BAB 4. Udang Di Balik Batu

Baca lebih cepat di BESTORY

Bastian segera turun dari mobil.

Ia membawa buket bunga mawar merah yang terikat pita metalik warna emas. Wajah lelaki itu sumringah - tidak tegang seperti biasa.

"Mara, aku pulang," serunya sambil melenggang masuk.

Amara turun dari tangga, tidak menyangka Bastian pulang secepat ini. Biasanya, Bastian baru sampai rumah pukul delapan atau sembilan malam.

"Pulang awal, Mas?" sambut Amara.

"Iya, Sayang. Karena aku kangen sekali sama kamu." Bastian mengecup pipi Amara. "Ini, aku bawa hadiah untuk kamu. Semoga kamu suka."

Amara melotot - buket bunga mawar? "I-ini buatku?" tanyanya penuh sangsi.

"Yaiya-lah. Buat siapa lagi kalau bukan kamu." Bastian merangkul Amara mesra.

Hati Amara mendadak bahagia. Tapi timbul keraguan akan maksud dibalik perubahan sikap Bastian. Tidak biasa lelaki itu romantis dan semanis sekarang.

"Makasi, ya, Mas."

"Kamu suka, 'kan?" selidik Bastian.

Amara menarik kedua sudut bibir ke atas hingga membentuk lengkungan. "Suka banget." Ia mengendus wangi mawar menggunakan hidung. "Ini dalam rangka apa, Mas?"

"Kok tanyanya gitu? Ya karena aku sayang sama kamu aja, Sayang!"

Wajah Amara tersipu.

Mungkin Tuhan menjawab semua doa-doa yang ia panjatkan. Pintu hati Bastian terketuk dan kembali menjadi suami yang perhatian kepadanya.

Bastian lalu merangkul Amara seraya membisik, "Kita mandi sama-sama, yuk. Mau?"

Jantung Amara berdebar. Seperti tersihir, ia mengikuti langkah Bastian yang menaiki anak tangga. Mereka bergandengan menuju kamar untuk mewujudkan momen intim sepasang suami-istri.

Di dalam kamar --- Bastian mencumbu mesra Amara dalam pelukan. Sentuhan demi sentuhan yang sudah lama tidak dirasakan oleh wanita itu membuat tubuhnya menggelinjang, bahkan oleh usapan kecil sekali pun. Dalam pagutan, Amara pun merapal dalam hati agar hubungan mereka malam ini mampu menanamkan benih dalam rahimnya.

Tanpa banyak aksi, Bastian melucuti celananya dan merebahkan Amara ke atas ranjang.

Ia menurunkan dalaman Amara dan membuka lebar kedua kaki wanita itu. Secara kasar, Bastian pun menghunjam batang kelelakiannya ke dalam liang Amara yang sempit. Lorong itu masih belum sepenuhnya basah. Namun Bastian terus menusuk dan menjejalnya dengan kejantanan.

"Pelan-pelan ... Mas ..." erang Amara.

Bastian seolah tuli. Ia mendorong miliknya untuk mengobrak-abrik dinding-dinding hangat Amara. Tusukan demi tusukan membuat kewanitaan Amara semakin perih. Lelaki itu hanya memikirkan kenikmatan untuk dirinya sendiri. Gerakan Bastian makin tak terkendali dan cepat.

Tak lama, Bastian lantas memuncratkan cairan kental dalam rahim Amara. Ia telah mencapai klimaks.

Bastian menghela puas. Sementara Amara merasakan nikmat saja tidak.

Lelaki itu menjatuhkan badan tepat di sisi Amara yang masih tersenggal. "Kamu enggak bosan di rumah terus?" Ia membelai rambut hitam Amara.

Amara pun menatap Bastian lekat.

"Bosan pasti ada. Tapi, banyak hal yang bisa kulakukan di rumah."

"Kamu nggak pengen balik kerja?" pancing Bastian.

Amara sontak menegakkan badan.
"Ma-maksudnya, aku boleh kembali ke pekerjaanku du-"

"Enggak, Sayang!" sela Bastian. "Bukan pekerjaan yang menyita waktu seperti pekerjaanmu yang dulu. Pekerjaan paruh waktu ... sekadar menyalurkan hobi."

"Maksud, Mas?"

"Kamu, 'kan, suka melukis. Bagaimana jika kamu menjadikan itu sebagai pekerjaan," ujar Bastian. "Bosku tadi lihat lukisanmu dan dia sangat kagum. Dia mau kamu jadi guru lukis anak perempuannya."

Amara menggeleng.

"Aku enggak bisa, Mas. Aku enggak ada basic ngajar. Lagi pula, aku melukis tidak ada ilmunya, otodidak. Bagaimana mungkin aku nekat mengajari anak orang," sanggah Amara.

"Yang penting kamu ada kemampuan. Lagian, kamu tahu, 'kan, kalau Bos aku itu orang hebat. Dia anak Adiharjo Ibrahim. Nggak mungkin dia asal pilih orang. Dia pasti yakin kamu bisa ajarin anak dia!" kata Bastian memersuasi.

Amara tersentak. "Putra Adiharjo Ibrahim? Pengusaha terkenal itu? Yang julukannya 'Raja Real Estat'? Bukannya dia di Jakarta?" selidiknya.

"Dia sekarang pindah ke cabang Surabaya."

"Jadi sekarang Bos kamu baru, Mas?"

Bastian mengangguk. "Pak Keenan orangnya angkuh dan terlalu perfeksionis. Penawarannya untukmu adalah jalan pembuka bagiku agar bisa akrab dengannya."

"Aku malah makin takut mengajar anaknya, Mas. Nanti kalau dia kurang puas, gimana? Malah nama kamu jadi ikutan ngga baik di matanya ..." sahut Amara.

"Kalau kamu nolak, justru posisiku yang terancam." Bastian bersikukuh. "Ayolah kamu terima saja," desaknya.

"Aku ini tidak kridibel untuk mengajar. Lebih baik Mas tolak saja dari pada nanti akan mengecewakan dia."

Bastian berubah gusar. Ia menuruni ranjang sambil meraih celana. "Capek banget ngomong sama kamu! Apa susahnya sih menuruti suami?"

Amara terperangah. Sikap lembut Bastian mendadak lenyap.

Bastian kembali melanjutkan, "Padahal ini satu-satunya kesempatan agar kamu itu berguna, tahu! Sudah tidak becus mengurus rumah, suka bantah, mandul lagi!" cacinya.

"Mas!" sentak Amara.

Air mata Amara menerobos tanpa bisa ia tahan. Rasa sakit menusuk relung akibat perkataan Bastian yang setajam pisau.

'Mandul'.

Wanita mana yang mau dicap mandul. Mendengarnya saja sudah membuat napas berhenti.

Melihat Amara mulai menangis, Bastian justru berpaling. Ia enggan meminta maaf.

"Cengeng kamu!" dumal Bastian. "Dikit-dikit nangis, dikit-dikit nangis!" Ia lantas membanting pintu kamar.

Amara membenamkan wajah dalam tangkupan tangan. Kepedihannya berkali lipat karena luka yang berulang kali ditorehkan oleh Bastian.  Orang yang semula ia pikir akan membahagiakannya hingga akhir hayat.

***

Amara tak menemukan Bastian saat terbangun di pagi hari. Lelaki itu pasti sudah berangkat kerja tanpa berpamitan. Masa bodoh. Toh hatinya masih sakit dengan perkataan Bastian kemarin.

Pantas saja ia bersikap manis --- ternyata ada maksud tersembunyi. Dan saat Amara menolak, Bastian kembali ke tabiat semula.

Amara memutuskan kembali tidur dan bermalas-malasan seharian. Percuma ia masak, Bastian tak pernah mau makan di rumah. Percuma juga ia berdandan, Bastian sudah kehilangan selera padanya.

Ia mulai mempertanyakan kelangsungan rumah tangganya bersama Bastian. Hubungan mereka bak di ujung tanduk.

***

Waktu menunjukkan pukul enam malam. Amara menengok ke jendela ketika mendengar kendaraan Bastian yang melewati gerbang rumah. Ia memutuskan tak menyambut Bastian di depan pintu. Hati Amara masih sakit.

"Malam, Sayang," tegur Bastian. Ia membuka pintu dan melenggang masuk dengan santai.

Amara mematung. Ada apa lagi ini? Mengapa Bastian kembali bersikap manis?

Semua menjadi jelas ketika Amara sadar bahwa Bastian tidak sendiri. Di belakang --- seorang lelaki tinggi menyusul. Aroma mint segar mendadak menguar memenuhi ruangan.

"Sayang, kenalkan ini Pak Keenan. Aku mengundangnya untuk makan malam bersama kita."

Keenan dan Amara saling beradu pandang. Sorot mata Keenan begitu tajam seperti busur panah yang siap melesat. Lelaki itu seolah mengintimidasi Amara.

"Makan malam bersama?" gumam Amara penuh kebingungan.

Keenan mengangguk. "Malam," ucapnya. Raut lelaki itu sungguh arogan.

Amara kembali menatap Keenan melalui bola mata almond-nya. Dahi wanita itu berkernyit. Ia tak menduga akan ada orang asing datang untuk makan malam bersama. Ini bukan hal yang disukai Amara. Sesuatu tanpa persiapan --- yang diputuskan sepihak oleh Bastian.

Keenan mampu menangkap ekspresi Amara yang kurang nyaman. Lelaki itu lantas menarik kedua sudut bibir ke atas hingga menciptakan garis melengkung. Saat ia tersenyum, kedua lesung tercipta pada pipi Keenan yang ditumbuhi cambang tipis.

"Maaf jika kedatangan saya membuat Bu Amara terganggu."

Jantung Amara berdegup kencang. Aura pongah yang tadi sempat tertangkap pun seketika sirna. Sebaliknya, senyum dan suara Keenan yang hangat, berubah menggetarkan hatinya.

----

Hola, Darls!

Jangan pelit kasih vote + komen kalian ya. Dan please follow dulu sebelum lanjut baca; ini wajib,  daripada cuma masukin ke readinglist kalian.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top