BAB 7. Tentang Keenan
"Julie cuma mau gambar sama mommy!" teriak Julie.
Amara terperangah.
Ia masih tak percaya bocah manis tadi berubah sikap 180 derajat.
"Julie, tapi Miss di sini atas permintaan Daddy-mu. Nanti Julie, 'kan, bisa menggambar sama Mommy-nya Julie lagi." ujar Amara. Ia pun berjongkok agar sejajar dengan tinggi badan Julie.
"Bohong!" bantah Julie. "Miss mau gantikan Mommy, kan? Supaya Julie nggak cari-cari Mommy lagi, kan?!"
"Kok Julie bisa bilang Miss bohong?"
"Daddy pasti bayar Miss Amara untuk menggantikan posisi Mommy! Itu pasti!" Julie mulai berkaca-kaca dan sesegukkan. "Semua karena Mommy nggak akan pulang lagi. Mommy takut sama Daddy! Padahal Julie kangen Mommy!"
"Lho? Julie ..."
Amara mematung salah tingkah. Baru kali ini ia menghadapi seorang anak kecil yang tiba-tiba menangis. Apa lagi, Julie mengungkap fakta mengejutkan mengenai hubungan kedua orang tuanya.
Ketika Julie sedang menangis --- Santi pun datang seraya membawa nampan berisi minuman dan makanan ringan. Kepala staf rumah tangga itu seketika terkejut bukan main. Kanvas dan alat lukis Julie berserakan di lantai. Karpet penuh dengan cipratan cat. Selain itu, blouse Amara juga penuh noda --- ada cap telapak tangan kecil pula. Pasti Julie!
"Astaga. Non Julie?" seru Santi. "Non Julie, kenapa lagi?"
"Bi Santi, Julie, kan, udah bilang enggak mau melukis kalau bukan sama Mommy. Sekarang tahu rasa soalnya nggak mau denger Julie, sih!" sahut Julie berkacak pinggang.
Santi menggelengkan kepala karena tidak habis pikir. Ia lalu beralih pada Amara karena sungkan dengan kenakalan Julie. "Miss Amara, saya minta maaf untuk perbuatan Non Julie. Dia memang suka usil anaknya."
"Tidak apa-apa, Bu Santi. Saya saja yang kurang sigap sebagai guru. Tapi, apa betul yang Julie katakan ... kalau dia sebenarnya tidak mau kursus kesenian?" Amara berbalik tanya.
"Ehm, soal itu ..." Santi berdeham. "Sebenarnya Non Julie memang tidak mau kursus. Tetapi Bapak Keenan ingin memfasilitasi bakat dan minat putrinya. Kebetulan, Non Julie ini suka melukis."
"Oh begitu ..." Amara mengangguk.
Santi memandang Julie tegas. "Non Julie, ayo sekarang say sorry sama Miss Amara."
Julie kembali menjulurkan lidah.
"No way!" sahut bocah cilik itu.
Santi makin panik. Sebaliknya Amara justru mengulum senyum karena geli melihat tingkah laku Julie.
"Sudahlah. Tidak apa-apa, Bu Santi," ujar Amara. Ia lalu menatap Julie dengan teduh. "Miss Amara yang seharusnya minta maaf. Miss tidak tahu kalau Julie sebenarnya tidak mau kursus. Maaf, ya."
Julie membuang muka seraya menggembungkan pipi.
Amara kembali melanjutkan. "Miss akan membersikan tangan dan pakaian Miss dulu di kamar mandi. Miss harap saat Miss kembali, Julie sudah merapikan alat-alat lukis Julie. Bisa?"
"NGGAK MAU!" jawab Julie menantang.
Amara mengulum senyum. "Hmm, nggak mau, ya? Ya tidak apa-apa, sih. Berarti Julie tidak mau dapat hadiah dari Miss Amara."
Julie berkernyit dan menoleh pelan-pelan. "Hadiah?"
"Iya."
"Hadiah apa?" selidik Julie penasaran.
Amara menarik kedua sudut bibir. "Rahasialah."
"Tapi Julie mau hadiah!" rengeknya pada Santi.
"Ya makanya jangan nakal. Turuti apa kata Miss." Santi pun membisik.
Julie menyentakkan kaki ke lantai. "Ih!" decihnya. "Yasudah, nanti Julie rapikan."
Amara tersenyum penuh kemenangan. Ia melihat Julie yang berjongkok dan memunggut sisa-sisa kekacauan yang ia sebabkan.
"Saya permisi ke toilet, Bu Santi," kata Amara.
"Perlu saya antar, Miss?" tawar Santi.
"Tidak perlu. Bu Santi temani Julie di sini saja." Amara melambaikan tangan. "Tapi, toiletnya di sebelah mana, ya?"
"Keluar dari sini, lurus saja melewati koridor. Toiletnya ada di pintu sebelah kiri, Miss," jelas Santi.
Amara mengangguk. "Baik, Bu."
***
Tampaknya Amara lupa, ia sedang berada di rumah super megah yang memiliki luas hampir satu hektar. Seluk beluk kediaman Keenan itu juga mirip labirin.
Amara terus melangkah sesuai petunjuk Santi. Namun, ia benar-benar tak menemukan pintu kamar kecil terdekat. Wanita itu mulai berniat kembali dari pada semakin tersesat. Meski ia harus menahan malu saat bertemu Santi nanti.
"Lurus dan toilet berada di sebelah kiri?" Amara bicara sendiri.
Ia lalu menemukan pintu berbahan jati dengan handle cokelat tua. Dengan hati-hati, Amara pun memutar kenop dan membukanya. Kepala wanita itu mengintip ke dalam --- tampak penghubung ruangan atau foyer. Amara pun melangkah semakin masuk berharap menemukan bath-room. Namun mata wanita itu justru melotot karena pemandangan yang ia temukan.
"P-Pak Keenan!"
Sosok Keenan yang hanya berbalut handuk menutup bagian bawah tubuh. Kulit putih lelaki itu juga berkilap karena lembab setelah mandi.
"Bu Amara?" Keenan menatap Amara bingung.
Amara bergegas membalik badan. "Maaf, Pak! Saya kira ini kamar mandi! Saya permisi!" ucapnya kikuk.
Keenan menangkap blouse Amara yang bernoda. Ia menebak itu pasti ulah Julie.
"Julie berbuat sesuatu? Apa dia bikin ulah?" selidik Keenan mendekat.
Amara menggigit bibir. "Tidak, kok, Pak."
"Lalu kenapa dengan pakaianmu? Ada jejak tangan Julie di situ." Keenan santai menghampiri. Seolah tak terganggu mempertontonkan separuh tubuh telanjangnya pada Amara.
"Ini bukan apa-apa, Pak Keenan. Saya permisi."
Amara buru-buru keluar dari kamar. Jantungnya serasa mau melompat keluar.
Dia bukan tidak pernah melihat lelaki bertelanjang dada. Dan lagi, kalau soal tubuh, tubuh Bastian lebih atletis ketimbang Keenan. Suaminya itu rutin berolahraga di gym. Perut Bastian dijajari otot-otot berbentuk kotak. Bisep sang suami kekar dan kokoh sempurna bak model susu protein. Namun, entah mengapa melihat Keenan barusan, gairah Amara bergejolak.
Kulit Keenan seputih pualam. Lekuk tubuh lelaki itu pas dan maskulin. Selain itu tumbuh rambut halus di sepanjang garis abdomen sang CEO.
"ADUH!" Amara mengacak-acak rambut demi mengenyapkan bayangan Keenan.
"Bu Amara!" Keenan berseru di depan pintu kamar.
Amara pun menoleh ke belakang. "I-iya?" tanyanya. Sial! Lelaki itu belum mengenakan pakaian.
"Kalau cari kamar mandi, ada di sebelah sana." Keenan menunjuk pintu yang berjarak tidak jauh dari posisi Amara. Ternyata toilet bersebelahan dengan kamar pribadi si Keenan yang barusan ia masuki.
"Terima kasih." Amara buru-buru membuka pintu dan mengurung diri di dalam kamar mandi.
***
"Wah, Julie yang rapikan sendiri?"
Julie mengangguk. "Aku rapikan tanpa bantuan Bi Santi!" jelasnya. "Sekarang mana hadiahnya, Miss?"
"Nanti, dong. Kita belajar dulu. Ya?" sahut Amara.
Julie berkecimus. Tetapi ia menuruti Amara dan mengambil tempat di depan kanvas. Gadis kecil itu siap memegang kuas beserta palet.
"Miss ingin lihat kamu menggambar, kali ini serius, ya. Supaya Miss bisa tahu sejauh mana kemampuan Julie. Boleh, kan?" ujar Amara.
"Boleh."
Julie mulai fokus pada lukisan. Ia menggoreskan warna demi warna hingga membentuk siluet seseorang --- yang tampaknya wanita.
"Ini ... gambar siapa, Julie?" pancing Amara. Ia cukup terkesan. Julie memang memiliki bakat menggambar.
"Mommy," terang Julie.
"Oh ... Mommy ..." gumam Amara. Ia mulai penasaran. Amara tidak melihat sosok si Mommy Julie. "Mommy-nya Julie cantik, ya?"
Mata Julie berbinar. "Cantik sekali. Paling cantik sedunia. Mommy-nya Julie artis. Sering masuk TV. Julie kadang-kadang lihat. Tapi sekarang tidak boleh sama Daddy." Bocah itu mendadak masam.
"Kenapa kok nggak boleh?"
Julie mengendikkan kedua bahu. "Ngga tahu. Mommy dan Daddy, kan, sudah nggak tinggal sama-sama. Mommy pergi gara-gara Daddy suka marah."
Maksudnya bercerai? "Oh ... begitu ..." sahut Amara tercenung.
"Julie kangen sama Mommy. Julie nggak mau melukis sama orang lain selain Mommy."
"Mommy-nya Julie pintar melukis juga?" selidik Amara.
Julie mengangguk cepat. "Pintar!" jawabnya. "Tapi kata Daddy Miss Amara lebih pintar, makanya Daddy mau Julie gambar sama Miss aja. Nggak usah ingat-ingat Mommy lagi."
"Astaga ..." Amara membisik pelan. Ia lalu mengelus lembut punggung Julie. "Julie, apa Julie pikir bahwa Miss di sini untuk menggantikan posisi Mommy-mu?"
"He'em."
"Jadi, itu sebabnya kamu bersikap nakal seperti tadi sama Miss?" tanya Amara lagi.
"He'eem ..." Julie membenarkan.
Amara menghela napas. "Miss ini cuma guru privat, Julie. Sampai kapan pun tidak akan bisa menggantikan posisi Mommy Julie dalam kegiatan melukis kalian. Jangan salah paham lagi, ya, Julie?"
"Apa maksud Miss, nanti Mommy bakalan ke sini untuk menemui Julie?" Julie mendadak antusias.
"Ya dong. Namanya juga ibu, pasti ingin menemui anaknyalah."
"Jadi Mommy bakal melukis sama-sama Julie lagi?" cecar Julie.
"Iya, Julie." Amara mengangguk-anggukkan kepala.
Julie mengangkat kedua tangan sambil tertawa gembira. "Asik!!!" Ia lalu kembali melanjutkan lukisannya dengan penuh semangat.
Amara memandang Julie lekat. Perpisahan kedua orang tua selalu mengorbankan anak. Julie sungguh malang. Dia masih sangat kecil untuk paham dengan apa yang terjadi. Dan lagi, Keenan tampaknya terlalu keras pada Julie dan ibunya. Apa lelaki itu tak punya hati sampai tega memisahkan Julie dengan mommy-nya?
Speak to the Devil. Keenan tiba-tiba membuka pintu perpustakaan dan masuk. Tentu saja --- dia sudah mengenakan pakaian lengkap. Kedatangan lelaki itu menguarkan aroma mint yang memenuhi seisi ruang. Amara pun lagi-lagi salah tingkah, terbayang peristiwa tadi.
"Daddy sudah pulang kantor?" Julie mendongak menyambut sang ayah.
Keenan membungkuk dan mengecup puncak kepala Julie. "Sudah, Darling." Ia melirik ke arah kanvas. "Bagus sekali. Julie yang gambar?"
"Iya. Tanya aja Miss Amara."
Amara tersungging. "Betul. Ini memang Julie yang lukis. Julie cukup berbakat."
"Ini gambar muka Julie, ya?" terka Keenan.
"Bukan, Daddy. Ini Mommy."
Rahang Keenan seketika mengeras. Raut lelaki itu menegang.
Julie kembali melanjutkan, "Kata Miss Amara, nanti Mommy bakal ke sini biar bisa gambar bareng sama Julie lagi."
Keenan mengernyit sembari mendengkus. Ia melirik Amara dengan tatapan dingin. Hal itu membuat Amara merasa terintimidasi.
"Bisa tinggalkan kami berdua, Miss?" ucap Keenan.
"Ba-baik, Pak." Amara bangkit dari duduk dan bersiap pergi.
Keenan segera mencegah. "Bawa sekalian tasmu, Miss. Saya pikir hari ini pelajaran Julie sudah cukup. Tunggu saya di ruang kerja. Minta Bu Santi mengantar Anda ke sana."
"O ... begitu, ya ...?" Amara makin gelisah dan cemas. Dia yakin sudah membuat kesalahan.
Iris pekat Keenan menyorot Amara. "Saya mau bicara."
Ya. Amara 100 persen yakin dia memang telah membuat kesalahan. Dengan lunglai dan lutut yang sedikit gemetar, Amara pun meninggalkan Julie dan Keenan.
Beruntung, ia berpapasan dengan Santi di koridor. Amara tak harus kesasar untuk kedua kali.
"Bu Santi, kata Pak Keenan mau bicara sama saya di ruang kerja," terang Amara.
Santi tersenyum ramah. "Kalau begitu, mari, Miss. Saya antar ke ruangan kerja."
***
Sambil menunggu kedatangan Keenan, Amara sibuk menggulir layar ponsel. Ia membuka situs pencarian online dan mengetik nama Keenan di dalamnya.
Lelaki itu ternyata sangat menjaga privasi dan kehidupan pribadi. Semua artikel yang muncul adalah berita tentang kesuksesan Keenan sebagai pebisnis dan CEO muda. Sama sekali tidak ada informasi tentang mantan istri Keenan atau kapan pernikahan mereka dulu berlangsung.
Namun rasa penasaran membuat Amara enggan menyerah. Ia terus me cari hingga hasil penelusuran paling terbawah sekali pun. Dan Amara berhasil!
Nadira Kemala --- merupakan nama mantan istri Keenan Alkala Ibrahim. Wajah wanita itu familiar bagi Amara. Setelah Amara mencari tahu lebih teliti, ternyata Nadira adalah salah satu artis ibukota. Hanya saja, ia kurang terkenal dan cuma muncul sebagai pemeran figuran.
Kekuasaan dan uang yang keluarga Ibrahim miliki pasti dengan mudah melenyapkan semua informasi negatif seputar perceraian Keenan dan Nadira. Apa lagi, salah satu bisnis yang dikuasai oleh Ibrahim Group adalah media cetak dan stasiun penyiaran televisi. Gampang saja untuk sekedar memblokir artikel-artikel berita atau gosip yang mereka mau.
Amara terkenang sorot sendu Julie ketika membicarakan Nadira.
Julie pasti rindu sang ibu.
"Tega sekali si Keenan." Amara pun menggumam sendiri.
***
Keenan sedang duduk pada arm-chair sembari mengurung Amara dalam pandangan.
"Bagaimana Julie?" selidik Keenan mengawali pembicaraan.
"Menurut saya hasil karya Julie sudah bagus. Pada dasarnya dia sudah ada bakat menggambar," jawab Amara.
"Begitu, ya." Keenan menggumam.
Amara berdeham. "Pak, kalau saya boleh tahu. Tujuan Bapak mengikutkan Julie privat seni apa, ya? Apakah berkaitan dengan pelajaran sekolah Julie? Kalau memang benar demikian, bolehkah saya melihat buku kesenian Julie di sekolah untuk mengetahui kurikulumnya?"
"Tidak ada hubungannya sama sekali dengan pembelajaran di sekolah. Saya hanya ingin Julie melampiaskan kesedihan dan kekesalan melalui seni. Dulu, menggambar adalah hobi Julie. Jadi, saya pikir itu adalah penyaluran emosi yang bagus. Saya pikir Anda pasti paham." Keenan menaikkan sebelah alis.
"M-maksud, Bapak?"
"Lukisan-lukisan Miss Amara punya makna tersirat. Saya bisa menangkap emosi yang meluap di sana. Saya begitu takjub dan hanyut hanya dengan melihatnya saja. Entah mengapa saya merasa getir sendiri. Karena itulah saya yakin Anda pasti orang yang tepat untuk mengajari anak saya. Akhir-akhir Julie suka marah-marah dan mengamuk. Saya ingin dia melampiaskan kesal dengan kegiatan positif, seperti melukis," terang Keenan.
Amara menelan saliva. Keenan menyindir atau sedang memuji?
Keenan kembali melanjutkan, "Saya kira ia akan berulah dan tidak mau mengikuti kelas. Tapi, ternyata Anda bisa menguasai suasana ..." Sorot mata Keenan berubah tajam. "Dengan cara yang saya tidak suka."
"Ma-maksud Bapak?" tanya Amara.
Keenan meringis. "Miss Amara lancang karena menjanjikan Julie akan bertemu dengan Mommy-nya jika ia mengikuti kelas seni dengan baik."
"Saya tidak menjanjikan itu. Sepertinya Julie salah paham menafsirkan perkataan saya. Lagi pula wajar kalau seorang anak rindu dengan ibunya, kan?" sahut Amara.
"Julie tidak akan pernah bertemu lagi dengan Mommy-nya." Raut Keenan menegang. Ia terlihat kesal kepada Amara.
"Jadi itukah sebabnya Pak Keenan bilang kalau saya bisa menggantikan Mommy Julie dalam melukis bersama? Pak Keenan tahu betul itu tidak mungkin. Saya cuma orang asing bagi Julie. Tidak akan pernah bisa menyaingi ikatan batin antara ibu dan anak."
Keenan mendecih. "Ikatan batin?" bisiknya. "Saya membayarmu mahal agar kamu bisa bekerja dengan baik. Kamu seharusnya bisa mengambil hati Julie sampai dia lupa soal Mommy-nya! Paham?"
Amara membalas tatapan Keenan dengan berapi.
"Jadi ini alasan sebenarnya Bapak Keenan meminta saya menjadi guru privat Julie?" sergah Amara. "Sampai kapan pun, saya tidak akan bisa menggantikan posisi Mommy Julie. Asal Bapak tahu hal itu."
20 BAB FORBIDDEN DESIRE bisa kalian baca gratis di BESTORY. Jangan lupa follow dan kasih rating di sana, ya!
Buat yang masih bingung gimana cara beli koin di sana, nih aku spill.
1. Instal aplikasi BESTORY di playstore.
2. Pilih button hijau bertuliskan TOP UP yang ada di profil.
3. Pilih jumlah koin yang ingin kalian beli lalu NEXT.
4. Kalau invoice sudah muncul, klik Pembayaran.
5. Terakhir - pilih metode pembayaran. Done.
Aku tunggu dukungan kalian di sana. Selain BOOKING ORDER, karya²ku yang lain sudah anteng manis di sana. Silakan cek² ya!
Salam sayang! Ayana
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top