Chapter II - Light in the middle of Darkness
SEKARANG Ave dan Edward berjalan menelusuri hutan. Di setiap perjalanan, mereka tak lupa dengan kata bermain dan bergurau. Sesekali mereka menjahili satu sama lain dengan segala sesuatu yang berada disekitar mereka. Suatu kali Ave menangis pijar karena Edward menjejalinya buah apel yang terkena kotoran burung. Edward harus berkali-kali meminta maaf karena dia benar-benar tidak tahu bahwa terdapat kotoran burung pada apel tersebut. Edward harus mencarikan Ave air sebanyak-banyaknya karena tangis Ave tidak kunjung mereda sampai akhirnya Edward membujuknya dengan berjanji untuk memperlihatkan Phoenix Merlaxc di pertengahan hutan.
Seraya melihat Ave yang masih terkagum-kagum dengan sekelompok Phoenix-yang beruntung tidak melukainya, Edward yang melihat pohon apel itu langsung memetik beberapa apel. Mengingat peristiwa tadi, Edward mulai memeriksa permukaan kulit apel yang ia petik. Setelah pemeriksaan sudah usai dia melangkahkan kaki menuju tempat Ave berdiri dengan mata berbinar-binar dan tangan yang berusaha menggapai salah satu Phoenix.
"Tanganmu akan terbakar jika menyentuh Phoenix itu," kata Edward sembari melangkah mendekati Ave. Mendengar itu, Ave segera menjauhkan tangannya dari phoenix itu dan menatap hewan api itu dengan tatapan kau-memang-cantik-tapi-kau-tidak-bisa-membodohiku.
"Makanlah. Kau pasti lapar," kata Edward mengulurkan tangan berniat memberikan salah satu apel berwarna kemerahan yang terlihat manis kepada Ave.
Karena trauma, Ave ragu mengambil apel tersebut. "Tenanglah, apel ini bersih. Sudah ku periksa," kata Edward tenang seraya menggigit apel lainnya yang berada di tangan kirinya.
Masih dengan ragu Ave mengambil apel tersebut lalu memeriksa kembali permukaan kulit apel tersebut. Setelah merasa apel itu bersih dengan perasaan riang dia menggigit apel itu dengan lahap. Dia mengunyah apel itu dengan rakus-itu karena dia belum makan selama empat jam-dan membuat Edward yang melihat itu terkekeh pelan.
'Dia lucu.' Gumam Edward dalam hati.
Edward kembali mengingat saat dia membangunkan Ave perlahan tetapi dia malah mendapatkan satu tinju dari kepalan Ave di wajah bagian kirinya. Entahlah, mengapa Ave melakukan itu, yang pasti Edward memaafkannya walau Ave tidak meminta maaf padanya. Edward sendiri merasa tak berdaya jika melihat wajah Innocent Ave, dia merasa dia akan selalu memaafkan Ave apapun yang Ave lakukan. Ave terlalu polos. Dia perlu dimengerti.
"Hei, Edward," panggil Ave.
"Hm."
"Kau lihat disana ada sebuah pintu?" Mata Ave dengan jari telunjuk yang menunjuk sebuah pintu kayu.
"Ya." Edward mengangguk.
"Ayo! Kita kesana," kata Ave antusias. Entah mengapa Edward merasa ada sesuatu yang janggal dibalik pintu itu.
Tanpa disadari Ave sudah berada beberapa meter didepan Edward berusaha mendekati pintu kayu tersebut.
"Ave!" Edward berusaha mengejar Ave yang sedang membuka perlahan pintu tersebut.
Ave merasa sangat penasaran apa yang ada dibalik pintu ini. Mungkin saja unicorn bertanduk emas? Atau naga berkepala tiga? Oh, oh, atau mungkin didalam ada Felic? Well, kan bisa saja. Siapa tahu kalau dia berusaha berlindung di dalam kan?
Ave mendorong perlahan pintu kayu berwarna coklat kekuningan berkenop singa yang sedikit rapuh itu. Walau merasa bulu romanya meremang dan takut, tetapi rasa penasarannya mengalahkan segalanya. Keingintahuannya sangat berlebihan sehingga semua orang yang dia hamburi dengan pertanyaan berlari menjauhi Ave. Bunyi derit pintu yang terdorong terdengar jelas di telinga Ave dan itu membuatnya semakin takut dan juga semakin penasaran.
"Ave?" Edward meraih pundak kanan Ave lalu meremas pelan. "Jangan pernah meninggalkan aku," kata Edward.
Ave segera berbalik dan menemukan wajah mengerikan Edward. Dahinya mengernyit marah sedangkan matanya menyiratkan ketakutan terhadap Ave. Ave yang melihat itu langsung mundur selangkah.
"Aku janji." Kata Ave yang berani menatap mata biru sebiru bunga Flax Edward dalam-dalam.
Edward memijat pelipisnya pelan. "Baiklah. Tetaplah bersamaku dan kau akan selamat." Kata Edward seraya menatap lembut mata hazel Ave.
Ave menipiskan bibir dan mengangguk mantap.
'Iya-iyain saja. Daripada dia berubah menjadi mengerikan seperti tadi.' Batin Ave.
Edward yang membaca pikiran Ave tertawa pelan. Well, kalian pasti tahu kemampuan vampire selain kecepatan berlari atau bergerak dan pendengaran yang tajam, yaitu membaca pikiran.
"Baiklah! Ayo masuk!" Ujar Ave antusias.
Edward terkekeh pelan lalu mengacak rambut Ave. "Baiklah, Phoenix Manis." Kata Edward sembari berjalan mendahului Ave membuka pintu kayu tersebut.
"Phoenix Manis?" Tanya Ave pada Edward. Dia memiringkan kepala.
Edward berbalik berjalan mundur dan senyumannya membesar sehingga gigi putihnya yang berjejer manis itu terlihat. "Ya. Kau menyukai Phoenix, kau juga manis. Dan itu nama panggilan sayangku untukmu," Edward kembali berbalik memimpin Ave yang sedang berjalan seraya tersenyum senang dengan nama panggilannya.
'Dia mempunyai panggilan sayang untukku! Dan panggilannya sangat menarik! Eh. Dia sayang padaku?' Ave kembali bertanya bingung. Dia benar-benar bingung, sebenarnya Edward menganggapnya teman atau adik sehingga dia menyayangi Ave.
Ave masih berpikir keras dengan kepala sedikit tertunduk. Setelah itu dia sadar bahwa keheningan sedang menyelimuti mereka berdua selagi berjalan. Ave tidak pernah menyukai keheningan. Dia ingin sekali membuat semua orang tertawa agar keheningan tidak terjadi. Tetapi Ave sadar bahwa dia telah berada sendirian di sebuah lorong yang teramat gelap.
Dia berbalik. Tidak ada siapa-siapa selain dia seorang. "Kemana Edward?" Tanya Ave pada dirinya sendiri.
"Dia menghilang," Ave mulai khawatir. Dia takut gelap dan sekarang dia berada di tengah kegelapan.
***
Ave berusaha mencari jalan keluar namun suasana gelap mempersulitnya. Dia berlari seperti orang kesetanan dan menangis. Ini sama seperti dia meninggalkan Felic ditengah hutan. Khawatir dan ... takut. Dia berhenti sejenak lalu mengusap air matanya dengan punggung tangannya. Baginya, disaat seperti ini dia tidak boleh menangis. Tidak. Dia tidak lemah.
"Apa ada orang?" Kurang lebih Ave bertanya pada dirinya sendiri sebab sudah kesepuluh kalinya dia bertanya seperti itu namun tidak di jawab oleh siapapun.
Ave mulai menangis dan sesekali ia menarik cairan bening yang keluar dari hidungnya. Kali ini dia benar-benar ketakutan. Dia juga telah berjanji pada Edward untuk tidak meninggalkannya dan sekarang dia melanggar perjanjian itu. Ave benar-benar merasa bersalah dan ... ketakutan.
Karena kelelahan, dia memutuskan untuk berjalan. Pelan tapi pasti. Tak lama kemudian dia menemukan seberkas cahaya, Ave tersenyum girang dan mempercepat langkah kakinya. Walau redup, tetapi Ave tidak peduli, yang penting ketakutannya terhadap gelap hilang.
Ave terus berjalan menuju sumber cahaya tersebut. Dia melihat sebuah ruangan yang besar. Entahlah, Ave tidak tahu ruangan apa itu. Yang jelas Ave melihat sebuah sarkofagus tepat ditengah ruangan itu. Anehnya, diatas sarkofagus itu seperti ada seseorang yang tidur. Karena rasa penasaran sudah melebihi rasa takutnya, Ave ingin mencari tahu siapa yang tidur diatas peti mati tersebut. Perlahan Ave mendekat, dia sudah memasuki ruangan tersebut. Dinding ruangan terbuat dari batu, di setiap dinding juga dipasang obor, dan cahaya yang Ave lihat berasal dari langit-langit ruangan yang sengaja di berikan beberapa lubang agar cahaya matahari dapat masuk. Lubang tersebut tepat diatas sarkofagus, sebab itu cahaya yang masuk menyinari sarkofagus seperti lampu sorot.
Ave masih berjalan dengan gontai. Dia takut. Dia takut bahwa yang berada diatas sarkofagus itu adalah mayat. Ave sadar bahwa itu adalah seorang perempuan dibalut dengan gaun berlengan panjang berwarna hitam. Karena merasa perempuan itu cantik, Ave berjalan mendekat. Tak lama dia juga sadar rambut perempuan itu bergelombang berwarna hitam pekat. Warna kulitnya putih pucat, Well, itu menjelaskan bahwa perempuan tersebut adalah mayat. Ave semakin mendekat hingga berakhir dengan wajahnya tepat di depan wajah perempuan tersebut. Dia terus mengamati wajah mempesona perempuan tersebut. Hidungnya mancung, alisnya tebal, bibirnya tipis tetapi terlihat seksi dan ... matanya terbuka.
Ave terlonjak. Dia berjalan mundur dengan rasa takut yang luar biasa. Mata Ave terbelalak dengan mulut menganga. Dia tidak percaya ini. Ave kira perempuan tersebut sudah mati, dan sekarang dia bangun dari tidur panjangnya dengan mata berwarna merah darah dengan semburat kehitaman.
Perempuan tersebut menatap Ave tajam sembari berjalan mendekati Ave dengan tangan yang sudah menggenggam belati dengan erat. Ave tahu, bahwa belati tersebut diarahkan padanya. Ave merasa dia belum siap mati. Maksudnya, dia belum meminta maaf kepada ayahnya, dia belum memeluk ibunya, dia belum bermain dengan saudara-saudarinya, dan bahkan dia belum bertemu dengan Edward.
Perempuan itu semakin lama semakin mendekat pada Ave. Manik merah darah itu menatap tajam mata hazel Ave. Aura di ruangan tersebut semakin mencekam dan udara di sekitar Ave tiba-tiba menjadi menurun. Ave mundur perlahan berusaha menjauh dari perempuan yang ingin membunuhnya itu. Dia takut. Benar-benar takut. Ave merasa dia tidak bisa berbuat apa-apa sekarang. Hingga akhirnya langkah Ave terhenti akibat dinding batu yang menghalanginya. Dia semakin merasa takut dan semakin merasa tidak dapat berbuat apa-apa selain menyerahkan nyawanya. Setidaknya dia pernah di ceritakan tentang surga oleh Felic. Kata Felic, surga itu adalah tempat terindah. Surga adalah tempat para orang yang seumur hidupnya berbuat baik, dan Ave merasa dia ... tidak baik. Dia bertanya pada dirinya sendiri, apakah aku akan diterima di surga setelah melanggar janjiku kepada Edward?
Perempuan itu bersiap melemparkan belati kearah Ave. Merasa ajalnya sudah dekat, Ave hanya bisa pasrah dan menutup mata. Dia tidak berani meratapi kenyataan di depan matanya.
Glusshh
"Arghh.."
Bukan. Itu bukan suara Ave.
Ave membuka mata dan melihat sosok lain yang tertusuk belati perempuan itu. Di bawah kakinya sudah ada seseorang yang tengah duduk-bukan, bersujud.
"Pergilah...argghh...Ave." Kata Edward dengan nafas tercekat. Bau anyir darah memasukki indera penciuman Ave.
"Bertahanlah..." kata Ave seraya menangisi takdir orang yang disayanginya. Setelah kehilangan Felic, sekarang Edward? Tentu dia tidak mau. Dia terduduk, memberikan topangan kepada kepala Edward yang sekarang tengah meratapi nasibnya.
"Per...gilah...Ave..." kata Edward lagi sembari mengelus pelan rambut Ave.
Perempuan tersebut berjalan semakin mendekat. Dan itu membuat Edward semakin takut kehilangan Ave. Edward merasa, lebih baik dia yang mati daripada gadis seperti Ave. Bagi Edward, Ave begitu berbeda.
"Pergilah!! Arrghh!" Kali ini Edward memaksakan diri untuk berteriak memerintah kepada Ave.
Ave tersentak dan langsung berlari dengan enggan. Dan ketika ia ingin berbalik, melihat keadaan Edward, kegelapan mengambil alih dirinya.
[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top