BAB 19. ISTIMEWA
Febi yang terkilir, diantar ke salah satu kafe yang terdapat di dalam area wahana. Ia terpaksa menunggu di sana sampai Julie selesai berkeliling.
"Pak Keenan, maafin saya, ya, Pak." Febi tertunduk segan.
"Bukan salah kamu, Feb," sahut Keenan. "Tidak apa-apa. Ini bisa jadi pembelajaran bagus bagi Julie agar bersikap lebih hati-hati lagi."
"Iya, Pak. Terima kasih," ucap Febi.
"Pesanlah makanan atau minuman yang kamu inginkan. Nanti saya yang bayar." Keenan bergegas meninggalkan Febi untuk menghampiri Amara dan Julie di depan kafe.
"Sekali lagi terima kasih, Pak," kata Febi canggung.
Dari pada menggandeng Keenan, Julie lebih memilih lengket dengan Amara. Tampak putri kecilnya berjalan seiringan menuju wahana bianglala. Sementara Keenan mengekori mereka dari belakang tanpa banyak kata. Ia masih sibuk menjabarkan rasa yang berkecamuk memenuhi relung dada. Soal Amara.
Di depan bianglala, sederet antrian sudah mengular lumayan panjang.
"Pak Keenan," panggil Amara membuyarkan hening. "Saya tidak ikut naik, ya." Raut muka wanita itu cemas.
Julie mendadak merengek. "Kenapa Miss ngga ikut?" tanyanya.
"Miss takut ketinggian, Julie. Maaf, ya."
Julie mengeratkan genggaman tangan pada jemari Amara. "Kan, Julie udah bilang, kalau Miss takut, Julie dan Daddy akan peluk Miss."
Keenan berdeham. "Julie, sebaiknya kita tak memaksakan kehendak pada orang lain."
"Tapi Julie mau Miss ikut ..." Julie mengiba.
"Ada Daddy, Sayang," imbuh Keenan.
Julie menggeleng. "Sama Daddy kurang asyik," dengkusnya.
"Hei?" Keenan membelalak karena ucapan sang anak.
Di lain sisi, Amara menahan tawa melihat interaksi Keenan dan Julie yang menggemaskan. Ia pun memutuskan ikut karena tak tega menolak permintaan Julie.
"Baiklah, Miss akan memberanikan diri untuk ikut."
Keenan sadar Amara masih takut. Ia pun berusaha menenangkan wanita itu. "Saya bisa jamin ini aman," katanya. "Karena saya ikut mengawasi proses pembangunannya. Kami mempekerjakan arsitek dari Jepang. Dia sangat teliti dan sudah berpengalaman lebih dari 20 tahun."
Amara pun berusaha mengulas senyum demi menetralisir rasa gugup. Antrian semakin memendek dan giliran mereka pun tiba.
Keenan mempersilakan Amara masuk terlebih dahulu ke dalam gondola, diikuti oleh Julie. Amara terlihat tegang seraya menelisik sekeliling. Keenan mampu menangkap ekspresi penuh ketakutan yang tersirat. Ia pun kembali mengambil inisiatif demi membantu Amara melupakan fobia-nya.
"Kalau boleh saya tahu, Miss Amara dan Pak Bastian kenal di mana?" tanya Keenan.
Amara memusatkan atensi pada Keenan. "Tim pemasaran di tempat kerja Mas Bastian yang dulu, pernah memakai jasa creative agency tempat saya bekerja."
"Oh ya?" Keenan terkesiap. "Miss Amara di bagian apa?"
"Advertising," jawab Amara.
Keenan berdecak. "Wah, saya tidak sangka ..."
"Tidak sangka?" tanya Amara.
Bibir Keenan membentuk tarikan melengkung. "Tidak sangka jika seseorang bisa memiliki banyak bakat," ujarnya.
Amara tersipu. Ia berpaling agar Keenan tak memergoki mukanya yang memerah.
Keenan kembali melanjutkan, "Lalu, kenapa Miss tidak bekerja lagi?" selidiknya.
"Saya dan Mas Bastian sama-sama sibuk. Jadi saya memutuskan berhenti untuk fokus mengurus rumah tangga."
"Tapi sepertinya mengurus rumah tangga juga bukan pekerjaan mudah, bukan?" sahut Keenan.
Amara menyembunyikan keterkejutan. Baru kali ini ada seseorang yang tidak menyepelekan statusnya sebagai ibu rumah tangga.
"Memang sulit. Bahkan saya merasa saat bekerja dulu hari-hari terasa lebih mudah dari pada sekarang," ungkap Amara.
"Kenapa?" tanya Keenan lembut.
"Saat masih menjadi pegawai kantoran, banyak orang mengapresiasi kinerja saya. Berbeda ketika saya di rumah -- sebanyak apa pun yang sudah saya lakukan, tidak akan ada orang yang menganggap itu penting."
"Hmm, begitu, ya," Keenan mengangguk setuju. "Namun apakah pendapat mereka penting?"
Amara pun memandang Keenan lamat-lamat.
"Apa yang orang lain pikirkan itu tidak penting. Yang penting kita menjalani semua dengan baik dan bahagia," imbuh Keenan.
Amara tertunduk. Ia juga ingin bahagia, tetapi bagaimana bisa bahagia jika yang mengacuhkannya adalah suaminya sendiri. Orang terdekat dalam hidupnya.
"Daddy, Miss!" Suara seruan dari Julie membuyarkan obrolan antara Keenan dan Amara. "Lihat, deh. Dari sini semuanya kelihatan. Rumah-rumahnya jadi kecil!"
Amara dan Keenan kompak memandangi pemandangan dari jendela. View lokasi Godzilla's Park membentang dari atas. Gondola yang mereka tempati telah berada di paling puncak. Amara tidak lagi merasakan ketakutan karena teralihkan dengan pembicaraan yang dibangun oleh Keenan.
"By the way, terima kasih, Pak." Amara menatap ke arah wajah Keenan yang teduh.
"Untuk apa?" Keenan penuh kebingungan.
"Bapak mengalihkan rasa takut saya dengan pembicaraan kita tadi."
Keenan pun tersenyum. Rupanya Amara sadar juga. "Sama-sama," sahutnya.
Amara kemudian merangkul Julie yang terkesima memandangi panorama. Ia sama kagumnya seperti sang murid.
"Ternyata tidak semenakutkan yang saya bayangkan," ucap Amara. "Terima kasih, ya, Julie. Berkat paksaan dari Julie, Miss bisa lihat pemandangan seindah ini."
***
Selesai dengan bianglala, Julie beralih menaiki carousel atau komidi putar.
Di depan pagar pembatas, Keenan dan Amara menanti Julie. Senyum lebar senantiasa terukir pada wajah bocah kecil itu. Gerakan memutar dan bergelombang naik turun di atas horse-riding tidak membuatnya pusing. Justru, Julie semakin tertawa gembira.
"Apa yang membuat Miss takut ketinggian? Biasanya fobia semacam itu ada penyebabnya."
Amara mulai mengenang-kenang. "Mungkin karena dulu saya pernah jatuh dari ketinggian," akunya.
Keenan menaikkan alis, "Bagaimana itu bisa terjadi?"
"Dulu waktu masih seusia Julie --- saya, adik serta teman-teman di kampung --- tidak ada yang punya mainan yang bisa dimainkan di rumah. Jadi, memang mainnya keliling-keliling sekitar lingkungan. Lari-larian, manjat pohon, sesekali ikutan orang tua lelang ikan di TPI Tasik Agung."
"TPI?" tanya Keenan lagi.
"Tempat Pelelangan Ikan, Pak. Rata-rata tetangga, termasuk orang tua saya, mencari mata pencaharian sebagai nelayan," terang Amara.
Keenan menangguk. "Terus?" selidiknya penasaran.
"Teman-teman, termasuk adik saya berniat mencuri mangga tetangga yang sudah matang. Mereka semua memanjat ke atas pohon demi memetik buah-buahnya. Sementara, saya tidak ikut karena takut ketahuan sama yang punya. Karena hal itu, teman-teman lain mengejek saya pengecut," ujar Amara mengulum senyum.
"Lalu?" Keenan menatap Amara penuh perhatian.
"Kesal diejek pengecut, saya pun akhirnya show off dengan menaiki dahan tertinggi." Amara menahan tawa yang hampir pecah. "Eh, enggak tahunya, yang punya pohon mangga keluar dari rumah sambil bawa golok. Semuanya pada panik. Mereka dengan cepat turun dan kabur. Tinggal saya saja yang masih tertahan di atas. Kaki saya sampai gemetaran karena takut."
"Astaga," gumam Keenan.
"Entah apa yang terjadi, saya lupa. Saya jatuh dari ketinggian sampai tangan saya patah. Dari situ, saya takut banget kalau naik ke tempat yang tinggi-tinggi. Bahkan, saya tidak pernah berdiri di depan balkon rumah sendiri," kekeh Amara.
Keenan mengulum senyum. "Miss Amara jujur, saya ingin tertawa mendengar cerita ini. Tetapi tidak tega karena mengingat Miss patah tulang akibat kejadian tersebut."
Tawa Amara pun pecah. Ia memegang perut sambil berusaha mengontrol gelaknya. "Ketawa saja, Pak. Saya juga menganggap itu lucu, kok! Kadang-kadang menertawakan diri sendiri itu perlu."
Mereka berdua sama-sama terbahak. Sesekali Keenan mencuri pandang demi memandangi wajah Amara yang makin cantik saat tertawa.
***
Selain beragam pilihan permainan, Godzilla's Park juga memiliki suasana yang nyaman dan estetik. Kebun bunga warna-warni terhampar di kiri dan kanan jalan setapak. Disediakan juga lahan mirip bukit-bukit dengan rerumputan hijau untuk pengunjung melepas penat atau berswafoto. Satu yang menjadi ciri khas tempat ini adalah selalu ada patung Godzilla yang terletak di tiap sudut, seakan sedang mengintip dan bersiap menerkam.
Amara sama antusiasnya seperti Julie. Sudah lama ia tak keluar untuk berjalan-jalan. Bahkan, sudah hampir empat tahun Amara tidak mengunjungi adik dan kedua orang tuanya di Rembang.
"Lihat, Julie! Di dalam danaunya ada bayangan monster." Amara menujuk pada danau buatan yang berada di seberang. Tampak mata Godzilla menyala kemerahan di dalam pusara air. "Mirip seperti sungguhan, ya?"
"Tapi itu cuma bohongan, Miss," jelas Julie berlagak bak orang dewasa. "Monster itu tidak ada."
Keenan sumringah mendengar percakapan antara Amara dan Julie. Sebersit keinginan lain pun terbersit dalam pikiran Keenan. Ia ingin memberikan pengalaman yang lebih berkesan bagi Amara dan Julie. Meski ia sadar, itu akan melanggar salah satu prinsipnya.
Lelaki itu lantas mengeluarkan kartu nama Albert dan segera menghubunginya.
***
"Yuk."
Keenan memimpin di depan. Ia berbelok ke tempat yang sepi pengunjung.
Ketiganya pun tiba di sebuah putaran yang tertutup oleh palang. Terlihat dua orang staf sudah menunggu. Mereka sontak menyambut kedatangan Keenan.
"Siang, Bapak Keenan."
"Bagaimana?" tanya Keenan.
"Bapak Albert sudah meminta kami mempersiapkan semua. Sudah oke, Pak," sahut salah satu staf.
Kedua staf itu lantas mengajak Keenan, Amara, dan Julie untuk menyusuri lorong gelap yang sepi. Julie tampak mengeratkan gandengan tangannya pada Amara. Gadis kecil itu merasa sedikit takut.
"Kita mau ke mana, sih, Dad? Kok ngga ada orang?" tanya Julie.
Keenan hanya menjawab dengan sebuah senyum simpul.
Setelah keluar dari lorong, mereka tiba pada jembatan yang di depannya terdapat aliran sungai buatan.
"Ini apa, Pak?" Amara ikut bertanya.
Keenan mengecek kondisi perahu yang sudah tersedia untuknya. Ia tersungging.
"Ini wahana baru. Bulan depan baru dibuka untuk umum," jawab Keenan.
"Jadi cuma kita yang ada di sini?" Amara terkesiap.
Keenan mengangguk. "Ya, betul. Kamu dan Julie adalah pengunjung pertama yang mencobanya."
Amara menahan napas. Ia baru sadar kalau tempat ini adalah milik keluarga Ibrahim. Terang saja Keenan bisa melakukan apa pun yang ia mau. Termasuk menikmati wahana yang bahkan belum dibuka untuk umum.
Kedua alis Amara pun bertautan.
"Ta-tapi ... kenapa?" tanya Amara. "Bukankah, kata Bapak tidak ingin diperlakukan istimewa?"
Keenan meringis. "Hmm, saya terpaksa."
"Terpaksa?"
"Saya harus melakukan sesuatu untuk membuat Anda kagum," ujar Keenan.
Kedua mata mereka pun saling beradu. Detak jantung Amara berdebar-debar hingga hampir meledak. Perkataan Keenan membuat hatinya berantakan tak karuan. Untuk sejenak --- keduanya tak lagi mampu menahan gejolak terlarang yang sudah bersarang dalam dada.
FORBIDDEN DESIRE sudah tamat di Karyakarsa dan Bestory. Jika kalian mau baca lebih cepat, silakan cuss ke sana, ya! Traktir Ayana jajan Mixue, Darls!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top