orang."

"Jadi, kamu sekarang sudah punya Papa yang dimenangkan oleh ibumu dari hasil menikung wanita lain, Va?"

"Ingat karma, Iva, kamu juga perempuan. Bagaimana kalau kejadian itu menimpa kamu? Apa ibumu nggak ngerasa sakit hati jika anaknya dikhianati."

Haiva Shabira, siswa kebanggaan SMK 1 Gantiwarno itu tengah mengusap nama yang tertera di nisan pusara ayahnya.

"Ayah, Iva nggak bisa seperti ini. Ajak Iva pergi saja, Ibu sudah nggak sayang Iva lagi. Dia pilih melupakan Ayah dan menikah dengan orang yang bahkan nggak Iva kenal sebelumnya." Air mata masih mengalir deras di belah pipi Haiva.

"Iva nggak ingin punya papa tiri, Yah. Iva hanya ingin memiliki satu ayah yaitu Abimana Putra. Iva nggak ingin yang lainnya. Iva benci Ibu, Iva benci!"

Rasanya masih belum cukup Iva bercerita, tapi suara azan Asar membuatnya tersadar. Dia bahkan belum mengisi perutnya dari tadi pagi. Namun, sejujurnya Iva malas untuk pulang dan bertemu ibunya di rumah.

"Iva pulang dulu, Yah. Besok Iva akan datang lagi. Mungkin akan jauh lebih sering dari sebelumnya. Karena rasanya Iva nggak lagi punya siapa-siapa lagi yang menyayangi Iva di dunia selain Allah dan Ayah. Ayah tunggu Iva di surga ya."

Dengan langkah berat, Iva meninggalkan kompleks pemakaman ayahnya. Dia masih mengenakan jaketnya untuk menutupi seragam sekolah yang melekat di tubuhnya saat penjaga makam menyapanya.

"Tumben Mbak Iva sendirian saja ziarahnya, tidak bersama Bu Mala?"

"Iya, Pak Din. Titip makam Ayah ya. Tolong dibersihkan setiap hari. Saya pamit dulu."

Dengan susah payah Haiva menyembunyikan air matanya tetapi tetap saja tidak bisa. Di depan penjaga makam itu dia malah harus menutup muka untuk menutupi kesedihannya.

"Mau ke rumah saya dulu, Mbak. Dekat kok dari sini. Bahaya naik sepeda motor kalau pikiran sedang kalut. Kebetulan istri saya sedang membuat gethuk lindri tadi, mari ikut saya."

Haiva menolak dengan halus, dia harus salat Asar sedangkan pakaiannya sudah tidak memungkinkan dipakai untuk salat karena selama di makam dia duduk di tanah dan terkena cipratan air.

Lagi dan lagi, sampai di rumah Haiva dihadapkan dengan kenyataan yang sebentar lagi harus dia terima. Calon papa tirinya ada di rumah, dia datang khusus untuk menemui Haiva dan ingin mengajaknya bicara dari hati ke hati.

"Pokoknya Iva nggak mau, Bu!" Haiva tidak membuka pintu kamarnya meski berulang kali Nirmala mengetuk pintunya dari luar.

"Ibu nggak pernah mengajarimu jadi anak yang mursal, Haiva. Keluar kamar dan temui Om Wira sekarang."

"Nggak, sampai kapan pun Iva nggak mau Om Wira menggantikan posisi Ayah." Haiva mulai menangis lagi.

Tidak ada jawaban dari Nirmala selanjutnya, tapi dehaman suara bass mengusik gendang perungu Haiva.

"Tidak ada yang ingin menggantikan posisi Ayah Abimana Putra di hati Iva, Om hanya ingin melindungi Iva dan Ibu dari orang-orang yang berniat jahat pada kalian. Iva keluar ya? Kita bicara baik-baik."

Bukannya membuka pintu, Haiva justru memilih untuk menutup telinganya. Rasanya sampai kapan pun dia tidak akan pernah bisa menerima Mahawira Pradana sebagai suami ibunya yang baru.

"Haiva, buka pintunya, Sayang." Suara Nirmala kembali terdengar.

"Nggak, Bu! Iva nggak ingin disebut sebagi anak pelakor."

Wira memberikan isyarat kepada Nirmala untuk memberikan waktu sendiri kepada putrinya. Mereka memang harus lebih bersabar hati menghadapi anak gadis seusia Haiva yang masih dalam masa transisi menuju kedewasaan.

"Maafkan Iva, Mas," kata Nirmala.

"Sudahlah, dia hanya mendengar dari orang-orang yang tidak tahu bagaimana cerita kita bermula. Kamu harus sabar, dan aku—" Wira menunjuk dirinya sendiri.

"Aku janji, aku dan kamu sebentar lagi akan menjadi kita."

Mendung yang menggelayung di angkasa akhirnya menjadi saksi perjalanan pulang Wira sampai di kediamannya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top