BAB 18. Bepergian
Rasa ganjil bercokol dalam relung Keenan. Apakah ia pantas bepergian dengan seorang wanita yang telah bersuami?
"Kenapa Pak Bastian tidak ikut?" selidik Keenan
"Dia ..." Amara tertunduk. "Mas Bastian ada urusan lain."
"Tapi beliau tahu, bukan, kalau Miss Amara akan pergi bersama kami?"
Amara terdiam.
Bisunya wanita itu merupakan jawaban bagi Keenan. Ia juga memerhatikan paras Amara yang lebih pucat dari biasa. Matanya sedikit sembab dan kuyu.
Keenan enggan mendesak Amara lebih lanjut. Lelaki itu lantas mengulas senyum demi mencairkan suasana.
"Baiklah," ucap Keenan. "Kita berangkat sekarang. Takutnya keburu siang." Ia menggandeng tangan Julie.
"Yuk, Miss." Julie meraih jemari Amara. Dengan penuh kelembutan, ia mengaitkan buku-buku jari mereka.
Amara mengeratkan pegangan tangan Julie, mereka bertiga pun berjalan bersama menuju ke kendaraan yang terparkir.
Dari kejauhan Febi menelisik interaksi antara Keenan, Amara dan Julie. Governess itu tersenyum-senyum sendiri. Ia tidak sadar Santi sudah berdiri di sampingnya.
"Kok belum berangkat?" Santi menyenggol lengan Febi.
"Lihat, deh, Bu Santi." Febi membisik. "Pak Keenan kelihatan serasi sama Miss Amara. Apa jangan-jangan Miss Amara calon mommy baru buat Julie, ya?"
Santi terbelalak. "Hush! Jangan bikin gosip, Feb!"
"Lho, lihat dewe, to ..." Febi menunjuk dengan dagunya.
Netra Santi mengikuti petunjuk Febi, apa yang ia katakan memang benar. Tatapan Keenan pada Amara berbeda. Bahkan, dengan Nadira tidak begitu. Namun, kegetiran mengusik batin Santi --- bukankah ... Amara sudah menikah?
***
Amara menatap ke luar jendela dengan tatapan meremang. Ia mulai mempertanyakan keputusan ikut pergi bersama Keenan. Berjuta cemas berkelindan memenuhi pikiran. Ia berbohong pada Bastian.
"Miss, kok diam aja?" Julie menghadap ke belakang untuk mengintip Amara. "Soalnya duduk sendirian di belakang, ya?"
Amara terkesiap. Ia memang duduk pada barisan paling belakang. Sementara Julie dan Keenan berada di tengah. Di depan, Febi duduk manis bersebelahan dengan sopir.
"Masa, sih, Miss diam aja?" Amara berbalik tanya.
Julie mengangguk. "Mungkin karena Miss duduk sendirian. Sini, dong, sama Julie dan Daddy."
"Miss di sini saja, ya, Julie." Amara mendadak canggung.
Hal yang sama dirasakan oleh Keenan. Ia bingung bagaimana cara untuk mengawali pembicaraan dengan Amara. Keenan merasa serba salah. Kalau terus menerus diam --- ia khawatir Amara akan berpikir bahwa kehadirannya tak diterima.
"Sebelumnya pernah ke Godzilla's Park, Miss?" deham Keenan.
"Belum." Amara menyahut singkat.
"Sama, dong! Julie juga belum, Miss," celetuk Julie menimpali.
"Kalau begitu, nanti kita jalan sama-sama, ya!" Amara tersenyum lebar ke arah Julie.
Julie mengacungkan jempolnya tinggi-tinggi. "Boleh aja. Miss jangan sampai hilang, ya."
"Julie ..." tegur Keenan.
"Kata Daddy ngga boleh hilang jadi harus selalu bergandengan. Nanti kita bertiga bergandengan, ya, Miss? Ya Daddy?" Julie bergantian menatap Keenan dan Amara.
Amara seketika tersipu dan membisu.
"Ya Daddy?" desak Julie pada sang ayah.
Keenan kembali berdeham salah tingkah. "Ya." Lelaki itu menjawab lirih.
***
Terlalu bersemangat sejak semalam membuat Julie kurang tidur. Akibatnya, belum setengah jam mereka berkendara, bocah enam tahun itu sudah tertidur pulas dalam dekapan Keenan. Febi yang sungkan, berulang kali menengok ke belakang untuk menawarkan tukar tempat.
"Pak? Biar saya pindah ke belakang," kata Febi. "Pak Keenan silakan di depan."
Keenan menggeleng. "Tidak apa-apa. Sudah lama saya tidak menghabiskan waktu bersama Julie."
Amara mengulum senyum. Keenan adalah lelaki yang hangat. Yah, meskipun ada sedikit keegoisan karena memisahkan Julie dari ibu kandungnya. Namun dibalik semua itu, ia adalah ayah yang sangat mencintai putrinya. Mereka berdua tak lagi banyak bicara karena khawatir akan membangunkan Julie.
Amara beralih mengecek ponsel barangkali Bastian menghubunginya. Tetapi, wanita itu harus menelan kekecewaan karena tak ada satu pun notifikasi dari sang suami. Pada sudut kecil hatinya wanita itu hanya bisa menahan rasa nelangsa akibat segala pengabaian.
***
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih tiga jam, mereka akhirnya tiba di Godzilla's Park. Godzilla's Park adalah wahana hiburan terbesar yang mengusung tema monster air yang berasal dari Jepang, yaitu Godzilla. Berbagai macam permainan seru yang bisa dinikmati oleh dewasa mau pun anak-anak tersedia lengkap. Di samping itu, ada juga pertunjukkan musikal yang bisa dinikmati secara bebas pada halaman utama pada jam-jam tertentu.
Sebelum masuk ke dalam lokasi wisata, sebuah patung Godzilla berukuran raksasa berdiri kokoh sebagai maskot kebanggaan tempat ini.
"Daddy, itu monster?" tanya Julie.
Keenan meringis. "Julie takut?" tanyanya.
"Nggak! Kan itu bohongan," sahut Julie santai.
Keenan mengusap puncak kepala Julie. "Pintar," pujinya. Ia lalu berbelok menuju loket untuk membeli tiket.
Ulah Keenan menimbulkan tanya bagi Amara. Bukankah keluarganya adalah pemilik tempat itu? Namun Amara teringat perkataan Keenan soal mengajarkan Julie kesederhanaan. Untuk kali ini, Amara benar-benar kagum dengan sikap Keenan yang bersahaja dan tidak gila hormat.
"Untuk empat orang, ya," kata Keenan.
Amara buru-buru menahan Keenan. "Pak, biar saya bayar sendiri."
"Tidak perlu," tolak Keenan halus.
"Tapi, Pak ..."
Keenan buru-buru menyela. "Sudahlah, Miss." Ia tersenyum ramah hingga menampakkan lesung pada kedua pipinya.
Penjaga loket terlihat mengenali sosok Keenan. Untuk waktu cukup lama, ia ragu-ragu menerima pembayaran yang Keenan berikan.
"Mohon maaf, kalau saya lancang," kata petugas loket. "Kalau saya tidak salah, Bapak ini Bapak Keenan, ya? Pak Keenan Alkala Ibrahim?"
Keenan terpaksa mengangguk. Padahal ia tidak ingin kedatangannya menjadi sebuah kehebohan.
Si petugas loket bergegas mengambil protofon-nya. Ia terlihat salah tingkah dan tergesa-gesa menghampiri Keenan penuh hormat.
"Selamat siang, Pak Keenan. Selamat datang di Godzilla's Park," ucapnya.
"Terima kasih." Keenan menyambut jabatan tangan karyawan tersebut. "Saya tidak ingin kedatangan saya menjadi sesuatu yang dibesar-besarkan."
"Oh, tidak, kok, Bapak." Petugas itu membungkuk segan.
Tak berselang lama --- seorang lelaki keturunan Chindo berjalan menghampiri. Ia tampil rapi dengan pakaian formal dan kaca mata yang membingkai mata monolidnya.
"Selamat siang, Bapak. Sungguh tidak terduga sekali hari ini bisa bertemu dengan Pak Keenan," tegur lelaki itu.
Keenan mengernyit.
Menyadari raut bingung Keenan, lelaki tadi buru-buru memperkenalkan diri. "Saya Albert, Bapak. Manajer pada area ini."
"Oh, Pak Albert." Keenan mengulas senyum ramah.
"Saya antar sampai ke dalam, ya, Bapak." Albert berjalan bersisian dengan Keenan.
"Saya tidak perlu beli tiket dulu?" tanya Keenan.
Tawa Albert pecah. Ia menganggap Keenan hanya sedang bercanda. "Ah, Pak Keenan bisa saja."
Mereka pun mengikuti langkah Albert. Beberapa pengunjung yang sudah mengantri, hanya bisa bisa tertegun ketika Keenan dan keluarganya masuk mendahului. Hal tersebut menimbulkan rasa tak nyaman bagi Keenan.
"Sedang berlibur, Bapak?"
Keenan mengangguk. "Betul. Saya mengajak anak saya ke mari untuk bermain. Jadi saya harap Pak Albert dan staf lain menganggap kami seperti pengunjung yang lainnya."
"Begitu, ya, Pak? Tapi saya jadi segan dengan Bapak," sahut Albert serba salah.
"Tenang saja, Pak Albert. Saya kemari memang benar-benar untuk liburan. Bukan inspeksi dadakan."
Albert terdiam gamang.
Keenan kembali melanjutkan, "Mohon sampaikan pada staf lain juga soal ini. Saya tidak ingin ada perlakuan istimewa. Pak Albert bisa bantu saya, kan?" Ia menepuk pundak Albert sambil mengulas senyum penuh wibawa.
"Ba-baik, Pak." Albert menyodorkan sebuah kartu nama pada Keenan. "Mohon hubungi saya jika Bapak membutuhkan sesuatu."
"Baik," sahut Keenan. Ia menerima kartu pemberian dari Albert dan menyimpannya dalam saku.
"Saya harap Bapak dan keluarga menikmati waktu yang menyenangkan dan berkesan di sini."
"Itu pasti," kata Keenan.
Semua yang Keenan lakukan membuat Amara kian terpesona. Apa yang Bastian katakan soal Keenan salah besar. Lelaki itu sama sekali tidak sombong atau ketus pada bawahan. Malahan, Keenan sangat sopan dan bersahaja.
"Miss." Julie menarik lengan Amara. "Kapan kita main? Daddy ngomong melulu sama temennya." Ia mengerucutkan bibir.
Amara terkikik geli. "Abis ini kita main apa yang Julie mau. Sabar, ya. Sebentar lagi."
Julie pun mengangguk. Ia lalu mengernyitkan kedua alis karena berpikir keras. Kira-kira wahana atau permainan apa yang ingin ia coba terlebih dahulu. Lalu perhatian gadis kecil itu pun tertuju ke arah bianglala yang berdiri kokoh tidak jauh dari pintu masuk.
"Yuk, Julie." Keenan menghampiri Julie dan Amara.
"Sudah selesai ngobrolnya, Daddy?" selidik Julie.
"Sudah, Sayang." Keenan mencubit pipi Julie yang tembam. "Julie mau ke mana dulu?"
"Naik itu Daddy!" Julie serta merta menunjuk lurus ke depan. "Apa namanya?"
Keenan pun mengikuti ke mana jari Julie menunjuk. "Itu bianglala, Julie."
"Iya. Bianglala! Julie mau naik Bianglala, ya!" desak Julie.
"Julie berani? Itu tinggi sekali, lho," timpal Amara.
Julie mencibir pongah. "Berani, dong! Hayo, jangan-jangan yang takut Miss, ya?" ledeknya.
Amara mengulum senyum. "Iya. Miss takut."
"Tenang, Miss. Biasanya kalau Julie lagi takut, Daddy bakal peluk Julie kencang! Nanti biar Daddy peluk Miss Amara kalau Miss takut. Ya, kan, Dad?" celetuk Julie polos.
Amara dan Keenan seketika salah tingkah. Mereka kompak memalingkan muka untuk menghindari kontak mata. Di lain sisi, Julie yang sudah tak sabar menanti bergegas menarik tangan pengasuhnya Febi.
"Mbak Febi, ayok cepet!" tariknya sambil berlari.
"Eh? Iya, sebentar Julie---" Febi yang belum siap, secara tak sengaja terjatuh ke depan. Tubuhnya terjerumus mencium aspal hingga menciptakan bunyi berdebum.
"Astaga!" Amara memekik seraya menghampiri Febi. "Mbak Febi?!" Ia lalu membantu Febi bangun dan membersihkan tubuh pengasuh itu.
Julie sontak bergeming. Ia takut sekaligus merasa bersalah. Bocah kecil itu tak bermaksud menyakiti pengasuhnya. Ia hanya terlalu bersemangat.
"Julie!" sentak Keenan meninggikan intonasi. "Daddy, kan, sudah bilang jangan lari-larian!"
Julie menatap Keenan dengan mata berkaca. Senyum pada bibirnya mendadak sirna.
"Engg-enggak apa-apa, kok, Pak. Saya tadi bengong jadi kesandung waktu Julie gandeng." Febi bangkit sambil dibantu oleh Amara. Ia beralih memandang Julie yang terlihat gemetar. "Mbak Febi nggak apa-apa, Julie."
Amara lantas menuntun Febi untuk duduk pada bangku terdekat. Ia memeriksa lutut dan siku Febi yang luka dan memar. Sepertinya pengasuh itu juga kesulitan berjalan karena terkilir.
Di lain sisi, atensi Amara berubah ke arah Julie. Muridnya tampak membisu dengan raut memucat. Amara sadar kalau Julie pasti tidak sengaja. Gadis kecil itu sekarang justru berubah ketakutan sendiri. Amara bergegas mendekati Julie seraya mengulas senyum teduh.
"Julie, it's okay." Amara mengusap lengan Julie. "Julie tidak sengaja, kan? Lain kali, hati-hati supaya tidak membahayakan diri sendiri dan orang lain. Julie, coba minta maaf dulu sama mbak Febi," ucapnya. Ia berjongkok untuk menyejajarkan tubuh dengan Julie.
Amara pernah membaca artikel mengenai cara komunikasi efektif dengan anak kecil. Orang tua harus melakukan kontak mata agar anak merasa dihargai. Selain itu, melalui kontak mata, si anak akan melihat ekspresi tulus kita. Kemudian, agar tidak terkesan mengintimidasi, orang tua harus membungkuk atau menyejajarkan posisi tubuh setinggi sang anak.
Memberi usapan lembut pada kepala atau lengan anak juga akan menyadarkan dia bahwa meski dinasehati, ia tetap disayangi
Cara itulah yang dilakukan Amara saat menasehati Julie agar tidak trauma atau sakit hati. Lagi pula, ini adalah hari libur yang ditunggu-tunggu oleh Julie. Kasihan sekali jika ia justru berubah tertekan atau malah stres karena insiden tak disengaja.
"Daddy marah sama Julie, Miss." Mata Julie mulai memerah.
"Pak Keenan tidak marah. Dia khawatir sama Mbak Febi makanya suaranya lebih meninggi. Sama seperti Julie, Pak Keenan juga kaget."
"Tapi Julie nggak nurut soalnya lari-lari," kata Julie mengiba.
Amara mempertahankan senyumnya. "Tidak apa-apa. Lain kali Julie harus lebih berhati-hati. Ini namanya pembelajaran agar Julie semakin pintar."
Julie pun mengangguk.
"Nah, sekarang yuk Miss temani minta maaf sama Mbak Febi. Mau, kan?" tawar Amara.
Julie kembali mengangguk dan menerima gandengan tangan Amara. Ia melangkah beriringan di belakang sang guru.
"Mbak Febi," panggil Julie pelan.
"Ya, Julie?" sahut Febi.
"Maaf, ya, Mbak, gara-gara Julie tiba-tiba ajak Mbak lari, Mbak jadi jatuh. Julie ngga sengaja," ucap Julie.
Febi menarik kedua sudut bibir ke atas. Ia sebenarnya cukup terenyuh oleh permintaan tulus si kecil Julie. Selama lima bulan menjaga Julie, baru kali ini bocah itu mengucap kalimat maaf. Padahal sebelum ini, begitu banyak keusilan Julie padanya. Namun tak sekali pun gadis kecil itu berinisiatif meminta maaf.
"Iya, Julie." Febi mengelus-elus punggung tangan Julie. "Mbak Febi juga minta maaf karena enggak fokus dan akhirnya jatuh. Mbak Febi nggak apa-apa, kok."
Amara menatap Julie penuh rasa bangga. Meski masih kecil, putri Keenan itu cukup berjiwa besar dan berani mengakui kesalahan.
Amara tidak sadar bahwa Keenan mengamati tingkah lakunya sedari tadi. Lelaki itu kini tak sekedar kagum pada Amara, melainkan takjub. Apa yang dilakukan wanita itu pada anaknya sangat luar biasa berarti.
Hal yang Nadira tak pernah lakukan.
Keenan tak lagi mampu membohongi rasa. Ia yakin bahwa ia memang jatuh cinta pada Amara Senja.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top