Bab 28. Kehilangan Kendali

"Atau Amara yang mandul?"

Dada Keenan kian bergemuruh. "Pak Bastian, saya yakin Anda memang sangat mabuk. Ayo saya antar ke bawah."

"Tidak-tidak ... saya tidak mabuk, Pak," sanggah Bastian. "Saya cukup sadar untuk mengatakan kenyataan pahit akan hidup saya yang malang."

"Maksud, Bapak?"

"Sebagai suami - saya adalah terbaik diantara yang terbaik." Bastian tertawa getir. "Dari sekian banyak wanita, Amara yang saya pilih untuk menjadi istri." Ia lantas meraih pundak Keenan untuk membisiki bosnya. "Dia cuma anak nelayan dari kampung. Wanita desa yang hidup enak karena saya nikahi. Tapi apa yang saya dapat? Kesialan."

"Pak Bastian, pembicaraan ini sudah tidak pantas!" Keenan bergegas bangkit dari duduk.

"Apanya yang tidak pantas?" Bastian menyandarkan punggung pada sandaran. Wajah lelaki itu memerah karena tipsy. "Saya memang apes karena memperistri wanita yang mandul. Infertilitas. Saya harus menerima kenyataan bahwa saya tak akan punya keturunan sampai saya mati nanti. Dia itu sangat mujur karena saya belum berencana untuk menceraikannya."

"Demi Tuhan, Bastian!" Keenan merenggut kerah kemeja Bastian. Ia ingin sekali menghajar lelaki itu. Napas Keenan memburu - amarah sudah di ubun-ubun. "Brengsek!" Ia mengumpat pelan seraya melepaskan cengkeramannya.

Tubuh Bastian pun tersandar lemah pada kursi. Sibuk meracau akibat efek alkohol yang gagal ditoleransi oleh tubuh.

Keenan berjalan penuh emosi menuju tepian rooftop. Ia berusaha menetralisir detak jantung yang bertabuh. Bajingan tengik - Bastian adalah bajingan terkutuk!

Walau pun mabuk sekali pun ucapan Bastian sangat tidak pantas. Apakah nilai seorang istri hanya ditentukan dari kemampuan menghasilkan anak? Sungguh pemikiran zaman purba yang kolot dan tak bermoral. Bukannya mereda - emosi Keenan malah semakin membara. Ia memijat dahinya yang pening. Sementara tangan satunya bertengger di pinggang. Bastian beruntung tak terkena sasaran tinju.

Keenan tidak boleh gegabah.

Ia adalah pemegang jabatan tertinggi di perusahaan. Selain itu Keenan mengemban nama baik keluarga Ibrahim di punggungnya.

Mulut ember Bastian yang berkoar-koar ketika Keenan menjotosnya akan merusak semua wibawa. Sebenar apa pun Keenan - ia tetap bersalah karena jatuh cinta pada istri orang. Untuk itulah Keenan harus memadamkan ledakan amarah.

"Ayo kita ke bawah." Keenan mengembuskan napas berat. Ia lantas membantu Bastian berdiri kemudian memapahnya.

***

"Astaga, Mas Bastian?" Amara menghambur menghampiri. Rautnya penuh khawatir akan keadaan sang suami.

"Dia kebanyakan minum," ujar Keenan. "Di mana aku harus membawanya?"

"Ma-mari ke arah sini." Amara berjalan di depan mendahului. Ia menyusuri lorong dan membuka pintu kamar. "Silakan, Pak. Tolong hati-hati ..."

Keenan melangkah masuk dengan Bastian yang mengalungkan sebelah lengan di pundaknya. Sesuai pesan Amara - untuk berhati-hati - Keenan pun membaringkan Bastian pelan. Padahal sebenarnya ia ingin sekali membanting tubuh penuh otot itu ke atas ranjang.

"Ya ampun, Mas? Kamu mabuk?" Amara mengusap dahi Bastian yang sudah tidak sadar sepenuhnya.

Perhatian yang Amara torehkan pada Bastian membuat Keenan makin terbakar cemburu. Tolol. Bagaimana mungkin ia panas hati pada seseorang yang bukan miliknya.

"Kurasa Bastian tidak kuat minum, tetapi dia memaksakan diri menghabiskan satu botol sendirian," ujar Keenan.

Amara mengangguk dan turun dari ranjang. "Terima kasih sudah membantu Mas Bastian turun."

"Ya. Sama-sama."

Keenan dan Amara saling pandang. Sesuatu yang lagi-lagi membangkitkan desir terkutuk dalam relung keduanya. Dan Amara memilih membuang muka demi memutus tatapan.

"Kalau begitu saya pulang. Ini juga sudah larut," pamit Keenan.

"Baik, Pak. Akan saya antar sampai depan. Kebetulan saya juga ada titipan buat Julie."

"Oh ya?" Keenan tersenyum lebar. Lesung pada kedua pipi lelaki itu pun mengintip dan menambah ketampanannya.

Amara dan Keenan berjalan bersisian meninggalkan Bastian. Mereka menuju tangga untuk turun ke lantai bawah.

"Semula saya pikir Bapak ke sini bersama Julie, makanya saya masak makanan yang Julie suka," ujar Amara.

"Dari kantor saya langsung ke sini. But, thanks." Keenan mengurung Amara dalam sorotnya. "Kamu sangat perhatian pada Julie. Dia pasti suka saat tahu aku membawa masakan buatanmu."

"Benarkah?" tanya Amara.

"Ya. Julie suka masakan yang kamu buat. Dia selalu membanding-bandingkannya dengan masakan tukang masak di rumah. Para tukang masak jadi punya PR berat karena harus menyaingi cita rasa bikinanmu."

Amara tertawa kecil. "Masa, sih?" Pipi wanita itu bersemu merah muda.

Keenan tersungging. Akhirnya wanita itu memberikan senyumnya. Sungguh cantik.

"Sebentar, ya, Pak. Saya taruh di dalam kotak makan dulu." Amara berbelok ke arah dapur.

Ia cekatan mengambil kotak di dalam kebinet. Secara telaten, Amara meletakkan potongan udang dan ayam bertepung ke dalam tupperware. Selain itu, Amara juga membungkus masakan yang Keenan tidak ketahui namanya. Mungkin beef teriyaki - barangkali yang lain - entahlah. Keenan tak peduli. Ia mengabadikan Amara dalam netranya. Perbuatan penuh dosa memang. Tapi sudahlah!

"Ehm, apa Pak Bastian memang tak kuat minum alkohol?" tanya Keenan memecah bisu.

"Sepertinya," sahut Amara mengingat-ingat. "Kami tidak pernah minum bersama dan lagi ini pertama kalinya saya melihatnya mabuk."

"Begitu rupanya." Keenan mengangguk.

Amara mendadak terkesiap. "Apa Mas Bastian bicara yang bukan-bukan, Pak?" Ia selesai mengemas makanan dan berjalan mendekati Keenan. "Kumohon maafkan dia." Wanita itu menyodorkan kotak berisi masakannya pada sang bos.

"Maaf kenapa?" Keenan menerima pemberian Amara.

"Semisal Mas Bastian mengatakan sesuatu yang kurang sopan. Dia pasti meracau karena kehilangan kesadaran. Biasanya Mas Bastian selalu sopan dalam bertutur. Dia juga selalu bercerita pada saya tentang kekagumannya terhadap Pak Keenan ... Jadi semisal tadi Mas Bastian berkata hal yang tidak-tidak ... mungkin karena ..."

Keenan meletakkan kotak makanan pemberian Amara ke atas counter. Lelaki itu menatap Amara dengan tatapan setajam elang. "Kamu terlalu baik hati Amara."

Tanpa Amara duga, Keenan menarik pinggangnya dalam rengkuhan.

"Untuk kali ini - anggaplah aku juga sama mabuknya seperti suamimu."

Ia menangkupkan telapak tangan besarnya pada kedua pipi Amara. Lantas mendaratkan bibir pada bibir plum berwarna merah itu.

Hayolo, main sosor aja Keenan ...

Tapi, aku juga gak keberatan sih kalau disosor duda highquality kek Keenan. Wkwkwk, sosor, Mas! Sosor!!

Forbidden Desire sudah tamat di KaryaKarsa, silakan melipir ke sana jika tak sabar tunggu di WP.

Love Y'll 🖤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top