Cinta Ibu
Ibarat pepatah, sudah jatuh masih tertimpa tangga. Rasa itu yang kini bersemayam dalam hati Haiva. Semalam dia harus mendengar lagi satu keputusan dari ibunya bahwa minggu depan Nirmala harus pindah domisili ke Yogyakarta. Dia akan kembali ke Klaten setidaknya akhir pekan atau dua pekan sekali.
Nirmala menyampaikan alasan mengapa dia harus ikut Wira ke Yogyakarta dan meninggalkan pekerjaannya di Klaten karena sebagai seorang istri harus bersedia ikut ke mana pun suaminya akan tinggal. Haiva meneteskan air matanya tanpa suara. Hatinya tiba-tiba terkoyak, seperti sesuatu telah terambil dengan paksa dari sana. Sakit.
"Jadi, Ibu lebih sayang keluarga baru Ibu dibandingkan dengan menemani Iva di sini?" Haiva bertanya tanpa menatap Nirmala.
"Justru karena Ibu sangat menyayangi kamu, Papa Wira juga ingin mempersiapkan rumah tempat tinggal kita di Yogya nantinya. Tahun ajaran depan kamu kan sudah harus kuliah, Sayang. Katanya ingin menjadi desainer dan mengambil kuliah di Yogya."
Haiva menunduk. Ada yang yang menyakitkan ketika bersinggungan dengan mimpi yang rasa-rasanya sangat sulit terwujud. Ibunya hanya pegawai pabrik garmen di Klaten. Melihat berapa biaya kuliah di zaman sekarang membuat hati Haiva antara tega dan tidak tega menyampaikannya kepada Nirmala.
Alasan terkuat mengapa selama ini Haiva berjuang sekuat tenaga untuk bisa menjadi siswa teladan di sekolah adalah selain karena dia ingin mendapatkan beasiswa karena prestasinya, dia juga ingin memperoleh banyak sertifikat dan piagam penghargaan yang menjadi bukti bahwa dia memiliki kapabilitas untuk bersaing di dunia global dengan teman-temannya yang beruntung lahir di keluarga kaya.
Harapannya hanya satu, ingin mengangkat derajat keluarganya. Selama ini Nirmala memang memberikan penghidupan yang cukup bagi Haiva, tapi untuk membayar kuliahnya, gadis itu harus menyiapkan hati untuk menerima kenyataan terburuk jika sang ibu tidak memiliki kemampuan yang cukup baik.
Kenyataan sekarang, pernikahan ibunya yang kedua ini mungkin bisa jadi membuat mimpi Haiva menjadi semakin dekat dengan kenyataan. Mengingat pekerjaan papa barunya yang tidak terlalu jauh dari cita-citanya. Wira juga terlihat sangat mendukung Haiva menggantungkan cita-citanya itu. Namun, kekecewaannya atas keputusan sang ibu yang sama sekali tidak melibatkan dia dalam mengambil keputusan membuat Haiva menjadi ragu, apakah dia masih dalam visi yang sama seperti sebelum ibunya menikah atau telah berubah haluan.
"Haiva bisa tinggal di rumah Pakde Danu kalau tidak berani di rumah sendiri." Haiva bicara sebelum Nirmala membuka suara lagi.
"Jangan, jangan tinggal di rumah Pakde Danu." Nirmala menyambar tanpa jeda.
"Kenapa, Bu? Bukankah Pakde Danu itu kakaknya Ayah. Dia masih keluarga kita."
"Kalau Ibu bilang jangan, berarti kamu jangan melakukannya." Suara Nirmala meninggi.
"Ada Mas Jeffrey yang akan menemani kamu di sini!"
Kalimat terakhir yang keluar dari bibir Nirmala sebelum dia berlalu dari hadapan putrinya membuat Haiva tertegun. Entah hanya perasaannya saja atau memang benar adanya, Haiva melihat wajah sedih sekaligus ketakutan yang tersirat dari wajah yang sengaja disembunyikan ibunya.
"Ibu—" Haiva mengejar dan menarik lengan Nirmala.
Air mata yang mengalir di belah pipi ibunya menguatkan opini Haiva bahwa Nirmala memang sengaja menghindarinya. Tangan Haiva terulur untuk menghapus air mata ibunya.
"Mengapa Ibu menangis? Apa Om Wira menyakiti Ibu?" Mata Haiva menyipit.
Gelengan kepala Nirmala menjadi sebuah jawaban.
"Bilang pada Iva, apa yang membuat Ibu bersedih. Iva nggak ingin ada orang lain menyakiti hati Ibu. Itu sebabnya Iva nggak setuju Ibu menikah lagi. Karena Iva sangat sayang dan mencintai Ibu." Air mata itu pada akhirnya menular pada Haiva juga.
Tidak tahan melihat sang putri meneteskan air mata, Nirmala segera menariknya ke dalam pelukan. Anak yang dulu ditimangnya dengan penuh cinta dan kasih sayang, tak terasa kini sudah dewasa.
"Ibu juga sayang sama kamu, Haiva."
Bukannya terurai, pelukan mereka semakin erat. Seolah mereka berdiri untuk saling menguatkan dan saling melindungi. Bagi Haiva, tidak ada kebahagiaan dalam hidup selain membuat bangga ibunya, sementara bagi Nirmala, Haiva adalah segalanya. Dia masih merasa bersalah kepada putrinya karena mengambil keputusan menikah dengan Wira. Namun, di lain sisi dia tidak memiliki pilihan lainnya.
"Kamu harus percaya, Iva. Ibu melakukan ini untuk kebaikan kita. Tolong jangan pernah membenci Papa Wira." Nirmala mengusap kepala putrinya dengan lembut.
Dia mencoba tersenyum setelah menghapus air matanya, pun juga milik sang putri.
"Kemarin Papa cerita, Mas Jeffrey akan tugas praktik di sekolahmu." Nirmala tersenyum ketika Haiva celingukan mencari keberadaan Wira atau Jeffrey.
"Papa ke Yogyakarta, dia harus kembali bekerja," jelas Nirmala.
"Jeffrey—?"
"Dia lebih tua dari kamu, Va. Sebaiknya kamu memanggil dia dengan panggilan Mas."
Haiva diam dan tidak memberikan respons lebih dari ucapan ibunya.
"Mulai semester depan, Mas Jeffrey akan mengajar di jurusan Teknik Kendaraan Ringan Otomotif, SMK 1 Gantiwarno sebagai bagian dari tugas akhir masa kulihanya."
"Dia kuliah keguruan, Bu?" Haiva meletakkan jari telunjuknya di dagu.
Rasanya tidak masuk dalam kriteria guru di sekolahnya. Penampilan saudara tirinya tidak ada pantas-pantasnya menjadi seorang guru. Jeffrey lebih pantas disebut sebagai eksekutif muda yang digilai banyak wanita karena parasnya yang menawan juga penampilannya yang kekinian.
"Kenapa kamu bertanya begitu?" Nirmala mencoba menyelami pikiran putrinya.
"Eh—" Haiva menggeragap. "Tidak apa-apa. Cuma nggak nyangka aja dia mau jadi guru."
"Biar Mas Jeffrey nanti yang menemanimu di sini. Papa juga akan kembali ke sini nanti bersama Bi Tum."
"Bi Tum? Siapa dia?" tanya Haiva.
Nirmala kembali tersenyum. Ketika Haiva sudah banyak bertanya seperti ini artinya dia mulai bisa menerima. Benar yang dikatakan Wira, semua memang butuh waktu dan sebaiknya mereka tidak memaksa. Jika Nirmala dan Wira melakukan semuanya dengan penuh cinta dan sayang, pesan yang ingin mereka sampaikan pasti akan diterima dengan rasa yang sama oleh Haiva meski tanpa ucapan.
"Bi Tum itu adalah pengasuh Mas Jeffrey ketika dia kecil dulu. Karena tidak memiliki siapa-siapa lagi di kampungnya, maka dia tetap ikut Papa dan akhirnya dia menikah dengan sopir Papa, Pak Yanto."
"Lah terus kenapa dia jadi pindah ke Klaten kalau kerja sama Om Wira?"
Nirmala meraih kedua tangan Haiva lalu merangkumnya.
"Karena Papa nggak ingin membiarkan kamu sendiri atau hanya tinggal berdua dengan Mas Jeffrey. Sementara Ibu harus ikut dengannya." Nirmala menatap manik mata Haiva dengan lembut.
"Kalau Papa Wira nggak menyayangimu, dia nggak akan berpikir untuk membuatmu tetap nyaman meskipun Ibu nggak selalu ada di sampingmu."
"Ibu, tapi Iva hanya ingin punya satu ayah—" Haiva berkata lirih.
Helaan napas panjang kembali hadir di sela percakapan keduanya. Nirmala kembali menjelaskan bahwa kehadiran Wira bukan untuk menggantikan posisi ayah Haiva, tapi untuk melengkapkan mereka menjadi keluarga yang utuh. Supaya dia dan ibunya bisa terhindar dari fitnah.
"Lalu ibunya Mas Jeffrey di mana, Bu? Kenapa Om Wira memilih menikahi Ibu?" Pertanyaan yang menggelitik hati Haiva sedari awal akhirnya pecah juga ke permukaan.
"Dari kemarin sebenarnya Papa ingin menceritakan kepadamu, tapi kamu selalu menolak dan menutup telinga. Nanti kalau Papa sudah pulang, kamu tanya kepadanya. Kenapa Papa memutuskan menikahi Ibu," kata Nirmala dengan senyuman yang tidak pernah luntur dari wajahnya.
Haiva menggigit bibirnya.
"Lalu kenapa Iva nggak boleh tinggal di rumah Pakde Danu?"
Nirmala tertunduk lesu kemudian berkata, dia akan menjelaskan semuanya jika Wira ada bersama merekadan Haiva tidak kabur untuk bersedia mendengarkan penjelasan mereka berdua.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top