Keluarga Baru

Sebanyak apa pun protes yang diberikan Haiva sepertinya tidak mengurungkan niat Nirmala dan Wira untuk membatalkan pernikahan mereka. Bahkan ancaman Haiva pun bukan lagi suatu catatan yang layak untuk menjadi bahan pertimbangan.

"Memalukan, sudah tua tapi masih saja bersikap layaknya anak muda yang sedang jatuh cinta." Haiva bergumam lirih.

Rumahnya masih banyak orang yang datang memberikan ucapan selamat kepada orang tuanya. Papa tiri yang baru diketahui seorang pengusaha batik asal Yogyakarta itu juga seolah tidak menganggap protesnya ada. Apalagi dukungan dari anak laki-lakinya yang notabene adalah saudara tiri Haiva. Jeffrey sedari tadi sibuk menerima tamu bersama Wira dan Nirmala sedangkan Haiva masih merasa bahwa tidak ada baiknya bermuka dua di depan undangan yang memberikan selamat kepada ibu dan papa barunya. Hingga dia memilih untuk mengurung diri di kamar.

"Iva, keluarlah. Kalau kamu nggak mau mendengarkan kami. Pasti kamu nggak akan tahu dan ngerti bagaimana cerita yang sesungguhnya," bujuk Nirmala.

"Pokoknya Iva malu memiliki Ibu seorang pelakor!" Haiva menutup kedua telinganya.

Helaan napas kasar terdengar dari bibir Nirmala. Rasanya dia kehabisan cara bagaimana bisa mengajak putrinya bicara dan menjelaskan seperti apa duduk perkaranya hingga dia memutuskan untuk menerima pinangan Wira dengan cepat tanpa memperhatikan keengganan Haiva menerima anggota keluarga baru.

"Haiva masih tetap nggak mau mendengarkan kita?" kata Wira ketika melihat wajah murung Nirmala saat kembali ke kamar.

"Sebenarnya Haiva itu gadis yang manis, dia juga nggak pernah membangkang nasihatku, Mas, tapi kali ini sepertinya—" Nirmala tertunduk lesu.

"Sudahlah, lambat laut dia pasti akan mengerti. Kamu sendiri juga tahu dengan pasti kenapa aku melakukan semua ini. Bukan karena itu, tapi juga karena aku ingin memiliki keluarga yang sempurna. Bukan hanya status sebagai kepala keluarga, tapi ... ah, sudahlah." Wira mendesah.

Nirmala menatap laki-laki yang baru saja mengubah statusnya menjadi seorang istri dengan lembut. Rasanya dia memang harus berterima kasih kepada Wira. Dia yang membuatnya kembali terhormat setelah apa yang hampir saja dialami Nirmala di hari itu. Andai Haiva bersedia sebentar saja membuka telinganya untuk mendengarkan penjelasan mereka.

"Aku hanya takut, Mas," kata Nirmala.

"Terlepas dari alasanmu menerimaku, aku memang ingin menikah, Mala. Mungkin jika tidak bertemu denganmu, aku juga akan memilih wanita yang lain. Namun, Allah memang telah menentukan jalan takdir kita untuk bisa bersama."

Tampak rasa bahagia terbit, ketakutan Nirmala selama ini sedikit demi sedikit terobati dengan keberadaan suaminya.

"Jika Haiva nggak mau mendengarkan penjelasan kita, lalu bagaimana saat nanti aku harus pindah ke Yogyakarta ikut denganmu?" Nirmala masih duduk, berpikir dengan serius.

"Apa perlu aku pindahkan sekolah Haiva ke Yogyakarta, di sana juga banyak SMK yang baik yang sejalur dengan jurusan yang diambilnya sekarang."

Kali ini Nirmala menggelengkan kepalanya. Dia tidak ingin menambah rasa benci Haiva kepada Wira jika ide itu dimunculkan. Namun, Nirmala jelas tidak akan pernah tega meninggalkan putrinya tinggal sendiri di rumah yang dibangun bersama almarhum suaminya dulu.

"Ya, kalau begitu serahkan saja kepada Jeffrey. Selama satu semester mendatang dia PKL mengajar di sekolah Haiva, kan?"

Nirmala baru teringat, anak dari suaminya itu kemarin bercerita jika dia akan mengambil tugas kampusnya untuk mengajar satu semester di sekolah Haiva.

"Mungkin usia mereka yang nggak terpaut jauh memudahkan Jeffrey menjelaskan kepada adiknya. Tentang kita dan juga tempat tinggal Haiva nanti," kata Wira.

"Haiva ingin menjadi seorang desainer, Mas."

"Bagus, tinggal setengah semester, kan? Tahun depan dia sudah harus kuliah. Dan tinggal di Yogyakarta adalah satu-satunya pilihan yang tepat." Wira mendekati Nirmala kemudian mengusap perutnya. Sedari acara akad nikah mereka belum sebutir nasi pun yang masuk ke perutnya.

"Aku lapar, bisa minta tolong disiapkan makanan, Nyonya Mahawira Pradana?" Wira mengedipkan sebelah matanya.

Sontak Nirmala tersenyum sipu melihatnya. Meski menggelengkan kepala dengan lemah, tapi dia berdiri juga untuk melayani permintaan pertama suaminya. Melihat gadisnya berada di dapur yang sama, Nirmala mencoba mendekatinya. Mengusap bahu Haiva dengan lembut lalu mengajaknya duduk di meja makan.

"Iva, Ibu minta maaf, jika menurutmu keputusan Ibu menikah dengan Papa Wira adalah kesalahan."

"Bu, Iva hanya—" Haiva tidak berani melawan tatapan mata sang ibu meski hatinya tengah bergemuruh dengan ketidaksukaannya.

"Dari kamu kecil, Ibu selalu mengajarkan untuk bersikap sopan kepada orang yang lebih tua darimu. Nggak boleh berkata kasar dan kotor. Ibu hanya meminta kamu mendengarkan Ibu bicara sebentar saja, nggak lebih dari lima menit."

"Jika Ibu akan membicarakan Om Wira, Iva lebih baik menjadi orang tuli." Haiva berdiri, berniat meninggalkan ibunya.

Nirmala memejamkan matanya. Suara ketus yang keluar dari bibir Haiva sangat menusuk hatinya. Tangannya mulai terkepal sempurna menahan amarah. Kesabarannya mulai terkikis dengan sikap Haiva yang jauh dari didikannya. Jika Jeffrey tidak ada di sana mungkin Nirmala sukses menampar putrinya.

"Ibu, sabar. Memadamkan api itu bukan dengan bensin," kata Jeffrey lirih.

Haiva mencebik melihat ibunya sudah akrab dengan laki-laki yang tiba-tiba harus dia sebut sebagai kakak. Jika satu sisi hatinya merasakan kesal, satu sisi lainnya justru terasa begitu nyeri. Haiva tidak menyukai ada orang lain yang Nirmala sayang kecuali dirinya.

"Mesra teros .... " Haiva berlalu.

"Satu hal yang harus kamu tahu, Iva. Papa Wira telah menyelamatkan harga diri Ibu."

"Menyelamatkan?" Iva membalikkan badan.

"Bukankah Ibu telah merebut laki-laki itu dari istri sahnya?" Jika sebelumnya Iva tidak berani menatap manik mata Nirmala, sekarang dia justru menantangnya.

"Apa sebutan yang pantas untuk wanita—" kalimat Haiva terpotong oleh suara tegas Wira.

"Haiva Shabira!" Dia berdiri di antara Haiva dan ibunya.

"Tidak pantas seorang anak berbicara kasar kepada orang tuanya." Wira melanjutkan kalimatnya. "Terlebih kepada ibunya."

"Wanita yang kamu anggap tidak pantas itu adalah orang yang telah melahirkanmu ke dunia, ingat itu. Ibumu adalah wanita yang mulia. Kalau selama ini dia bungkam atas penilaian orang lain, bukan berarti apa yang mereka kira adalah kebenaran."

Kini justru Wira yang memilih menarik lengan Nirmala untuk menjauh dari anak-anak mereka. Jeffrey yang sedari tadi memperhatikan Haiva masih tetap bergeming di tempatnya.

"Apa kamu?!" Haiva menajamkan tatapannya.

Jeffrey tersenyum kecut. Dia memang belum akrab dengan Haiva, tapi dari beberapa interaksi mereka, laki-laki itu paham jika adik tirinya ini membenci keberadaan mereka berada di sekelilingnya.

"Jangan sampai kamu menyesal di kemudian hari saat kamu tidak lagi memiliki kesempatan untuk meminta maaf, Iva." Jeffrey berkata lirih sebelum meninggalkan adiknya.

Haiva memutar bola matanya. Sejak kapan dia dikenalkan dengan penyesalan di depan peristiwa? Tidak akan ada penyesalan, Haiva bisa membedakan dengan jelas mana sikap tulus dan modus dari seseorang pada keluarganya. Jadi jangan banyak berharap jika dia akan semudah itu berubah pikiran. Jika dia benar, maka kata durhaka itu tidak akan tersemat. Selain karena Haiva tidak menyukai ibunya menikah lagi dan melupakan ayahnya, dia juga tidak ingin Nirmala dilukai orang lain, apalagi orang yang belum mereka kenal dengan baik.

"Hellow, kalau di depan namanya pendaftaran, bukan penyesalan!"Haiva berteriak saat Jeffrey hendak keluar rumah.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top