Bab 24. Cinta Rahasia
Keenan Alkala Ibrahim tak pernah mau disamakan seperti Adiharjo Ibrahim, ayahnya. Adiharjo hidup demi materi dan kekuasaan. Sang ayah juga tak segan menggunakan pengaruhnya demi mendapatkan keinginan.
Bagi Keenan, Adiharjo tak memiliki nurani.
Keenan ingat bahwa ayahnya dulu lebih memilih hadir dalam pertemuan bisnis di Amerika ketimbang menemani mendiang ibunya di rumah sakit. Pada hari yang sama ketika ibu Keenan meninggal pun --- Adiharjo masih sempat datang dalam peresmian kondominium barunya. Seambisius itulah Adiharjo Ibrahim.
Dan Keenan membencinya.
Jika Adiharjo berotasi pada materi dan kekuasaan, lain halnya dengan Keenan. Kini rotasinya adalah Amara Senja.
Benci tinggallah benci. Namun darah lebih kental dari pada air. Keenan yang mati-matian bersumpah tak akan menggunakan kekuasaan demi kepentingan pribadi --- akhirnya melanggar sumpahnya. Lelaki itu menyewa Wijaya, detektif swasta handal, untuk menyelidiki soal Bastian dan Amara.
Jangan salah sangka. Keenan sama sekali tak berpikir untuk merebut Amara. Apa lagi menghancurkan rumah tangga orang. Ia tak serendah itu.
Keenan hanya ingin membantu wanita pujaan hatinya dalam diam. Terobsesi menjadi pahlawan rahasia bagi Amara. Well, Keenan tak keberatan jika cintanya disebut platonik. Memang itulah adanya. Dan memang itulah pilihan satu-satunya.
"Saya sudah terima surel yang Bapak kirim. Beri saya waktu sehari untuk mencari tahu soal keluarga istri si Bastian ini."
Keenan menarik tipis sudut kanan bibirnya. "Baiklah, Pak Wijaya. Saya menunggu informasi dari Bapak secepatnya."
Setelah mematikan sambungan telepon dengan Wijaya. Keenan meletakkan ponselnya ke atas meja. Lelaki itu mengusap pelipis seraya bersandar pada sandaran arm chair.
Gaji Bastian sebagai manajer pemasaran seharusnya cukup untuk sekedar membeli mesin cuci baru. Bahkan jika Keenan hitung lagi, hidup Bastian jauh dari kata 'kekurangan' dengan uang per bulan yang ia terima. Berbeda lagi kalau lelaki itu ternyata terlilit utang.
Kecurigaan lain juga muncul. Menurut keterangan HR yang memeriksa fingerprint, Bastian selalu pulang tepat waktu. Lalu mengapa kala itu Amara bilang kalau suaminya sering terlambat pulang karena lembur?
Keenan mendecih. Sungguh tolol jika Bastian ternyata memilih menyia-nyiakan wanita seperti istrinya.
***
Sesuai janji, Wijaya mengirimkan balasan surel mengenai informasi yang Keenan minta. Detektif itu memang bisa diandalkan. Wijaya bekerja tanpa banyak bicara dan cepat.
Berbekal data diri Bastian, Wijaya pun berhasil mendapatkan laporan tentang keluarga Amara di Rembang. Mertua Bastian bernama Salman dan Sulis, lalu sang adik ipar bernama Sally Airatika.
Selama hampir 30 tahun Salman bekerja sebagai seorang nelayan. Sedangkan Sulis membantu menjual hasil tangkapan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Teluk Agung. Akibat keterbatasan finansial, Salman hanya mampu mengirim satu anaknya sampai ke bangku perkuliahan. Dan itu adalah Amara Senja. Sementara Sally terpaksa menempuh menempuh pendidikan sampai SMA saja.
"Saya sudah terima email yang Bapak kirimkan." Keenan menempelkan ponsel pada telinga.
"Apakah ada lagi yang ingin Bapak ketahui?" tanya Wijaya dari balik speaker.
Keenan terdiam untuk berpikir sejenak.
"Hmm, soal Sally. Apa dia sekarang bekerja?" selidik Keenan.
"Ya. Dia bekerja menjadi pelayan pada restoran Padang di sekitar lingkungan mereka," terang Wijaya.
Keenan menghela napas. Ia yakin tidak banyak yang bisa didapat dari pekerjaan tersebut.
"Ada lagi yang bisa saya bantu, Pak Keenan?" tanya Wijaya.
"Untuk sekarang tidak ada. Saya akan kembali menghubungi Pak Wijaya jika membutuhkan sesuatu," sahut Keenan.
"Siap." Wijaya terdengar terkekeh. "Oh, ngomong-ngomong bagaimana kabar Pak Adiharjo?"
"Beliau sehat." Keenan berdeham. "Soal permintaan saya ini, tolong rahasiakan darinya."
***
Bastian masuk ke dalam sebuah ruangan dua kali dua meter yang ditunjukkan suster padanya. Setelah menutup dan mengunci pintu, lelaki itu pun mendengkus. Sial. Ia terpaksa mengocok kejantanannya sendirian demi menjalani tes kesuburan konyol. Sudah jelas, bukan, siapa yang bermasalah? Tentu saja Amara.
Dalam ruang itu terdapat beberapa majalah dewasa yang 'diharapkan' bisa membantu mempercepat proses onani. Selebihnya cuma ada satu sofa kecil dan meja tempat meletakkan tisu.
Bastian bukan anak kemarin sore yang bakal terangsang hanya dengan melihat foto wanita seksi. Ia butuh lebih dari itu. Lelaki itu lantas meletakkan gelas plastik yang tadi diberikan suster untuk menampung spermanya. Bastian lantas menyalakan ponsel dan menghubungi seseorang. Panggilan video.
"Halo, Mas? Kenapa vidcall? Kamu udah sampe rumah?"
Bastian menggeleng seraya memasang airpods pada kedua telinga.
"Belum. Aku masih di klinik kesuburan," sahut Bastian.
Wanita itu tampak melotot. "Ngapain?!" tanyanya.
"Aku sedang menjalani tes sperma dan aku butuh bantuanmu, Sayang."
"Tes sperma? Untuk apa? Kamu bilang kamu mau bercerai! Kenapa malah ke klinik kesuburan segala? Jangan kira aku dungu, deh. Kamu mau promil, kan?!" cecar wanita tersebut panjang lebar.
Bastian mendecih. Omelan justru semakin membuat adik kecilnya layu.
"Please, Beb. Jangan berisik dulu. Aku tes kesuburan juga demi memperlancar proses perceraian. Sudah jelas yang mandul siapa dan dengan adanya bukti valid, aku jadi makin mudah menggugat dia."
Wanita itu mendadak sumringah. "Beneran?" tanyanya.
"Iya!"
"Ah, Mas! Kenapa nggak bilang, sih. Pantes dua hari ini kamu nolak pulang bareng. Ternyata buat kebutuhan tes sperma, ya?"
Bastian mengangguk. "Gitulah." Ia bergegas menurunkan celana dan mulai mengusap pertengahan selangkangannya. "Sekarang aku butuh bantuan kamu, Sayang. Kita VCS, ya. Bikin aku cepet muncrat, dong. Kalau bukan kamu aku sulit keluar."
"Ih ... Mas Bastian ..." sahut wanita itu centil.
"Buruan. Aku ngga mau lama-lama di sini." Bastian mulai mengelus kejantanannya yang sudah hampir menegang.
Wanita dalam layar mulai tersenyum genit. Ia meletakkan ponsel agar bisa menyorot keseluruhan tubuhnya yang sekal. Tanpa malu apa lagi ragu, ia menurunkan tanktop yang dikenakan hingga menampakkan kedua gundukan berukuran relatif besar.
"Enak, nggak, kalau kujepit di sini?" Wanita itu meremas dua bukit kembarnya sendiri. Ia secara percaya diri mengarahkan pucuknya mendekati kamera.
Bastian mengocok miliknya semakin kuat. Keputusan untuk menghubungi kekasihnya adalah keputusan tepat. Sekarang nafsu lelaki itu sudah meletup hampir meledak.
"Kamu juga mainin punyamu. Buruan," titah Bastian.
Wanita itu menurut. Ia menaikkan kedua kaki dan membukanya lebar. Bagian intim itu sudah memerah tanpa tertutup apa pun. Merasa miliknya belum basah, wanita itu lantas menjilati jemarinya sendiri. Ia kemudian mulai memainkan liangnya. Mula-mula perlahan, beralih menjadi gerakan liar tak terkendali. Bahkan ketiga jarinya sudah bersarang keluar-masuk menghunjam area sensitif.
Rintihan si kekasih gelap mulai memanjakan rungu Bastian. Ia suka wanita agresif tanpa malu seperti kekasihnya itu. Sangat menggairahkan.
"Oh, ya. Aku keluar, Sayang!" Bastian mengejan. Ia buru-buru mengambil gelas plastik demi menampung cairan kentalnya.
"Beby, aku belum keluar," rengek si wanita.
Bastian mengelap jemari menggunakan tisu. Ia juga membersihkan batang menegangnya yang masih sedikit berkedut. "Lanjutin sendiri, ya." Lelaki itu melepaskan airpods dan memutus panggilan video.
***
Amara sedang melipat tumpukan pakaian kala ponselnya tiba-tiba berdering. Rautnya mendadak muram saat membaca nama si pemanggil --- Sally. Sungguh berat hati Amara sebab harus menyampaikan bahwa ia tak bisa mengirimkan uang untuk membeli mesin cuci.
"Halo, Sal." Amara menjawab lesu.
"Mbak!" seru Sally memekik.
Amara yang semula murung berubah panik. "Ada apa, Sall?" selidiknya. "Ibu atau bapak sakit?"
"Bukan!" sahut Sally. "Aku ada kabar baik untukmu. Ini benar-benar kebetulan yang sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa!"
"Soal apa, Sall?" cecar Amara.
"Ada dermawan yang tak mau disebut namanya, menyumbang peralatan elektronik bagi warga-warga kampung kita. Ada televisi, kulkas, kipas angin, dan mesin cuci. Dari sepuluh warga yang beruntung, bapak salah satunya, Mbak! Dan coba tebak, keluarga kita dapat apa? Mesin cuci!" terang Sally menggebu-gebu. Suara kerasnya nyaring memekak telinga.
Mata Amara terbelalak. "Ah, yang betul kamu, Sall?!"
"Sungguh, Mbak!"
"Tapi, kok, bisa kebetulan banget? Kamu jangan bohong atau ngerjain Mbak, deh!" buru Amara.
"Tenan, Mbak. Aku ora mbujuk, lho!" kata Sally. Ia benar-benar jujur dan tidak berbohong.
Amara mulai cemas. "Sall, lebih baik jangan diterima. Aku takut itu modus penipuan. Siapa tahu besok-besok mereka balik lagi dan nagih uang ke kalian."
"Mbak tenang aja. Aku semula ya mikir ngono. Tapi barusan saat kurirnya mengantarkan barang, disaksikan Pak Kades juga, kok. Para tetangga juga jadi saksi."
Amara berusaha mempercayai ucapan Sally. "Sungguh?" selidiknya lagi.
"Sungguh, Mbak." Sally meyakinkan. "Ini namanya rezeki. Disyukuri saja, to. Kita jadi tak perlu keluar uang untuk beli mesin cuci. Dan lagi, ibu tidak harus kesakitan tiap kali mau mencuci. Mungkin, ya, Tuhan mendengarkan doa-doa kita, Mbak."
Amara menelan sedih. Ada rasa bahagia karena ibunya terbantu. Namun seutas nelangsa karena sebagai anak, Amara belum bisa memberikan apa pun.
"Mbak?" panggil Sally. "Ini Bapak mau ngomong."
"Halo?"
Suara parau dari lelaki paruh baya pun terdengar dari balik speaker. Suara yang berhasil membuat mata Amara memanas dan berkaca-kaca.
"Halo, Nduk? Pie kabarmu? Sehat?" sapa Salman lagi.
"Halo, Pak. Amara sehat." Amara sekuat tenaga menelan tangis. "Bapak sendiri bagaimana? Ibu?"
Salman menimpali. "Sehat, Nduk. Bapak dan ibu sehat. Ibu sedang keluar sebentar, beli sabun khusus mesin cuci. Sudah dengar dari Sally, to, kalau kami dapat rezeki tak terduga dari Tuhan."
"Sudah, Pak. Alhamdulilah ..." sahut Amara penuh haru.
"Nduk, kabarnya Bastian bagaimana? Kita di sini kangen semua, Nduk."
Air mata Amara menetes. "Mas Bastian baik," terangnya. "Kami juga kangen banget sama Bapak, ibu, dan Sally. Tapi Mas Bastian memang sangat sibuk hingga tak bisa meninggalkan pekerjaannya. Maaf, Amara sama Mas Bastian belum bisa ke sana."
"Oalah." Salman menggumam. "Iya, Nduk. Tidak apa-apa. Kamu dampingi saja Bastian dengan baik. Kasihan dia, bekerja di kota besar pasti capek dan tingkat stresnya tinggi. Nanti kalau Bastian ada waktu senggang, telepon ibu dan Bapak ya. Sampaikan kalau Bapak rindu sama dia. Kepingin sekali dengar suaranya barang sebentar."
"Iya, Pak," sahut Amara getir.
"Mbak, sudah dulu, ya." Sally mengambil alih.
"Iya, Sall. Salam buat ibu."
"Iya, Mbak. Assalamualaikum." Sally mengakhiri panggilan.
Amara menghapus sisa air mata yang membasahi pipi. Ia sangat rindu kedua orang tua beserta saudarinya. Namun, ia tak mungkin meluapkan semua problematika kepada mereka. Tentu saja keluarganya itu bakal terbebani.
Saat ia sedang meratap, gawai Amara kembali berdering. Kali ini dari nomor yang tidak ia dikenal.
"Halo?" angkat Amara.
"Halo, apa benar saya bicara dengan Ibu Amara Senja?"
"Ya, saya sendiri," sahut Amara.
"Ibu Amara, kami dari Klinik Kasih Bunda hendak menginfokan kalau hasil tes Ibu dan Bapak Bastian sudah keluar. Kami harap Bu Amara beserta suami bisa segera membuat janji temu dengan dokter secepatnya."
Forbidden Desire sudah tamat di Karyakarsa, baca lebih cepat di sana dengan harga yang murah!
Berikan apresiasimu melalui vote dan komen positif, ya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top