BAB 5. Awal Mula

Keenan sibuk menelisik setiap sisi rumah dengan tangan yang terkait ke belakang --- gaya khas seorang bos besar.

Di lain sisi, Amara berkutat di belakang counter table untuk mempersiapkan makan malam. Ia sesekali melirik pada Bastian. Suaminya belingsatan bak cacing kepanasan. Bastian mondar-mandir demi menyuguhkan berbagai camilan dan minuman untuk Keenan yang irit kata.

Ada sebersit rasa iba di benak Amara kepada Bastian. Suaminya sangat kentara berusaha keras mengambil hati Keenan.

"Makanannya sudah siap. Mari, silakan," ucap Amara.

Untuk menunjukkan kemarahan pada Bastian, Amara sengaja memasak masakan nusantara yang tidak disukai oleh sang suami. Siapa sangka, malam ini justru seorang tamu penting datang untuk makan bersama. Amara tidak bisa membayangkan bagaimana ekspresi Bastian nanti ketika melihat hidangan sederhana yang tersaji di meja makan.

"Mari, Pak Keenan." Bastian penuh kesopanan mempersilakan sang CEO.

Sebaliknya raut Keenan sama sekali tak berubah - dingin dan kaku - nyaris tanpa senyum.

"Maaf, seadanya," kata Amara mengimbuhi.

Senyum di bibir Bastian lenyap kala mengetahui menu yang tersaji di meja makan. Andai saja tidak ada Keenan, lelaki itu pasti sudah mengumpat dan mencak-mencak kesetanan.

"Ini apa, Mara?" tanya Bastian. Ia sekuat tenaga menahan emosi dan menampilkan senyum keterpaksaan.

"Sambal goreng krecek, mangut ikan pe campur pete dengan kuah santan pedas, tumis kacang panjang, sama tempe goreng, Mas," terang Amara.

Bastian mengepalkan tangan.

Dia bukan dungu yang tidak tahu nama hidangan-hidangan di meja makan. Ia hanya bingung kenapa istrinya memasak hidangan kampung macam itu. Padahal Amara jelas tahu kalau Bastian tidak suka masakan nusantara.

"Pak, ini mungkin tidak sesuai selera, Bapak. Bagaimana kalau Bapak menunggu sebentar, biar saya order-kan makanan dari aplikasi online." Bastian gelisah. Takut Keenan merasa terhina gara-gara masakan kampung buatan Amara.

"Tidak perlu," sahut Keenan datar. "Kenapa memangnya dengan makanan-makanan ini?"

"Ini pasti tidak sesuai selera Pak Keenan." Bastian melirik ke arah Amara sambil melotot. "Entah kenapa hari ini istri saya memasak hidangan udik seperti ini. Padahal kami biasa makan masakan western atau chinesse."

Dahi Keenan berkernyit. "Hidangan udik? Saya baru tahu ada strata sosial dalam makanan."

Amara sontak mengulum senyum. Berbeda dengan Bastian yang malah salah tingkah sendiri.

"Pak Keenan mau makan makanan ini?" tanya Bastian.

Keenan menarik kursi. "Why not? It looks delicious for me."

"Kalau begitu, mari kita mulai makan," kata Bastian kikuk.

Saat Keenan dan Bastian sudah mengambil tempat, Amara pun menyendokkan nasi ke atas piring. Ia kemudian menyodorkannya pada Bastian. Lelaki itu lantas mengkode Amara agar ia juga mengambilkan nasi untuk Keenan.

"Biar saya yang ambil sendiri," cegah Keenan.

Secara tak sengaja, jemari Keenan dan Amara saling bersentuhan. Akibat hal tersebut, Amara buru-buru memundurkan badan untuk menciptakan jarak. Keenan pun sama.

"Maaf." Keenan berdeham canggung.

Amara memilih tak membalas. Ia duduk di samping Bastian dan memilih menghindari kontak mata dengan Keenan.

Sikap Amara justru memancing atensi Keenan. Diam-diam lelaki itu mencuri pandang ke arah Amara. Wanita berbulu mata lentik dengan bibir menawan. Namun, Keenan buru-buru menepis segala fantasi yang berkelindan. Ia gila jika memutuskan untuk tertarik pada istri karyawannya.

***

Ketegangan pun menyelimuti saat mereka mulai makan.

Mereka bertiga sama-sama tersiksa oleh pemikiran masing-masing. Bastian hampir muntah karena memaksakan diri makan makanan yang bukan seleranya. Amara yang canggung karena berada di antara Bastian dan Keenan. Sementara, Keenan hampir saja khilaf karena terpesona oleh paras Amara.

Bastian melirik ke piring Keenan yang hampir bersih.

"Pak Keenan, mau tambah?" tanya Bastian berbasa-basi.

"Boleh," jawab Keenan.

Bastian justru melotot. Mana ia sangka kalau bosnya gemar dengan makanan orang kampung.

"Jangan terlalu banyak, Pak." Amara tiba-tiba menimpali.

"Sstt!" Bastian menyenggol lengan Amara yang ia anggap lancang.

Amara memilih tak peduli dan kembali melanjutkan, "Kuah Mangutnya lumayan pedas. Saya hanya khawatir Pak Keenan sakit perut karena tidak terbiasa makan masakan pedas," terangnya.

Keenan mengangguk setuju. Meski begitu, kenikmatan kuah santan itu sungguh memanjakan lidahnya.

"Dulu waktu kecil, eyang saya dibantu oleh pembantu di rumah kami suka memasak hidangan khas nusantara seperti ini. Cita rasanya sama. Sampai-sampai membangkitkan memori masa kecil saya," kenang Keenan.

"Jadi Anda suka hidangan ini, Pak?" tanya Bastian.

Keenan mengangguk. "Istri anda sangat pandai memasak. Pak Bastian beruntung."

Amara refleks tersipu.

Tawa Bastian pecah. "Dia ini sudah sewajarnya masak yang enak. Kan, di rumah Amara tidak melakukan apa pun. Jadi, ya, sudah seharusnya istri saya ini masak yang enak untuk suaminya."

"Pak Bastian mempekerjakan pembantu?"

Bastian menggeleng. "Tidak, Pak."

"Hmm." Keenan bergumam. "Berarti yang mengerjakan urusan rumah tangga hanya Bu Amara seorang, ya? Mencuci, masak, membersihkan rumah, bukan hal yang mudah. Itu juga pekerjaan. Saya rasa, Bu Amara di rumah lebih sibuk dari pada kita yang pergi bekerja di kantor."

Bastian meringis getir. Ia sama sekali tidak paham dengan jalan pikiran bosnya. Padahal Bastian berusaha sekuat tenaga mengimbangi pembicaraan agar mereka bisa lebih dekat. Tapi semua seakan sia-sia.

Amara mengelus punggung tangan Bastian. Meski Keenan membelanya, tetapi sebagai istri, Amara tak tega melihat harga diri Bastian terluka.

"Mas Bastian selalu membantu saya meringankan pekerjaan rumah tangga. Seperti katanya, di rumah saya memang lebih banyak bersantai dan tak melakukan apa pun. Karena itulah saya bisa meluangkan waktu untuk melukis," timpal Amara.

"Begitu rupanya ..." deham Keenan. "Oh iya, soal lukisan. Bagaimana tanggapan Ibu Amara terhadap tawaran yang saya kemarin sampaikan? Tujuan saya kemari juga untuk membicarakan ini, bukan begitu, Pak?" Ia beralih ke arah Bastian.

Amara pikir, Bastian sudah menyampaikan penolakannya. Tapi sepertinya belum.

Bastian buru-buru menyahut, "Istri saya senang sekali dengan penawaran dari Pak Keenan." Ia pun berdiri dari duduk. "Kalau Bapak mau, Bapak bisa melihat-lihat hasil karya Amara di atas."

Amara membelalak. Bastian selalu saja seenaknya!

"Mas!" sungut Amara lirih.

"Mari, Pak?" Bastian memilih mengabaikan protes Amara.

Keenan mengikuti Bastian dengan antusias. "Saya sudah tidak sabar." Ia lalu mengekor ke mana manajer pemasarannya itu melangkah.

Amara menahan kesal. Ia tidak suka menunjukkan lukisannya pada orang asing.

Sesampainya di lantai atas, Bastian membuka pintu. Ia mempersilakan untuk Keenan masuk terlebih dulu.

Aroma khas cat minyak yang bercampur-campur memenuhi ruang kamar. Netra Keenan terpegun karena lukisan-lukisan yang terpampang pada dinding. Ada juga yang menumpuk di lantai. Ini sangat menarik.

"Ini lukisan terbaru?" tanya Keenan sambil menunjuk kanvas di atas easel kayu.

Amara mengangguk.

Itu adalah lukisan kemarahannya. Goresan penuh emosi dan kebencian yang terpendam dalam jiwa. Seekor burung merpati yang terpasung dalam sangkar perak dengan latar campuran warna merah dan jingga. Sudah menjadi ciri khas Amara mendominasi lukisan menggunakan warna merah berpadu jingga.

"Bukankah ini bagus, Pak Keenan? Menunjukkan kegembiraan, warna merah adalah warna yang cerah dan hangat. Bercampur dengan oranye khas suasana matahari terbenam. Mungkin karena nama istri saya Amara Senja, jadi dia suka melukiskan objek tatkala 'senja'," kelakar Bastian. Ia berkomentar bak ahli seni yang sedang mencoba melucu.

Keenan tetap memasang wajah datar. Hal tersebut membuat Bastian sadar bahwa leluconnya garing. Lelaki itu pun buru-buru menetralisir rasa canggung dengan berulang kali berdeham. Bastian payah soal seni. Ia sebaiknya menutup mulut ketimbang sok tahu dan berujung malu.

"Saya permisi ke toilet sebentar, ya, Pak." Bastian melengos.

Ia meninggalkan Keenan dan Amara karena tidak tahan berlama-lama membahas soal seni.

Perginya Bastian sontak membuat Amara dan Keenan membisu. Mereka berdua memilih fokus mengamati tiap lukisan yang ada di ruangan itu.

"Oh, ini ..." Keenan tertegun dengan wajah sedikit memerah.

Ia menemukan sebuah kanvas bergambar seorang wanita telanjang. Anehnya --- Keenan yakin bahwa wanita yang ada di dalam lukisan adalah Amara.

Sang wanita dalam lukisan sedang berbaring di atas tumpukan duri mawar. Sementara tangannya menyentuh area kewanitaan. Wanita itu sedang memuaskan diri.

Amara kelabakan karena Keenan menemukan coretan vulgar tersebut. Tetapi ia berusaha mempertahankan wajah datar. Amara pun mengambil kanvas lukisan itu dan membalikkannya agar menghadap ke belakang. "Tidak ada batasan dalam menuang imajinasi, bukan?" kata Amara.

"Ehm, ya ..." Keenan menggaruk pelipis yang tidak gatal.

Mereka akhirnya sama-sama terdiam.

Untuk memecah kebisuan, Keenan pun kembali mengomentari lukisan Amara yang pertama kali ia lihat. "Lukisan ini sama sekali tidak mengandung keceriaan. Apakah dugaan saya benar?" tebaknya.

"Interpretasi seni orang berbeda-beda," jawab Amara.

Keenan menyeringai.

Amara adalah wanita yang menarik. Ia seolah menyembunyikan sisi liar yang bersarang dalam jiwa.

"Saya tidak berkompeten untuk mengajari putri Bapak melukis. Saya cuma ibu rumah tangga yang tidak punya latar belakang dalam bidang kesenian. Dan saya melukis juga otodidak. Tolong jangan salah sangka dengan suami saya. Ia mungkin sungkan untuk menolak." Amara kembali bicara. "Maaf, sebelumnya."

"Saya tahu itu," sahut Keenan.

"Maksud Bapak?" selidik Amara. "Bapak sudah tahu saya tidak berkompeten, tetapi kenapa menawarkan pekerjaan itu pada saya?"

"Kamu memang tidak memiliki background dalam bidang kesenian," ujar Keenan. "Namun, saya yakin kamu mampu."

"Apa yang membuat Bapak begitu yakin?" cecar Amara.

Keenan menoleh dan mengurung Amara dalam pandangannya. "Intuisi saya tidak pernah salah. Hanya Anda yang cocok mengajar putri saya, Julie."

Hola, Darls!

Apa kabar? Semoga selalu sehat dan bahagia! Mampir ke ceritaku yang lain, yuk!


----

Sugarbaby

Blurb :

Melati a.k.a Jasmine, terpaksa menyetujui ajakan kawin kontrak dari Iman demi melunasi hutang keluarga. Melati pikir, tinggal satu atap dengan pria mesum seperti Iman adalah bencana bagi hidupnya. Namun, banyak sisi lain dari Iman yang makin terungkap seiring waktu berjalan. Di saat benih cinta mulai tumbuh, Bram mantan Sugar Daddy Melati muncul. Lelaki itu ternyata merupakan paman dari Iman!?

Lalu, bagaimana cara Melati menyimpan rahasia hubungan masa lalunya dengan Bram dari Iman?

----

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top