Bab 22. Asa Terpendam

Amara menatap Bastian lekat. Jantung wanita itu berdegup berantakan. Jawaban dari suaminya adalah penentu dari kelangsungan hubungan rumah tangga mereka.

"Aku bukannya nggak mau, apa lagi menolak. Aku cuma nggak ingin melakukan pemeriksaan sekarang," kata Bastian.

"Kenapa?" cecar Amara.

"Kamu perhatikan nggak kalau aku dari tadi gelisah? Itu karena Firda berulang kali telepon agar aku segera kembali ke kantor."

Amara menelan saliva. "Jadi, karena hari ini kamu nggak ada waktu?" tanyanya.

"Yaiyalah. Kamu lihat antriannya di sana tadi?" sahut Bastian.

Amara tertunduk. Masih ada kesangsingan tersisa dalam relungnya.

Seolah menyadari hal tersebut, Bastian buru-buru menenangkan sang istri. Ia kembali melanjutkan, "Kamu jangan mikir aneh-aneh ya, Mara. Apa kamu pikir aku baru saja berhubungan intim dengan wanita lain selain kamu? Aku ini lelaki yang menjaga wibawa. Aku lebih memilih poligami ketimbang main di belakang kamu. Paham?" tegasnya.

"Iya, Mas. Aku percaya kamu."

***

Rabu ini adalah jadwal kursus Julie. Dengan penuh semangat, Amara sudah menyiapkan materi baru untuk anak didiknya itu.

Bertemu Julie adalah penyemangat Amara dalam menjalani kehidupan. Pekerjaan barunya bak oase pada padang gurun tandus. Ia sungguh terhibur tiap kali menginjakkan kaki di kediaman bos suaminya itu. Karena bertemu Julie --- bukan Keenan. Amara berkelit sekuat melawan perasaan.

Kedatangan Amara kali ini tidak sesuai apa yang ia bayangkan. Pada pintu utama, Santi sudah menyambutnya dengan raut sedikit terkejut.

"Ah, astaga. Miss Amara?" sapa Santi. "Ini salah saya karena luput memberitahu Miss soal kursus hari ini."

"Ada apa, Bu Santi?"

"Non Julie panas tinggi sejak pagi tadi. Kami baru saja pulang dari dokter anak. Dia terkena radang tenggorokan."

Amara terhenyak. "Ya ampun? Jadi Julie sakit?"

"Betul, Miss. Dia kesulitan makan karena selalu muntah." Santi menggeleng prihatin. "Maafkan saya tidak mengabari ini pada Miss. Non Julie tidak mungkin mengikuti pelajaran sekarang."

Amara mendesah berat. "Kasihan sekali Julie," gumamnya. "Kalau begitu, karena saya sudah di sini, boleh saya menemui Julie sebentar?"

"Tentu saja. Silakan, Miss." Santi mempersilakan Amara memasuki rumah. Ia mengantar Amara menuju kamar Julie yang berada pada lantai dua. Sesampainya di sana, Santi pun membuka pintu pelan-pelan. "Non Julie, ada Miss Amara datang ..."

Julie yang sedang berbaring ditemani Febi sontak menegakkan punggung. Ia menarik kedua sudut bibir ke atas meski matanya tampak sangat sayu.

"Kita mau les sekarang Miss?" sambut Julie.

Amara mengambil tempat di sisi ranjang. Ia mengusap lengan Julie yang sepanas api. "Tidak, Julie. Hari ini kursusnya libur dulu, ya. Kamu, kan, masih sakit."

"Yah ..." Julie tertunduk lesu.

"Bagaimana, Feb? Non Julie mau makan?" tanya Santi pada Febi.

Febi menggeleng lesu. "Tidak mau, Bu Santi. Udah saya paksa tapi barusan malah mau muntah lagi."

Santi mendecak. Ia mengembuskan napas berat seraya memandang mangkok sup Julie yang masih utuh. Putri Keenan itu memang sulit makan, ditambah sakit seperti ini, selera makan Julie semakin tak ada.

"Julie, Miss dengar Julie tidak mau makan. Kenapa?" selidik Amara.

"Tidak mau, Miss. Julie masih kenyang." Julie menutup mulut seraya memasang ekspresi meloya.

"Miss yang suap sambil didongengi, mau?" tawar Amara.

Julie terdiam sejenak. Ia tampak berpikir dan menimbang-nimbang. "Dongeng apa?" tanyanya.

"Timun Mas." Amara tersungging. "Julie pasti belum pernah dengar, bukan?"

Julie pun sontak menggeleng. "Timun Mas itu apa? Sayur?"

"Bukan," kekeh Amara. Di sampingnya Febi juga ikut menahan tawa. "Timun Mas adalah seorang putri cantik yang lahir dari mentimun berwarna keemasan."

"Mana bisa manusia lahir dari sayur?" Julie mulai antusias.

Secara alami, Amara mengambil bubur dan mangkok sup di atas meja. Ia lantas menyodorkan sesendok kepada Julie.

"Jadi Julie mau dengar ceritanya?"

"Mau." Julie tanpa sadar membuka mulut dan mengunyah suapan Amara.

Santi tersenyum. Ia kagum karena Amara selalu berhasil membujuk Julie. Pengurus rumah itu pelan-pelan keluar dari kamar dan disusul oleh Febi. Mereka sengaja membiarkan Amara dan Julie menghabiskan waktu bersama. Paling tidak sampai bocah enam tahun itu selesai makan.

"Tuh, kan, Bu Santi," bisik Febi di selasar. "Miss Amara memang cocok jadi mommy barunya Julie."

Santi mendengkus. "Kamu jangan bikin gosip macam-macam, ya, Feb. Kalau Pak Keenan atau Miss Amara sampai dengar, mereka bisa marah."

"Iya-iya." Bibir Febi mengerucut.

Pengasuh itu tidak mengetahui hal yang diketahui oleh Santi. Fakta bahwa Amara merupakan wanita bersuami.

***

Amara bisa menebak kalau Julie pasti sudah terbiasa mendengarkan kisah-kisah klasik karangan Eropa. Gadis kecil itu juga bersekolah di International School yang tentu saja akan menceritakannya cerita dari luar. Namun, cerita rakyat macam Timun Mas terdengar asing bagi Julie.

"Kenapa namanya Buto Ijo, Miss?"

"Buto adalah bahasa Jawa yang berarti raksasa. Sementara karena tubuhnya hijau, disebut Ijo. Jadi Buto Ijo atau Raksasa Hijau," terang Amara.

"Ah! Seperti Hulk, dong?" timpal Julie.

Amara terkikik. "Ya, betul, seperti Hulk. Bedanya Hulk, kan, superhero. Kalau yang ini jahat," jawabnya.

Sedikit demi sedikit, bubur Julie mulai habis. Ia begitu fokus mendengarkan dongeng dari Amara hingga tak sadar makan banyak.

"Julie juga mau jadi pemberani seperti Timun Mas." Julie mulai berandai-andai.

Amara mengusap puncak kepala Julie dengan penuh sayang. "Julie, kan, sudah jadi anak pemberani."

"Tapi Julie juga mau melawan raksasa seperti Timun Mas," sahut Julie antusias.

"Lho, waktu di Godzilla's Park, Julie yang bilang sama Miss kalau monster atau raksasa itu tidak ada," goda Amara.

Julie menyandarkan tubuh pada bantal. Mata anak itu menerawang jauh. "Tapi ada om-om mirip Buto Ijo yang ingin Julie lawan."

"Siapa Julie?" tanya Amara waswas.

"Ada," kata Julie. "Om-om yang bawa mommy pergi."

Amara terkesiap. Kedua alis wanita itu saling bertautan. Lagi-lagi timbul pertanyaan menggelitik seputar ibu kandung Julie. Namun, ia segera melenyapkan rasa keingin-tahuannya. Masalah pribadi Keenan bukan urusannya.

"Miss," ucap Julie lagi. "Miss jangan ke mana-mana, ya. Temani Julie."

Amara tersenyum lembut. "Ada Mbak Febi dan Bu Santi yang menemani Julie. Sebentar lagi, Pak Keenan juga pulang."

"Julie maunya sama Miss. Sama Miss Amara asyik, Julie suka." Julie mulai merengek.

"Baiklah. Miss akan menemani Julie di sini. Julie tidurlah, Miss tidak akan ke mana-mana," ujar Amara.

"Sungguh?"

"Iya, Julie." Amara kembali mengelus kepala Julie demi menenangkannya.

Julie pun membaringkan kepala ke atas bantal. Sorotnya mulai meremang.

"Jangan tinggalin Julie, ya, Miss," ucap Julie mengiba.

"Iya," kata Amara.

Julie memejamkan mata. Sesekali gadis kecil itu urung tidur demi mengecek keberadaan Amara. Lamban laun, Julie pun percaya kalau Amara memang menepati janji untuk menemaninya.

Setelah Julie tertidur cukup pulas, Amara beringsut bangkit dari duduk. Ia mengambil kain kompres yang diletakkan Febi di atas meja belajar. Wanita itu mengganti air di dalam baskom dengan air hangat di bathroom. Amara kemudian mengompres dahi dan telapak tangan Julie dengan kompres air hangat.

Memandangi wajah Julie yang tertidur pulas memunculkan perasaan damai bagi Amara. Andaikan ia memiliki anak, mungkin sayangnya akan seperti ini.

Kesedihan menyusup karena hingga lima tahun pernikahan, buah hati belum juga datang. Apa lagi sikap Bastian yang berubah kian menyebalkan. Dan sekarang, hati Amara bak bercabang setelah mengenal sosok Keenan. Meski ia takut untuk menjabarkan asa terlarang pada bos suaminya itu. Amara tak boleh besar kepala. Barang kali, Keenan hanya menganggapnya guru bagi Julie.

"Miss ..."

Julie mengigau seraya meraba-raba tangan Amara. Wanita itu lantas menyambut genggaman Julie seraya menepuk-nepuk punggung muridnya.

"Bobok lagi, Julie. Miss di sini," bisik Amara.

Ia pun duduk sambil menyandarkan badan di atas kasur. Suasana yang terlalu tenang dan hening, membuat mata Amara berubah berat. Ia terus menerus menepuk Julie hingga tanpa sadar, pelupuknya ikut terpejam.

***

Keenan mempercepat langkah. Selama di kantor, ia sama sekali tidak fokus karena pusing memikirkan Julie yang sakit. Dengan segera, Keenan membuka pintu kamar sang putri tunggal untuk mengecek kondisinya.

Netra Keenan berkilat.

Sorot lelaki itu terpatri pada pemandangan akrab antara Amara dan Julie. Keduanya berpelukan bak ibu dan anak kandung.

Secara pelan, Keenan menghampiri.

Napas lelaki itu memberat dan tercekat. Julie memang membutuhkan sosok seorang ibu. Wanita bersahaja yang mampu memberikan kehangatan dan kasih sayang tulus. Sesuatu yang Nadira tak bisa berikan.

Jemari Keenan lantas bergerak bebas menuju helai rambut Amara yang sehalus sutra. Ia menuruni pipi guru les anaknya dengan hati-hati. Betapa Keenan sangat menginginkan wanita itu.

Pelupuk Amara berkedut. Ia seketika membuka mata dan sebisa mungkin menahan keterkejutan.

"A-apa yang Bapak lakukan?" tanya Amara lirih.

Mata Keenan dan Amara pun bertumbukan penuh makna.

Darls! Forbidden Desire sudah tamat di karyakarsa. Tanpa potongan adegan 21+ dan melahirkan banyak extrapart di sana. Jangan sampai ketinggalan, ya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top