Bab 25. Terungkap

Amara menyambut Bastian yang baru saja pulang dari kantor. Seperti biasa, wajah Bastian selalu merengut. Senyum hanya menghias jika dia ada maunya.

"Mara, pijit pundakku, dong. Hari ini capek banget." Bastian merebahkan badan di atas sofa.

Amara segera menurut. Dengan cekatan ia menekan-nekan bahu dan tengkuk Bastian secara terstruktur. Akibat sentuhan sang istri, Bastian pun refleks memejamkan mata --- menikmati.

"Mas," kata Amara. "Besok pagi kita diminta datang ke klinik untuk mendengar hasil tes. Kamu bisa izin masuk terlambat, 'kan?"

Bastian berdecih. "Aku nggak bisa izin terus. Kamu ajalah."

"Tapi Mas ... dokter minta kita berdua yang hadir. Katanya kita perlu mendengarkan penjelasan dari dr. Michael. Dokter andrologi yang menanganimu."

Bastian menggeleng. "Udahlah. Aku hadir atau nggak, sama sekali nggak penting. Sebatas formalitas. Kamu ajalah wakilin aku."

"Mas, kan, bukan cuma aku yang ingin punya anak," sanggah Amara.

Bastian membalikkan tubuh untuk menatap Amara yang berdiri di belakang. "Memang ini keinginan kita berdua. Tapi, salah siapa kita enggak bisa punya anak sampai lima tahun pernikahan?"

"Maksud Mas?"

"Kamu lihat sendiri kalau tubuhku bugar, ketahananku di ranjang juga luar biasa. Itu bukan ciri dari lelaki bermasalah. Beda sama kamu. Dari dulu, kalau aku ajak kamu bercinta, kamu lebih banyakan ngeluh sakit! Bisa jadi memang kamu yang bermasalah," dengkus Bastian. Ia lantas berdiri dan kehilangan selera untuk bicara. "Kamu siapin aja mental untuk dengar vonis dokter besok. Kalau mereka menawarkan treatment untukmu, ambil aja."

Apakah pernikahan memang harus sesulit ini? Bahkan untuk sekedar berkomunikasi.

Amara kehilangan sosok hangat seorang suami. Bastian yang berada di sisinya mirip tukang jagal. Bicara dengan Bastian selalu berujung pertengkaran. Dan Amara selalu takut melawan. Ia tertekan. Takut disalahkan.

"Mas?" Amara mengekori punggung Bastian yang perlahan menaiki anakan tangga. "Kamu mau ke mana?"

"Tidur!" sahut Bastian ketus.

***

Pagi yang Amara hindari pun datang. Dengan langkah terseret, ia beringsut bangun dari ranjang. Ia sedikit terkejut karena tak menemukan Bastian.

Namun, Amara justru mengulas senyum kecut.

Amara mulai hafal tabiat Bastian yang selalu menghindar dari masalah. Suaminya itu pasti enggan pergi menemui dokter dan memutuskan berangkat ke kantor lebih awal.

Wanita itu lantas bersiap seorang diri untuk mendengarkan hasil pemeriksaan. Perasaan Amara gamang tak menentu. Takut, kalut, dan cemas menjadi satu. Jika benar yang Bastian bilang bahwa masalah ada pada dirinya, maka dunia Amara mungkin akan hancur. Bastian akan semakin semena-mena. Begitu pula Luciana.

Setelah selesai berpakaian, Amara pun berjalan menuju garasi untuk mengeluarkan mobil.

"Untung Mama tepat waktu!"

Luciana turun dari ojek online yang ia tumpangi. Wanita paruh baya itu buru-buru membuka pintu gerbang demi menghampiri Amara.

"Mama ...?" gumam Amara lirih.

"Bastian telvon. Suruh Mama temani kamu ke klinik. Dia terlalu sibuk sampai tidak bisa meninggalkan urusan kantor." Luciana membuka pintu mobil. "Buruan Mara, kita berangkat. Nanti telat."

Amara menahan napas. Ia benar-benar sedang menunggu eksekusi mati.

***

Baik kaki maupun sekujur badan Amara sedingin es. Ia stres berat. Antrian demi antrian benar-benar menyiksa batin. Lain hal dengan Luciana yang tampak santai. Luciana percaya diri bahwa masalah memang terletak pada Amara. Ia bahkan sudah antisipasi dengan mencari-cari calon istri kedua bagi anak si mata wayangnya.

Hari ini, Amara harus menemui dua dokter --- Dokter Dewi, selaku dokter obstetri dan ginekologi atau Obgyn yang akan menjabarkan keadaan kandungannya. Lalu yang kedua adalah Dokter Michael, dokter spesialis andrologi yang harusnya ditemui oleh Bastian untuk mengetahui hasil dari cek sperma.

"Ibu Amara Senja."

Amara langsung bangkit dari duduk begitu mendengar namanya dipanggil. Di belakang, Luciana mengikuti. Suster mengantar Amara masuk ke dalam ruangan dr. Dewi. Jantung Amara berdegup makin kencang. Telapak tangan wanita itu juga basah karena keringat dingin.

"Silakan duduk, Ibu," Dewi mempersilakan Amara. Ia menyorot Luciana sambil tersenyum ramah. "Dengan ibunya, ya?"

"Iya. Saya mertuanya, Dok." Luciana menarik kursi.

"Bapak Bastian tidak ikut, Bu?" tanya Dewi.

"Dia sibuk, Dok. Ada urusan kantor yang tak bisa ditinggal," jelas Amara.

Dewi mengangguk. Ia lalu mengeluarkan hasil lab milik Amara. "Bu Amara, ini adalah hasil tes darah, USG, dan tes HSG milik Ibu Amara." Ia menyalakan lampu baca foto ronsen, untuk memperlihatkan hasil tes pada kandungan Amara.

Amara terdiam. Meskipun sudah ditunjukkan, tetap saja ia tidak paham.

"Ibu bisa lihat di sini, saat prosedur HSG, kita menyemprotkan cairan kontras ke dalam rongga rahim dan tuba falopi. Tujuannya untuk melihat apakah saluran tuba falopi Ibu Amara bermasalah atau tersumbat. Dari foto ronsen yang kita lihat di sini, bentuk rahim dan tuba falopi Ibu Amara normal. Pewarna atau cairan kontras mengalir melalui tuba falopi dengan lancar, tidak ada yang tersumbat."

Amara tertegun. Sama halnya dengan Luciana. Mereka berdua mendengarkan dengan saksama.

"Jadi, Dok?" selidik Luciana.

Dewi tersungging. "Jadi, tidak ada masalah pada kandungan Ibu Amara. Seharusnya --- Ibu bisa hamil secara alami, tanpa bantuan medis."

"Su-sungguh, Dok??" Amara terbelalak penuh haru.

Dewi mengangguk. "Betul, Bu."

"Tapi mengapa sudah lima tahun pernikahan, menantu saya tidak kunjung hamil juga?" cecar Luciana lagi.

Dewi menghela napas, "Bu, maaf sebelumnya. Tetapi kehamilan itu melibatkan dua orang. Misal Ibu Amara sulit hamil --- apa tidak terpikir bahwa masalahnya mungkin bersumber pada suami?"

Kalimat Dewi membuat Luciana berang. Ia mana terima putra kesayangannya disalahkan. "Maksud Dokter, Bastian yang bermasalah?"

"Untuk itulah Ibu Amara dan Bapak Bastian diminta menemui Dokter Michael. Beliau yang akan menjelaskan hasil tes sperma Bapak Bastian. Jadi, bukan wewenang saya untuk menjawabnya, ya, Bu," ujar Dewi penuh kelembutan.

"Iya, Dok." Amara mengangguk.

"Jadi sudah, begini saja?" Luciana masih senewen.

"Monggo kalau mau ada yang ditanyakan," ujar Dewi.

"Apa perlu saya mengonsumsi vitamin, Dok?" Amara menatap Dewi dengan mata berbinar.

Dewi menarik kedua sudut bibir. "Boleh saja kalau Ibu memang ingin, saya bisa resepkan. Tapi kalau pun tidak pun tidak masalah. Saran saya adalah hindari stres dan makan makanan cukup gizi. Sementara kurangi junkfood dulu, ya, Bu."

"Baik, Dokter." Amara tersenyum lebar. Semua beban pada pundaknya terangkat. Ia lolos dari hukuman mati.

Ia dan Luciana pun melangkah keluar dari ruangan dokter. Selanjutnya mereka hanya perlu menemui dr. Michael, spesialis andrologi.

Tidak perlu menunggu lama, suster mengarahkan Luciana dan Amara masuk menemui dr. Michael. Tatapan kebingungan sempat memancar dari raut muka Michael yang melihat Amara datang tanpa ditemani Bastian.

"Bapak tidak ikut, Bu?" tanya Michael setelah mereka berbasa-basi di awal pertemuan.

"Suami saya ada pekerjaan yang tidak bisa ditinggalkan, Dok. Dokter bisa menyampaikan hasil tesnya kepada saya." Amara yakin hasil tes Bastian baik-baik saja. Sekarang ia merasa lega usai mengetahui kandungannya tak bermasalah. Berarti ini semua memang hanya masalah waktu beserta campur tangan Tuhan.

"Ini ibunya?" tanya Michael.

"Saya Luciana. Mertuanya Amara," terang Luciana.

Michael menarik napas panjang. "Jadi Bapak Bastian tidak bisa hadir, ya? Apakah pekerjaannya lebih penting dari pada mengetahui hasil tes ini? Ataukah perlu kita reschedule agar Pak Bastian juga bisa ikut hadir?"

Kelegaan yang dirasakan Amara memudar. Ekspresi dokter andrologi itu mengialkan ada masalah.

"Dokter bisa menyampaikan hasilnya pada saya." Amara menjawab lirih.

"Ada saya juga, kan, Dok. Mamanya Bastian. Silakan sampaikan saja hasilnya." Luciana ikut mendesak.

"Apa Ibu yakin?" tanya Michael penuh keraguan.

Amara dan Luciana kompak mengangguk.

Michael membetulkan duduk. Lelaki itu juga berulang kali membenahi posisi kaca mata. Seolah-olah ia akan menyampaikan berita buruk.

"Dari hasil tes sperma yang dilakukan kemarin, diketahui bahwa pak Bastian mengidap azoospermia," ujar Michael.

"Apa itu, Dok?" tanya Amara.

Luciana mengernyit. "Azoz ... apa?" ulangnya.

"Azoospermia," jelas Michael. "Azoospermia adalah kondisi tidak terdapatnya sel sperma pada cairan semen saat ejakulasi. Bisa juga disebut dengan sperma kosong."

Baca FORBIDDEN DESIRE sampai tamat di Karyakarsa 🖤🖤🖤

Silakan join grup Ayana's Darling di telegram, search AyanaAnn2727. Nanti kita nge-random bareng di sana 🖤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top