Bab 29. Merasa Bersalah
Berselingkuh itu salah. Pelakunya adalah seseorang yang hina dan penuh dosa. Mengkhianati janji suci di hadapan Maha Pencipta. Mengingkari sumpah setia sehidup semati. Tak hanya pada pasangan tetapi pada Tuhan pemilik raga dan jiwa manusia.
Apakah membayangkan lelaki lain termasuk bentuk penghianatan? Lalu bagaimana jika sosok dirinya tak mampu hilang meski sudah berusaha sekuat tenaga?
Kemudian bagaimana jika kini Keenan justru tanpa izin menautkan bibir mereka? Berdosakah Amara karena ia memilih memejamkan mata ketimbang menampar lelaki itu? Ya. Amara menutup pelupuknya. Membiarkan Keenan merengkuhnya dalam pelukan hangat.
Bibir tipis itu mencumbu Amara dengan lembut dan penuh damba. Aroma mint dari parfum Keenan ikut memabukkan segala sentuhan. Jemari tegas yang menyisipkan helai rambut Amara ke belakang. Kemudian membelai kepalanya begitu mesra dan bergairah. Saat lidah mereka akhirnya saling membelit pun, Amara bisa merasakan sisa sepat dari wine yang Keenan teguk tadi. Memabukkan sekaligus memberikan efek candu.
Bukan ciuman beringas yang menuntut dan mendominasi. Melainkan sebuah wujud dari pelampiasan rindu yang telah lama tertahan.
Tubuh Amara bukan lagi miliknya. Jemari lentik wanita itu dengan sendirinya membelai bakal janggut kasar yang menghiasi paras Keenan. Mengusap sisi maskulin sang bos yang berhasil membangkitkan gairahnya. Menarik Keenan agar memagut lebih dalam dan intens.
Mereka memang sudah gila.
Dan berdosa.
"Aku yang memaksamu," bisik Keenan. "Aku yang bajingan."
Ia lantas mengecup leher jenjang di depannya. Membenamkan kepala dan napas pada ceruk milik Amara. Keenan bisa menghirup wangi khas wanita itu - vanila.
"Oh, Tuhan ..." Amara memalingkan muka. Ia menahan Keenan agar tak lagi menyentuhnya. "Jangan kumohon."
Air mata pun mulai menggenang pada mata bening Amara. Bulirnya jatuh menitik membasahi pipi. Ia menangis - terisak dan semakin tersedu.
"Amara?" Keenan tercenung karena dipaksa melihat pujaannya menangis. Seketika ia pun merasa sangat berdosa dan bersalah.
"Ini salah ..." rintih Amara tertunduk. Bahu wanita itu gemetar seperti menggigil.
"Kumohon maafkan aku. Aku yang memaksamu. Aku yang menggodamu. Aku memang lelaki tak bermoral!"
Amara menggeleng. "Aku pun menginginkanmu." Ia menengadah dan menyorot Keenan dengan tatapan perih. "Tapi ini salah. Ini tak pantas. Benar-benar tak pantas."
"Amara ..." Keenan berusaha menjangkau Amara yang memundurkan langkah.
"Pulanglah, Pak. Ini sudah malam."
"Aku ..."
"Kumohon," tegas Amara.
Raut Keenan tak kalah pedih. Ia lantas meraih kotak makanan yang Amara tadi siapkan untuk Julie. Lelaki itu pun mengambil langkah besar menuju pintu utama dan keluar.
Setelah Keenan pergi - seluruh tulang pada persendian Amara seolah lumpuh. Ia pun melemas dan terjatuh pada ubin yang dingin. Meratap seraya menutup wajah dengan kedua telapak tangannya.
Wangi mint itu masih tertinggal pada ruangan. Bahkan ... rasa ciuman yang tadi masih tersisa pada bibir Amara.
***
Cahaya matahari menerobos melalui sela-sela jendela kamar. Sinar teriknya membuat mata Bastian berkedut karena silau. Ia lantas menggeliat seraya memegangi dahi yang pening. Pengar luar biasa membuat kepala Bastian serasa dipukul palu.
Ia pun terbangun dan menegakkan badan.
Bastian diam sesaat untuk mengumpulkan kesadaran. Ia mati-matian mengingat soal kejadian semalam bersama Keenan. Bastian sadar minum terlalu banyak dan mabuk. Lalu mulai meracau tak karuan. Entah racauan seperti apa.
Yang jelas - ia masih ingat saat Keenan menarik kerah pakaiannya. Sial! Bastian yakin sudah mengatakan hal tidak pantas. Tapi apa?!
"Amaraaa!" teriak Bastian.
Ia menuruni ranjang dan berlari ke lantai bawah.
"Amara!"
"Ada apa, Mas?" Amara sigap menghampiri Bastian dari dapur.
"Apa Pak Keenan mengatakan sesuatu? Atau dia terlihat marah saat pulang dari sini?" buru Bastian.
Amara menggeleng pelan. "Tidak. Dia tak mengatakan apa pun. Juga tak terlihat marah."
Amara memalingkan wajah. Ia menyembunyikan fakta akan dosa besar yang sudah ia lakukan di belakang Bastian. Wanita hina. Begitulah sekarang Amara memandang dirinya.
Bastian menghela napas. "Aku sama sekali tidak ingat soal semalam. Aku tidak ingat bicara apa saja pada Pak Keenan. Aku sangat khawatir telah mengatakan sesuatu yang buruk."
Tidak - Amara dan Keenanlah yang telah melakukan sesuatu yang buruk. Berciuman.
"Kurasa tak terjadi apa pun. Pak Keenan tampak baik-baik saja. Dia juga menerima titipanku untuk Julie," kata Amara. "Tenanglah, Mas."
"Ya, syukurlah kalau begitu."
"Mas, ada baiknya kamu mandi dan sarapan. Apa kepalamu masih pusing? Mau kubuatkan sesuatu?" tawar Amara.
"Nggak usah." Bastian mengernyih. "Aku akan mandi dan keluar sebentar."
"Mau ke mana, Mas? Bukankah kepalamu masih sakit?"
"Ada di rumah liburan begini malah makin bikin kepalaku pening. Udahlah. Kita sudah perjanjian, kan, kalau kamu tidak boleh kebanyakan cerewet lagi!"
Amara menelan getir. Setelah apa yang ia perbuat kemarin - Amara bersumpah akan menebus segala salah dengan mengabdikan diri pada Bastian. Dia memang pengecut yang menyembunyikan kejujuran. Dan menjadi istri yang diharapkan Bastian adalah salah satu upaya bertobat.
"Baiklah, Mas," kata Amara lirih. "Tapi paling tidak sarapanlah dulu."
Bastian enggan menjawab. Ia melengos begitu saja menuju dapur untuk menuang air. Setelah menuntaskan rasa haus, lelaki itu pun tak acuh pergi meninggalkan Amara.
Dengan nanar - Amara mengekori punggung sang suami.
Pantas Tuhan mengirimkannya ujian begitu besar. Sikap Bastian yang abai, kebohongan soal hasil fertility test, dan kesepian luar biasa yang menemaninya hampir lima tahun ini. Semua ternyata bukan tanpa alasan. Melainkan hukuman karena ia merupakan istri tak setia.
Amara benar-benar membenci diri sendiri.
***
Bastian sudah rapi dan segar. Sambil bersiul ceria - lelaki itu menuruni tangga untuk bersiap pergi.
Gara-gara tes sperma kapan lalu, ia terpaksa puasa bercinta dengan kekasihnya. Kini sudah tak ada lagi alasan untuk menunda hasrat. Toh hari libur memang sebaiknya ia jalani di luar. Entah berpesta atau healing ke tempat wisata yang jauh dari kota Pahlawan. Apa lagi, makan malam semalam memberikan angin segar bagi Bastian. Ia yakin Keenan bakal merekomendasikannya sebagai VP Marketing baru. Sesuatu yang harus ia rayakan.
"Mas ..." Amara menahan Bastian.
"Apa lagi, sih?" sungut Bastian. Kegembiraannya mendadak pudar tatkala melihat sosok sang istri.
Ketertarikan Bastian benar-benar sudah pudar. Di matanya, Amara adalah wanita kumal yang bau asap dapur. Tidak seksi, menggairahkan, apa lagi menantang.
"Sebelum kamu pergi, aku ingin minta izin soal keputusan yang kubuat," kata Amara.
"Keputusan apa?" Raut Bastian ogah-ogahan.
"Aku ingin berhenti mengajar Julie, Mas. Aku tak bisa lagi menjalani pekerjaan itu."
FORBIDDEN DESIRE sudah tamat di Karyakarsa. Buat yang penasaran dan nggak betah nunggu, boleh pindah jalur ke sana. Jangan lupa vote, dan komen sebanyak-banyaknya, ya, supaya Ayana makin semangat berkarya 🖤
Love you All 🖤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top