Bab 27. Jamuan Makan Malam

Ketertarikan Bastian kepada Amara sudah luntur. Rasa penasaran yang dulu sempat ia rasa - hilang tak berbekas. Amara adalah seorang istri yang membosankan. Dan mandul.

Apa lagi yang Bastian harapkan dari wanita itu? Memberikannya keturunan saja tidak bisa.

"Mas, maksud kamu apa?" Amara berkaca-kaca. "

"Perlu aku ulang?" kata Bastian pongah. "Aku tidak mau mendengar larangan darimu lagi. Aku ingin melakukan apa pun yang kumau dengan bebas."

"Lantas rumah tangga seperti apa yang akan kita jalani jika kamu berpikiran seperti itu? Bersikap semaunya."

"Hanya itu yang bisa kamu berikan padaku, Mara." Bastian menatap Amara dengan bengis. "Masih untung aku tidak menceraikanmu." Ia lantas mendengkus dan bersiap menjauh.

Amara sudah kehilangan tenaga untuk bicara - apa lagi bertengkar. Ia sudah berada di posisi terjepit. Maju atau mundur tak bisa.

Sebelum menaiki tangga, Bastian menoleh. "Oh ya. Siapkan masakan enak untuk besok. Aku mengundang Pak Keenan untuk makan malam di rumah kita."

"A-apa?" Amara terperangah.

"Dia bilang mau makan apa saja asal buatanmu." Bastian mendecih. "Tak kusangka selera makanannya kampungan." Ia lantas berlalu begitu saja meninggalkan Amara.

Napas Amara seolah berhenti sesaat. Ia sekuat tenaga menghindari Keenan - tetapi Bastian justru mengundangnya ke rumah.

Peristiwa tempo lalu mendadak berkelindan mengganggu benak Amara. Menggantikan kesedihan yang semula terasa menjadi desir membara.

"Tidakkah kamu mengerti, Amara? Tentang ketertarikanku padamu."

Suara Keenan menggaung pada rungu Amara. Mengusik semua janji akan setia sehidup semati bersama Bastian.

***

"Astaga!"

Amara berulang kali mengiris jarinya sendiri kala memotong sayur di talenan. Entah ada apa padanya hari ini! Ia sangat gugup dan salah tingkah. Semua karena Keenan bakal makan di rumah malam ini.

Wanita itu bakal menyiapkan pesmol ikan, sup tomyum, dan daging goreng bacem.

Ia berdecih. Tiga hidangan tadi Amara rasa kurang. Keenan seharusnya mendapat jamuan lebih dari itu. Lalu, bagaimana jika Keenan mengajak Julie ikut serta? Semua masakannya berbumbu pedas. Julie pasti tidak suka. Dengan kegelisahan yang menumpuk - Amara lantas kembali membuka lemari pendingin untuk mencari bahan makanan tambahan.

Pikiran Amara kalut. Ia terus menerus membayangkan wajah bos suaminya. Senyum lelaki itu. Lesung pada kedua pipinya. Serta tatapan Keenan yang tajam sekaligus hangat.

Oh, demi Tuhan!

Amara bisa gila. Dia adalah seorang istri penuh dosa. Mengkhayalkan lelaki lain padahal jelas-jelas sudah bersuami.

***

Tatapan Amara terus tertunduk sepanjang Keenan menginjakkan kaki di rumahnya. Lelaki itu datang sendiri tanpa Julie. Sesuatu yang membuat Amara semakin merasa tercekik dan berharap perjamuan mereka segera berakhir.

"Semula saya ingin mengajak Pak Keenan makan di luar," seloroh Bastian. "Namun rupanya Bapak lebih suka masakan buatan istri saya, ya."

"Ya, bisa dibilang begitu." Keenan tersenyum. "Lain kali giliran Bapak Bastian yang harus makan malam di rumah saya."

"Tentu saja, Pak. Saya menantikan saat-saat itu."

Keenan mencuri pandang ke Amara. Wanita itu sangat pendiam.

"Saya melihat penjualan kita naik 10 persen dari sebelumnya," kata Keenan. "Ini pasti berkat kerja keras divisi marketing akhir-akhir ini."

Bastian tersungging. "Saya hanya berusaha memberikan yang terbaik bagi perusahaan, Pak."

"Saya tidak salah menilai. Pak Bastian memang sangat bisa diandalkan," ucap Keenan. "Oh ya, Bapak sudah dengar bahwa Pak Yahya hendak mengajukan pensiun dini?"

Bastian terbatuk-batuk. Itulah yang ia begitu harapkan selama ini. Lelaki itu berusaha mempertahankan ekspresi datar.

"Ya, saya sudah dengar, Pak."

"Jabatan Vice President Marketing akan kosong dan saya beserta dewan dereksi akan mendiskusikan penggantinya," kata Keenan.

Bastian mengangguk. Berharap Keenan akan merekomendasikannya. "Ah, begitu, rupanya," sahutnya.

"Apa Pak Bastian tertarik menempati posisi tersebut?" pancing Keenan.

Kedua sudut bibir Bastian tertarik ke atas. "Tentu saja saya siap, Pak."

"Itu akan semakin menyita waktu Bapak - tentu saja." Keenan menatap Bastian lekat.

"Saya tidak keberatan, Pak Keenan. Justru suatu kehormatan jika saya dipercaya menggantikan Bapak Yahya."

Bola mata Keenan melirik pada Amara. "Baiklah. Saya sudah mendengar persetujuan dari Bapak langsung. Kita akan membahasnya lagi saat di kantor." Ia lalu meminum segelas air untuk membersihkan tenggorokan. "Maaf, Bu Amara, jika saya harus membawa percakapan seputar pekerjaan saat kita makan malam. Ibu terlihat bosan."

"Ti-tidak masalah. Tidak apa-apa." Amara terkesiap karena Keenan tiba-tiba mengajaknya bicara.

Bastian terkekeh. "Tidak perlu minta maaf, Pak Keenan. Istri saya memang pendiam. Bukan berarti dia bosan."

"Baiklah. Saya rasa kita harus membicarakan hal lain yang tidak membosankan," ujar Keenan.

"Bagaimana jika kita minum-minum di rooftop selepas ini? Saya punya anggur enak," tawar Bastian.

Padahal Keenan hanya ingin memperpanjang waktu bersama Amara. Penawaran dari Bastian di luar prediksinya.

Kedua alis Amara mengernyit. Ia sebenarnya ingin Keenan cepat pergi. Paras wanita itu seketika cemberut dan kembali tertunduk. Ekspresi ketidak-sukaannya tertangkap jelas oleh netra Keenan. Membuatnya semakin tertarik untuk menyetujui ajakan Bastian. Keenan sadar ia sudah kelewat batas - menggoda istri lelaki lain tepat di hadapan sang suami. Tetapi, ia tak peduli. Toh, bukan Amara yang ia ajak mengobrol melainkan Bastian.

Mereka bertiga lantas menyelesaikan makan malam. Namun tidak dengan Amara. Mungkin hanya tiga sendok suapan yang berhasil masuk perutnya. Lambung wanita itu serasa dipenuhi kupu-kupu yang berterbangan. Mual. Ia menduga keberadaan Keenanlah penyebabnya.

Amara bisa kembali bernapas lega ketika akhirnya Bastian dan bosnya naik ke atas rooftop. Ia pun memotong kecil buah melon, apel, dan anggur untuk menjadi pendamping minum.

"Oh ... Tuhan ..." bisik Amara lirih.

Dia tak mampu menghilangkan bayangan Keenan pada otaknya. Senyum lelaki itu ketika memandangnya, sorot teduh dari sepasang bola mata hitam milik Keenan, dan bibir tipis yang seolah ingin melahapnya.

"Ini gila!" desis Amara lagi. Ia pun menggelengkan kepala dan mengatur napas.

***

"Silakan."

Amara meletakkan nampan berisi buah dan camilan ke atas meja. Bastian tak terlalu peduli, berbeda dengan Keenan.

"Terima kasih," ucap Keenan. Ia melempar senyum tampannya ke arah Amara.

"Sama-sama." Amara memalingkan muka dan bergegas pergi.

Bastian mungkin tidak sadar saat Keenan mengekori punggung Amara hingga wanita itu menghilang dari pandangan. Bastian juga tidak peka akan cara Keenan memandang istrinya. Dia memang suami yang terlalu narsistik. Menurutnya - Amara sangat beruntung mendapatkannya sebagai suami. Mana mungkin lelaki itu menduga bahwa sang bos memiliki ketertarikan terlarang pada Amara.

Keenan menyandarkan punggung pada sandaran kursi rotan.

Ia lebih banyak mendengarkan Bastian bicara. Keenan tak menduga Bastian ternyata seseorang yang banyak omong. Lelaki itu sibuk menceritakan tentang prestasinya sebagai manajer pemasaran. Ia juga bercerita tentang kepopulerannya di kampus dan di kantor. Entah apa yang Bastian pikirkan - Keenan menduga - Bastian sedang berupaya menarik perhatiannya. Atau mabuk?

Segelas wine di tangan Keenan bahkan masih terisi separuh, sementara Bastian sudah menghabiskan tiga gelas.

"Suasana di sini sangat menenangkan." Keenan menatap langit yang dihias beberapa kerlip bintang.

"Ya ... lumayanlah," sahut Bastian. "Tidak bisa dibandingkan dengan rumah Bapak pastinya."

Keenan tersenyum. "Besar atau tidaknya sebuah rumah, yang paling penting adalah dengan siapa kita menempatinya. Bukankah begitu, Pak?"

"Ya ... setuju." Bastian mengangguk. Well - dia memang mulai mabuk. "Seperti Bapak yang tinggal di istana mewah sendirian bersama para pelayan. Itu pasti sangat menyenangkan."

"Saya bersama putri saya Julie," kata Keenan.

Bastian kembali mengangguk dan meneguk amernya. "Seorang putri lebih baik ketimbang satu istri yang tidak berguna."

Sebelah alis Keenan terangkat ke atas. Ia menoleh pada Bastian dengan tatapan dingin. Keenan lantas meletakkan gelas anggurnya ke atas meja.

"Bapak Bastian sepertinya sudah cukup mabuk. Lebih baik saya pulang. Ini juga sudah malam."

Bastian menggeleng. "Usia saya 31. Berapa usia, Bapak? Kalau tidak salah 35, bukan? Ini, kan, bukan di kantor, panggil saja Bastian. Dan saya akan memanggilmu Keenan atau Mas? Bagaimana?" racaunya.

"Pak Bastian benar-benar sudah mabuk. Mari saya antar turun ke bawah." Keenan bersiap memapah Bastian. Namun semua itu urung ia lakukan karena lelaki itu bergegas menepis.

"Tidak. Saya tidak mabuk." Bastian mengisi kembali gelasnya yang kosong. "Saya masih cukup sadar."

"Menurut saya Bapak sudah sangat mabuk hingga bicara ngelantur dan asal-asalan."

Bastian terkikik. "Yang mana yang ngelantur? Semua perkataan saya benar dan tidak asal-asalan."

Keenan mendengkus. Jika Bastian masih sangat sadar berarti dia gila karena mengatakan bahwa istrinya adalah istri tak berguna. Hal yang membuat dada Keenan dipenuhi bara amarah.

"Soal apa?" lanjut Bastian. "Rumah istana Pak Keenan? Atau Amara yang mandul?"

Mata Keenan terbelalak seraya menyorot Bastian. Amara mandul? Dia tidak salah dengar bukan?

Forbidden Desire sudah tamat di KaryaKarsa.

Bagi kalian yang ingin baca lebih cepat, bisa meluncur cari akun Ayana di sana, ya! Banyak bab yang masih gratis, lo. Terkunci pun harganya murah banget ( satu paket isi 5 bab)

Makasi buat dukungan kalian, dan please tinggalkan like dan komen supaya Ay semangat namatin di Wattpad.




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top