BAB 2. Iri Hati

Bastian mendecih minder.

Ia tak menduga jika sosok Keenan Alkala Ibrahim begitu rupawan - terlampau sempurna. Terlahir dari keluarga konglomerat terhormat. Generasi ketiga dari garis keturunan Ibrahim yang memiliki aset mencapai triliunan. Ayah Keenan, Adiharjo Ibrahim adalah seorang pengusaha properti sukses yang dijuluki 'Raja Real Estat'. Semua karena Adiharjo menguasai hampir sebagian bisnis pengembangan kawasan elit yang tersebar di seluruh Indonesia. Tidak terbatas pada hunian, PT. Ibrahim Group juga merambah penjualan dan pengembangan real estat, apartemen, ruang perkantoran, pusat rekreasi, mau pun pusat perbelanjaan atau mal.

Seutas rasa dengki menyelusup relung hati Bastian. Betapa beruntungnya Keenan terlahir di keluarga kaya raya. Tanpa harus berusaha keras, Keenan otomatis memiliki apa saja yang ia inginkan di usia yang masih terbilang muda --- tiga puluh lima tahun. Sementara Bastian harus memeras keringat demi mendapatkan posisi manajer seperti sekarang.

"Pak?" panggil Firda membuyarkan lamunan Bastian.

"Ehm, okay," Bastian mengerjapkan mata. "Thank you, Fir. Kamu bisa kembali ke mejamu."

Firda tersenyum kenes sambil mengangguk. Asisten manajer itu pun berjalan keluar dari ruangan Bastian.

***

Luciana sedang menelisik tiap sudut ruang di rumah sambil memasang wajah gusar. Dari arah tangga, Amara turun dan menghampiri sang mertua.

"Ma, naik apa ke sini?" sapa Amara. Ia menyalami tangan Luciana dan menciumnya sopan.

Luciana justru mendengkus. "Kamu di rumah nggak pernah bersih-bersih, Mar?" Ia melirik ke arah tumpukan piring kotor. "Kok betah membiarkan rumah berantakan begini?"

Amara paham betul maksud Luciana, ia bergegas mencuci piring yang bertumpuk di-sink. "Biasanya aku langsung cuci semua piring kotor bekas sarapan, Ma. Hari ini memang sengaja kutunda dulu."

"Masa'? Perasaan tiap kali datang, rumah selalu dalam kondisi berantakan," cibir Luciana.

Amara terdiam.

Ia mengalihkan emosi dengan menggosok gelas dan wajan kotor lebih keras.

Tiap kali Luciana datang, kesabaran Amara selalu teruji. Ibu mertuanya sangat senang mencari-cari kekurangan.

Bergaya bak petugas inspeksi, Luciana pun berkeliling tiap sudut rumah.

Hunian yang ditinggali Amara dan Bastian ber-design open space. Ruang terbuka tanpa sekat khas konsep modern. Dinding bercat putih dilengkapi perabotan serba kayu membuat suasana rumah terlihat bersih dan minimalis. Sinar matahari leluasa masuk menembus celah-celah tirai dan kaca jendela --- menciptakan pencahayaan yang alami. Sirkulasi udara juga dijamin baik, harusnya hal itu mampu meningkatkan mood para penghuninya --- tapi tidak bagi Amara.

Rasa stres malah sering menyerang pikiran Amara. Semua karena pernikahan dingin yang ia jalani. Ditambah memiliki mertua cerewet yang memperlengkap deritanya.

Maklum, Bastian adalah anak lelaki si mata wayang. Dan Luciana hanya memiliki putranya sebagai penopang hidup. Ayah mertua Amara wafat enam tahun lalu karena serangan jantung. Luciana seolah tak ada kegiatan lain selain ikut campur dengan rumah tangga anak tunggalnya.

"Mama mau minum apa? Mau teh hangat?"

Luciana mendudukkan bokong ke atas sofa. Ia menatap Amara dingin. "Mama es sirup aja. Di luar cuacanya gerah, mana cocok minum minum teh hangat," decaknya.

Amara pun mengangguk.

Luciana menelisik penampilan menantunya dari atas ke bawah. "Kamu sehari-hari di rumah selalu lusuh begini, Mar?"

Mulai lagi --- "Hari ini aku memang belum sempat mandi, Ma." Amara menuang sirop rasa leci ke dalam gelas. "Takutnya kalau mandi dulu, malah telat menyiapkan sarapan untuk Mas Bastian." Ia lalu menambahkan air dingin dan es batu ke dalam gelas.

"Ah. Alasan. Dulu waktu Mama seumuran kamu, Mama juga bangun pagi buat bikin sarapan untuk almarhum papa. Belum lagi mengurus Bastian yang masih kecil. Ditambah beberes rumah. Tapi, Mama masih sempat mandi dan berdandan cantik. Tidak seperti penampilan kamu sekarang --- kacau --- mirip pembantu."

Amara menggertakkan gigi. Ingin rasanya menyiram muka Luciana dengan sirop yang ia buat. Namun alih-alih melakukan itu, ia justru menampilkan senyum seraya meletaknya gelas ke atas coffee table.

"Silakan diminum, Ma."

"Dengerin lho, kalau Mama ngomong, Mara. Bastian itu lelaki tampan dan sukses. Kamu imbangi dia, dong. Manjakan visual dia dengan penampilan yang menarik," oceh Luciana.

"Iya, Ma," sahut Amara.

"Kasian banget si Bastian. Sudah capek dari kantor, lihat rumah berantakan, terus istri yang lecek dan kumal. Bagaimana dia bisa betah?"

Amara memilih tertunduk.

Semenjak kecil, ia diajarkan untuk menjaga sopan santun, khususnya di depan orang lebih tua. Didikan tegas dari ibu dan bapak di kampung, menjadikannya wanita yang sulit berkata 'tidak'. Amara sadar, ia adalah seorang people pleaser. Meskipun hatinya benar-benar sakit dengan segala perkataan Bastian dan Luciana - entah mengapa - sulit sekali baginya untuk membela diri.

Luciana meneguk minuman dengan impulsif. "Pantas saja Tuhan tidak memberikan kamu kepercayaan untuk hamil, menjaga penampilan dan kebersihan rumah saja kamu tidak becus. Apalagi nanti menjaga seorang bayi!"

Kali ini ucapan Luciana sungguh keterlaluan.

"Kok, Mama bicaranya begitu? Dikaruniai anak merupakan kehendak dari Tuhan, di luar dari kendaliku sebagai manusia, Ma." Mata Amara memanas dan berkaca-kaca.

"Kamu jangan dikit-dikit nangis ya, Mara!" sungut Luciana sewot. "Yang Mama omongin ini semuanya berhubungan, lho. Coba kamu perbaiki diri. Minta ampun sama Tuhan, khususnya sama Mama. Tiap kali Mama ke sini selalu sakit jantung karena kondisi rumah yang kotor. Kamu terlalu sering bikin Mama uring-uringan. Itu dosa. Makanya Tuhan nggak kasih kamu kepercayaan untuk hamil."

Amara memalingkan muka dan menelan tangis. Ia memilih membisu dari pada harus mendebat perkataan Luciana yang tak berujung.

Tak kunjung hamil hingga lima tahun pernikahan --- sungguh --- bukan maunya.

***

"Saya tidak lihat ada strategi baru yang Bapak Bastian lakukan? Kalau saya tidak salah, Anda dulu mengajukan ide tentang layanan antar. Seperti apa itu?" Suara dalam Keenan memenuhi ruang meeting.

"Pelanggan dapat menanyakan ketersediaan buku, harga, diskon, dan opsi pengirimannya. Jadi, memudahkan bagi mereka yang tidak sempat mengunjungi store secara langsung," terang Bastian.

Keenan menyela, "Sudah jalan?"

Bastian berdeham, "Memang program itu belum jalan, Pak."

"Kenapa?" selidik Keenan. "Anda sadar tidak, kalau cabang Surabaya hampir tertinggal. Anda menunggu apa?"

"Aplikasi dan Websitenya belum selesai kami buat, Pak," jawab Bastian.

Keenan menyandarkan punggung di sandaran kursi. "Maka segera selesaikan. Dan saya juga ingin katalog online maupun offline kita diperbaharui."

Bastian mengangguk.

"Pak Bastian sadar, 'kan? Di era serba digital seperti sekarang, minat orang untuk membaca koran atau tabloid memang makin berkurang. Mereka bisa mendapatkan informasi melalui ponsel. Namun, berita-berita yang didapatkan melalui portal online sering kali tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya, atau mungkin, terlalu bertentangan dengan kode etik jurnalisme. Maka dari itu, kita harus menunjukkan mutu atas berita yang kita suguhkan. Sebagai Manajer Pemasaran, Anda harus mencari cara bagaimana koran dan tabloid kita tetap bisa bersaing. Tetapi, bukan berarti tidak mengikuti perkembangan jaman. Cabang Surabaya juga harus menerapkan konsep peralihan media, semisal surat kabar online." Sorot mata Keenan menatap Bastian dengan tajam.

"Kami sudah melakukannya, Pak," sanggah Bastian.

"Memang sudah. Tetapi, kebanyakan beritanya basi," tandas Keenan.

Bastian menelan ludah kasar.

Melihat Bastian sudah kewalahan, Keenan pun menghela napas panjang. Ia beringsut bangkit dari kursi. "Kalau begitu kita sudahi saja rapat hari ini." Lelaki itu lantas menyorot Bastian. "Saya tunggu perkembangan terbarunya paling lambat akhir pekan."

"Baik, Pak." Bastian menyahut pelan. Dasar Sontoloyo, baru datang sudah bikin orang pusing. Ternyata menghadapi Keenan tidak semudah dugaan!

***

Perkataan Luciana terus terngiang dalam benak Amara.

Sebelum Bastian, ia sudah repot menyiapkan masakan. Amara membuat Selat Solo kesukaan Bastian. Wanita itu juga memanggang brownies sebagai makanan penutup.

Katanya, seks dan perut kenyang merupakan dua cara untuk memuaskan lelaki.

Demi menghidupkan gairah Bastian, Amara pun mengenakan lingerie seksi yang sedikit transparan. Ia pun tidak lupa merias diri dengan polesan make up tipis. Meski sebenarnya --- wajah polos Amara sudah sangat menarik. Wanita itu punya mata lentik bermanik cokelat gelap. Tulang hidung Amara juga tinggi dan ramping. Selain itu, ia dikaruniai bibir berisi yang merekah nan seksi.

Hanya saja - semua seakan sia-sia karena Bastian tak pernah sekali pun memujinya.

Jam dinding sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Pesan yang Amara kirim untuk Bastian juga tak berbalas. Ia mulai gelisah menunggu kapan suaminya akan pulang. Selain itu, perut Amara juga keroncongan karena lapar.

Tak lama, suara dari mobil Bastian terdengar memasuki halaman rumah. Amara pun berlari ke depan pintu seraya memasang senyum semanis madu. Ia tak sabar mengetahui reaksi Bastian kala melihatnya sudah berdandan menantang.

"Aku pula---" Mata Bastian terbelalak. Ia mematung di depan pintu karena tampilan Amara.

Pucuk buah dada sekal sang istri samar-samar tampak dari balik balutan kain berenda. Lingerie merah marun itu mempertontonkan lekuk Amara yang bak gitar Spanyol.

"Malem banget pulangnya, Mas. Aku sudah nungguin dari tadi." Amara tersenyum.

"Ka-kamu pakai apa?" tanya Bastian.

Amara mengaitkan lengan pada tangan Bastian. Ia menuntun suaminya untuk masuk ke dalam. "Aku pengen sesekali tampil begini saat menyambutmu. Seperti awal-awal pernikahan kita," jawabnya. "Kenapa, kamu nggak suka?"

"A-aku ..."

Bastian teralihkan oleh buah dada Amara yang menempel pada lengannya. Gundukan tersebut berhasil membuat darahnya berdesir.

"Mau makan dulu?" tawar Amara. "Aku sudah masak selat solo kesukaanmu."

Bastian lantas melonggarkan ikatan dasi. "Aku masih kenyang. Tadi setelah meeting, divisi pemasaran makan bareng."

"Yah ..." Raut Amara berubah kecewa.

Bastian bergegas mendekap Amara dan mendorongnya jatuh ke atas sofa. "Tapi aku nggak keberatan untuk 'dessert'." Ia pun melayangkan ciuman ganas pada bibir sang istri.

Amara yang terdesak hanya bisa pasrah ketika Bastian melumat bibirnya. Saat ia mengerang, lidah Bastian memaksa masuk dan memburu lidahnya. Tubuh keduanya pun mulai memanas karena terbakar nafsu.

"Ah ..."

Jari Bastian sudah menyusup ke dalam demi mencari tonjolan merah muda Amara. Puncak itu sudah menegang. Dan Bastian semakin gemas bermain di sana. Ia lihai memilin dan memelintir pucuk Amara. Akibat ulahnya, sang istri semakin bergairah karena kegelian.

Bastian lantas melepas pagutan bibir antara mereka. Ia beralih mengisap puncak dada Amara sambil memainkannya dengan lidah. Sementara tangannya turun untuk menggosok-gosok kewanitaan Amara. Ternyata istrinya nakal juga. Wanita itu tidak menggunakan celana dalam. Bastian dengan mudah menemukan liang Amara yang sudah basah dan licin. Ia menggerakkan telunjuknya untuk mengitari biji sensitif yang bersembunyi di antara lipatan.

Amara pun terpejam karena nikmat. Sudah lama ia tak dijamah seperti ini. Ia merindukan keintiman bersama Bastian. Dan malam ini, Amara seolah kembali mendapatkannya.

Akan tetapi, ketika Amara hampir mendapatkan klimaks, Bastian tiba-tiba berhenti.

"Ma-Mas?" Mata Amara sayu memandang Bastian. Mimik wajahnya penuh tanya dan kebingungan.

Bastian berdiri dan melengos begitu saja. Lelaki itu memilih diam tanpa mengucap apa pun.

"Mas, kenapa?" tanya Amara.

Kaki Bastian melangkah lurus menuju anakan tangga. Ia tak berniat melanjutkan pergumulan mereka.

Amara kembali memburu, "Mas Bastian, ada apa? Apa yang salah?"

"Tidak ada yang salah." Bastian menoleh. "Hanya saja, mau bercinta seperti apa pun, tetap tidak akan membuatmu hamil."

Jawaban Bastian bagai petir yang menyambar Amara. Ia tadi berada dalam surga nirwana dan sekarang Bastian menyeretnya jatuh dalam neraka.

"Mas ..." gumam Amara tercekat.

"Bercinta denganmu kembali mengingatkanku akan fakta bahwa kamu mandul. Dan itu membuatku kehilangan selera, Amara."

Yang penasaran baca lebih cepat bisa ke BeStory dan Karyakarsa. 20 bab gratis di sana.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top