BAB 16. Khilaf

"Mr. Phillip, thats's a great idea."

Keenan tersenyum lebar hingga menampilkan lesung pada kedua pipinya. Lelaki itu mengangkat gelas wine-nya untuk bersulang dengan lelaki berkebangsaan asing di depannya.

Phillip menyambut Keenan. Kedua gelas mereka pun saling berdenting pelan.

"Well, we are already in one voice. I hope we will work greatly together."

"Of course." Keenan mengangguk setuju.

Setelah menyesap cairan alkohol hingga tersisa setengah, Phillip melirik jam di tangan kirinya. Gesture lelaki itu menyiratkan bahwa ia harus segera pergi.

"Aku harus pergi, Keenan."

"Mengapa terburu-buru?" tanya Keenan ikut berdiri.

"Istriku akan bosan karena terus menunggu di hotel. Kuharap kau tak keberatan." Phillip menepuk pundak Keenan dengan ramah.

"Baiklah."

Setelah bersalaman dan berbasa-basi singkat, kolega bisnis Keenan itu pun pergi meninggalkan restoran. Keenan pun hampir saja berpikir untuk pulang, sampai tiba-tiba netranya menemukan sosok Bastian dan Amara yang duduk pada area outdoor.

Untuk sedetik, napas Keenan berhenti.

Ia terpesona oleh penampilan Amara yang bak Dewi. Wanita itu luar biasa cantik. Dan Keenan pun urung bangkit dari tempatnya. Sebaliknya, lelaki itu justru meminta waiter agar kembali mengisi gelas anggurnya.

Dari tempatnya berada, Keenan mampu memperhatikan gerak-gerik Amara yang anggun. Sebut saja dia seorang stalker. Ya, itu memang benar. Ketimbang menyapa karyawan beserta istrinya, Keenan memilih memperhatikan dari kejauhan.

Semakin lama, hidung Keenan kian berkerut karena gusar. Bisa-bisanya Bastian mengacuhkan keberadaan Amara karena terlalu asyik mengobrol dengan teman-temannya. Entah pengaruh alkohol atau sedikit mabuk, Keenan mulai kesal. Andai ia bisa, mungkin ia sudah menjemput Amara dan membawanya pergi menjauh.

Puncak dari tontonannya pun usai saat Amara akhirnya melenggang pergi dari restoran. Keenan pasti sudah gila karena tanpa pikir panjang, duda itu bergegas menyusul.

***

"Mari kuantar," tawar Keenan.

Amara menggeleng sopan. "Terima kasih, Pak. Tapi tidak perlu."

"Kebetulan saya akan pergi searah dengan jalan menuju rumah Miss Amara." Tentu saja Keenan sedang berdusta.

Raut Amara gamang. "Saya naik taksi saja," tolaknya halus.

"Hitung-hitung sebagai balasan atas masakan yang Miss bawa kapan hari untuk saya dan Julie." Ekspresi Keenan mengiba. "Ayolah ..."

"Tapi ..."

"Ayolah, Miss." Keenan lalu membungkuk untuk bicara dengan sopir taksi. "Maaf tapi dia tidak jadi naik taksi ini." Sopir taksi itu terlihat kesal. Namun Keenan mengeluarkan lembaran 50 ribu dan memberikannya. "Sebagai permintaan maaf."

"Terima kasih, Pak," sambut si sopir taksi senang.

Mata Amara membelalak. "Bapak seharusnya tak melakukan itu," sanggahnya.

Keenan tak peduli dan melangkah menuju areal parkir. Ia mengulum senyum penuh kemenangan. "Mobil saya di sana," katanya santai.

Mereka berdua berdiri berdampingan di samping Rubicon milik Keenan. Secara penuh perhatian, lelaki itu membukakan Amara pintu mobilnya. Ia menunggu sampai wanita itu masuk dan duduk dengan nyaman. Baru kemudian dia pun menutupnya.

Amara membisu.

Ia benar-benar sadar kalau pulang bersama Keenan adalah kesalahan. Seharusnya ia mengutarakan sejuta alasan untuk menolak --- tapi tidak. Dia memang tolol.

Amara menegakkan punggung saat Keenan akhirnya duduk pada kemudi. Wangi mint dari tubuh lelaki itu menguar dan mengusik indera penciuman Amara. Aroma yang sekarang membuatnya cukup berdebar penuh kegugupan.

Saat sedang fokus menyetir, Keenan sesekali melirik pada Amara. Gaun yang dikenakan guru les anaknya itu terlalu terbuka. Ia pun sigap melepas jas yang membalut dan menyodorkannya untuk Amara.

"Pakailah."

Amara terkesiap. "Oh, ini ... ehm ..." sahutnya terbata.

"Untuk menutup kakimu agar tidak dingin," sergah Keenan.

"Te-terima kasih." Amara menuruti Keenan. Ia memang merasa sedikit kedinginan --- sekaligus canggung.

Mata Keenan yang setajam elang mungkin fokus ke arah jalan. Tetapi perasaannya tidak. Pikirannya tertuju pada wanita yang sekarang duduk di sebelahnya itu.

"Kenapa tidak pulang dengan Pak Bastian?" selidik Keenan.

"Bapak juga makan di sana? Kenapa tidak menyapa kami?" Amara berbalik tanya.

Keenan berdeham.

"Saya pikir tak ingin mengganggu acara makan malam kalian berdua."

Amara mengangguk. "Oh, begitu."

"Kenapa pulang sendiri?" Keenan mengulangi pertanyaan.

"Saya lelah dan Mas Bastian masih ingin mengobrol dengan teman-temannya. Jadi saya pikir sebaiknya saya pulang duluan," kelit Amara.

"Jadi yang tadi bukan diner romantis tapi acara kumpul-kumpul bersama teman?" pancing Keenan.

Amara memalingkan muka. "Ya ..." jawabnya singkat.

Keenan kembali menangkap ekspresi gusar yang tersirat dari wajah Amara. Dan itu selalu terjadi ketika ia membahas soal Bastian. Keenan tidak salah lagi. Memang ada sesuatu antara wanita itu dan suaminya.

Mereka berdua tak lagi banyak bicara. Hanya diam satu sama lain sambil menembus jalanan Surabaya yang penuh cahaya lampu berkilauan.

***

Kepala Keenan terasa pening.

Itu pasti karena empat gelas anggur yang ia minum tadi. Beruntung lelaki itu bisa menyetir dengan baik sampai rumah Amara. Tuhan masih menyelamatkan mereka.

"Tidak perlu, Pak!"

Amara mencegah Keenan agar tidak turun untuk membukakannya pintu. Tapi terlambat --- lelaki itu sudah melesat secepat peluru. Keenan memutari Rubicon dan membantu Amara keluar dari mobil. Sikapnya malah membuat Amara makin tidak nyaman.

"Terima kasih sudah mengantar saya," ucap Amara tertunduk. Tak berani melakukan kontak mata dengan si pemilik mata pekat itu.

"Sama-sama." Keenan tersenyum. "Boleh saya masuk?"

"Hah?" Amara menengadah seraya melotot.

"Kepala saya sedikit pengar karena kebanyakan minum. Mungkin duduk sebentar bisa meredakannya," ujar Keenan.

"Ba-baiklah, silakan." Amara masuk mendorong gerbang. Ia tak sangka Keenan akan bertamu malam-malam begini. Amara berdoa semoga Bastian lekas pulang.

Setelah mereka berdua masuk, Amara melangkah gesit menuju dapur. Ia membuka kabinet dan menyambar kotak berisi bubuk teh.

"Saya buatkan teh panas, ya?" tawarnya. "Mungkin bisa mengurangi peningnya."

"Boleh." Keenan mengambil tempat di sofa ruang tengah. Tetapi lelaki itu mendadak bangkit dan beralih mendekati Amara yang sibuk di dapur. Ia menarik stool dan duduk di depan kitchen counter.

Keberadaan Keenan yang seolah memperhatikan gerak geriknya --- membuat Amara tak bisa bernapas. Teh yang ia siapkan serasa bentuk siksaan. Akibat terlalu gugup, Amara justru menumpahkan air panas pada punggung tangannya. Hal itu tertangkap jelas oleh sorot Keenan --- yang memang sedang memandanginya.

"Miss, apa kamu tidak apa-apa?" Keenan meraih jemari Amara dan menuntunnya menuju sink. Ia menyalakan kran air dan membasuh kulit Amara yang sedikit melepuh.

Jantung Amara terasa mau meledak. Keenan lagi-lagi menyentuhnya tanpa izin.

"Saya baik-baik saja. Maaf."

Keenan terkekeh. "Kenapa jadi minta maaf?" tanyanya.

"Karena kurang hati-hati," sahut Amara.

"Kupikir kamu sama mabuknya denganku." Ia tersungging seraya menatap Amara. Kedua tangan mereka masih saling tertaut. Tak lama, senyum itu pudar dan berganti desir.

Keenan mengurung Amara dalam kedua bola mata hitamnya. Untuk waktu yang cukup lama, hanya terdengar suara deras air dari pancuran. Mereka saling mengunci pandangan. Tak mampu berpaling.

Mungkin --- Keenan memang terlalu mabuk.

Ia menunduk untuk menjangkau bibir Amara dengan bibir miliknya. Entah apa pikiran lelaki itu. Menggoda wanita sudah bersuami? Seratus persen dia sudah tidak waras!


Forbidden Desire sudah tamat di BESTORY | EKSTRA PART BISA DIBACA DI KARYAKARSA

JADILAH PEMBACA YANG SOPAN DENGAN FOLLOW, VOTE, ATAU KOMEN SETELAH MEMBACA.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top