BAB 6. Putri Si Mata Wayang
Apa yang membuat manusia sadar akan eksistensinya? Sebuah alasan terbangun pada pagi hari dengan hati yang bahagia?
Dihargai.
Sudah lama Amara tidak merasakan itu. Hatinya bak pohon lapuk yang tidak berisi. Rapuh. Setiap hari dada Amara seakan dipenuhi oleh rasa cemas, getir, dan ketidak-bergunaan. Ia tidak berarti. Semua berubah semenjak pertemuan dengan Keenan. Ada percik dari kilatan semangat yang mulai menyala. Keraguan Amara seketika sirna.
Dia, Keenan, mengakui kemampuan melukis Amara. Sesuatu yang bahkan tidak ia dapatkan dari suaminya sendiri, Bastian. Amara tak lagi mampu menolak permintaan Keenan. Lelaki itu mempercayainya --- satu-satunya orang yang berkata kalau ia membutuhkan bakat Amara.
“Maaaaaraaaaaa?”
Amara sedang sibuk membongkar lemari saat Luciana lagi-lagi datang berkunjung tanpa diharapkan.
“Mara?! Ke mana, sih? Kebiasaan sekali, rumah tidak dikunci dan dipanggil-panggil tidak menyahut! Kalau ada maling bagaimana?” Luciana kembali mendumal.
Amara menuruni tangga dan menyambut Luciana. "Eh, Mama."
"Kamu dari mana saja, sih? Pintu rumah kenapa tidak terkunci?" cecar Luciana kesal.
"Aku lagi di kamar, merapikan lemari pakaian," jawab Amara. Ia meraih punggung tangan Luciana dan mengecupnya sopan.
“Lain kali kalau kamu di lantai atas, pintu depan jangan lupa dikunci!" sergah Luciana. "Kamu, ‘kan, agak budek, mana dengar kalau ada orang masuk. Bisa hilang semua barang-barang berharga hasil jerih payah Bastian kerja karena dibobol maling."
"Iya, Ma." Amara mengangguk pelan. Sudah biasa mendengar omelan dari ibu mertuanya yang cerewet. "Mama mau minum apa?" alihnya.
"Nanti saja." Luciana merebahkan bokong ke atas sofa. Ia lalu membetulkan rambut pendek bergelombangnya sambil melirik Amara. "Duduk sini, Mara," titahnya.
"Kenapa, Ma?" Amara mengambil tempat bersisian.
Luciana merogoh shoulder bag dan menyodorkan sesuatu yang berasal dari dalam tas. "Ini buat kamu," katanya.
"Apa ini, Ma?" Amara mengamati paperbag pemberian ibu mertuanya. Ada sebuah botol bening yang berisi cairan hitam pekat mirip sirup obat batuk.
"Itu jamu," jawab Luciana.
"Jamu?" tanya Amara lagi.
"Jamu buat kesuburan. Kamu minum tiga kali sehari setiap harinya, ya."
Amara sebenarnya tidak terlalu yakin dengan jamu pemberian Luciana. Apa lagi, belum ada label aman pada botolnya.
"Iya, nanti aku minum." Namun, Amara malas mendebat Luciana lebih jauh.
Luciana lantas tersenyum masam. Ia memandang Amara dengan sudut mata --- tatapan sinis.
"Sebagai wanita, kita harus berusaha, Mara. Apa lagi wanita tidak selamanya subur. Mama lihat kamu nggak ada usaha apa-apa biar segera hamil. Sekedar cari pengobatan alternatif aja, tidak."
Amara tertunduk. "Aku sudah berusaha semampuku, Ma."
"Kamu sadar, 'kan, kalau Bastian itu ganteng dan mapan. Kasihan dia kalau sampai tidak memiliki anak seumur hidupnya. Jadi, Mama cuma mau wanti-wanti ke kamu, kalau kamu harus siap jika nanti Bastian memilih menikah lagi," ujar Luciana.
Amara terbelalak. "Mama?!"
"Dari pada diceraikan, bukannya lebih baik kamu ikhlas dimadu. Tidak ada larangan bagi seorang lelaki punya istri lebih dari satu, kok!" tukas Luciana.
Amara mengepalkan kedua tangan untuk menahan amarah.
"Mana ada wanita yang mau dimadu, Ma?" sahut Amara.
Luciana mendecih. "Egois, kamu. Kamu yang tidak sanggup memberikan keturunan, tetapi kamu justru melarang Bastian menikah lagi. Makanya belajar agama lebih dalam, Mara."
"Sebelum menikah, aku sudah menjalani pemeriksaan dan dinyatakan tidak ada masalah. Memang Tuhan belum mempercayakan kami titipan anak. Tolong Mama jangan mengatakan hal yang membuatku terluka begini ..." sergah Amara.
Luciana balik senewen. "Maksud kamu Bastian yang bermasalah?" sungutnya.
"Aku tidak bilang begitu, aku, 'kan bilang kalau memang belum rezeki kami saja, Ma," jelas Amara.
Ia lantas menengok pada jam di dinding. Sudah waktunya Amara bersiap mengajar privat di rumah Keenan.
"Maaf, Ma. Tapi aku harus bersiap-siap dulu." Amara bangun dari duduk.
"Siap-siap? Mau ke mana kamu sore-sore begini? Sebentar lagi bukannya Bastian pulang?" selidik Luciana.
"Mulai hari ini aku mengajar privat, Ma."
Tawa Luciana pecah. "Kamu? Ngajar? Ngajar apa, Mara?" cibirnya.
"Kesenian. Khususnya melukis. Bos Mas Bastian sendiri yang minta langsung."
"Bos Bastian yang minta?" Luciana penuk ketidak-percayaan.
Wanita paruh baya itu pun membisu. Ia tidak habis pikir mengapa Bos Bastian meminta orang seperti Amara untuk mengajar. Dia, kan, cuma wanita kampung yang beruntung karena bisa mendapatkan putranya, Bastian.
***
Kediaman Keenan Alkala Ibrahim terletak pada kawasan elit di Surabaya Barat. Perumahan asri, tenang, dan borjuis dengan citra ekslusif. Deretan rumah-rumah yang dilewati sepanjang Amara berkendara, memiliki ukuran fantastis.
Mobil Amara akhirnya berhenti pada salah satu rumah bergaya Eropa. Setelah memarkirkan kendaraan secara sempurna, ia segera memencet bel di samping gerbang. Seorang berseragam security pun keluar menghampiri.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya security.
"Sore, Pak. Saya Amara Senja. Guru privat yang Bapak Keenan pekerjakan untuk mengajar Julie," terang Amara.
Security itu tersungging. "Oh, Bu Amara. Silakan." Ia membuka gerbang dan mempersilakan Amara masuk. "Langsung saja menuju pintu utama."
Setelah mengucap terima kasih pada penjaga, Amara pun menyusur masuk. Wanita itu berdecak kagum dalam hati.
Rumah Keenan mirip kediaman bangsawan yang pernah ia lihat di televisi. Pada sisi jalan, terdapat taman luas yang didominasi oleh pepohonan hijau. Pola tanaman hiasnya teratur membentuk lingkaran. Amara jadi membayangkan kehidupan seperti apa yang dijalani oleh para penghuni rumah. Kalangan kelas atas yang punya mal tersebar di seluruh penjuru kota.
Di depan pintu utama, seorang wanita berseragam serba hitam sudah berdiri menyambut Amara.
"Selamat sore. Miss Amara, ya?" Ia tersenyum ramah. "Perkenalkan, Miss, saya Santi, kepala staf rumah tangga kediaman Bapak Keenan."
"Selamat sore, Bu Santi." Amara membalas senyuman Santi.
"Mari, Miss. Non Julie sudah menunggu di perpustakaan." Santi mempersilakan Amara.
Begitu melangkah, Amara pun menahan napasnya. Ia takjub akan kemewahan bangunan rumah. Seluruh dinding berwarna putih. Sementara, pantulan cahaya kuning dari lampu kristal menggantung memberikan kesan hangat dan berkerlip pada mata Amara. Kesan megah makin diperkuat oleh pilar-pilar tinggi yang seolah menyangga langit-langit.
Pantas Bastian hampir berang kala Amara menghidangkan masakan sederhana untuk Keenan. Meski begitu, lelaki kaya itu menyantap habis makanan buatan Amara. Sekarang setelah menginjakkan kaki di istana Keenan, Amara baru sadar betapa berbedanya kasta mereka.
Setelah menyusuri koridor panjang yang mirip selasar hotel bintang lima, langkah Santi pun terhenti.
"Silakan, Miss." Ia membuka pintu jati untuk Amara.
Amara melenggang mendahului Santi. "Terima kasih, Bu Santi."
Ruang penuh buku itu terkesan astetik dan klasik. Koleksi buku tertata rapi pada rak-rak kayu yang menempel di dinding. Dindingnya sendiri didominasi oleh ornamen kayu kecokelatan. Terdapat tangga yang melingkar dengan pegangan keemasan untuk mempermudah penghuni meraih buku yang terletak paling atas. Terakhir, lampu hias berjuntai tepat di tengah eternit untuk memberikan pencahayaan maksimal.
Amara menangkap gadis kecil sudah duduk manis melipatkan tangan di atas meja ukir. Dia pasti Julie.
"Non," sapa Santi pada gadis berkepang dua itu. "Miss Amara sudah datang."
"Halo, Julie. Aku Amara," timpal Amara. Ia tersungging seraya membungkuk agar bisa lebih jelas memandang paras mungil Julie.
Kedua sudut bibir Julie tertarik ke atas hingga membentuk lengkungan lebar. Pipi bocah itu bulat dan bersemu merah muda. Julie mirip boneka.
"Hai, Miss Amara." Julie melambaikan tangan.
Santi pun bersiap pergi meninggalkan Amara dan Julie yang akan memulai pelajaran.
"Kalau begitu saya tinggal, ya, Miss. Silakan dimulai pelajarannya."
Amara mengangguk.
"Baik, Bu Santi."
Netra Amara kembali terpesona oleh sosok Julie. Gadis kecil itu mirip seorang putri kerajaan. Di depan Julie sudah berjajar berbagai macam peralatan lukis. Mulai dari cat air, cat minyak, kuas-kuas, kanvas, buku gambar, pensil, dan peralatan lainnya.
"Julie, kamu suka menggambar?" tanya Amara.
Julie menggelengkan kepala. "Aku nggak begitu pandai."
"Tapi suka, 'kan?" tanya Amara lagi.
"Suka. Aku suka corat-coret di buku gambar. Pernah di tembok tapi kata Daddy nggak boleh."
Amara mengulum senyum. "Kalau gitu ... yuk, kita coba gambar bersama." Ia mengambil salah satu buku dan kanvas kecil. "Kamu mau memulai di buku gambar atau langsung di kanvas?"
Bola mata Julie melirik ke kiri atas. "Uhmm," gumamnya. "Julie mau coba pakai kanvas, Miss. Boleh?"
"Boleh, dong!" Amara bergegas meletakkan kanvas ke atas easel.
Ia kemudian menutup tubuh Julie menggunakan celemek agar pakaiannya tidak kotor terkena noda cat. Saat berdekatan, Amara mampu mengendus aroma strawberry yang menguar dari rambur Julie. Sangat manis dan imut.
"Miss, kok, nggak pakai celemek juga?" selidik Julie.
Amara menggeleng. Ia merasa tidak membutuhkan celemek. Gadis manis dan sopan seperti Julie tidak mungkin berantakan saat melukis. Jadi Amara yakin, tak akan terkena percikkan cat.
"Miss sudah menuangkan Julie cat air. Pakailah." Amara menyodorkan palet kepada Julie.
"Apa yang harus kugambar?" Amara menatap Amara dengan bola matanya yang membulat.
"Terserah. Apa pun yang ada di imajinasi Julie. Miss mau lihat cara menggambar Julie seperti apa."
Julie pun mengangguk.
Setelah terdiam beberapa saat. Julie pun mulai berani menggoreskan kuas ke atas kanvas putih. Ia lalu mencampur semua warna yang ada di dalam palet. Akibat ulah Julie itu, Amara sontak mengernyit.
"Kok dicampur semua, Julie?" tanya Amara.
Julie melirik seraya menyeringai.
Ia serta merta mengaduk-aduk kedua telapak tangan ke atas palet. Raut Julie yang semula tenang berubah jahil ke arah Amara.
"Nih!" seru Julie. Ia menempelkan telapak kecilnya yang kotor pada blouse putih yang Amara kenakan.
Amara sama sekali tidak menduga Julie akan melakukan itu. "Astaga?"
"Rasakan seranganku! Penyihir!" teriak Julie kegirangan.
Mata Amara membelalak. Ke mana gadis manis dan sopan yang bersamanya tadi?
"Ju-Julie?" Amara kelimpungan. Ia bangkit dari kursi dan menatap pakaiannya yang penuh dengan noda cat air.
Julie menjulurkan lidah.
"Katanya boleh gambar apa saja? Jadi Julie gambar di baju Miss aja!"
Tidak sampai di situ, Julie tiba-tiba melempar kuas dan cat air miliknya secara sembarangan. Ia juga membanting kanvas ke atas lantai.
"Kata siapa Julie suka gambar? Julie nggak suka!" pekik Julie.
Semula --- Amara pikir bekerja sebagai guru Julie adalah oase di tengah padang gurun kehidupan membosankannya. Ternyata --- ia keliru.
Ini, sih, keluar dari kandang macan, masuk ke dalam mulut buaya!
FORBIDDEN DESIRE sudah tamat di BESTORY (cukup 2000 rupiah saja per bab)
Di KARYAKARSA lebih murah yaitu 5000 per 5 bab. Silakan mampir yang ingin baca lebih cepat 🖤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top