BAB 20. Sesal
Perahu pelan-pelan menyusuri sungai buatan. Melewati lorong dengan pemandangan temaram yang hanya diterangi oleh lampu dari lampion-lampion. Sayup-sayup Amara bisa mendengar alunan piano mengiringi ke mana pun mereka pergi.
Ia terpukau karena pemandangan luar biasa fantastis di hadapan. Berkali-kali Amara terkesiap penuh kekaguman.
Kanal sungai didesain mirip Venesia. Sementara dekorasi lorong atau gua berlatar Wonderland atau negeri ajaib. Dedaunan hijau menjulur menyentuh air. Bunga-bunga aneka warna juga memenuhi tiap sudut tempat. Amara bahkan terkejut saat mendadak dari dalam permukaan air muncul robot mirip puteri duyung cantik.
"Astaga!" seru Amara. Ia menoleh ke arah Keenan dengan raut keheranan. "Tadinya saya pikir itu manusia asli, ternyata bukan."
Keenan tersenyum seraya menatap Amara penuh perhatian.
"Mermaid! Mermaid!" tunjuk Julie antusias.
Tiba-tiba, kepala monster air muncul dan mengagetkan Amara beserta Julie. Kulit robot itu berkilau bak sisik asli. Tatapan matanya pun seperti hidup. Saking terkejutnya, wanita itu tanpa sadar bersandar dekat pada tubuh Keenan. Ulah Amara membuat Keenan bisa mengendus aroma vanila yang menguar dari puncak kepalanya. Wangi yang membuat darah lelaki itu seketika berdesir.
"Maaf ya, Pak. Saya katrok banget," ucap Amara seraya membenahi posisi duduk.
"Katrok?" Dahi Keenan berkerut.
"Kampungan," jelas Amara seraya terkekeh.
"Saya tidak berpikir begitu, kok."
Mata keduanya lagi-lagi saling beradu. Tapi kali ini, Amara memilih memalingkan muka. Ia tidak sanggup berlama-lama menyorot iris pekat milik bos suaminya itu.
***
Selama dua puluh menit menikmati suasana magical, perahu akhirnya tiba di perhentian akhir.
Mereka bertiga melanjutkan perjalanan menuju peternakan mini. Di sana, Julie asyik memberi makan domba, kelinci, dan kuda poni. Senyum dan tawa terus bertahan pada wajah Julie yang mungil. Ia begitu bahagia karena menghabiskan waktu bersama orang-orang yang ia sukai.
Sebagai tujuan terakhir, Keenan mengajak Amara dan Julie masuk ke dalam bioskop 4D yang memutar perjalanan Godzilla dalam melawan para monster jahat.
"Daddy, aku kenyang." Julie merebahkan kepala di atas meja. Ia sudah menghabiskan tiga slice pizza kesukaaannya hingga hampir muntah.
"Ya sudah. Kalau begitu, Julie mau ke mana lagi setelah makan?" selidik Keenan.
Mata Julie mulai sayu karena mengantuk. Ia menerawang ke arah langit yang sudah berwarna oranye kemerahan.
"Julie capek, Dad."
Amara mengusap puncak kepala Julie dengan penuh kelembutan. "Kalau begitu kita pulang?"
Julie menganggukkan kepala. Ia refleks bersandar pada tubuh Amara sambil mengalungkan lengan. Orang awam pasti mengira keduanya adalah ibu dan anak.
Keenan pun sama.
Ia benar-benar sudah berdosa karena diam-diam berharap Amara bisa menggantikan sosok Nadira bagi Julie.
***
Amara mengecek ponsel untuk memeriksa pesan dari Bastian, nihil. Suaminya sama sekali tak menghubungi atau mengirim chat singkat. Kebahagiaan yang sempat ia rasakan ketika berjalan-jalan bersama Julie dan Keenan mendadak berubah getir. Setelah dari sini, ia akan kembali ke rumah di mana kehadirannya sama sekali tidak diharapkan.
Sesuai permintaan Keenan, sopir berbelok pada pom bensin terdekat. Begitu kendaraan terparkir sempurna, duda tampan itu pun keluar untuk berkemih. Sementara Julie sudah tertidur pulas karena kelelahan.
Saat sedang mengamati ke luar jendela, mata Amara tertuju pada pedagang celengan yang sedang beristirahat di sisi jalan. Ia menjual celengan hewan yang terbuat dari gerabah atau tanah liat. Bapak pedagang itu seakan berharap ada yang membeli jualannya. Raut si pedagang menyiratkan kesedihan karena barang dagangan yang terlihat masih banyak. Hati Amara mendadak nelangsa. Ia jadi teringat Salman, bapaknya di kampung. Wanita itu pun buru-buru keluar dari mobil sebelum Keenan kembali. Wanita itu pun pergi menghampiri penjual celengan.
Hanya berselang semenit Amara pergi, Keenan pun berbalik dari restroom. Ia sedikit terkejut karena tak menemukan Amara di dalam mobil.
"Miss Amara mana, Feb?" tanya Keenan.
"Sepertinya ke toilet, Pak. Baru saja Miss Amara keluar," terang Febi.
Keenan lantas memanjangkan leher. Ia urung masuk dan memutuskan menunggu Amara di samping mobil. Lelaki itu mengambil kotak rokok dan mulai menyulut satu batang. Saat Keenan sedang menikmati rokok, matanya menangkap sosok Amara yang ternyata tidak sedang berada di toilet. Wanita itu tampak memilih celengan gerabah. Rasa penasaran membuatnya berjalan untuk mendekati Amara.
"Puniko reginupun pinten, Pak?" tanya Amara bercakap-cakap dengan si penjual celengan. Nada bicara Amara sangat santun dan lembut. Wanita itu bertanya kepada penjual, berapa harga barang jualannya dalam bahasa Jawa halus.
Bapak penjual menatap muka Amara sambil tersenyum. "Kalih doso ewu mawon, Nak," jawabnya. Ia menerangkan bahwa harga satu celengan adalah dua puluh ribu saja.
Amara mengangguk. Baginya, harga itu cukup murah. "Bapak, aslinipun saking pundi?" selidik Amara mencari tahu kota asal bapak penjual.
"Dalem asli Kudus," kata si penjual. Ia berasal dari kota Kudus.
"Oh, celak kaliyan dalem, ya," timpal Amara. "Dalem aslinipun saking Rembang." Ia mengatakan bahwa kampung halaman mereka berdekatan karena ia berasal dari Rembang. Amara kemudian mengambil satu celengan yang berbentuk harimau, "Inggih, sampu dalem mundhut setunggal engkang puniko, Pak." Wanita itu berkata ia akan membeli satu celengan harimau.
Bapak penjual menerima uang pemberian Amara, ia begitu terkejut saat wanita itu ternyata menyerahkan dua lembar uang seratus ribuan. "Kok kathah sanget?" Jumlah itu terlalu banyak.
"Buat Bapak saja." Amara tersenyum.
"Sembah nuwun engkang kathah, nggih." Penjual itu membungkuk dan menempelkan uang pemberian Amara di dahi. Ia mengucap terima kasih atas pemberian uang yang begitu banyak. "Mugi rezekinipun diparingi lancar," ujar sang penjual yang mendoakan semoga Amara mendapat lancar rejeki.
Mata Amara berkaca-kaca penuh haru. "Amin. Bapak ugi mugi dipun paringi tansah sehat," gumamnya ikut mendoakan si bapak penjual agar tetap sehat.
Keenan terpagun dengan interaksi antara Amara dan si penjual. Ia sama sekali tidak paham arti dari obrolan mereka.
Setelah membayar dan mendapatkan barang yang ia beli, Amara pun tertunduk seraya menutup dompetnya. Ia berjalan tanpa menengok kiri dan kanan. Amara tidak sadar Keenan sudah berada di depannya. Amara sontak menabrak Keenan hingga dompetnya terjatuh. Dengan sigap, Keenan mengambilkan dompet tadi dan menyerahkannya.
"Lho, Bapak?" Amara terbelalak. "Menunggu saya, ya? Maaf, Pak. Tadi saya keluar sebentar."
"Bahaya sekali kalau utak-atik dompet di pinggir jalan. Kalau sampai dijabret orang bagaimana?" sahut Keenan.
"Iya, Pak." Amara mendadak kikuk.
Keenan sempat melihat dompet Amara secara sepintas. Untuk ukuran istri seorang manajer pemasaran, barang Amara tergolong sederhana. Dan lagi, dompet itu juga sedikit koyak pada sisinya. Entah Amara yang memang terlalu hemat, atau Bastian yang pelit sebagai suami? Spekulasi Keenan mulai liar. Untuk kali ini, ia sadar sudah cukup keterlaluan.
"Miss Amara beli apa?" tanya Keenan. Sekuat tenaga ia mencoba mengusir pikiran negatif tentang Bastian.
"Ini celengan gerabah, Pak. Saya beli buat Julie. Semoga dia suka dan mau menabung uang jajan ke dalam sini," jawab Amara.
Keenan terkesiap. "Buat Julie? Terima kasih banyak, ya. Miss Amara perhatian sekali dengan Julie. Tapi, untuk ukuran celengan harganya mahal juga, ya." Ia tadi melihat Amara menyerahkan dua lembar uang seratus ribu.
"Oh, saya tidak nyangka bapak Keenan lihat. Ini tidak mahal kok, Pak. Memang saya saja ingin kasih lebih kepada bapak tadi," terang Amara salah tingkah.
Keenan mengulum senyum. Amara memang baik hati dan gemar memberi.
"Kenapa Anda terdorong berbuat baik kepada orang yang baru ditemui?" selidik Keenan.
Mata Amara mendadak berkaca-kaca. "Saya keingat bapak saya di Rembang. Eh, kok kebetulan bapak penjual tadi juga asli Kudus."
Mereka tiba di samping mobil dan Keenan pun membukakan pintu bagi Amara. Masih banyak yang ingin Keenan bincangkan dengan Amara. Tetapi, sepertinya ia harus menunda hal itu.
***
Seutas rasa bersalah karena pergi tanpa meminta izin suami menari-nari di benak Amara.
Malam sudah menjelang ketika Amara tiba di Surabaya. Sesampainya di kediaman Keenan, ia bergegas pamit. Amara pun memacu mobilnya menembus jalanan Surabaya yang temaram.
Amara memandang sendu garasi rumahnya yang kosong. Dugaannya benar, Bastian belum pulang. Dengan langkah gontai, ia membuka kunci pintu utama dan bersiap masuk. Belum sempat kaki Amara melangkah, sebuah suara familiar memanggil namanya.
"Dari mana aja sih, Mara?" Raut Luciana penuh amarah. Ibu mertua Amara itu muncul entah dari mana.
Baca FORBIDDEN DESIRE sampai tamat di Aplikasi KARYAKARSA dan Bestory. Sudah tamat dan melahirkan banyak EXTRAPART.
Buat kalian yang suka intrik perselingkuhan, romansa dewasa, bercampur politik, cerita ini pas banget.
Salam sayang 🖤🖤🖤🖤 Ayana 🖤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top